Share

part 2 Baru Awal

**

"Ya, silahkan masuk!" seruku saat mendengar ketukan dari arah pintu. Kutahan degup di dada kala Bima melangkah masuk.

"Selamat datang, Pak Bima Adeswara, selamat bergabung di perusahaan pusat," ucapku tanpa melepas pandangan dari layar laptop yang menampilkan vc nya.

Strata dua dengan gelar M. Ekon, merupakan pendidikan terakhirnya. Aku menyipit ketika melihat status perkawinan, ia masih lajang di usianya sekarang.

'Apa karma berlaku padanya?'

"Maaf, saya boleh duduk, Bu Ralin."

Aku kembali tersadar mendengar suara baritonnya.

"E-eh, iya. Silahkan duduk, Pak Bima. Saya sudah membaca VC anda, kinerja anda sangat bagus sehingga kantor pusat meminta anda bergabung di sini. Nanti Pak Sigit akan menjadi mitra kerja anda. Ada yang perlu ditanyakan Pak Bima?" tanyaku tanpa menoleh padanya.

"Tidak ada, Bu. Saya akan bekerja semaksimal mungkin untuk kemajuan perusahaan. Kalau begitu saya pamit ke ruangan ya, Bu Raline."

"Ya, silahkan!"

Karena tak mendengar pergerakan dari arah Bima, aku mendongak. Mata kami bersirohok untuk sesaat.

Seketika darahku berdesir, Bima masih punya pesona yang tak lengkang oleh waktu.

"Ada yang ingin anda tanyakan, Pak Bima?" Aku tak ingin luluh oleh perasaanku sendiri dan melupakan rencanaku selanjutnya.

"Ti-tidak, Buk. Cuma ... Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Pertanyaan membuat jantungku memompa begitu cepat. 'Apa dia mengingatku?"

"Saya rasa tidak, Pak. Menurut Bapak?"

"Hmm, berarti saya salah orang. Kalau begitu permisi, Bu." Bima Adeswara memutar tubuhnya lalu melangkah pelan meninggalkan ruanganku. Saat menggapai pintu ia menoleh dan aku buru-buru menatap laptop kembali.

**

Segelas jus jeruk hampir tinggal separo ketika Rangga datang. Setengah berlari lelaki berkulit coklat itu menghampiriku.

"Maaf, sayang. Aku betul-betul telat kali ini." Dia berusaha menggapai jemariku yang langsung kutepis pelan.

"Nggak apa-apa, Rangga. Aku mengerti kesibukan kamu."

Rangga merupakan rekan bisnisku, dia pernah menyatakan perasaannya, tapi aku belum bisa menerima lelaki berahang tegas itu.

Aku tak pernah dekat dengan lelaki manapun sejak kejadian itu. Bisa jadi aku trauma atau apalah istilah orang untuk keadaanku ini, padahal usiaku sudah memasuki kepala tiga.

"Tumben ngajak ketemuan, apa ada yang kangen, Nih," ujarnya sembari mencolek hidung bangirku.

"To the point aja ya, Ngga. Aku ingin mengajak kerjasama soal bisnis, kamu bisa?"

Rangga nampak berpikir, kening pria berkumis tipis itu menyerngit.

"Kau ingin mengkhianati perusahaanmu?" tanya Rangga sambil meraih jus pesannya yang baru sampai.

"Bukan ... Bukan! Tak sampai sejauh itu, hanya sedikit saja." Kutunjukkan ujung jemariku.

Perusahaan Rangga boleh dikatakan pesaing perusahaanku. Kami sama-sama mencari investor untuk kemajuan perusahaan masing-masing. Kali ini mungkin rencanaku agak merugikan perusahaan kami tapi hanya untuk sementara.

"Oke, tapi setelah itu adakah ruang hatimu terbuka sedikit untukku?" Aku mengangguk samar karena memang berat, tapi demi tujuanku apapun akan kulakukan.

"""

Derit pintu pagar yang berkarat menyambut kedatanganku. Setiap minggu aku akan pulang ke Surabay untuk menginap di rumah Ayah, sedangkan di Jakarta aku tinggal di apartemen sendiri. Sedang ayah memilih sendiri di rumah ini, ia tak mau ikut Kak Mila atau pun ikut aku.

Seperti biasa, sepi selalu menyambutku karena ayah belum kembali dari toko. Kuhempaskan bobot tubuh yang lelah di sofa ruang tamu yang mulai lapuk termakan usia. Ayah tak mau mengganti perabot apapun di rumah ini karena tak ingin kehilangan momen kenangan bersama Ibu.

Tak lama terdengar sebuah motor berhenti di halaman, pertanda ayah sudah pulang.

"Ayah sudah pulang? Mau Ralin siapkan makanan apa?" Aku menyalami tangan keriput itu takzim.

