"Kenapa, Mas? Mas Langit sibuk? Nggak balas pesan?" Senja ikut bertanya saat melihat Bayu yang duduk di depannya tampak gelisah. "Mungkin sedang rapat, Mbak. Jadi, handphonenya dimatikan." "Rapat? Oh, seorang supir ikut rapat juga?" sindir Senja sembari menghela napas panjang. Wajah Bayu dan Bagas ikut menegang mendengar sindiran itu. Mereka tahu jika saat ini perasaan Senja memang campur aduk. Tak biasanya dia bicara seketus itu pada mereka. "Gimana?" Bagas menggerak-gerakkan bibirnya agar tak terdengar oleh Senja dan Anwar. Bayu menggeleng pelan sambil bilang," Ceklis satu." Setelah itu keduanya sama-sama menghela napas panjang. Sampai rumah sakit, Senja membantu bapaknya turun lalu duduk di kursi roda. "Makasih sudah mengantar kami, Mas. Pulangnya nggak usah ditunggu atau dijemput, kami bisa pulang sendiri. Sekali lagi terima kasih," ujar Senja sembari sedikit membungkukkan badan. Senyum yang biasanya selalu terlukis di bibirnya tiap kali, kini seolah hilang seketika. Bayu
"Kenapa diam saja?" Langit bertanya lembut saat sepasang suami istri itu meninggalkan area rumah sakit. "Nggak apa-apa." Senja tak menoleh, dia memilih menatap ke luar jendela. Meski tak ingin membuat suaminya kesal dengan sikapnya, tapi untuk pura-pura baik-baik saja memang tak semudah itu. "Justru nggak apa-apa itu berarti ada apa-apa. Ayo ngomong kenapa diam seperti itu?" Lagi-lagi Langit sengaja pura-pura tak tahu apa alasan istrinya terlihat begitu kesal. "Katanya nggak bisa pulang sampai beberapa hari ke depan. Kenapa sekarang pulang?" "Memangnya nggak suka kalau suaminya pulang? Katanya kangen?" Langit tersenyum tipis, sementara Senja hanya memanyunkan bibirnya. "Sekarang ke salon dulu, gimana?""Mau ngapain ke salon? Dari dulu nggak pernah nyalon," balas Senja lagi. "Justru karena itu, mulai sekarang boleh ke salon kapanpun kamu mau, Sayang." "Nggak ah, nanti duit kamu habis. Kan katanya gaji supir nggak terlalu banyak," sindir Senja sembari melirik suaminya. Langit k
"Izin cium." Langit berujar lirih sembari tersenyum setelah berhasil mencium bibir istrinya. Senja masih membisu. Dia cukup shock mendapatkan kejutan tak terduga itu. "Kalau cuma pelampiasan, nggak akan seperti itu. Aku tulus. Kamu harus percaya itu." Langit membingkai wajah istrinya dengan kedua telapak tangan. Nyaris kembali mencium bibir itu andai Senja tak menutup wajahnya dengan telapak tangan. Langit terkekeh melihat wajah istrinya yang memerah dan terlihat salah tingkah. "Kamu terbiasa begitu, Mas?" tanya Senja setelah Langit kembali membenarkan letak duduknya. "Terbiasa apa? Cium bibir?" "Iya. Itu kan yang baru kamu lakukan." "Nggak terbiasa.""Berarti pernah?" "Pernah dong. Kamu juga pernah kan barusan." "Issh, maksudnya sama perempuan lain." "Hmmm ....""Sama Tasya itu?" tanya Senja ingin memastikan. "Sering? Sudah terbiasa?" cecarnya. "Sekali, dua kali.""Astaghfirullah." "Itu masa lalu, Sayang. Nggak perlu diungkit. Aku juga sudah lupa bagaimana rasanya. Lagipu
