[Rin, gimana kabarnya? Kamu baik-baik saja kan? Semalam aku mimpiin kamu, Rin. Makanya, pagi-pagi begini sudah ganggu. Maaf yaa] Pesan dari Senja baru saja masuk ke aplikasi hijau milik Ririn. Ririn mengambil benda pipih itu di meja riasnya. Senyum tipis terlukis di kedua sudut bibirnya saat membaca pesan itu. Senja. Hanya dia teman Ririn selama ini. Hanya dia pula tempatnya berkeluh kesah karena Ririn tak berani cerita apapun tentang kehidupannya berumah tangga pada sang ibu. Ririn tak ingin membebani ibunya dengan masalah rumah tangganya. Sebisa mungkin, di depan ibunya Ririn berusaha baik-baik saja dan terlihat bahagia. Meski dalam hati lukanya semakin lama semakin menganga. Baginya, yang penting ibunya tak tahu bagaimana rasa sakitnya selama ini agar hipertensinya tak kambuh-kambuh lagi. [Alhamdulillah baik, Ja. Aku sehat kok. Cuma ya begitulah, kamu tahu sendiri bagaimana suami dan mertuaku. Makin lama makin menjadi. Tapi, nggak apa-apa. Mungkin memang seperti inilah takdirku.
Hari terus berganti. Rumah tangga Rama dan Ririn semakin lama bukannya semakin membaik justru semakin buruk. Bahkan Rama terlihat mulai sering pulang telat dengan alasan lembur. Ririn yang mulai jengah dengan pernikahannya sendiri pun tak terlalu merisaukan hal itu. Dia fokus dengan rencananya sendiri untuk menyiapkan diri dan menyiapkan dana sebelum benar-benar pergi. "Suami kalau sering pulang telat dan lebih senang di kantor daripada di rumah, artinya dia nggak nyaman dengan keadaan rumah. Alasannya pasti karena istrinya nggak bisa memberikan kenyamanan saat dia berada di rumah. Makanya, dia cari kenyamanan di tempat lain." Rukayah kembali menyindir saat Ririn sibuk membuat bubur kacang hijau di dapur. Tak peduli dengan sindiran ibu mertuanya, Ririn tetap dengan kesibukannya sendiri. Dia menganggap ocehan itu tak ada daripada sakit hati setiap hari. "Jangan salahkan suami kalau kepincut perempuan lain di luar sana. Istrinya di rumah saja nggak bisa kasih kenyamanan buat dia." R
"Sial! Bisa-bisanya dia mengancamku begitu! Makin kurang ajar dia!" oceh Rama setelah melihat istrinya pergi. "Kamu kenapa, Ram? Mukamu nggak enak dipandang begitu," tanya Rukayah saat kembali ke rumah. Dia baru saja membeli ikan dan kangkung dari tukang sayur di seberang jalan. "Ririn, Bu. Ngancam cerai segala kalau memang ibu pengin cucu." Rama menghela napas panjang sembari memakai sepatu pantofelnya. "Bagus dong, Ram. Lagian ngapain sih kamu masih mempertahankan perempuan mandul sepertinya? Nggak ada dia di rumah ini juga nggak masalah. Ibu justru senang karena nggak ada lagi yang bikin hipertensi," balas Rukayah dengan senyum lebar. "Nggak semudah itu, Bu. Kalau dia beneran pergi, memangnya siapa yang bakal jagain ibu? Siapa yang bakal beberes rumah dan mengurus semua keperluanku?" Rukayah menoleh lalu duduk di teras rumah bersama anak lelakinya itu. "Jangan bodoh kamu, Ram! Kalau Ririn pergi, kamu bisa menikah lagi dengan perempuan yang lebih subur. Dia bisa menggantikan R
Mentari mulai menyinari bumi dengan hangat. Orang-orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang berangkat sekolah, pergi bekerja, beberes rumah dan ada pula yang baru beranjak dari ranjang. Itu pula yang dilakukan Ririn lagi ini. Dia sengaja membuat mertua dan suaminya heboh sebab sejak shalat subuh, Ririn tak lagi keluar kamar. Berulang kali suaminya menggoyang tubuhnya agar lekas bangun dan membuat sarapan seperti biasanya, berulang kali pula Ririn pura-pura tidur. Dia bilang kurang enak badan dan butuh istirahat. Melihat ulah menantunya pagi ini, Rukayah meradang. Beragam ocehan sudah dia keluarkan sejak pagi, bahkan sudah sampai menyeberang ke rumah tetangga segala. Tapi, hal itu tak membuat Ririn sakit hati seperti biasanya. Dia sudah mulai membiarkan kebiasaan mertuanya itu dan menganggap ocehannya angin lalu belaka. Mulai sekarang, Ririn ingin membahagiakan diri sendiri dan tak terlalu peduli dengan mertua dan suaminya, sebab mereka yang lebih dulu membuatnya terluka
"Sudah tiga tahun lebih loh, Ram. Istrimu belum hamil juga. Ibu malu sama tetangga. Mereka sudah pada gendong cucu, sementara ibu? Istrimu aja nggak hamil-hamil sampai sekarang. Jangan-jangan dia mandul!" Saat ini, Ririn sudah berada di kamarnya. Namun, dia belum memejamkan mata sedari tadi. Pikirannya tak tenang, entah karena apa. Dia hanya guling-guling di kasur sembari menunggu suaminya masuk kamar. Sayangnya, sampai jam sebelas malam, Rama masih di ruang tengah bersama ibunya. "Aku juga kepikiran soal itu, Bu. Tapi mau gimana lagi? Kalau program hamil ke dokter gitu biayanya mahal. Lagipula Ririn sudah di rumah. Dia nggak sibuk kerja. Harusnya kondisinya lebih fit dong." Rama membalas. "Ibu nggak nyalahin kamu, Ram. Ibu justru kesal sama istrimu itu. Sudah enak nggak kerja kaya perempuan-perempuan lain di luar sana, tapi ternyata percuma. Sampai sekarang dia belum hamil juga. Bahkan tiap hari bikin tensi ibu naik. Mungkin istrimu senang kalau lihat ibu mati," balas Rukayah deng
Bakda subuh, Ririn sudah berkutat di dapur untuk membuat sarapan. Setelah ayam goreng dan sayur asemnya selesai, Ririn membuat sambal. Semua sudah terhidang di meja makan. Hanya ada tiga potong ayam goreng di piring, sesuai dengan jumlah penghuni rumah itu. Semua memang harus diperhitungkan karena nyatanya Ririn tak mendapatkan tambahan uang belanja. Sering kali dia memakai uang pribadinya sebagai reseller dagangan tetangganya untuk menambal kebutuhan dapur. Hal itu dia lakukan agar tak memiliki hutang di warung. Demi nama baik suaminya yang konon sebagai pekerja kantoran dengan gaji besar. Ririn tak ingin nama baik suaminya menjadi buruk di mata para tetangga. Berusaha menyembunyikan rasa sakit dan aib rumah tangganya sendiri. Hanya saja, akhir-akhir ini dia mulai lelah. "Bukannya nyapu atau ngepel malah duduk di sini. Lihat rumah tetangga, semuanya bersih. Nggak kaya rumah kita, ada penghuni tapi kaya rumah kosong. Banyak debu dan kotorannya!" tukas ibu mertua begitu sinis saat m