Share

Bab 6. Serpihan Memori

Bab 6. Serpihan Memori.

Pagi itu aku terbangun dalam pelukan hangat Mas Pras. Ku kejapkan mataku dan ku coba untuk mengingat kembali peristiwa semalam. Ya, peristiwa semalam dimana aku membiarkan Mas Pras menyentuhku. Meski sesungguhnya yang dia sentuh adalah Melly, istrinya, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Sebab yang merasakan semua itu adalah aku, bukan Melly. Aku yang merasakan indahnya. Aku yang merasakan nikmatnya. Aku yang merasakan gairahnya. Jika nanti malam, atau malam-malam berikutnya dia menginginkan itu lagi, apakah aku bisa untuk menolaknya? Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika aku juga menginginkannya? Sebab meski salah, tapi jujur saja peristiwa semalam itu membekas indah dalam hatiku. Dan ku rasa, aku mulai merasa memiliki dia sebagai suamiku.

"Jam berapa, Mel?" tanya Mas Pras yang rupanya sudah terjaga.

"Udah pagi," sahutku. "Tidurlah lagi. Ini hari Minggu."

"Meski hari Minggu tapi aku nggak boleh malas," katanya sambil kembali memejamkan matanya.

Aku memperhatikan, lalu tersenyum. Tidak boleh malas tapi dia tidur lagi. Dengarlah, suara dengkurannya terdengar lembut. Mungkin dia masih mengantuk. Biarkan saja dia terlelap sebentar lagi. Aku tidak tega membangunkannya.

Akhirnya aku bangun dengan perlahan. Ku rapikan lagi selimutnya yang tersingkap. Kasihan, nanti dia kedinginan. Lalu setelah itu aku pun pergi mandi dan bersiap untuk kembali menjalani aktivitasku sebagai seorang ibu rumah tangga.

Aku turun ke lantai bawah, hendak mengambil sapu tapi tak jadi. Lantai masih bersih. Rasanya tidak perlu dibersihkan lagi. Mungkin sebaiknya aku cuci piring saja. Sebab di dapur ada sedikit piring kotor bekas makan semalam. Akhirnya aku pun sibuk berkutat di dapur. Ku cuci piring dan perabot kotor yang ada di sana. Setelah itu ku rapikan sampah dan ku buang keluar. Kemudian ku siapkan roti tawar yang ku beli kemarin di atas meja makan. Tak lupa ku letakan juga beberapa botol selai di sana. Karena aku tak tahu selai apa yang Mas Pras suka, akhirnya ku beli beberapa jenis selai untuknya. Biarlah dia yang memilihnya sendiri nanti.

Setelah selesai dengan urusan dapur, aku pun kembali mencari-cari pekerjaan apa yang sekiranya harus ku lakukan. Ah, rasanya aku belum membersihkan halaman dari kemarin. Aku pun bergegas keluar dan mulai membersihkan pekarangan dari daun-daun kering yang berserakan. Lalu ku siram pohon-pohon bunga dan ku rapikan pot-pot bunga itu agar terlihat lebih rapi. Hm, cantik. Pekarangan kecil ini sudah tampak lebih rapi sekarang.

"Mel!" Terdengar suara panggilan Mas Pras dari dalam.

"Ya," sahutku sambil bergegas masuk.

Rupanya Mas Pras sudah mandi. Dia duduk di ruang makan sambil memperhatikan botol-botol selai yang ku susun rapi di sana.

"Buatkan aku kopi," pintanya tanpa melepaskan pandangannya dari botol-botol selai itu.

Tanpa banyak bicara aku pun segera ke dapur untuk membuatkannya kopi.

"Kenapa banyak sekali selai, Mel?" tanya Mas Pras ketika aku sedang mengaduk kopi.

Aku tak segera menjawab. Ku selesaikan adukan kopiku, lalu ku bawa cangkir kopi itu padanya. "Ya, biar mas nggak bosan jadi ku beli beberapa jenis selai," kataku sambil duduk di hadapannya.

Mendengar kata-kataku, kening Mas Pras pun berkerut. "Tapi aku nggak suka makan roti pakai selai, Mel," katanya hingga membuatku melongo terkejut.

"Jadi?" tanyaku bingung.

"Masa kamu lupa? Pakai margarin dan telur, seperti biasanya," jawabnya juga dengan wajah bingung.

Huh? Dengan margarin dan telur? Jadi selai-selai itu siapa yang harus memakannya?

"Kenapa dari kemarin kamu seperti lupa tentang banyak hal? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"

Aku cepat menggeleng. "Nggak ada. Mungkin aku cuma kelelahan aja."

"Sikapmu jadi aneh. Aku seperti berhadapan dengan orang lain," keluhnya sambil menatapku.

Aku mencoba untuk tersenyum menanggapi kata-katanya itu. "Aku Melly, istrimu, mas. Memangnya siapa aku?" selorohku.

