Share

Makin Ngeselin

Penulis: Hafsa Humiara
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-19 11:13:53

4. SUAMI DAN MERTUA TAK TAHU AKU BANYAK UANG

 

Mohon dukung cerbungku ya dengan cara klik SUBSCRIBE DAN RATE BINTANG LIMA sebelum membaca.

 

Makin Ngeselin

 

Aku masuk ke dalam dengan hati yang teramat jengkel, sudah sering dihina sekarang motor baruku mau dirampas pula, apa dua manusia itu tak punya hati.

 

"Hei, Amira, aku belum selesai ngomong!" teriak Mas Heri.

 

Tak dihiraukan gegas aku berlari ke kamar memanggil Nasya.

 

"Ayo, Nas, ikut Mama pergi."

 

Gadis kecil itu mengangguk lalu mengikutiku di belakang.

 

"Kamu mau ke mana, Amira?!" teriak Mas Heri saat langkahku sudah di ambang pintu keluar.

 

Mas Heri mencekal lengan Nasya, mungkin tujuannya agar aku tak pergi dan terus saja berdebat dengannya hingga mulut ini berbusa.

 

"Malang banget sih nasib kamu, Heri, punya istri songong begitu, mending kalau kaya seperti Rista, anak tukang daging aja belagu!" celetuk ibu, seolah mengiris-iris hatiku.

 

"Aku mau pergi! Kepalaku bisa pecah kalau terus-terusan di rumah!" tegasku sambil memandang dua orang itu dengan tajam.

 

Segera menarik tangan Nasya hingga cekalan Mas Heri terlepas, lalu menurunkan motor dari teras dan menaikinya, beberapa saat kemudian aku langsung tancap gas walau Mas Heri dan ibu masih mengumpat di belakang.

 

Hari ini hari Jum'at maka aku pasti libur jualan seperti biasa, sengaja saja tak buka kios tiap hari karena ingin istirahat.

 

Di jalan air mataku menitik tanpa diminta, tanpa dipungkiri hati ini merana memiliki suami dan mertua seperti itu, tak ada kehangatan dalam rumah kami, yang ada panas seperti di neraka.

 

Aku menyeka air mata dengan sebelah tangan, jangan sampai Nasya melihat air mata ini dan mengira bahwa aku seorang ibu yang lemah.

 

"Ma, kita mau ke mana?" tanya Nasya sedikit berteriak, maklum jika naik motor maka suara bising angin akan terdengar lebih jelas.

 

"Kita mau ke rumah Nenek, mau pesen daging buat bikin pentol entar malam," jawabku.

 

Sampai di sana ibu dan bapak terlihat sedang duduk santai di teras, mereka pun sama jika hari Jum'at maka akan libur jualan di pasar.

 

"Assalamualaikum." 

 

Usai turun dari motor aku dan Nasya mencium tangan ibu dan bapak bergantian.

 

"W*'alaikumus'salam," jawab mereka serempak.

 

"Motor baru, Mir?" tanya ibu sambil memandang takjub motor berwarna merah itu.

 

"Iya, Bu, akhirnya aku bisa juga beli motor, nanti kuajak Ibu sama Bapak jalan-jalan deh," jawabku berusaha untuk tersenyum menyembunyikan segala duka lara.

 

"Alhamdulillah, kalau kita berdoa dan berusaha insya Allah bakal kebeli juga, Mir, ayo masuk," ajak ibu.

 

Kami mengobrol di ruang tamu ditemani dengan es teh manis dan juga sempol ayam buatan ibu.

 

"Heri ke mana kok ga ikut?" tanya Bapak

 

Seketika aku berhenti mengunyah.

 

"Kenapa, Mir, kamu sama Heri ada masalah?" tanya Bapak lagi.

 

Aku hanya bisa mengangguk tanpa kata, ingin sekali mencurahkan semuanya. Namun, takut mereka kepikiran dan akhirnya jatuh sakit, maklum ibu punya riwayat penyakit lambung kronis sehingga tak boleh punya beban fikiran yang berat, sedangkan bapak sering sakit karena faktor usia.

 

"Apapun masalahnya baik kamu atau Heri harus bisa menyelesaikan dengan kepala dingin, jangan sampai kaya Si Rena, nikah udah sepuluh tahun dan udah punya segalanya, eh malah bercerai," ujar bapak panjang lebar.

