Nadia dibuat tidak setuju dengan ungkapan yang terdengar frontal itu. "Bayi itu tidak berdosa, Tania yang banyak membuang waktu kamu, bukan bayinya."Abimana mengerjap kecil, kemudian menarik senyuman bangga pada makhluk cantik di hadapannya. "Semakin hari kamu semakin dewasa. Bukan hanya pertambahan usia, tapi pola pikir kamu juga walau ... masih banyak sikap kekanakan." Senyuman lebarnya di akhir."Kamu memuji atau menghina sih? Kalimat kamu sering membuat saya bimbang tahu tidak sih!" Nadia membaringkan tubuhnya dengan malas."Bicara kamu seperti dalam sinetron!" ejek kecil Abimana.***Pagi ini Abimana menemani Tania memeriksakan kandungannya karena ini salah satu cara supaya Tania tetap memibiarkan bayinya sehat dan yang paling penting tetap hidup. Degupan jantung si bayi sangat kencang hingga membuat senyuman manis sekaligus haru ditarik oleh Tania walaupun Abimana tetap bersikap datar. Andai tersenyum pun hanya bagian dari pormalitas saja."Bayinya sangat sehat, perkembangannya
Kafka adalah keponakan pejabat tersebut, pria hebat ini mengajak keponakan membanggakannya karena prestasi gemilangnya di gedung perusahaan milik saudaranya yaitu ayahnya Kafka. Abimana geram mengetahui kenyataan ini bukan karena merasa tersaingi hanya saja di rapat penting ini dirinya harus berjabat tangan dengan Kafka seiring menatap wajahnya terus-menerus."Senang berkerjasama dengan anda." Kalimat Kafka yang salah satunya disampaikan pada Abimana setelah mengucapkannya pada Wira."Begitupun kami." Abimana tetap bersikap propesional walau keadaan hatinya meledak-ledak. Seusai rapat, pria ini berkata pada ayahnya, "Kafka adalah ayah si bayi, tapi Abi yang direpotkan Tania!""Jadi tadi kamu terlambat karena Tania!" kekesalan Wira segera hadir saat mendengarnya."Iya pa, Tania meminta diantar memeriksakan bayinya. Abi turuti saja supaya Tania menjaga bayinya hingga Abi bisa membuktikan pada semua orang.""Wanita ular!" desis geram Wira yang tidak ingin berkata apapun lagi tentang Tani
Tepatnya hari senin, Nadia melangkahkan kakinya keluar rumah sederhana sang nenek. Rumah ini didapat wanita tua itu dari peninggalan trakhir putranya. "Nek, apa Nadia harus pergi?" ragu dalam hati gadis ini sangat berkecamuk. "Pergi saja nak, demi masa depanmu." Asupan semangat dari wanita berusia enam puluh tahun bernama Saraswati. "Tapi masa Nadia harus menikah sama om-om!" Wajah gadis ini melukiskan kengerian. "Papa kamu tidak bilang harus menikahi rekannya, tapi putranya. Awas kamu salah!" peringatan tegas Saraswati. "Ish, nenek. Jadi andai Nadia salah atau benar memilih calon suami, nenek tetap menyuruh Nadia menikah?" rengeknya. "Tentu saja ..., Nadia mendengar sendiri pesan trakhir papanya Nadia yang tidak lain putranya nenek." Kerutan di wajah wanita ini sudah tidak terhitung jumlahnya, tapi rasa sendu tetap terlihat sangat mulus kerana disebabkan akan kehilangan sang cucu. "Tapi kan ...." Nadia masih tampak sangat keberatan. Telapak tangan Saraswati membel