"Hm, ku pikir kamu mulai pikun," katanya menyahuti. "Sekarang tolong buatkan aku roti. Jangan sampai salah lagi," lanjutnya kemudian.

Aku bergegas ke dapur untuk menggoreng telur. Tapi sedetik kemudian kembali terdengar suara Mas Pras memanggilku.

"Mel, kenapa kopinya kamu beri gula?"

Huh? Salah lagi? Apa kopinya tidak boleh pakai gula? Duh, kenapa dia punya kebiasaan yang berbeda dari orang-orang pada umumnya? Kalau begini, aku akan mengalami banyak kesulitan. Semakin banyak aku melakukan kesalahan, maka akan semakin banyak tampak keanehan pada diri Melly, istrinya.

"Apa nggak boleh pakai gula?" tanyaku menghampiri.

"Memangnya sejak kapan aku suka kopi manis?"

"Hah? Nggak pakai gula sama sekali?"

Mas Pras menghela napas dengan kesal. "Kopi pahit, Mel. Seperti biasanya."

Aku pun segera membawa cangkir kopi itu ke dapur. Lalu kubuatkan lagi kopi yang baru. Kali ini tanpa gula sama sekali seperti yang dia minta. Aneh sekali! Apa enaknya minum kopi tanpa gula?

Sambil berharap agar tak melakukan kesalahan lagi, ku letakan kopi dan roti itu di hadapan Mas Pras. Ternyata dia menikmatinya tanpa komentar apa-apa lagi. Aku pun menarik napas lega.

"Mas mau makan apa hari ini?" tanyaku setelah Mas Pras menyelesaikan sarapannya.

"Apa pun yang kamu masak aku suka," sahutnya

Aku mengangguk. Oke, kamu membuatku bingung lagi, mas. Kenapa tidak kamu sebutkan saja menu masakan apa yang kamu mau, biar aku tidak melakukan kesalahan lagi? Bagaimana jika yang ku masak nanti ternyata makanan yang tidak kamu suka?

"Sup ayam?" tanyaku.

"Ya," jawabnya.

"Tempe goreng?" tanyaku lagi.

"Boleh," angguknya.

"Telur dadar?"

Mas Pras pun mengangkat wajahnya dan menatapku dengan kesal. "Kenapa kamu bawel sekali, Mel? Masak aja apa yang kamu mau masak. Kan, aku udah bilang kalau aku pasti suka."

Aku tersenyum. Biarlah dia kesal karena kebawelanku. Yang penting aku tidak salah lagi nanti. Karena setidaknya sekarang aku tahu kalau dia suka dengan sayur dan lauk-pauk yang ku sebutkan tadi.

"Aku mau pergi belanja sekarang," kataku pamit.

"Ya," sahutnya.

Bergegas aku pun keluar dan berjalan menuju warung sayur yang kemarin. Syukurlah tak perlu pergi jauh jika ingin berbelanja segala keperluan sehari-hari. Cukup berjalan kaki keluar komplek, aku sudah bisa berbelanja segala keperluan di sana. Hm, tapi rasanya kikuk juga berada di tengah ibu-ibu yang memenuhi warung sayur itu. Aku tak terbiasa melakukannya. Apa lagi dari semua pembeli sepertinya cuma aku saja yang kebingungan karena tak tahu bumbu apa saja yang kubutuhkan.

Seorang ibu berdiri di sampingku. Kusenyumi dia untuk kemudian kutanyakan bumbu apa saja yang kuperlukan untuk memasak sup ayam dan tempe goreng. Semula wajahnya tampak sedikit bingung. Tapi kemudian dia membantuku dengan memberitahukan semua bumbu yang kuperlukan. Bahkan dia juga mengajariku bagaimana cara memasaknya. Aku tersenyum senang dan mengucapkan terima kasih padanya. Lalu kembali berjalan pulang dengan santai.

Ketika sampai, ku dapati rumah dalam keadaan kosong. Padahal pintu depan dalam keadaan terbuka. Kemana Mas Pras? Rasanya tidak mungkin jika dia kembali masuk ke kamar. Tapi tak kutemukan dia dimanapun. Akhirnya ku taruh belanjaanku dan kulangkahkan kakiku menaiki tangga. Meski tak yakin Mas Pras berada di kamar, tapi tetap saja aku penasaran ingin mencarinya ke sana. Dan ternyata, benar. Kamar itu kosong. Mas Pras tidak ada di sana. Lantas, kemana dia?

Aku pun kembali ke lantai bawah. Sekali lagi ku cari dia ke semua ruangan. Tapi tetap tidak ada. Aneh, pikirku. Kalau dia mau pergi keluar rumah, kenapa pintu depan dibiarkannya dalam keadaan terbuka? Seharusnya dia tutup dulu sebelum pergi. Kalau terbuka begini kan bisa mengundang pencuri masuk.

