Saraswati segera menggelengkan kepala kala menegur halus, "Jangan berkata seperti itu, ibumu adalah orang yang rela melahirkanmu dengan mempertaruhkan nyawanya, jangan kamu patahkan hatinya karena suatu alasan apapun, tetap sayangi mama selayaknya Nadia menyayangi nenek.""Tapi ... kalau mama pergi, bertahun-tahun mama meninggalkan Nadia tanpa kabar. Apa mama masih sayang Nadia? Nadia meragukannya nek, jadi bagaimana Nadia akan menyayangi mama." Isi hati dan pikirannya dicurahkan begitu gamblang di hadapan Saraswati."Nenek sudah bilang jangan mematahkan hati mamamu dengan alasan apapun." Saraswati mulai membumbui nasihatnya dengan ketegasan.Nadia menunduk perlahan. "Iya nek, Nadia akan mencoba." Itu bukanlah janji maka Nadia tidak dapat menatap mata sayu nan mulai rabun milik sang nenek.Jarum jam semakin naik, tapi Abimana masih belum kembali hingga membuat Nadia bosan menunggu. Mila baru saja datang ke ruang tamu tempat Nadia dan Saraswati berada. "Selamat malam ...," sapa hangat
Abimana baru saja tiba di rumah pada pukul tiga, kedatangannya segera disambut oleh kekecewaan Wira. "Papa sudah membaca artikel yang menyebar di internet, mengapa kamu tidak bisa mengatasi ini? Sekarang bukan cuma nama kamu yang hancur, tapi nama papa sekaligus perusahaan," desah wira yang segera ambruk di atas sofa."Abi sudah berusaha, tapi berita itu meluncur terlalu cepat, entah ulah siapa. Dia tega sekali menghacurkan Abi!" lirih diiringi dengusan menyeruak bersama udara dingin yang menusuk ulu hati.Kini tatapan Wira memicing menyelidik dengan sengit. "Siapa yang memungkinkan melakukan itu?"Abimana berekspresi yang sama. "Hanya Kafka dan Tania, pasti di antara mereka.""Papa akan melakukan apapun untuk membuktikan kamu tidak bersalah, tapi ingat jika ternyata kamu memang ayah bayi itu, papa tidak akan pernah memaafkan kamu!" Tatapan Wira memicing tajam."Papa tidak akan menyesal memercayai Abi." Kesungguhan terlukis jelas dalam iris mata serta raut wajah Abimana. Kini, diriny
Tania terisak di hadapan Wira, tapi tidak berhasil menyentuh hati si pria karena dia harus menyelamatkan putranya dari kelicikan Tania. "Berhenti menangis, harusnya kamu mengatakan itu di hadapan pria brengsek itu!"Tania mengusap basah di pipinya. "Iya, bahkan sebelum anda mengatakannya saya sudah melakukannya, tapi tidak ada hasil sama sekali. Jadi tolong mengertilah perasaan saya." Tania memegangi dadanya yang membatin.Wira mendengus. "Kita lihat saja nanti bagaimana akhir dari wanita licik sepertimu dan mulai hari ini kamu tidak perlu datang ke perusahaan karena sudah jelas tertera dalam pelaturan jika perusahaan tidak membutuhkan wanita hamil." Selain karena point itu tentu saja karena amat kesal pada perbuatan Tania. Pria ini segera menuju ke perusahaan, gossip sudah menjadi sarapan bahkan beberapa karyawan memberanikan diri bertanya perihal kebenaran artikel yang tersebar di internet."Apa berita itu benar, apa Tuan Abimana ...." Kalimat itu belum selesai karena Wira segera me
Abimana masih berada di ruangan ayahnya. Dirinya mulai mondar-mandir gelisah. "Kenapa papa belum kembali, papa sudah pergi terlalu lama, apakah sesulit itu menghadapi Tania, apa wanita itu mengamuk?" Segera, hendle pintu diputar, "eu, apa ini, papa mengunci saya!" Benda itu diputar-putar, tetapi daun pintu tidak terbuka sama sekali.Abimana berkacak pinggang dengan bingung. "Mengapa papa sampai mengurung saya di sini, harusnya papa membiarkan Abi menjelaskan pada semua orang, membiarkan Abi melawan fitnah Tania!"Sementara, Nadia baru saja bertemu dengan dosen yang dipanggil Abimana, mereka berada di ruang tamu. "Kok bapak mau sih dipanggil ke rumah, padahal bapak banyak jadwal mengajar di kampus?" Dahi Nadia berkerut dalam karena dosen sekalipun sangat patuh pada perintah Abimana.Dosen pria ini terkekeh kecil, "Karena saya dibayar dua kali lipat oleh suami kamu.""Ish." Nadia mulai memandang tidak puas pada pemikiran dosen ini karena dia begitu cinta uang dan mengabaikan perannya di
