“Sial,” lirih Devan Adma Wijaya di bawah langit gelap.
Dia tak menyangka niatnya untuk menghindari perjodohan yang dilakukan oleh kakeknya dengan anak seorang pengusaha kaya, berakhir tragis seperti ini.
Mendadak, Devan justru menikahi seorang wanita asing yang jauh dari kriterianya.
Rania adalah wanita kampung dan juga dari kelas bawah.
Mengedarkan pandangan–Devan menjelajahi setiap sudut ruangan.
Dia mengamati satu per satu benda yang berada di dalam kamar, hingga suara pintu yang terbuka mengalihkan pandangan pria itu.
Mendapati sosok yang melangkah masuk ke dalam kamar, membuat api yang sudah nyaris padam dalam diri Devan kembali berkobar.
Emosi kini telah kembali menyelimuti wajah tampan sang casanova.
Alis tebalnya menyatu dan matanya pun menggelap. "Kamu sudah menjebakku. Kamu lihat saja, apa yang akan aku lakukan pada hidupmu, Nona Rania!" ancam Devan seketika.
Brak!
Takut perkataan Devan terdengar oleh orang luar, Rania cepat-cepat menutup pintu.
Dia khawatir ada yang mendengar ocehan pria itu dan membongkar fakta sebenarnya bagaimana pernikahan mereka bisa terjadi.
"Maafkan aku.”
Jujur, aku melakukan hal itu karena terpaksa. Aku bingung harus meminta bantuan pada siapa," ucap Rania memelas.
Bukannya tersentuh, Devan justru tertawa sumbang.
Lelaki dengan tubuh sempurna itu merasa Rania membual.
"Kau pikir aku percaya dengan omong kosongmu itu? Aku ini bukan laki-laki bodoh,” tegasnya, “Perlu kau ketahui, aku akan melaporkan kejadian ini pada pihak kepolisian!"
Devan lalu mengambil sweater miliknya yang tergeletak di atas ranjang, dan membalutkan ke tubuhnya.
Dia melangkahkan kakinya menuju pintu kamar, tetapi alunan langkah itu terhenti kala Rania mencekal satu tangannya.
Devan sontak mebalikkan badan.
Dia siap memaki Rania.
Namun, wanita itu kini sudah bersimpuh di lantai. "Aku mohon, Mas tampan. Tolong jangan melakukan hal itu. Aku mohon," lirih Rania dengan tatapan memohonnya.
Dia terlalu takut jika sampai Devan benar-benar membawa kasus ini pada pihak kepolisian.
Tanpa sadar, matanya sudah berkaca-kaca.
Devan sedikit iba, tetapi dia mencoba mengelak akan perasaannya itu.
Hanya saja, pandangan suami-istri itu teralihkan saat tiba-tiba saja terdengar suara gedoran pintu, diiringi dengan teriakan dari sang Bunda.
Tok tok tok!
"Rania!" panggil ibu Rania dengan tangan yang terus memukul-mukul badan pintu.
Seolah melupakan kegamangan hatinya dengan apa yang akan Devan lakukan, Rania segera bangun dari bersimpuhnya.
Dia mengusap jejak basah yang tertinggal pada kedua sudut mata, dan membawa langkah kakinya menuju pintu kamar.
"Ada apa, Maa?" tanya Rania dengan tatapan herannya pada sang Bunda.
Wanita tua itu tak langsung menyambut pertanyaan yang dilayangkan oleh putrinya. Dia justru melemparkan pandangannya ke belakang, menatap Devan dengan tatapan sebelah mata.
Jelas sekali kalau dia tidak menyukai pria yang baru saja menjadi menantunya itu.
Menyadari itu, Devan bergeming.
Sama seperti Rania, dia menunggu ucapan selanjutnya dari wanita itu.
"Juragan Jarwo ada di depan. Dia marah-marah!" ketusnya.
Mimik wajah Rania sontak berubah bingung. "Bukankah aku sudah menikah? Terus, urusan aku sama juragan Jarwo apa?" tanyanya.
"Tentu saja ada urusannya! Juragan Jarwo kesal karena kau menikahi pria itu dan bukan dirinya," sela Rasty, seraya melirikkan tatapannya sinis pada Devan yang juga tengah menatap padanya.
Rania menghela napas panjang. "Baiklah. Aku akan menemuinya," jawabnya dan segera menutup pintu.
