Share

Diusir Dari Rumah

Tanpa terasa, mentari sudah kembali bersinar.

Pagi-pagi sekali, Rania sudah bangun dari tidurnya untuk menyiapkan keperluan Devan.

Walaupun mereka sepakat akan bercerai setelah satu tahun pernikahan mereka, namun Rania berjanji akan mengurus Devan selayaknya seorang suami.

Bagaimanapun juga, pria itu telah membantunya. 

Jadi, setelah membersihkan diri, Rania segera ke luar dari dalam kamar mengabaikan Devan yang masih tidur di sofa.

Dia akan membuatkan kopi untuk suaminya. 

Dibukanya salah satu kabinet kecil, guna mengambil gula dan kopi yang tersimpan di dalamnya. Namun, begitu lama-menelusuri ruang kecil itu--Rania tak menemukan apa yang dia cari.

"Bukankah biasanya kopi dan gula simpannya di sini?" gumam Rania yang bertanya pada dirinya sendiri. 

Mungkin saja sudah dipindahkan ketempat yang lainnya, setidaknya itulah yang ada di dalam pikiran Rania. 

Wanita itu kembali mencari di dalam kabinet yang lainnya. Namun, apa yang dia cari tak kunjung dia temukan, hingga Rania mendapati keberadaan sang Bunda yang melintas.

"Maa?" panggil Rania.

Sang Bunda seketika menghentikan langkah kakinya, dan berbalik menatap Rania. Namun, ada yang berbeda dengan cara pandangnya. 

Sorot matanya terlihat tajam. Raut wajahnya pun nampak tidak bersahabat.

"Ada apa?!" sahutnya terdengar ketus.

Rania sontak menahan sakit hatinya. Dia pun kembali berkata, "Aku ingin membuatkan kopi untuk Mas Devan. Namun, kopi dan gulanya tidak ada. Bukankah, biasanya tersimpan di sini?" tanyanya.

Entah mengapa, sang Bunda justru tertawa renyah. Raut wajahnya bahkan semakin terlihat tak bersahabat. 

“Kopi dan gulanya sudah habis. Rasty saja membelinya sendiri saat akan membuatkannya untuk Deni,” ucapnya, “jadi, beli sendiri jika kamu mau kopi!”

“Atau… suami kulimu itu tidak memiliki uang?" 

Seketika raut wajah Rania berubah. 

Walaupun dirinya dan Devan menikah dengan kesepakatan, tetapi bagaimanapun pria itu adalah suaminya. 

Rania jelas tidak terima ketika suaminya dihina seperti itu. 

"Mama dari dulu selalu saja mengukur semuanya dari uang. Bagaimanapun keadaannya, Devan itu adalah suamiku dan menantu Mama!" tegasnya menahan kesal.

"Menantu?" sahut wanita tua itu, "Mama tidak sudi memiliki menantu seorang kuli bangunan. Kau menikahinya saja sudah cukup mencoreng nama keluarga kita!" 

Ibu Rania itu pun  pergi begitu saja–meninggalkan Rania yang kini terlihat sangat begitu syok.

"Ya, Tuhan! Aku mohon tolong kuatkan aku," lirih Rania pedih.

Matanya kembali berkaca-kaca.

Namun, ia tak ingin lemah.

Ditariknya napas panjang dan berusaha tegar.

Sementara itu, Devan hendak keluar dari dalam kamar berniat untuk menghirup udara pagi yang masih segar. 

Hanya saja, pria itu tak sengaja mendengar perdebatan Rania, dan Mama Nita. 

Mendadak Devan kehilangan selera.

Pria itu pun segera memutuskan untuk kembali ke kamar.

Hanya saja, suara pintu mendadak terbuka. 

Rania kini masuk sembari tersenyum padanya, seolah tak terjadi apa-apa. "Aku ingin membuatkanmu kopi, namun kopi sama gulanya sudah habis.” 

“Jadi, aku akan membeli di warung dulu," ujar Rania dengan ingin membawa langkah kakinya menuju sebuah bufet kecil. 

Wanita itu berniat mengambil dompetnya. Namun, suara dari Devan menghentikannya.

"Tidak usah. Aku akan berangkat kerja sekarang!" ujar Devan, dengan kini bangkit dari duduknya. "Jadi, sampai ketemu nanti malam."

Devan pun melenggang pergi begitu saja meninggalkan Rania yang menatapnya dengan wajah penuh rasa bersalah.

"Maaf. Padahal kau sudah begitu membantuku," gumamnya lirih.

Cukup lama ia terdiam, sampai akhirnya Rania memutuskan untuk mencuci pakaiannya dan sang suami. 

Dia pun sibuk memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam mesin cuci.

Rania begitu menikmati kegiatannya, hingga suara bariton yang tidak asing di pendengarannya membuat lamunan wanita itu membelah.