Masih dengan rasa penasaran, kulangkahkan kembali kakiku keluar. Sepi. Bahkan di jalanan hanya terlihat beberapa anak kecil yang sedang bermain dan orang-orang berolahraga yang melintas saja. Selain itu tak ada.

"Cari siapa, Tante Mel? Cari Om Pras, ya?" tanya seorang bocah laki-laki yang tiba-tiba saja sudah berdiri di dekatku.

Aku mengangguk. "Kamu lihat kemana Om Pras pergi?" tanyaku segera.

Bocah laki-laki itu pun mengangguk. "Ke rumah Tante Bella," jawabnya seraya menunjuk ke arah rumah sebelah.

Seketika aku menoleh ke arah yang ditunjuk oleh bocah laki-laki itu. Huh? Ke rumah perempuan penggoda itu? Tapi untuk apa? Untuk apa Mas Pras pergi ke sana? Apakah dia mulai tergoda?

Kemudian, tanpa lupa mengucapkan terima kasih pada bocah tersebut, bergegas kulangkahkan kakiku ke sana. Kebetulan pintu pagarnya terbuka. Mungkin bekas Mas Pras masuk tadi. Lalu tanpa menimbulkan suara, aku mengendap menuju pintu depan yang juga dalam keadaan terbuka. Hm, tapi sepi. Tidak ada Mas Pras atau pun Bella di sana. Dimana mereka? Hatiku mulai dipenuhi rasa curiga.

Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara erangan perempuan. Oh, siapa itu? Bella? Aku pun semakin curiga. Dan tanpa berpikir panjang lagi segera aku masuk ke dalam dan menuju asal suara tadi. Ternyata, satu pemandangan tak menyenangkan ku temui. Aku melihat Mas Pras dan Bella sedang berpelukan di depan pintu kamar. Bella tampak merangkul pundak Mas Pras, sementara Mas Pras memeluk pinggang Bella. Oh, darahku serasa langsung naik ke kepala. Aku marah! Aku cemburu! Aku tak suka dia melakukan itu meskipun sesungguhnya dia bukanlah suamiku.

"Mas!" seruku marah.

Mereka terkejut mendengar suaraku. Keduanya pun kompak menoleh. Bella menatapku, tapi tak melepaskan tangannya dari pundak Mas Pras. Agaknya perempuan itu sengaja ingin membakar cemburuku. Dia bergayut manja sembari menyandarkan kepalanya di dada Mas Pras.

Darahku serasa menggelegak. Aku ingin menjerit. Aku ingin marah. Tapi aku tak melakukannya. Aku malah pergi berlari pulang dan meninggalkan mereka berdua di sana.

Aku terus berlari masuk ke rumah dan menaiki tangga menuju kamar. Dadaku sesak. Kuhempaskan tubuhku di atas tempat tidur dan ku tumpahkan tangisku di sana. Oh, aku cemburu. Benar-benar cemburu!

Tak lama ku dengar suara langkah kaki yang mendekat. Rupanya Mas Pras mengejarku. Dia pun naik ke atas tempat tidur dan duduk di sampingku yang sedang terbaring sambil menangis.

"Mel, kamu salah paham. Kejadiannya nggak seperti yang kamu bayangkan," kata Mas Pras membujukku.

Aku tak menyahut. Rasa cemburu yang terlalu membuatku tak bisa bicara. Aku pun terus menangis sambil memejamkan mataku. Oh, kenapa ini? Kenapa aku cemburu seperti ini? Hatiku sakit. Terasa perih sekali. Kemudian perlahan aku merasa kepalaku pening dan berputar. Ada suara dengungan hebat yang memenuhi rongga kepalaku hingga aku seperti tak bisa mendengar suara dari luar. Tapi tiba-tiba aku seperti mengingat sesuatu. Sesuatu yang menyakitkan, sama seperti ini. Sebuah pengkhianatan. Sebuah kekecewaan. Sebuah luka.

Satu memori kembali. Aku ingat satu kenyataan pahit yang pernah kualami sebelum ini. Tentang kekasih, sahabat dan pengkhianatan. Rupanya rasa cemburu ini menarik satu ingatan dengan luka yang sama. Memang bukan sebuah ingatan yang jelas. Hanya berupa potongan-potongan gambar seperti di dalam mimpi. Tapi cukuplah bagiku untuk menyadari kalau aku pernah punya luka yang sama dulu. Luka yang digoreskan oleh seseorang yang kucintai. Dan sebuah nama pun kembali terngiang di kepalaku. Rama.

Aku semakin tenggelam dalam tangisku. Hatiku berulangkali menjerit memekikkan amarah. Rama, tega kamu sakiti aku...! Terima kasih atas pengkhianatan kalian!

Jeritan itu terus menggema dalam hatiku. Laki-laki bernama Rama itu telah mengkhianatiku. Dan aku ingat, dia adalah kekasihku! Kekasihku yang telah berkhianat dengan sahabatku! Sakit! Aku merasakan hatiku teramat sakit!

Setelah itu aku pun pingsan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status