 

"Iya, Pak," jawabku tak bersemangat.

 

"Dahulu saat ayahnya Heri masih hidup, dia baik banget sama Bapak, sekarang kita punya kios daging ya karena dulu beliau kasih modal secara cuma-cuma, kamu juga di kasih rumah 'kan?" ujar bapak lagi 

 

Bapak memang benar, keluargaku punya hutang budi terhadap ayah Mas Heri, dan karena hutang budi itu pula pernikahanku dengannya bisa dilaksanakan.

 

Dahulu kami tak pernah saling mencintai. Akan tetapi ayah mertua dan bapak tetap saja memaksa menyuruh kami menikah, dengan dalih cinta akan tumbuh setelah kita bersama.

 

Nyatanya sampai sekarang Mas Heri tak pernah menunjukkan rasa cintanya padaku. Dulu waktu ayah mertua masih hidup ibu bersikap biasa saja padaku, tidak menunjukkan rasa benci ataupun menunjukkan rasa sayang.

 

Namun, setelah ayah tiada barulah ibu menonjolkan sikap aslinya, bahkan ia sampai menjual rumahnya dengan alasan tak jelas lalu memilih tinggal bersamaku dan Mas Heri.

 

"Ini juga rumah pemberian suamiku meskipun di sertifikat-nya tertera nama kamu, jadi kamu ga boleh keberatan kalau Ibu tinggal di sini." Begitu katanya 

 

Mulai saat itu rumahku berubah jadi neraka, padahal waktu itu Mas Heri mulai berubah sedikit-sedikit, mulai menunjukkan rasa cintanya padaku. Akan tetapi karena ibu hadir dan mungkin selalu mencuci otaknya untuk membenciku dan selalu mencari-cari kesalahanku.

 

"Makanya kalau bisa kamu jangan sampai bercerai sama Heri, bapak yakin suatu saat sikapnya pasti berubah kok."

 

Yang diketahui bapak Mas Heri sikapnya acuh saja tak pernah berkata kasar atau menyakiti hati, aku sengaja tak menceritakan itu agar bapak tak banyak fikiran dan jatuh sakit.

 

"Iya, Pak." 

 

Lagi-lagi itu jawabanku.

 

Karena hari mulai sore aku pun pamit pulang.

 

"Ibu udah masakin steak daging buat kamu sekeluarga, mau buat rendang kelamaan," ujar ibu yang selalu bersikap baik pada besannya.

 

Andai ia tahu bahwa besan yang tak tahu diri itu selalu menghinanya di belakang.

 

Tiba di rumah aku melangkah ke dalam dengan malas, sudah pasti mereka akan ngajak ribut lagi seperti tadi, entah sampai kapan pernikahan ini akan bertahan.

 

"Pulang juga kamu," ujar ibu yang berdiri sambil melipat tangan di dada.

 

Tak lama Mas Heri keluar dengan rambut berantakan.

 

"Perginya lama banget sih, mana di rumah makanan habis, suamimu mau makan tahu!" sergah Mas Heri.

 

"Iya, Ibu juga lapar, tega kamu ya ninggalin rumah tanpa makanan," lanjut ibu.

 

Syukurlah mereka tak membahas soal motor lagi.

 

"Nih aku bawa makanan, Mas sama Ibu makan aja."

 

Kukeluarkan steak daging buatan ibu barusan, aromanya menguar membuat setiap perut semakin keroncongan.

 

"Waah kayanya enak nih." Ibu memandang penuh napsu makanan itu.

 

"Iya, Bu, langsung sikat ajalah," ujar Mas Heri.

 

"Ehh tunggu dulu sebelum makan kita Poto dulu makanannya." Ibu menepis tangan Mas Heri.

 

Setelah dua kali jepretan barulah mereka menyantap makanan itu dengan lahap, tanpa bertanya padaku dari mana asalnya makanan itu.

 

"Oh ya, Amira, mulai bulan depan gajiku diberikan ke ibu aja ya semuanya, kamu kan bisa cari uang sendiri, lagian uangnya juga sebagian akan Ibu simpan buat tabungan," ucap Mas Heri.