Langit memeluk istrinya beberapa saat sampai dia terlihat lebih tenang. Setelah mengurus pembayaran, Langit ngajak Senja kembali ke mobil. Setelah memakaikan seat belt pada istrinya, Langit mulai melajukan mobil itu ke arah cafe langganannya. "Kamu nggak apa-apa kan, Sayang?" Langit bertanya sembari mengusap pelan puncak kepala Senja saat mobil berhenti di lampu merah. "Tasya telepon kamu, Mas." "Ohya? Kamu terima panggilannya kan? Sudah kuduga dia pasti telepon lagi." Kali ini Senja menoleh lalu menatap lekat suaminya. "Jadi, kamu sudah tahu kalau dia akan meneleponmu, Mas? Atau memang sering begitu?" "Dia pakai nomor baru. Nomor yang lama sudah kublokir, Sayang. Dia memang sering telepon, tapi hanya sekali kuterima. Itupun awalnya karena tak tahu itu nomor barunya." "Terus?" "Sengaja aku kasih handphone itu ke kamu karena yakin dia pasti telepon lagi. Biar dia tahu kalau saat ini aku sudah punya istri dan sudah bahagia sama kamu." Langit menoleh sembari tersenyum lalu mulai
"Maaf saya nggak bisa melanjutkan acara ini. Pernikahan saya dengan Senja sebaiknya dibatalkan saja," ucap mempelai laki-laki itu dengan tegas. Wajahnya tak menampakkan penyesalan, justru terlihat lebih lega dan tenang. Di sudut lain, mempelai wanita dengan gaun putih gadingnya yang elegan tampak menitikkan air mata. Apalagi saat para tamu undangan mulai riuh, bergosip, berbisik bahkan ada yang mulai menyalahkannya. "Apa maksudmu bicara seperti itu, Di? Kenapa nggak bilang jauh-jauh hari kalau memang ingin membatalkan pernikahan ini? Kasihan Senja kamu perlakukan seperti ini," ungkap laki-laki yang duduk di kursi roda itu. Anwar, dia adalah bapak kandung mempelai perempuan. "Maafkan saya, Om. Saya benar-benar nggak sanggup menikah dengan anak sulung, Om. Tapi Om Anwar tak perlu risau, saya akan tetap menjadi menantu Om jika Om mengizinkan saya menikah dengan Abel." Istighfar terdengar nyaris bersamaan di ruangan itu. Anwar pun berkaca-kaca. Ingin rasanya mengamuk dan memaki, t
"Kamu benar-benar keterlaluan, Adi. Teganya memperlakukan Senja seperti ini. Apa kamu tak tahu bagaimana posisinya sebagai tulang punggung keluarga? Bagaimana mungkin kamu bisa membandingkan dia dengan Abel hanya karena masalah cantik dan modis. Meski mereka sama-sama anak bapak, jelas tanggungjawab mereka berbeda. Abel hanya sibuk kuliah dan kehidupannya sebagai anak muda, sementara Senja sibuk kerja demi memenuhi kebutuhan keluarga. Nyaris lima bulan kalian dijodohkan bersama, seharusnya kamu tahu bagaimana kehidupan kami sebenarnya. Tak pantas kamu memperlakukan anakku seperti ini!" pungkas Anwar begitu geram. Wajahnya merah padam, emosinya meledak seketika. "Maafkan saya, Om. Ini hanya ungkapan perasaan saya yang sebenarnya dan saya hanya berusaha jujur seperti permintaan Senja. Maaf jika kata-kata saya melukai hati Om ataupun Senja." "Cukup, Adi. Ibu juga nggak mau mendengarnya," lirih Kalina yang merasa begitu bersalah pada Senja dan keluarganya. "Bapak ini gimana sih? Itu
"Siapa dia?" Suara itu terdengar sahut menyahut. Pandangan mereka beralih pada Senja yang masih bergeming di tempatnya. Dia sendiri tak mengenali laki-laki itu, bahkan dia merasa baru kali ini bertemu dengannya. "Kamu kenal dengannya, Ja?" tanya Anwar pada anak sulungnya yang masih tampak shock.Senja menggeleng pelan. "Kenapa dia tahu namamu? Bahkan izin menikahimu?" Anwar begitu penasaran sosok laki-laki yang tiba-tiba melamar anak kesayangannya itu. "Senja benar-benar nggak tahu, Pak. Senja juga nggak kenal bahkan sepertinya baru kali ini bertemu dengannya," balas Senja lagi begitu meyakinkan. "Nah kan. Ternyata ada lelaki lain yang dekat dengan Mbak Senja selain kamu loh, Mas. Jangan-jangan mereka berselingkuh di belakangmu. Keputusanmu memang tepat meninggalkan dia. Jadi, kamu tak perlu merasa bersalah sudah membatalkan pernikahanmu dengannya," timpal Adel dengan senyum liciknya, seolah kesempatan baginya untuk menjelekkan Senja lagi. Adel memang tak terima menjadi bahan ce
