"Jangan katakan kalau kau--masih meminta orang untuk mencari Ani Lestari!" Suara lantang--yang cukup memekikkan di telinga membuat pandangan papa Akio teralihkan pada asal suara. Air mukanya berubah keruh setelah mendapati kedatangan sang istri--Winda. Moodnya berubah buruk. "Aku baru saja selesai melakukan panggilan telepone dengan Sarah!" Suara papa Akio terdengar berat. Tuduhan tidak benar yang sang istri layangkan, membuatnya jengah. Mama Anita tertawa renyah. Wajahnya kian menegang, amarah--bercampur kecewa melebur jadi satu memenuhi diri wanita paruh baya itu. Sebab, dia tahu dengan jelas sang suami-masih mencintai masa lalunya,"Semoga saja itu-benar. Sebab, walaupun sudah ada Sarah diantara kita, tapi kau masih belum mampu bisa melupakan wanita itu. Tidak, bisa dibayangkan bagaimana perasaan putri kita, jika mengetahui kalau pria yang dia bangga-banggakan, ternyata masih mencintai wanita masa lalunya," ujar mama Winda dengan lirih. Suara wanita paruh baya itu telah berubah pa
"Dev----." Suara panggilan membuat Devan yang sedang menikmati hijaunya taman samping restorant seketika menolehkan wajahnya pada asal suara, dan mendapati kedatangan Rania. Wanita itu tersenyum lebar, namun walaupun telah menutupinya dengan senyuman--Devan dapat melihat dengan jelas guratan kesedihan di sana. Yakin--ada sesuatu yang terjadi pada sang istri, Devan melemparkan pandangannya pada Deni--yang berada di belakang Rania, dan pria itu menyambutnya dengan sebuah anggukan yang pelan. Menghela napasnya dalam, air muka Devan telah berubah keruh. Dan, sedetik kemudian Deni segera melangkah pergi. "Kau, bahkan tidak membangunkanku!" Suara bariton Devan memecahkan keheningan yang melanda keduanya, ada kemarahan yang terselip dalam nada biacaranya walaupun suara pria itu terkesan biasa. "Maaf,"ujar Rania dengan kikuknya, dirinya memaksakan wajah itu untuk menerbitkan senyuman. Sungguh. Dia belum dapat melupakan kata-kata Sarah tadi. Apa lagi kembali mengingat kemesraan Devan da
Ternyata Devan sedang melakukan panggilan telepone. Begitu melihat kedatangan Deni, pria itu memutuskan untuk menyudahinya."Tuan. Ada yang ingin saya tunjukkan pada anda," ujar Deni segera, setelah dirinya telah berada didekat Devan. Devan yang sebelumnya akan melayangkan pertanyaan-- memilih untuk mengurungkan niatnya, sebab rasa penasaran telah menyelimuti diri setelah mendengar apa yang baru saja Deni sampaikan."Apa, itu?" tanya Devan menuntut, manik hitam legamnya begitu tajam--dan dalam menatap anak buahnya itu. Bukannya menyambut pertanyan yang Devan layangkan, Deni justru merogo saku celana dan mengeluarkan benda pipih miliknya, dan menyerahkannya pada Devan, Menatap Deni dengan lekat-lekat, dengan gerakan tangan yang ragu Devan mengambil gawai dalam genggaman Deni. Sepasang mata Devan membelalak lebar, pria itu seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Rania, istrinya--berdebat dengan Santi. Seketika, senyum mengembang di wajah Devan--pria itu nampak bangga."Ambi
Rania mendadak kaku--wanita itu seolah kehilangan kata-kata untuk menjawab Santi yang semakin menjauh dari pandangannya. Masih setia memandang Santi, mimik wajah Rania terlihat suram seperti ada yang membebaninya kini. "Rania---." Ada orang yang menyeruhkan namanya--membuat Rania berpaling pada sumber suara. Wanita berlesung pipi itu membola kedua matanya lebar-lebar, memandang tidak percaya kalau sosok yang saat ini tengah tersenyum manis, dan melangkah menuju padanya adalah Dion. "Dion,"gumam Rania tanpa sadar, dengan pandangan tak terputus sama sekali pada Dion yang kini melangkah menuju padanya. "Hai, Rania," sapa Dion, pria itu tersenyum lebar. "Kau, berada di sini?" tanya Rania pelan, lidahnya mendadak keluh-akibat masih shyok. "Iya. Aku sedang melakukan liburan. Dan, sama sekali tidak menyangkah kalau akan bertemu denganmu-di sini. Kau, sedang berlibur bersama Devan?" tanya Dion berbasa-basi, padahal keberadaannya di sana karena faktor kesengajaan. Dion mengetahui D
