Suara ketukan pintu membuat Ririn yang sedang melipat pakaian di ruang tamu menoleh. Langkahnya sempat terhenti ketika pintu terbuka, menampilkan sesosok lelaki yang tak asing. Wicaksono tersenyum tipis lalu mengangguk pelan. Di belakangnya, Dimas berdiri dengan mata teduh yang menyiratkan beban besar. Ririn sempat kaget melihatnya karena ini pertemuan pertama mereka. "Assalamu’alaikum .…" Suara Wicaksono dalam, berusaha terdengar tenang."Wa’alaikumussalam." Ririn menjawab pelan, sedikit ragu. Matanya menatap bergantian pada dua lelaki di depannya. "Pak Wicaksono yang tempo hari-- Ririn tak melanjutkan kalimatnya setelah melihat anggukan Wicaksono yang membenarkan pertanyaannya. Ririn mulai tak tenang dan bertanya-tanya kenapa Wicaksono kembali datang dengan lelaki asing pula. Dia percaya ini tak sekadar bersilaturahmi biasa yang pernah dijanjikannya. "Silakan duduk, Pak. Maaf lumayan berantakan karena belum beberes," ujar Ririn lagi. Dia mempersilakan dua tamunya untuk masuk da
Rama menyalakan mesin mobil dengan kasar. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Di sebelahnya, Bu Rukayah duduk diam sambil sesekali melirik putranya yang mengemudi dengan kecepatan tinggi.Suasana mobil mencekam, hanya terdengar deru mesin dan napas berat Rama yang terdengar seperti mendidih."Apa-apaan ini, Bu?!" Rama akhirnya membuka suara dengan nada meledak. "Kita udah datang jauh-jauh ke sini buat minta maaf, tapi Ririn tetap nggak mau balik! Dia malah ngusir kita!" ujar Rama dengan suara meninggi. "Sabar dulu, Rama. Kita cari cara lain," balas Rukayah mencoba menenangkan."Sabar?! Sampai kapan aku harus sabar, Bu?! Dia masih sah menjadi istriku dan sekarang dia berani nolak aku mentah-mentah?! Di depan muka aku?! Dia pikir paling hebat apa?!" bentak Rama sambil membanting setir.Bu Rukayah memejamkan mata, menahan tangis. "Kalau Ririn nggak mau balik dan tetap bersikukuh memilih cerai, habislah kita, Bu." Rama kembali mengacak rambutnya kasar."Tenang saja. Langit nggak mungk
"Jangan sentuh aku, Mas!" Ririn menolak saat Rama ingin menarik lengannya. "Rin … aku mohon. Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku janji bakal jadi suami yang bener. Nggak akan selingkuh lagi, nggak akan kasar lagi. Aku siap keluar dari rumah ibu kalau itu yang kamu mau!" Suara Rama parau, hampir menangis.Ririn menatapnya tajam. "Kenapa nggak dari dulu, Mas? Kenapa baru sekarang setelah semuanya hancur? Setelah aku nggak punya rasa lagi? Dan setelah aku berpikir sekian kali sampai akhirnya memilih pergi?"Ririn menarik napas panjang, air matanya jatuh satu per satu. Tapi suaranya tetap tegas."Maaf. Aku nggak bisa balik, Mas. Aku nggak sanggup hidup sama orang yang udah hancurin hatiku berkali-kali. Selingkuh itu bukan salah ketik, Mas. Itu pilihan. Dan kamu udah milih Sonia. Aku tak tahu hubungan kalian sampai sejauh mana. Yang jelas, pesan-pesan kalian begitu mesra bahkan kalian juga sering bertemu. Jangan harap aku bisa percaya lagi. Sekarang, ajak ibu pulang karena aku nggak mau b
Pagi ini, Ririn sedang duduk di ruang tengah setelah sibuk berkutat di dapur bersama ibunya. Dia sudah selesai memasak soto, perkedel kentang dan ayam goreng. Ibunya pamit ke rumah tetangga setelah selesai sarapan bersamanya. Ririn yang biasanya duduk santai sembari berselancar ria di ponselnya, kini memilih menonton siaran televisi. Ponselnya dia taruh dieja dalam keadaan mati. Ririn malas mendapatkan pesan dan teror telepon dari Rama sejam semalam. Belasan pesan sengaja nggak dia baca saking capek dan bosan. Puluhan panggilan juga tak dia terima karena malas bertengkar. Handphone berdering nyaring sampai tak bersuara, dibiarkan mati dengan sendirinya. Malas dengan suara ponsel yang cukup mengganggu itulah, Ririn memilih menonaktifkan ponselnya sampai sekarang. Sambil menyeruput kopi, Ririn mencari channel yang cukup menarik ditonton. Namun, kedua matanya mengerjap pelan saat mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Tak selang lama, suara laki-laki dan perempuan terdengar di
Malam ini rumah keluarga Dimas di Jogja terasa berbeda. Setelah perbincangan mengejutkan dengan Wicaksono kemarin malam, tentang adiknya yang hilang beberapa tahun silam itu, hati Dimas masih campur aduk. Dia duduk di ruang keluarga, menatap kosong tas koper yang belum terisi.Raya-- istrinya, datang sambil membawa pakaian yang sudah dilipat."Mas … aku udah siapin beberapa baju. Kalau Mas jadi ke Jakarta, bawa ini aja," ujar perempuan itu lembut. Dimas menghela napas panjang, saat Raya duduk di sebelahnya. "Aku masih bingung, Raya," lirih Dimas. "Bingung kenapa, Mas?" Raya menatap lekat suaminya yang memijit kening. "Bagaimana perasaan Ririn nanti setelah aku cerita semuanya. Apa dia bakal menyalahkan kami atau--Kalimatnya terhenti. Dimas mengingat kembali beberapa potongan memori di masa lampau saat masih bersama Ririn kecil.Raya mengusap kening suaminya, menawarkan segelas teh hangat di meja lalu kembali menatap lembut. "Mas, kamu nggak boleh terus menerus merasa bersalah da
Wicaksono dan Dimas yang duduk di teras rumah bertingkat itu sama-sama terdiam beberapa saat. Mereka baru mulai kembali bicara saat Raya meletakkan dua cangkir kopi di meja. Wicaksono duduk tenang lalu menatap Dimas dalam-dalam. "Om rasa dia memang adikmu, Dim. Orang suruhan Om sudah cari tahu siapa keluarga Susanti dan bagaimana kehidupannya. Mereka bilang Ririn memang bukan anak kandung Susanti. Ririn diajak Susanti ke Jakarta saat usianya nyaris lima tahun. Saat itulah dia baru mengurus dokumen-dokumen untuk Ririn." Dimas masih bergeming, sementara Raya yang menguping pembicaraan mereka pun mulai bertanya-tanya. Mungkinkah anak yang hilang nyaris seperempat abad silam bisa ditemukan kembali? Jika itu benar, artinya dia akan memiliki adik ipar perempuan. Beragam tanya masih lalu lalang di benak Raya, namun dia tak berani mengungkapkannya. Kini dia hanya berharap jikalaupun itu benar, semoga saja Ririn tipe ipar yang menyenangkan. "Apa benar dia masih hidup, Om? Apa benar dia kemb