"Mas, aku hamil," ujarku dengan wajah biasa saja.
Mas Heri dan ibu menatapku bersamaan."Ah yang bener? bukannya kamu sering minum pil KB? kok bisa hamil," jawab Mas Heri.Tak ada raut bahagia yang terpancar, hal yang bisa membahagiakannya memang hanya uang dan harta."Sudah pasti kebobolan tuh, kamu sih ga hati-hati," sahut ibu, entah menyalahkanku atau Mas Heri."Kok bisa begitu sih," ujar lelaki yang bergelar suami itu.Aku hanya menelan ludah melihat tanggapannya yang biasa saja, padahal anak itu anugerah dalam pernikahan."Gagal deh rencana kita," bisik ibu tapi masih terdengar oleh telingaku."Rencana apa, Bu?" tanyaku ngegas.Entah mengapa kali ini aku tak bisa bersikap sabar seperti sebelumnya, kehadiran janin ini seolah menambah kekuatan dalam diri."Ga usah kepo!" jawab ibu tak kalah ngegas"Kamu punya rencana apa, Masbab 15. AAda bisikan dalam dada untuk mencegah dan menghajar mereka. Namun, di sisi lain aku pun berfikir jika sikap seperti itu tak ada gunanya, membiarkan Mas Heri menemui wanita itu mungkin akan mempercepat proses perpisahan kita, dan itu sangat menguntungkan untukku.Aku ingin mereka mendapatkan penyesalan yang terdalam saat sudah membuangku, sebuah penyesalan yang tak bertepi.Setelah selesai membuat pentol untuk jualan esok, jemariku bergulir membuka aplikasi belanja online, untuk menghindari diri dari lamunan yang tak berguna, aku belanja apa saja yang dapat menyenangkan hati."Amira, bangun sudah subuh."Sebuah tepukan di pipi membuat mataku mengerjap."Hei."Orang itu menepuk pipiku lagi, saat mata terbuka aku begitu terperangah ternyata ia Mas Heri, tumben sekali membangunkanku untuk salat subuh, biasanya ia akan begitu jika minta dibuatkan makanan karena lapar."Sudah adzan
Bab 15. B"Kondangan ke mana? tumben ngajak-ngajak," jawabku dengan nada santai."Ke temenku, nanti kamu pakai ini."Ia menyodorkan sebuah plastik putih berlogo toko pakaian, saat kubuka ternyata isinya sebuah gaun berwarna tosca."Ini buat aku?"Ia menganggukkan kepala."Beli baru atau dikasih orang?" tanyaku lagi"Baru lah, beres makan cobain muat apa engganya."Gaun berwarna tosca dan dihiasi banyak Payet berbentuk mutiara ini menempel sempurna di tubuhku, ukurannya sama sekali tak kebesaran atau kelonggaran."Hemm bagus, kalau kerudungnya pakai yang ini cocok?" tanyaya sambil menyodorkan kerudung pashmina warna putih."Cocok sih," jawabku dengan perasaan aneh.Ini kali pertama ia membelikanku baju, biasanya juga hanya memberikan uangnya saja, tak mau tahu cukup atau tidak ketika dibelanjakan."Ya udah pakai itu, sendalnya ada
Bab 16.AAku membalikkan badan lalu pergi meninggalkan mereka yang sedang berdampingan, dengan langkah tegak melangkah keluar padahal sebelumnya ada sepasang high heels yang menghambat perjalanan.Tapi kali ini kedua kakiku berjalan dengan mudahnya menuju keluar gedung nan megah ini, menghampiri motor di parkiran, beruntung sekali kuncinya aku yang pegang.Kutinggalkan Mas Heri di sini dengan wanita perus*k itu, sekarang berbahagialah, Mas. Ada saatnya kalian merasa hancur seperti yang kurasakan.Semenjak mengendarai motor ponselku berdering entah siapa yang menelpon, karena tak ingin kehilangan konsentrasi saat mengemudi kuabaikan saja panggilan itu."Nasya, kita nginep di rumah nenek yuk," pintaku pada gadis kecil yang sedang belajar di kamarnya.Ia mendongak menatap wajahku yang nampak sembab, ia sudah besar bisa membedakan antara tangisan dan kelilipan."Mama kenapa nangis? bukannya tadi pergi k