Namun, dia mendapati Devan yang tengah menatapnya dengan tatapan penuh arti.
"Kita akan melanjutkan pembicaraan itu nanti," ujar Rania dan membawa langkah kakinya keluar.
"Apakah pria yang bernama Jarwo itu yang sebenarnya akan menjadi suamimu?"
Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan untuknya.
Wanita bersurai hitam itu justru menarik napasnya panjang, berusaha melonggarkan saluran pernapasannya yang tiba-tiba terasa sesak.
"Iya," sahut Rania dengan nada suaranya yang terdengar berat yang entah mengapa membuat Devan jadi tak nyaman.
***
Meski demikian, Devan memilih untuk tetap di dalam kamar.
Walaupun cukup berjarak, indera pendengarannya mampu mendengar suara pertikaian yang datang dari luar.
Perlahan, tapi pasti. Rasa ingin tahu begitu mendominasi dirinya.
Dengan ragu, Devan melangkahkan kakinya pelan keluar dari dalam kamar. Namun, dia bersembunyi agar tak terlihat oleh yang lain.
"Pokoknya, Pak Hendra dan Ibu Anita harus kembali memberikan uang yang sudah saya berikan! Kalian berjanji akan menikahkan saya dengan Rania, ‘kan? Namun, apa-apaan ini?! Rania justru berakhir menikah dengan kuli bangunan!"
Lelaki paruh baya bertubuh gempal itu terlihat sangat murka.
Jelas sekali, dia tak terima pernikahan Rania.
"Saya yang akan menggantikan uang Bapak!" ujar Rania pada akhirnya–memecah keheningan.
"Memang kamu, bisa?! Asal kamu tahu, orangtuamu telah menjual kamu pada saya seharga 50 juta. Apakah kamu pikir uang 50 juta itu, sedikit?!" sahut juragan Jarwo, dengan senyuman mencemoohnya pada Rania.
Benar saja, gadis itu terkejut.
Wajah Rania bahkan nampak seperti tak dialiri darah sama sekali.
Melihat itu, Juragan Jarwo menahan senyum.
Dia akan memberikan kejutan lagi pada wanita yang sudah menolaknya itu. “Asal kamu tahu Rania, uang 50 juta dari hasil menjual kamu itu dipergunakan untuk mengadakan pesta Kakak kamu Rasty dan mantan calon suami kamu."
Pernyataan terakhir jelas membuat Rania begitu hancur.
Dia merasa keluarganya sudah sangat begitu tega pada dirinya.
Di sisi lain, Devan memutuskan untuk kembali ke kamar.
Dia tak ingin menguping lagi lebih lanjut.
Sekarang, Devan merasa sudah menemukan alasan Rania sampai melakukan hal licik agar bisa menikah dengannya.
Dia pun kembali di dalam kamar.
Duduk di bibir ranjang, pikiran Devan berkelana sangat begitu jauh.
Amarah yang tadinya begitu membuncah dalam diri Devan lenyap begitu saja.
Seketika dirinya merasa kasihan dengan Rania setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu.
Zaman sekarang, siapa yang mau dipaksa menikah? Dia saja tak mau sampai kabur ke kampung ini.
Namun, lamunan Devan harus berakhir kala suara pintu yang terbuka terdengar.
Rania tampak berdiri di sana dan menghampirinya dengan kalut. "Aku–"
"--Aku tidak akan membawa kasus ini pada pihak kepolisian," potong Devan cepat.
Wajah yang Rania tundukkan seketika diangkat.
Ditatapnya Devan dengan lekat-lekat. "Apakah kamu serius?" tanyanya memastikan.
"Iya," sahut Devan.
"Namun, aku ingin kita melakukan kesepakatan pernikahan," tambahnya lagi.
Dahi Rania berkerut samar. "Kesepakatan pernikahan?"
"Iya. Jadi, begini….."
Devan pun menjelaskan secara rinci apa yang menjadi maksudnya dari ucapannya tentang kesepakatan pernikahan yang baru saja dia katakan pada Rania.
Selama satu tahun, mereka akan menikah dan bertingkah sebagai suami istri di depan keluarga Rania dan tetangganya.
Setelahnya, mereka akan bercerai.
"Kamu mengerti,'kan?" lanjutnya kemudian.
Rania mengangguk cepat.