 

Aku yang sedang mengeluarkan daging tertegun sejenak, entah ini kedzaliman ke berapa yang Mas Heri lakukan.

 

 

Bersambung.

 

Kasih like, komen dan follow akunku ya

 

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (13)
goodnovel comment avatar
Pra Rosila
suami tidak bertanggung jawab sesuai akidah
goodnovel comment avatar
Rini Hendarini Rustiati
Punya suami kyak gitu makan ati itu, bukan makan daging.. Hebat istrinya klu bisa bertahan.
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Buat apa bertahan sama suami dzalim dan mertua macam nenek lampir
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Suami Dan Mertua Tak Tahu Aku Banyak Uang   Bab 45.B

    "Aku selalu menelponmu tapi percuma jarang diangkat, sekali pun diangkat cuma sebentar padahal banyak yang ingin aku ceritakan soal Ibu, cerita juga mending kalau kamunya percaya, ya sudah sejak itu aku tak ingin lagi berhubungan denganmu," lanjut Ardan mengungkapkan kekecewaannya.Aku terduduk di bangku plastik miliknya, raga ini lemas mendengar semua kenyataan yang sebenarnya."Aku minta maaf, Ardan. Harus gimana supaya kamu memaafkan," ucapku dengan pasrah.Ia diam sibuk dengan pekerjaannya, haruskah aku berlutut di kakinya?"Ini ada uang buat modal tambahan usahamu, pakailah tadinya uang itu untuk pegangan beberapa bulan ke depan." Aku menyerahkan ATM sekaligus password-nya."Aku ga butuh, lagi pula sekarang bisa cari uang sendiri berikan saja uang itu untuk istrimu," jawab Ardan dengan culas."Ambil aja itu untuk pengobatan ibu kalau kamu ga mau, maafkan aku Ardan, sedikit pun aku ga pernah niat menelantarkanmu dan Ibu, ini semua karena Tania pandai memutar balikkan fakta, dan b*

  • Suami Dan Mertua Tak Tahu Aku Banyak Uang   Bab 45.A

    (POV HERI)Satu tahun lamanya aku tak pulang ke kampung halaman, sebenarnya enam bulan yang lalu aku hendak pulang, tetapi keadaan tak memungkinkan dan banyak pula hambatan.Sengaja tak memberikan kabar kepulangan ini pada Tania ataupun Ardan, entah kenapa anak itu kini nomornya sudah tak aktif lagi, aku pun bertanya pada Tania katanya Ardan baik-baik saja dan ia sibuk bekerja.Aku turut bersuka cita atas perubahan anak itu, yang dulu ia manja dan lalai terhadap tanggung jawab, kini bisa mandiri dan mencari uang sendiri.Pesawat tiba di Jakarta tepat pukul sembilan pagi, untuk menuju kota kelahiranku dibutuhkan waktu sekitar dua jam lagi.Usai adzan Dzuhur berkumandang, akhirnya aku tiba di halaman rumah Tania, semuanya masih sama hanya warna cat rumah yang memudar.Aku melangkah masuk ke dalam pagar, memencet bel berkali-kali hingga pintu itu terbuka, nampaklah Tania yang berpenampilan berbeda.Rambutnya dipotong sebahu, wajahnya terlihat makin cerah dengan polesan make-up seperti bi

  • Suami Dan Mertua Tak Tahu Aku Banyak Uang   Bab 44.B

    "Mbak Naya, bisa berhenti di depan?" tanyaku pada supir baru, Mas Satria sengaja memilih seorang wanita agar tidak ada ikhtilat diantara kami berdua saat bersama."Bisa, Bu," sebentar ya." Ia menuruti perintahku."Tolong jagain Hanan sebentar ya, saya mau nemuin orang itu.""Oh iya, Bu, sini Dedek Hanannya."Kuserahkan Hanan yang tertidur lelap ke pangkuan Naya, beruntung anak itu tak menangis.Aku segera berlari menembus kemacetan hingga akhirnya tubuhku sudah ada di hadapan ibu."Bu, kenapa di sini?" tanyaku sedikit berteriak."Ibuu!" teriakku sekali lagi, karena ia tak merespon panggilanku."Ibu, ngapain di sini?" Aku menyentuh pundaknya.Ia menepis dengan kasar lalu memandangku dengan berang."Diam! Aku lagi nunggu mantuku, Amira, dia janji mau ngajak shoping hari ini," jawabnya ngelantur.Tiba-tiba ponselku berdering, ternyata Mas Satria yang menelpon, karena takut ia marah aku segera menjawabnya."Sayang kamu di mana? kok belum nyampe juga?""Iya sebentar lagi nyampe kok, ini se