"Itu bukan urusanm, Sarah! Sebab, semuanya sudah berakhir sejak kepergianmu!" tegas Devan, pria itu beranjak dari duduknya, dan melangkah pergi begitu saja. Berlalunya Devan dari dalam restorant--turut membawa pandangan Sarah yang terus mengkiuti langkah kaki Devan, sampai sosok itu benar-benar menghilang dari pandangannya. Api amarah benar-benar membarah di dalam diri Sarah, dia merasa harga dirinya begitu terinjak. Devan yang dulu begitu mencintai, Devan yang dulu memuja, dan menyanjungi dirinya, kini sikap pria itu berubah 180 derajat, dan itu tidak bisa diterima oleh Sarah. Apa lagi pesona seorang Devan kian terpancar, sejak dia menduduki posisi penting di Wijaya Group, dan itu semakin menambah keinginan Sarah untuk dapat kembali bersama mantan kekasihnya. "Kita, lihat saja. Cepat, atau lambat, kau pasti akan kembali bersamaku!" gerutu Sarah, ada lengkungan kecil disudut kiri mulut wanita itu. *** *** Devan telah kembali berada di hotel. Suasana hatinya yang sedang tidak ba
Kalimat yang mengalir dari mulut Dion--menyalahkan api yang sudah ada di dalam diri Devan-semakin saja membara. Jelas dia tidak terima--dengan terang-terangan pria itu mengatakan kalau dia menyukai, bukan hanya sekedar suka namun-juga mencintai istrinya. Amarah telah meletus, Devan lepas kontrol. Kembali dia akan melayangkan sebuah bogeman di wajah Dion. Namun, baru saja akan mendarat kepalan tangan itu-ada sebuah tangan kekar yang menahannya. Gagal. "Jangan, lakukan ini-Tuan. Ini bisa merusak citra, anda. Saat ini ada banyak orang yang tengah memperhatikan anda!" ujar Deni memperingati, namun wajahnya mengkerut--sebab dia mengerahkan semua tenaga dalam diri, karena Devan tetap memaksa bungkusan tangannya agar mendarat di wajah Dion. "Aku-tidak perduli! Dia benar-benar, sudah melatih kesabaranku!" geram Devan, pria itu kian menambah tenaganya--agar pukulan itu bisa mencapai sasaran. "Tuan, pikirkan Nona Rania! Lihatlah, dia begitu sedih!" ujar Deni, mendapati Rania yang menat
Marah, shyok, itulah gambaran dari wajah Papa Hendra, Rasty, dan juga mama Anita saat ini. Mereka sangat kaget--setelah mendengar kalimat bernada ancaman dari mulut kakek Darma, dan ternyata musibah itu disebabkan karena Rania. Amarah telah menyeruak dari dalam diri Mama Anita, dan Rasty. Pasangan ibu dan anak itu, sudah terbakar oleh emosinya. "Jadi, semua ini karena anak sialan, itu?!" cecar Mama Anita, dadanya kembang-kempis, wajahnya mengeras akan emosinya yang teramat sangat, "Rasty!" panggil mama Anita kemudian, masih dengan nada yang sama. "Telepone, Rania! Bagaimanapun, dia harus mengetahui hal ini!" Masih dengan nada suara yang penuh dengan emosi, Mama Anita memerintah Rasty. "Sudahlah, Maa," gumam papa Hendra dengan lirih, mendapati emosi sang istri pada Rania- dia nampak sedih. "Sudah, bagaimana?! Semua kekacauan ini karena dia. Dan, bagaimana pun anak itu harus mengetahuinya-kalau tidak Darma Wijaya akan datang lagi, dan menghancurkan dagangan kita. Memang papa mau,
Tak ada yang mengetahui kesedihan yang dia rasakan, sebab saat ini dirinya hanya seorang diri. Devan. Pria itu sedang tidak berada di hotel, dia tengah pergi bersama Deni--menghadiri sebuah acara amal. Gunda yang melanda, Rania memutuskan menghabiskan waktunya dipinggir pantai. Duduk-dengan kedua kaki yang dia tekukkan, menopang ujung dagunya di atas sana--menatap keindahan pantai dimalam hari, dengan gulungan ombak yang cukup besar. Suasana sunyi yang menyelimuti, kian menarik Rania--hanyut dalam duka laranya. Airmata yang sudah mengering, kini kembali tumpa membanjiri kedua pipi. Rania sesegukan, tangisnya terdengar pilu dan sungguh--menyayat di hati. "Rania---." Suara bariton yang mendengung di-indera pendengarannya memaksa Rania untuk berpaling. Wanita berlesung pipi itu tercengang, begitu mendapati adanya Dion. Mengingat pesan Devan, yang tidak menginginkan dirinya dekat dengan mantan anak buahnya itu, Rania beranjak dari duduknya-menghapus jejak basah yang masih ada