Masih sama seperti hari-hari sebelumnya, beliau tetap diam mengabaikanku lalu melangkah terseok meninggalkanku.

Ayah baru sembuh dari stroke, mengakibatkan jalannya sudah tak normal lagi.

"Loh, ayah mau kemana lagi?" Aku heran melihat beliau menyandang sebuah ransel di punggungnya.

"Anak kakakmu ulang tahun."

Beliau membalik badan dan menuju motornya kembali.

"Ayah tunggu! Ini tolong kasihkan pada anak Kak Mila."

Kuangsur beberapa lembar uang merah ke tangannya. Ayah mengambil uang itu lalu menaiki motornya.

"Bagaimana kalau Ralin antar saja?"

Beliau menggeleng lalu melajukan motornya meninggalkan pekarangan.

Kuhembuskan napas panjang menutup kembali pintu pagar. Walaupun beliau mengabaikanku sebagai anak tapi ia tetap Ayahku. Entah sampai kapan beliau bersikap dingin seperti itu padaku dan entah bagaimana cara agar kata maaf bisa kudapatkan darinya.

***

Flashback On

"Mila, ada apa tetangga mengerumuni halaman rumah kita?" Terdengar suara gugup ibu memanggil Kak Mila. Aku yang sedari tadi di kamar sambil membaca novel kesukaanku mempertajam pendengaran.

Kak Mila bergegas keluar lalu masuk kembali dengan suara panik.

"Bu, mereka ingin bertemu ibu, ayo kita ke depan." Kak Mila memapah ibu menuju pintu masuk. Aku mengintip dari celah jendela, Perasaanku sudah tak karuan, takut, cemas kalau-kalau ini berkaitan denganku.

"Bu Dibyo! Kalau punya anak gadis itu ya dijaga," sela suara yang kutahu itu Bu Marni, tetangga paling kepo seantro komplek.

"Kenapa dengan anak gadis saya, Bu?"

Terdengar suara gemetar ibu.

"Lihat kamu ulah adikmu, Mila. Pintar, berprestasi tapi kelakuan bobrok! Bikin malu RT kita saja. Coba tengok namamu di tag kok di F*." Bu Nunik yang bicara. Ibu dan Kak Mila saling tatap penuh tanya lalu Kak Mila bergegas masuk mengambil hapenya yang tengah dicharge.

Mata Kak Mila terbelalak sempurna, telapak tangan kirinya menutup mulutnya yang ternganga. Gegas ia meletakkan ponselnya lalu mendekatiku yang gemetaran. Tangannya melayang ke wajahku.

"Dasar tak tahu malu. Apa kerjamu di sekolah, Hah? Bukannya sekolah baik-baik malah membuat malu keluarga."

Aku hanya menggeleng dengan berurai air mata, untuk dapat membela diri saja aku tak sanggup.

Kulihat Ibu meraih ponsel Kak Mila di atas meja tanpa dapat dicegah Kak Mila. Seketika beliau terduduk lemas di lantai sambil memegang dadanya. Wajahnya menyerngit menahan sakit.

"Ibu ... Ibu, maafin Ralin. Mereka menjebak Ralin, Bu," teriakku mendekati tubuh ibu yang sudah limbung di lantai. Akhirnya apa yang kutakutkan terjadi, videoku itu tersebar di grub F******k dibarengi tag pada orang-orang yang mengenalku.

Kak Mila menjerit memanggil tetangga yang masih berkumpul di halaman untuk membantu membawa ibu.

Ayah datang dengan tergopoh-gopoh, beliau ikut panik melihat keadaan Ibu.

"Ada apa ini? Kenapa ibu kalian begini."

Tanpa menunggu jawaban kami, Ayah dan beberapa warga mengangkat tubuh ibu membawanya ke rumah sakit.

Malang tak dapat ditolak, ibu menghembuskan napas terakhir sebelum sampai di rumah sakit sebab beliau memang menderita penyakit jantung akut.

Aku hancur, ibu meninggal, bea siswaku dicabut juga dikeluarkan dari sekolah. Namun, yang lebih parah lagi Ayah dan Kak Mila membenci dan mendiamkanku. Mereka menganggap aku yang menjadi penyebab meninggalnya Ibu. Aku ada tapi dianggap tak ada.

Aku harus berjuang sendiri untuk melanjutkan sekolah. Beruntung otak encerku membawa berkah. Aku tetap bisa bersekolah hingga kuliah dengan kerja kerasku sendiri.

Namun, maaf dari ayah dan Kak Mila tak kunjung aku dapatkan meskipun kini aku telah jadi orang sukses.

Salahkah aku dendam dengan mereka yang menghancurkan hidupku? langkag selanjutnya!

Tbc...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status