  • Suami Dan Mertua Tak Tahu Aku Banyak Uang   Bab 44.A

    (POV AMIRA)Rumah seluas lima belas meter kali kali sepuluh meter menjadi hunian baru untukku dan anak-anak, Mas Satria membelikan hadiah ini sebagai hadiah pernikahan.Ia mengatakan jika rumah ini kurang besar dan mewah maka ia akan merenovasinya, tentu saja menurutku hal itu terlalu berlebihan, karena rumah ini seluas lapangan bola, mungkin jika orang tuaku tinggal di sini rumah ini pun takkan kesempitan.Tak sampai di situ Mas Satria pun mempekerjakan asisten rumah tangga dan seorang supir wanita khusus untuk mengantarku ke mana-mana, ah betapa bahagianya diperlakukan layaknya nyonya.Hari ini ia mulai bekerja setelah satu Minggu lebih menghabiskan masa cuti pernikahan di rumah, sengaja kami tak liburan ke mana-mana karena diluar pandemi masih melanda."Aku pergi dulu ya, Sayang," ucapnya sambil mengecup kening.Jika di hadapan anak-anak ia akan memanggil 'mama' tapi jika tak ada siapa-siapa, kata sayang adalah panggilan untuk kami berdua.Sungguh romantis dan harmonis."Hati-hati

  • Suami Dan Mertua Tak Tahu Aku Banyak Uang   Bab 43.B

    .Sedangkan Tania dan Tante Eva terlihat santai tak terpancing dengan omongan ibu. Akan tetapi, tetap saja mereka berdua membalas ucapan ibu dengan pedasnya membuat ibu makin emosi dan tak bisa mengontrol diri.Kepala ini pusing pasalnya jika pulang ke rumah selalu saja melihat keributan antara ibu dan Tania, mereka tak ada yang mengalah saling mempertahankan egonya."Ayo kita ke kamar, Bu. Aku beliin makanan," ujarku sambil merangkul pundak ibu."Makanan apa? itu dikasih Amira ya? dia emang menantu baik dan pengertian ga kaya kamu!" Ibu menunjuk wajah Tania.Aku kesal melihat tingkahnya, bagaimana jika Tania tak tahan dengan ibu lalu mengusir kita, akan tinggal di mana kami berdua."Sudah, ayo kita masuk kamar." Aku merangkul paksa dan membawanya menuju kamar."Ardan kamu harus usir Tania dari rumah ini dan bawa Amira kembali ya, Ibu itu cuma pengen punya menantu yang kaya ga kaya Tania bisanya ngabisin uang saja," cerocos ibu tak bisa diam."Sekarang Ibu makan dulu ya." Aku menyuapi

  • Suami Dan Mertua Tak Tahu Aku Banyak Uang   Bab 43.A

    (POV Ardan)Nasib Bu Ninik.Sudah satu bulan lebih kakakku Heri berada di perantauan, ia mengatakan setiap tanggal satu akan mengirimkan transferan.Sedangkan kondisi ibu semakin hari kian memperhatikan, ia lebih banyak mengurung diri di kamar, karena jika berpapasan dengan Tania bawaannya terlihat emosi, tak jarang ia marah-marah tanpa alasan."Mbak, Heri udah kirim uang?" tanyaku pada kakak ipar yang sedang menggunting kukunya.Ia malah menatapku sinis, seolah aku ini seorang pengemis."Mau apa emang?!" tanyanya sedikit membentak.Apa ia lupa? atau pura-pura lupa jika dalam uang itu ada hak mertua juga adik iparnya, dasar serakah! Entah apa yang dipikirkan kakakku hingga menggantikan Amira dengan wanita macam dia."Ya mau minta bagian, Heri 'kan janji kalau udah gajian mau bawa ibu ke psikiater," balasku tak kalah sinis.Untuk makan sehari-hari kami berdua terpaksa aku yang kerja, beruntung bengkel milik Adi setiap hari selalu ramai banyak kendaraann yang berdatangan, sehingga aku t