"Maaf kalau saya belum mempersiapkan mahar terbaik untuk Senja." Langit kembali menambahkan, mengabaikan olok-olok Abel dan Adi."Nggak apa-apa. Yang penting ada maharnya. Kalau Senja gimana? Ridho dengan mahar itu? Yakin kalau pernikahan ini tak salah?" Penghulu yang sedari tadi menyaksikan keributan di rumah itu pun ikut berkomentar."InsyaAllah yakin, Pak.” Senja tersenyum tulus. “Saya ridho dengan mahar apapun dan berapapun. Lagipula bukankah sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah atau ringan?" Ucapan Senja membuat Langit menatap wanita itu, lalu tersenyum lembut."Kamu benar. Setidaknya bukan hal yang menyulitkan salah satu pihak." Penghulu kembali menimpali. Anwar pun mengangguk."Duh. Beda ya. Yang satu bisa kasih mahar satu motor dan perhiasan 20 gram, nggak berat buat Adi,” bisik salah seorang kerabat. “Yang satunya cuma bisa pakai recehan.”"Ya iya. Kan Abel cantik, wajar Adi membuktikan cintanya dengan mahar yang pantas," sahut yang lain."Lagipula Adi memang nia
Langit memeluk istrinya beberapa saat sampai dia terlihat lebih tenang. Setelah mengurus pembayaran, Langit ngajak Senja kembali ke mobil. Setelah memakaikan seat belt pada istrinya, Langit mulai melajukan mobil itu ke arah cafe langganannya. "Kamu nggak apa-apa kan, Sayang?" Langit bertanya sembari mengusap pelan puncak kepala Senja saat mobil berhenti di lampu merah. "Tasya telepon kamu, Mas." "Ohya? Kamu terima panggilannya kan? Sudah kuduga dia pasti telepon lagi." Kali ini Senja menoleh lalu menatap lekat suaminya. "Jadi, kamu sudah tahu kalau dia akan meneleponmu, Mas? Atau memang sering begitu?" "Dia pakai nomor baru. Nomor yang lama sudah kublokir, Sayang. Dia memang sering telepon, tapi hanya sekali kuterima. Itupun awalnya karena tak tahu itu nomor barunya." "Terus?" "Sengaja aku kasih handphone itu ke kamu karena yakin dia pasti telepon lagi. Biar dia tahu kalau saat ini aku sudah punya istri dan sudah bahagia sama kamu." Langit menoleh sembari tersenyum lalu mulai
"Izin cium." Langit berujar lirih sembari tersenyum setelah berhasil mencium bibir istrinya. Senja masih membisu. Dia cukup shock mendapatkan kejutan tak terduga itu. "Kalau cuma pelampiasan, nggak akan seperti itu. Aku tulus. Kamu harus percaya itu." Langit membingkai wajah istrinya dengan kedua telapak tangan. Nyaris kembali mencium bibir itu andai Senja tak menutup wajahnya dengan telapak tangan. Langit terkekeh melihat wajah istrinya yang memerah dan terlihat salah tingkah. "Kamu terbiasa begitu, Mas?" tanya Senja setelah Langit kembali membenarkan letak duduknya. "Terbiasa apa? Cium bibir?" "Iya. Itu kan yang baru kamu lakukan." "Nggak terbiasa.""Berarti pernah?" "Pernah dong. Kamu juga pernah kan barusan." "Issh, maksudnya sama perempuan lain." "Hmmm ....""Sama Tasya itu?" tanya Senja ingin memastikan. "Sering? Sudah terbiasa?" cecarnya. "Sekali, dua kali.""Astaghfirullah." "Itu masa lalu, Sayang. Nggak perlu diungkit. Aku juga sudah lupa bagaimana rasanya. Lagipu