Bab 16. B"Ayo kita pergi, Sayang, dia bukan nenekmu." Kugenggam pergelangan Nasya menuju motor, memasukkan barang bawaan dan segera melajukannya.Hari ini kebetulan hari Jum'at ibu dan bapak pasti ada di rumah tak berjualan di pasar, begitu aku turun dari motor ibu langsung menyambut dengan senyuman hangat."Kok bawa barang-barangnya banyak banget?" tanya ibu, bapak pun menatapku dengan keheranan."Aku akan bercerai sama Mas Heri, Bu, selama ini dia sudah mempermainkan pernikahan ini dan juga kesetiaanku."Mereka berdua tercenung menatapku bersamaan, hal yang paling mereka benci kini harus terjadi pada diri ini, bagaimana lagi aku sudah muak hidup dalam tekanan dan hinaan.Perbuatan Mas Heri yang baru saja dilakukan adalah penghinaan yang paling besar dan tak layak dimaafkan."Ada masalah apa, Amira? 'kan bisa dibicarakan baik-baik." Bapak masih berbicara selembut kapas."Mbak Am
Bab 17. A"Apa keputusanmu, Heri?" tanya Bapak, sekaligus tanyaku juga.Perasaan gelisah dan deg-degan bercampur menjadi satu, takut sekali jika lelaki itu akan membawaku lagi ke nerakanya.Jika iya rasanya aku tak sanggup, terlebih aku mengandung anak kedua, aku ingin anak ini tak seperti Nasya yang selalu menyaksikan pertikaian kedua orangtuanya.Mas Heri menatapku hingga pandangan kami bertemu, sudah kurasakan diantara kami tak ada lagi cinta, jika pernikahan ini diteruskan maka hanya akan saling menggoreskan luka."Amira, jika kita bercerai apa kamu mau?" tanya Mas Heri
Bab 17. BBegitulah orang yang tak faham agama, hidupnya diperbudak harta dunia, semua tolak ukurnya ya dari uang bukan dari keimanan."Kita lihat saja nanti doa orang miskin ini bakal dikabul atau engganya." Ibu menyeringai sinis."Aduh sudahlah jangan debat terus. Heri keputusanmu apa? cepat katakan saya mau siap-siap salat Jum'at sebentar lagi," sela bapak yang sudah terlihat jengah.Mas Heri terlihat menghirup napas dan mengembuskannya perlahan."Baiklah, Amira aku talak kamu kita bukan suami istri lagi, mulai dari sekarang aku kembalikan kamu kepada bapak."Mata ini terpejam lalu kuhirup oksigen dalam-dalam, berusaha meyakinkan diri jika keputusan ini memang yang terbaik."Baiklah, saya akan terima Amira dan juga kedua anaknya dengan lapang, tapi kamu harus ingat pada kedua anakmu, kasih mereka uang setiap bulannya, walaupun kalian berpisah tapi Nasya dan calon bayi itu tetap akan jadi anakmu,
Bab 18. ASuasana rumah berubah riuh lantaran ibu meracau tak karuan, sedangkan aku, ibu dan bapak nampak biasa saja tak terlihat panik atau gelisah karena musibah yang mendera mereka.Entah apa maksud sang pencipta menghendaki rumah itu terbakar, padahal aku tak lagi menginginkan rumah itu untuk dihuni, karena percaya akan ada istana yang lebih megah dan nyaman untuk ditinggali di masa depan.Mungkin, Tuhan tak menghendaki sebuah kedzaliman dan hendak membungkam kesombongan ibu, memperlihatkan padanya jika sang pencipta berkuasa dan berperan penting atas gerak-gerik hidupnya."Ibu ini gimana sih masak air kok bisa lupa matiin kompor." Mas Heri memarahi ibunya."Tadi Ibu mau ngopi eh kamu malah ngajak ke sini jadinya Ibu lupa," jawab ibu.Dapat kulihat wajah ibu mertua berubah pucat, sedang Mas Heri terlihat sangat kesal dan jengkel, itulah balasan bagi orang yang sombong, suka menghina orang dan suka mera
Bab 18.BSatu bulan setelah jatuhnya talak, Alhamdulillah aku tak kekurangan rezeki sama sekali, bulan ini bisa kontrol ke dokter spesialis kandungan yang tentunya memerlukan biaya berkali lipat dari pada kontrol ke bidan.Nasya juga bisa membeli ponsel baru yang lebih besar kapasitasnya, ia membutuhkan itu untuk menyimpan vidio tutorial yang dikirim oleh gurunya di sekolah.Janin dalam perutku juga baik-baik saja walau tanpa mendapat sentuhan seorang ayah. Dan yang terpenting tubuhku terlihat bugar walau sedang mengandung, orang-orang bilang wajahku bersinar bak rembulan semenjak menyandang gelar sebagai janda.Ternyata menyandang gelar itu tak seburuk yang orang-orang fikirkan, justru hidupku lebih tenang tanpa mendengar kata-kata hinaan yang menyakitkan, otakku tak lagi pusing memikirkan biaya hidup sekeluarga.Saat ini rumah ibuku sedang direnovasi dan akan selesai beberapa hari lagi, untuk sementara waktu kami men