  • Suami Dan Mertua Tak Tahu Aku Banyak Uang   Bab 42.B

    "Ok bagus." Tante Tamara melanjutkan langkahnya dengan wajah masam.Sedangkan Rista bersalaman dengan kami tanpa mengeluarkan suara, matanya menatapku penuh kebencian, bagiku tak masalah toh tak meminta uang padanya.Pesta hampir usai, tamu undangan pun satu persatu mulai berpamitan pulang, mama memintaku untuk bersiap berganti pakaian, ibu bilang malam ini Hanan biar tidur dengannya saja agar aku bisa menikmati malam pertama bersama Satria.Diperlakukan seperti itu aku jadi malu sendiri, padahal Satria tak keberatan jika Hanan tidur dengan kami, baik itu di malam pertama atau di malam-malam selanjutnya, karena anakku telah menjadi anak Satria juga, begitu katanya."Jangan bantah, malam ini Ibu mau tidur sama Hanan, udah sana ganti pakaian, besok Ibu akan antarkan Hanan ke rumah mertuamu," ucap ibu sedikit memaksa.Kulihat bayi mungil itu terlelap di pangkuannya."Kalau Hanan rewel telpon aja ya, Bu," ujarku sebelum pergi.Saat melangkah ada Rista berdiri menghalangi, tatapannya penuh

  • Suami Dan Mertua Tak Tahu Aku Banyak Uang   Bab 42.A

    (POV Amira)Di sebuah gedung pernikahanku dan Satria dilaksanakan, sebenarnya aku malu menyelenggarakan pesta. Namun, apalah daya keluarga besar Satria yang menginginkannya.Acara akad sekaligus resepsi hari ini memang tergolong sederhana, tapi tetap saja aku tak nyaman harus bersanding di pelaminan, sementara anak-anakku takut tak diperhatikan.Ijab kabul dimulai ada perasaan haru dan tegang mendominasi, ibu dan juga kedua anak-anakku tak pernah jauh mereka selalu ada di sisi.Kebaya warna putih dengan jilbab senanda dipadukan dengan rok batik berwarna coklat membalut tubuhku dengan indahnya, aku tersenyum melihat pantulan diri di cermin, rasa bahagia terlukis sempurna di wajah ini."Sah."Akhirnya kata itu terucap di bibir orang-orang banyak, akhirnya aku resmi jadi nyonya Satria Bagaskara, kami menandatangani bekas-bekas dari KUA, lalu penghulu memberikan sepasang surat nikah.Ciuman pertama sungguh terasa menggetarkan jiwa, terlebih saat aku mencium takzim punggung tangannya, sudu

  • Suami Dan Mertua Tak Tahu Aku Banyak Uang   Bab 41.B

    Aku masih diam menatapnya dalam sambil mendengarkan penjelasan pekerjaan apa yang akan kulakukan di sebrang pulau sana."Emang sih kerjanya capek, tapi 'kan duitnya gede." Tania masih membujuk, memang yang ada dalam otak wanita ini hanyalah uang, tak masalah walaupun harus jauh dari suami.Ah menyebalkan!"Terus ibuku gimana? tar kamu jadikan pembantu lagi di sini," jawabku ketus."Iya aku ga bakalan jadikan ibumu pembantu, lagi pula 'kan ada Ardan biarin aja dia yang ngurus ibumu, aku ga mau ikut campur," jawab Tania tak kalah ketus."Nanti aku fikirkan." Aku beranjak pergi karena berada di dekatnya tak menemukan kenyamanan yang ada ia terus memberikan tuntutan.Sempat terdengar ia mengoceh dan menghina. Namun, untuk kesekian kalinya aku bungkam karena malas dengan pertengkaran, lama-lama aku pun jadi terbiasa atas semua ocehan dan hinaan Tania.Cukup lama nongkrong di warung kopi memikirkan tawaran Tania diterima atau tidak, aku pun sudah meminta pendapat teman-teman dan mereka meng

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status