"Aku kira, kau akan mendapatkan pria yang jauh lebih dariku. Namun, kau hanya bisa mendapatkan seorang kuli bangunan."

Deni kini bersedekap dan menatap Rania remeh.

Namun, Rania berusaha menahannya dan tidak memperdulikan omongan Deni.

Kembali, dia fokus untuk merapikan pakaiannya.

Hal ini jelas membuat Deni kesal. "Aku tahu kalau kamu masih mencintaiku, Rania. Bukan si kuli bangunan itu!" ucapnya percaya diri, “apa kamu mau jadi istri keduaku?”

Boom!

Kesabaran Rania telah berada di ujung tanduk. 

Baginya, Deni terlalu percaya diri. 

Kini, dia sangat membenci dan juga jijik pada pria itu. "Kamu terlalu percaya diri Deni! Asal kamu tahu, aku sudah tidak mencintaimu lagi. Perasaan itu sudah mati setelah aku mengetahui kalau kau telah bersama Kakakku.”

“Satu lagi, suamiku Devan bukan pria brengsek sepertimu yang tidak pernah puas dengan hanya satu wanita!" cecar Rania.

Dia segera berlalu pergi saja meninggalkan Deni yang menatapnya dengan murka.

Hanya saja,  langkah Rania terhenti begitu berpapasan dengan kakak perempuannya Rasty. 

Mereka sempat beradu pandang, sebelum Rania kembali melangkahkan kakinya.

Meski demikian, Rania dapat mendengar pertengkaran Rasty dan juga Deni di sana. 

****

"Suaminya Rania hanya seorang kuli bangunan. Sekarang, Rania juga tak lagi bekerja. Memang, Papa sama Mama mau kalau kalian yang menanggung biaya hidup mereka?”

“Apalagi kalau sampai Rania hamil. Tentunya akan menambah beban Papa, dan Mama," tambah Rasty pura-pura prihatin.

Sejujurnya, dia curiga  kalau Deni suaminya masih mencintai adiknya. Jadi, secepatnya Rasty berusaha meyakinkan kedua orang tuanya agar mengusir Rania dan juga suaminya itu.

Untungnya, Rasty merupakan anak kesayangan kedua orang tuanya, sehingga masukan dari wanita itu langsung diterima oleh kedua orang tuanya.

Malam itu juga, mereka pun memutuskan untuk mengusir putri bungsu dan juga menantunya itu.

"Tapi, Maa, bisakah besok saja? Aku dan Devan harus ke mana?" Rania menatap melas pada sang Bunda.

Sayangnya, mereka tetap kekeuh memintanya dan Devan untuk keluar dari rumah.

"Kau sudah bersuami, jadi sudah sepatutnya kau ke luar dari rumah ini."

"Bukankah kak Rasty-pun juga sudah bersuami?" balas Rania cepat.

Mendengar itu, Rasty mendengus sinis. "Aku ini sedang hamil, Rania, jadi aku harus tetap berada di rumah ini."

Drama ini jelas memuakkan.

Devan sendiri tak tahan lagi.

Dia pun bangun dari duduknya dan langsung menghampiri Rania. "Cepat kemasi barangmu, kita ke luar malam ini juga!" tegasnya.

"Tapi, Devan…." 

"Aku menunggu di kamar!" sahut Devan, dan segera berlalu dari ruang tamu.

Keputusan pria itu jelas membuat Rasty tersenyum lebar. Wanita itu terlihat sangat begitu bahagia.

Di sisi lain, Rania pun hanya bisa pasrah. 

Wanita itu bangun dari duduknya dan membawa langkah kakinya menyusul Devan.

Setibanya di kamar, pria itu tampak tengah memasukkan pakaian-pakaiannya ke dalam sebuah koper besar.

"Kita akan ke mana, Devan? Uangku sudah habis untuk biaya pernikahan kita kemarin," ujar Rania dengan mimik wajahnya yang kini telah berubah mendung.

Devan seketika menghentikan gerakan tangannya. 

Dia pun menatap Rania dalam. "Apakah kau sudah tidak memiliki harga diri lagi?! Jelas-jelas kau lihat, kalau keluargamu sudah tidak memperdulikanmu lagi. Bahkan mereka menjualmu!"

Rania menggeleng.

Dia tahu itu, tapi pergi dari rumah ini jelas gegabah.

"Setidaknya, kalau kita tinggal di sini, aku masih bisa mengumpulkan pelan-pelan uang 50 juta itu."

Devan mendengus kasar.

Dengan cepat, pria itu melangkahkan kaki panjang menuju pintu kamar dengan menggiring sebuah koper besar. 

Tangan kirinya juga langsung meraih tangan sang istri keluar menuju kendaraan roda duanya.

"Jangan berpikir terlalu keras. Ayo, kita pergi!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
siti fauziah
jangan2 Rania bukan anak bapak ibu nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status