"Kenapa diam saja?" Langit bertanya lembut saat sepasang suami istri itu meninggalkan area rumah sakit. "Nggak apa-apa." Senja tak menoleh, dia memilih menatap ke luar jendela. Meski tak ingin membuat suaminya kesal dengan sikapnya, tapi untuk pura-pura baik-baik saja memang tak semudah itu. "Justru nggak apa-apa itu berarti ada apa-apa. Ayo ngomong kenapa diam seperti itu?" Lagi-lagi Langit sengaja pura-pura tak tahu apa alasan istrinya terlihat begitu kesal. "Katanya nggak bisa pulang sampai beberapa hari ke depan. Kenapa sekarang pulang?" "Memangnya nggak suka kalau suaminya pulang? Katanya kangen?" Langit tersenyum tipis, sementara Senja hanya memanyunkan bibirnya. "Sekarang ke salon dulu, gimana?""Mau ngapain ke salon? Dari dulu nggak pernah nyalon," balas Senja lagi. "Justru karena itu, mulai sekarang boleh ke salon kapanpun kamu mau, Sayang." "Nggak ah, nanti duit kamu habis. Kan katanya gaji supir nggak terlalu banyak," sindir Senja sembari melirik suaminya. Langit k
"Kenapa, Mas? Mas Langit sibuk? Nggak balas pesan?" Senja ikut bertanya saat melihat Bayu yang duduk di depannya tampak gelisah. "Mungkin sedang rapat, Mbak. Jadi, handphonenya dimatikan." "Rapat? Oh, seorang supir ikut rapat juga?" sindir Senja sembari menghela napas panjang. Wajah Bayu dan Bagas ikut menegang mendengar sindiran itu. Mereka tahu jika saat ini perasaan Senja memang campur aduk. Tak biasanya dia bicara seketus itu pada mereka. "Gimana?" Bagas menggerak-gerakkan bibirnya agar tak terdengar oleh Senja dan Anwar. Bayu menggeleng pelan sambil bilang," Ceklis satu." Setelah itu keduanya sama-sama menghela napas panjang. Sampai rumah sakit, Senja membantu bapaknya turun lalu duduk di kursi roda. "Makasih sudah mengantar kami, Mas. Pulangnya nggak usah ditunggu atau dijemput, kami bisa pulang sendiri. Sekali lagi terima kasih," ujar Senja sembari sedikit membungkukkan badan. Senyum yang biasanya selalu terlukis di bibirnya tiap kali, kini seolah hilang seketika. Bayu
"Mas kenal dengan perempuan ini? Apa mereka memang punya hubungan dekat sebelumnya?" tanya Senja sembari menunjukkan foto itu pada Bayu. Bayu tercekat. Dia menelan ludah seketika lalu melirik Bagas yang masih fokus pada gagang stirnya. "Kenal, Mas? Siapa dia?" ulang Senja membuat Bayu menghela napas panjang. "Mantan kekasihnya Mas Langit, Mbak. Tapi mereka sudah nggak berhubungan kok. Sudah putus tiga tahun lalu. Mereka-- "Oke, Mas. Makasih infonya ya." Senja menarik handphonenya yang terulur ke arah Bayu lalu kembali menyandarkan badannya ke sofa. Mendengar kata mantan kekasih, pikiran Senja semakin kemana-mana. Senja semakin merasa jauh dan asing karena tak mengenali siapa suaminya sendiri. Jangankan soal hidupnya di masa lalu, bahkan hidupnya saat ini pun Senja tak tahu. Dia hanya bisa meraba-raba, menduga lalu bertempur dengan perasaan dan hatinya sendiri yang tak setuju dengan prasangka itu. Terlalu banyak hal yang mencurigakan dan memang pantas dipertanyakan, tapi tiap kal
"Sarapan dulu, Pak. Setelah ini Senja ajak bapak kontrol ya?" ujar Senja saat menyiapkan sarapan di meja makan. Susan muncul dari kamar sembari membenarkan kuncir rambutnya yang panjang. "Masak apa kamu?" tanya Susan singkat lalu mengambil air dingin di kulkas. "Masak sayur bayam sama ayam goreng, Bu. Ada tempe sama tahu goreng juga itu.""Suamimu nggak pulang semalaman?" bisik Susan semakin penasaran. Senja menoleh lalu menggeleng pelan. "Lihat tuh, Pak. Menantu kesayangan bapak itu benar-benar nggak pulang semalam. Jangan-jangan dia memang punya pekerjaan lain atau-- "Mas Langit memang banyak urusan, Bu. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dulu, setelah selesai dia baru pulang. Mungkin sampai beberapa hari ke depan. Ibu tenang saja, semalam Senja sudah tanya soal pekerjaan Mas Langit. Dia bilang kerjaannya halal kok, bahkan dia bersumpah nggak akan kasih istri dan anaknya duit haram. Ibu jangan terlalu banyak pikiran, takutnya tensi ibu naik lagi." Senja menoleh sesaat lalu kemb
