"Pergi atau kubawa kamu bertemu papamu di penjara!" ancam Langit kemudian membuat Luna terbelalak seketika. Luna tampak gugup. Tak hanya dia, para karyawan pun shock mendengarnya. Mereka mulai saling bisik dan penasaran apa yang sebenarnya terjadi di antara Luna dan bosnya itu. Karena tak biasanya Langit sampai semarah itu pada karyawannya, apalagi dengan Luna yang tak lain anak sahabat sekaligus orang kepercayaan papanya. "Kamu mengancamku?!" Luna ingin memberontak kembali, tapi kedua tangannya digenggam erat oleh Bayu. Luna tak bisa berkutik. Dia hanya bisa menghela napas kasar sembari menatap tajam Langit. "Sekali lagi membuat onar, apalagi menyakiti istriku, aku nggak akan segan mengirimmu ke penjara bersama papamu!" sambung Langit penuh penekanan. Luna berteriak cukup kencang di kamarnya lalu mengacak rambut kasar. Tak hanya itu saja, dia pun melempar barang ke segala arah tiap kali mengingat momen memalukan semalam itu. Luna benar-benar geram melihat sikap Langit yang menuru
"Sayang ...." Langit mengusap pelan puncak kepala istrinya dengan gemas. Setelahnya Senja minta agar para tamu itu menikmati suasana dan hidangan yang disediakan. "Ini acara kita. Jadi, santai saja dan nikmati hidangan yang tersedia. Kalau masih banyak sisa, silakan dibawa pulang. Bebas saja yang penting habis tak bersisa biar nggak mubadzir ya?" ujar Langit menimpali sambutan dari istrinya. "Alhamdulillah bisa buat sarapan besok daripada ribet beli di luar." Salah seorang karyawan menyahut. "Kebetulan tanggal tua, belum gajian." Yang lain menyahut. "Betul itu. Mana menunya ramah di lidah. Bukan menu gedongan yang bukan selera gue." Senyum dan tawa kembali terdengar. Tak membuang waktu Langit dan Senja pun meminta mereka untuk bubar mencari kursi masing-masing dan menikmati hidangan. Suasana begitu meriah. Beberapa orang mulai bergerombol mencari meja dan pasangan untuk diajak ngobrol. Bayu dan Bagas pun ikut membaur bersama para karyawan, meninggalkan Langit dan Senja di meja p
"Mau kemana, Mas?" Senja terus bertanya saat Langit menutup matanya perlahan saat akan sampai di cafe Zayyan. "Kalau dikasih tahu sekarang namanya bukan kejutan, Sayang." "Penasaran, Mas. Mau kemana? Nggak balik ke rumah lagi kan ini?" seloroh Senja yang belum diperbolehkan membuka mata. "Maunya di rumah terus ya? Lebih seneng kejutan di kamar kayanya ini." Langit kembali menggoda, membuat wajah Senja merona seketika. Bagas dan Bayu yang duduk di kursi depan pun saling lirik lalu sama-sama menggeleng pelan. Sepertinya mereka mulai kebal dengan segala rayuan dan kebucinan bos mudanya itu. Setiap hari hanya itu lagi dan lagi yang didengar mereka tiap kali bersama. "Goda terus, Mas. Anggap saja kami berdua manekin," sindir Bayu yang kini menerima timpukan bantal mini bosnya. Sampai di depan Mentari Senja Cafe, Bagas segera memarkirkan mobil merah metalik itu. Langit pun membantu istrinya turun dari mobil dengan mata masih terpejam. "Pelan-pelan, Sayang." Langit berujar lirih. Sua
"Itu Om Erwin, Pa," tunjuk Langit setelah sampai di depan rumah bercat biru muda itu. Benar yang dikatakan Langit, Erwin memang masih berdiri di teras rumah sembari menggendong anak lelakinya. Sepertinya dia akan pergi dengan anak dan istri barunya itu. "Ayo turun sebelum mereka pergi." Langit mengangguk lalu meminta Bayu untuk mengambilkan kursi roda papanya di bagasi. Erwin cukup shock melihat kedatangan Dimas dan Langit ke rumah barunya. Dia tak tahu apa yang sebenarnya akan dilakukan oleh anak dan bapak itu. "Kami tunggu di luar saja, Pak. Sekalian mau merokok." Bayu membalas saat Erwin memintanya masuk ke ruang tamu. Bagas pun mengikuti jejak rekan kerjanya. Mereka menunggu di teras, sementara Langit dan Dimas duduk di ruang tamu. "Tumben kalian datang ke sini. Apa ada yang penting atau-- Erwin menghentikan kalimatnya saat istri barunya datang untuk mengajak anak lelakinya ke kamar. "Pak Dimas, Mas Langit," sapa Lenny, mantan sekretaris Erwin yang sebelumnya bekerja di kan
"Mau ke mana, Mas?" tanya Bagas sembari membukakan pintu mobil untuk Langit dan papanya. "Ke rumah baru Pak Erwin," ujar Dimas santai saat Langit membantunya duduk di kursi belakang. Bagas bergeming. Dia sedikit kebingungan, pasalnya tak tahu dimana rumah baru Erwin. Bagas hanya tahu rumah pertama Erwin karena dia pernah mengantar Langit ke sana beberapa kali. "Jalan Majapahit 5, Gas." Langit menutup pintu mobil lalu melangkah memutar arah menuju pintu lain. "Bayu mana, Gas? Belum datang?" tanya Langit sebelum menutup pintu mobilnya. "Sudah kok, Mas. Dia masih di toilet. Tunggu sebentar saya telepon dulu." Langit mengangguk lalu masuk ke mobil begitu saja, sementara Bagas masih berdiri di samping mobil itu sembari menghubungi Bayu. Setelah Bayu datang dengan tergesa, mereka pun pergi ke rumah Erwin. Lebih tepatnya ke rumah baru yang dia tinggali bersama istri barunya. "Rencana papa gimana? Langsung tembak begini begitu atau minta Om Erwin mengaku sendiri?" tanya Langit setelah
"Katanya papa nggak mau mengurus bisnis ini lagi. Mau sibuk mengejar akhirat biar tenang." Langit berujar sembari terus membolak-balik berkas itu satu persatu. "Kamu akan kesusahan dapatkan bukti ini di sana. Mereka lebih takut Erwin dibandingkan kamu, Lang." "Jadi, papa sudah tahu kalau semua karena Om Erwin? Sejak kapan papa tahu ini semua? Kenapa papa nggak bicara apa-apa?" Dimas menghela napas panjang lalu mengambil salah satu dokumen itu. "Sejak Erwin mulai menikah siri dengan mantan sekretarisnya dua tahun lalu. Papa tahu dia mulai menyeleweng, tapi papa kira dia akan berhenti seiring berjalannya waktu. Papa nggak tinggal diam kok, pernah bicara dengan dia berdua. Hanya saja saat itu dia bilang butuh duit untuk persalinan anaknya dan memang benar istri keduanya melahirkan. Papa memaafkan dan menganggap tak terjadi apapun. Erwin sepertinya juga mulai berbenah. Dia merencanakan sesuatu dengan sangat halus, termasuk soal proyek itu. Dia mendapatkan keuntungan cukup besar dari s