Sikap tolerir dari Devan telah mengurangi beban berat di pundaknya.
"Terima kasih karena sudah mau menolongku. Dan, maafkan aku karena sudah melibatkan dirimu dalam masalahku. Jujur, aku bingung harus meminta bantuan pada siapa, hingga aku melihatmu," lirih Rania.
Wanita itu berkali-kali mengusap air matanya yang terus saja jatuh membasahi pipi.
Devan hanya mengangguk santai. "Oh, iya. Apakah sebenarnya kau menikah dengan pria yang bernama Deni, yang sekarang adalah suami kakakmu?" tanyanya penasaran.
Rania menghela napas.
Kini, perempuan itu pun menceritakan semuanya tanpa ada satupun yang tersisa.
Menceritakan asal muasal hingga masalah ini bisa terjadi, dan dirinya berakhir menikah dengan Devan.
"Sekali lagi maafkan aku, Devan. Terima kasih juga karena sudah tidak jadi membawa hal ini pada pihak kepolisian," ucap Rania sekali lagi, “sekarang, aku hanya perlu mencari pinjaman uang sebesar lima puluh juta."
"Bukankah lima puluh juta itu nilainya tidak sedikit?"
"Entalah, mungkin saja aku akan mencari tambahan pekerjaan."
Devan terdiam. Pria itu merenungi setiap kata-kata yang mengalir dari mulut Rania.
Entah mengapa, rasa kagum mulai muncul di dalam pria itu.
Rania memang jauh dari standarnya, tetapi wanita itu jelas lebih berkarakter dibanding perempuan-perempuan yang pernah ditemuinya di kota.
“Haruskah aku membantunya?” batin Devan dalam hati.
5 bulan kemudian Oeek---- Oeek---- Suara tangisan bayi menggema di dalam ruangan operasi, dan suara tangisan bayi yang terdengar, membuat sosok-sosok dewasa itu seketika mengucapkan rasa syukur. "Selamat ya, Deni, akhir nya kamu sudah menjadi ayah," ujar Devan, menghampiri Deni dan memeluk sebentar pria itu. "Terima kasih Tuan," ujar Deni, dengan senyum lepas di wajah--kebahagiaan nyata terlihat di wajah pria itu, di mana binar bahagia nyata terlihat di bola mata nya. "Deni----," panggil Rania beberapa menit kemudian. Datang nya sosok Rania, mengembangkan senyum di wajah Deni, namun ada nya air mata yang dia temukan pada kelopak mata kakak angkat nya, membuat Deni pun tak mampu membendung kesedihan itu lagi. Bagi Deni, Rania adalah sosok kakak yang baik untuk nya. Melangkah menghampiri, Deni segera memeluk tubuh wanita itu saat sudah berada dekat dengan nya. "Kau, sudah menjadi seorang, ayah, Deni, selamat!" ujar Rania dengan lirih, sudah ada butir kristal yang mene
Kaget, dengan bola mata yang membeliak penuh. Namun, menyadari bagaimana sambutan nya dengan segera Rania, mengembalikan mimik wajah nya. "Maaf," ujar Rania dengan kikuk, wanita itu nampak salah tingkah merasa tidak enak hati pada Sarah. Sarah yang menunduk, seketika mendongak--iris hitam nya, begitu dalam dan tajam, menatap manik hitam Rania. Masih menatap, Sarah akhir nya bersuara. "Apakah, kau tidak akan memaafkan aku?" tanya Sarah dengan lirih, ada mendung yang sudah menyelimuti wajah cantik wanita itu bagaimana mendapati sambutan Rania akan permintaan maaf dari nya. Wajah Rania mendadak kaku, terperangah--sebab merasa Sarah sudah salah sangkah pada nya," Oh, bukan begitu maksudku, kau salah sangkah! Aku, sudah memaafkan mu, sejak kau mengijinkan Papa, dan Mamaku untuk kembali bersatu " jelas Rania. "Benarkah?" ujar Sarah dengan senyum yang mengembang di wajah, wanita yang sedang mengandung 4 bulan itu terlihat sumringah, bola mata nya pun berbinar bahagia. "Yaa!"