"Aku berangkat dulu ya, Bu. Nanti pulangnya kubawakan oleh-oleh deh." Abel berpamitan pada ibu dan bapaknya. Dia bilang mau honeymoon di Bali bersama sang suami. "Jangan iri ya, Mbak. Aku mau honeymoon, sementara kamu malah ditinggal suami kerja. Mau kasihan, tapi gimana namanya cari duit kan nggak apa-apa. Daripada nggak punya duit, nggak ada salahnya kerja meski baru saja akad nikah." Abel kembali melirik sinis lalu menggamit lengan suaminya. "Kamu juga hati-hati, Bel. Jangan terlalu foya-foya, takutnya suamimu banyak hutangnya. Sesuaikan sama pendapatan suami. Jangan besar pasak daripada tiang nanti roboh rumahmu." Senja menyahut. Dia sudah bertekad tak akan mengalah lagi pada adiknya. Terlalu banyak pengorbanannya selama ini, tapi tak sedikitpun dianggap ada. Sudah saatnya memberontak daripada terus diinjak. Senja merasa, sesekali Abel memang harus di-skak. "Mbak! Suamiku nggak seperti suamimu yang supir itu ya!" sentak Abel lagi lalu menoleh pada suaminya yang hanya tersenyum
[Mas, sudah bangun? Hampir subuh] Sebelum adzan subuh berkumandang, Senja sudah mengirimkan pesan pada suaminya. Seolah seperti alarm yang mengingatkannya tentang shalat. Langit meraba handphone yang dia letakkan di atas meja di samping pembaringan. Kedua matanya masih memicing sembari menyalakan lampu utama. Saat melihat pesan dari istrinya, kedua matanya berbinar. Kantuk yang sedari tadi menyelimuti kelopak matanya mendadak hilang seketika. [Baru bangun, Sayang. Dengar pesan dari kamu ini jadinya kebangun. Ada apa, Sayang? Kangen?] Langit membalas pesan itu dengan hati berbunga. Meski dia tahu, Senja belum sepenuhnya mencintainya dan sikap-sikapnya selama ini hanya bentuk baktinya pada suami, tapi Langit yakin dengan ketulusannya hati Senja akan luluh juga. [Sedikit sih, Mas. Jangan lupa shalat subuh berjamaah di masjid ya, Mas. Entah mengapa hatiku sedikit tak tenang. Kamu baik-baik saja di sana kan, Mas?] Lagi-lagi Langit tersenyum saat membaca balasan dari istrinya itu. Har
"Woi! Ngapain kamu di situ?! Keluar!" sentak Langit saat melihat Tasya masuk ke kamarnya lalu menutup pintu rapat. Dia teramat kaget. Baru saja meletakkan handphonenya kembali ke atas meja, tiba-tiba muncul perempuan yang teramat dibencinya itu. Tasya masih berdiri di tempat. Dia tersenyum tipis dan tak mempedulikan perintah Langit barusan. "Keluar kubilang! Jangan gila!" sentak Langit sembari menuding wajah Tasya yang semakin mendekat. Perempuan itu semakin menjadi. Langit benar-benar tak mengerti mengapa perempuan yang dulu dicintainya itu berubah sedrastis ini. Bahkan dia seperti tak mengenali Tasya lagi. Sikapnya berubah. Tak lagi lembut seperti dulu. Tak lagi kalem dan sopan, tapi sebaliknya. Kini Langit mulai berpikir apakah dulu Tasya hanya bersandiwara di depannya, atau memang inilah sifat aslinya? Entah. "Mau ngapain kamu?!" Langit melipat kedua tangannya ke dada sembari menatap lurus ke depan. Tasya tak membalas pertanyaan-pertanyaannya. Wajahnya memerah, marah. Dia ce