Nadia masih berada di teras saat Abimana kembali dari pekerjaanya. "Bagus sekali istri saya ini tetap mendengarkan perintah suaminya," pujian tidak serius Abimana walau buktinya sudah jelas gossip miring berhasil diredam karena kepatuhan Nadia."Diam deh tidak usah bicara tidak penting." Nadia merajuk, sedangkan Abimana terbahak singkat. Tiba-tiba saja telapak tangan lebarnya mengusap puncak dahi Nadia."Bagaimana kabar istri saya hari ini?" Senyuman teduh menjadi pengiring wajah tampan Abimana."Kurang mengasyikan atau bahkan sangat bad mood karena tidak bisa ke kampus. Huft!""Hahaha." Abimana tertawa ringan, tetapi sangat puas, "untuk apa datang ke kampus jika dosen yang bersedia datang ke rumah.""Tapi saya tidak suka, lagipula alasan menjijikan apa itu yang kamu katakan pada dosen, seakan-akan saya adalah vampir yang akan meleleh saat terkena sinar matahari!" Nadia masih merajuk, tapi ekspresinya sangat menggemaskan."Alasan itu masuk akal saja, sayang. Sudahlah, pokoknya sampai
Hari telah berganti, Tania sudah berdiri di depan gerbang kampus guna menunggu Nadia. Dia akan mengadu dengan lirih dan membatin, kalau perlu meraung-meraung supaya akhirnya Nadia meninggalkan Abimana karena mana mungkin gadis itu masih menerima suaminya jika tahu suaminya lebih dulu menghamili wanita lain. Seringai licik sudah mengudara tipis-tipis."Eu-maaf, apa anda dosen baru yang akan menggantikan Pak Kafka?" tanya Amira yang baru saja keluar dari dalam mobil Devan.Tania melirik datar pada mahasiswi di hadapannya. "Bukan, saya kemari karena memiliki urusan dengan salah seorang mahasiswi.""Oh, saya kira. Permisi," pamit santun Amira.Namun, Tania menahan. "Apa kamu mengenal Nadia?"Segera, Amira menoleh. "Nadia yang mana ya, kak? Di kampus ini ada banyak sekali yang namanya Nadia.""Eu ..., bagaimana ya cara menjelaskannya," bingung Tania, "pokoknya dia cantik. Iya, saya akui itu." Bola matanya memutar malas, kemudian mengingat hal penting, "oh iya, Nadia yang baru-baru ini meni
Abimana bahagia karena Tania tampak kembali pada jati dirinya. "Sekarang juga saya minta kamu membuat video pernyataan kalau saya tidak menghamili kamu, bahkan saya tidak pernah menyentuh kamu." Kalimat lembutnya.Tania memandangi Abimana penuh duka. "Lalu bagaimana hidup bayi ini kelak karena Kafka tidak pernah berniat bertanggung jawab?""Jangan pikirkan tanggung jawab Kafka, saya yakin suatu saat nanti akan datang pria yang rela menggantikan Kafka sebagai ayah si bayi." Abimana mencoba meyakinkan Tania jika badai akan berlalu. Namun, Tania tidak menyahutnya, wanita ini hanya tertunduk lesu, Abimana melanjutkan, "jangan pikirkan biaya hidup, saya akan menanggungnya hingga sosok pria itu datang." Ini bukanlah sekedar rayuan atau iming-iming karena Abimana tulus melakukannya."Bagaimana dengan orangtua saya, mereka akan heran dan syok saat kita bertemu." sendu Tania sangat kental hingga menangkup wajah cantiknya."Kalian berpisah kota, kamu bisa beralasan selama mengandung, lalu bisa
Abimana baru saja masuk ke dalam kamar, di atas meja sudah tersedia segelas air dan camilan, baru saja Nadia membawanya dari dapur. "Tumben pulang cepat?""Kamu inginkan saya pulang cepat atau lambat?" goda Abimana seiring membuka kedua kancing kemeja yang mencekik pergelangan tangannya."Tidak keduanya." Nadia meraih segelas air kemudian disodorkan pada Abimana, "minum dulu, nenek sering menasihati saya supaya memberikan segelas air setelah kamu bekerja," jelasnya segera supaya Abimana tidak salah mengartikan perhatiannya.Senyuman kosong dilukis Abimana, kemudian menerima sodoran air dari Nadia. "Bagaimana kuliah kamu hari ini?""Biasa saja, tapi saya harus menunggu satu dosen lagi yang entah datang kapan," keluhnya kemudian memohon, "tolong jangan seperti ini terus ... saya bosan dan merasa harus selalu siaga menunggu dosen yang entah datang jam berapa, biarkan saya kuliah, saya mohon." Wajah memelas Nadia sangat kental, tapi tidak menyentuh hati Abimana sama sekali karena masalahn