Dua Minggu kemudian Duduk berdampingan, namun walaupun duduk bersama, Sarah, maupun Deni tak ada yang saling berbicara. Ntah, apa yang ada dalam pikiran kedua nya, namun kedua sosok itu lebih memilih untuk diam. Suasana canggung begitu terasa. Ingin berbicara, namun--Deni bingung harus memulai nya dari mana. Sarah terus saja mendiam kan nya. Alhasil, Deni tetap dengan diam nya--dengan sesekali melirik kan pandangan nya pada Sarah. Mendapati Sarah yang meremas jari-jari nya, pria itu hanya bisa mendesahkan napas nya berat. "Aku seperti melihat orang lain. Padahal Sarah yang aku kenal, adalah sosok yang arogant, dan suka, banyak bicara!" gumam Deni dalam hati, dengan diam-diam menatap pada Sarah. Hening--- Hening--- Sampai kapan--mereka saling, diam? Setidak nya itu lah yang ada di dalam pikiran Deni saat ini. Tak, mampu menahan diri itu lagi--Deni memilih untuk bersuara terlebih dahulu. "Kenapa, kau tidak memberitahukan padaku--kalau kau, sedang mengandung?" ujar Deni
Malam hari "Rania----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Rania membelah, wanita berambut indah itu seketika memindai pandangan nya pada asal suara. "Dev---,"gumam nya, saat mendapati kedatangan sang suami. Sebagai seseorang yang sangat mengenal baik Rania, tentu Devan tahu-seperti apa istri nya itu. Air muka yang Rania tunjukkan saat ini, Devan yakin ada sesuatu yang begitu membebani istri nya itu saat ini. "Kamu, baik-baik saja'kan?" tanya Devan. Menutup pintu ruangan, pria itu menyeretkan langkah berat nya menuju Rania. Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan. Pertanyaan yang pria itu berikan, kembali menyadarkan Rania atas kenyataan yang dia ketahui hari ini. Diam, iris hitam Rania begitu lekat, dan dalam, menatap manik hitam Devan. "Tidak! Aku tidak boleh memberitahukan hal ini pada Devan." Rania bermonolog dalam hati, wanita itu sedang berperang dengan suara hati nya sendiri. "Aku baik-baik saja!" sahut Rania, memutuskan pandangan-ber
Sarah telah kembali berada di dalam mobil. Namun, bukan nya langsung pergi meninggalkan area depan restorant, Desicner perhiasan itu justru masih setia tetap berada di sana. Begitu malu saat Rania melihat tanda merah di leher nya, membuat Sarah menenggelamkan wajah nya sedalam mungkin di antara bundaran setir, dengan tak henti-henti nya menggerutu. "Sebel! Sebel! Bagaimana, bisa aku seceroboh ini?!" gerutu Sarah, sembari memukul-mukul kuat bundaran setir. Puas meluapkan kekesalan nya, Sarah mendongak, dan wanita itu mendapati Rania yang melintasi depan mobil nya. Mendapati Rania yang tersenyum--Sarah yakin kalau saudara tiri nya itu tengah menertawakan diri nya. Masih setia memandang Rania, hingga berakhir diri nya mendapati Ibu satu anak itu yang berlalu dengan sebuah mobil mewah. Lama memandang, Sarah memutuskan pandangan setelah teringat rencana nya yang akan berziarah ke makam sang Bunda. Menghidupkan mesin mobil, dan berlalu pergi meninggalkan depan restorant. **** *****
Beberapa hari ini Devan merasa ada yang berbeda dengan Deni. Orang kepercayaan, juga adik ipar nya. Menurut Devan sedang tidak baik-baik saja. Deni yang selalu smart, dan selalu terlihat gentle, akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. Terus memandang, Devan yang selama ini memendam rasa penasaran nya akhir nya bertanya. "Bolehkah, aku bertanya sesuatu?" tanya Devan, dengan nada suara yang terdengar ragu. Deni yang tengah memandang wajah ponsel, seketika menengadah--pria itu menatap Devan dengan lekat-lekat. Devan tak langsung melontarkan pertanyaan. Di tatap nya wajah Deni lamat-lamat, lingkaran hitam pada kelopak mata, wajah yang kusut, seperti nya pria itu akhir-akhir ini kurang beristirahat. "Apakah, kau sedang ada masalah? Sebab yang aku perhatikan beberapa hari ini kau nampak murung. Mata mu pun nampak menghitam. Bukankah, aku jarang memberikan kau pekerjaan yang membuat kau lembur. Atau jangan-jangan, kau sering menghabiskan waktu di Klup malam bersama para wani