"Maaf mengganggu, seorang gadis membawa sebuah foto, dia mencari bapak." Satpam menunjukan selembar foto yang dibawanya pada Wira kala sang bos sedang senggang."Seorang gadis?" Dahi Wira berkerut, kemudian menatap dua gambar pria dalam foto tanpa menyentuh. "Dari mana gadis itu mendapatkan foto saya? Itu adalah foto lima tahun lalu ketika saya di luar negeri bersama Abraham.""Gadis itu mengatakan jika pria di samping bapak adalah ayahnya."Segera, ingatan Wira melayang pada pristiwa lima tahun lalu kala Abimana mengalami kecelakaan saat itu putranya kehilangan banyak darah, Abraham yang menjadi pendonor kala suplai darah di rumah sakit habis yang bertepatan dengan tidak mampunya Wira dan Mila mendonorkan darahnya karena tekanan darah keduanya tidak sesuai dengan persayaratan.Abraham mendonorkan darahnya dengan senang hati untuk menolong Abimana yang kala itu masih berusia dua puluh satu tahun hingga pemuda itu selamat.Alasan pria ini melakukannya karena Wira bukan rekan bisnis bia
Malam ini, Nadia kesulitan memejamkan matanya karena ingatan pertemuannya dengan Wira nanti yang mungkin akan membuka pintu dunia yang buruk. Gadis ini merinding hingga mengubur tubuhnya dengan selimut. "Siapa yang akan saya nikahi, Pak Wira atau anaknya? Tadi pria itu tidak membicarakan anaknya sama sekali, jangan-jangan Pak Wira yang akan mengambil alih menikahi Nadia!" Kecemasan melambung tinggi hingga menembus langit malam.Nadia memutuskan menemui neneknya di kamar yang bersebelahan dengan miliknya. "Nek, sudah tidur?" bisiknya.Saraswati segera membalik tubuhnya yang sebelumnya memunggungi pintu. "Belum, ada apa menemui nenek?"Nadia bergegas duduk di atas tempat tidur empuk milik sang nenek yang juga didapatkan dari aset trakhir Abraham. "Nek, kira-kira Nadia jadi menikah atau tidak ya?""Jadi itu yang cucu nenek risaukan," kekeh wanita yang masih tampak bugar dibandingkan usianya, tapi keadaan fisik tidak menjamin umur panjang karena kematian bisa datang kapan saja, itulah yan
Wira menyahut kalimat Saraswati karena Abimana tidak kunjung memerdengarkan suaranya, "Abimana grogi melihat gadis secantik Nadia." Tawa kecilnya di akhir.Saraswati terkekeh kecil, "Tidak apa, ini pertemuan pertama mereka."Abimana tersenyum kecil ke arah Sarawati, kemudian melirik ke arah Nadia yang sedang menunduk. Kenapa dia tidak mau menatap saya? Apa saya bukan kriterianya? Hati Abimana bertanya-tanya.Wira melanjutkan obrolan dengan Saraswati, "Saya dengar hanya ini aset yang tersisa milik Abraham. Maaf saya lancang, tapi mengapa Abraham bisa bangkrut sampai ke akar-akarnya?"Saraswati menghembus napas lirih, "Saat Naila menghilang, Abraham merogoh banyak uang untuk mencari istrinya, setelahnya Abraham sakit keras hingga mengharusnya menjalankan perawatan panjang, saat itu perusahaan hanya dipercayakan pada seorang tangan kanan, tetapi semakin lama, perusahanan semakin ambruk hingga membuat putra saya harus mengambil langkah besar dengan meminjam uang ke bank untuk menutupi ker
"Siapa wanita yang kamu maksud?" tanya Wira penuh selidik, sama halnya dengan tatapan Mila."Wanita itu bernama Tania, dia sekretaris Abi," tutur Abimana tanpa ragu."Apa!" Wira dan Mila terkesiap, pria ini memerotes, "jadi selama ini kamu memiliki hubungan khusus dengan Tania? Tapi mengapa kamu tidak pernah mengatakannya pada papa?""Selama ini kita menjalani hubungan diam-diam karena propesional kerja, rasanya akan kurang pantas jika hubungan kami di dengar semua karyawan apalagi kami dekat setiap saat, bagaimana penilaian mereka nanti," jelas santai Abimana yang akhirnya membongkar hubungannya dengan Tania."Sejak kapan?" tanya Mila, "mama merasa tersinggung karena selama ini kamu selalu terbuka," ungkapnya."Abi minta maaf ma, pa, bukan maksud Abi menyimpan hal penting ini, tapi Abi melakukannya demi mama dan papa juga," jelas Abimana dengan sejujurnya.Wira mengulang pertanyaan Mila, "Sejak kapan kalian memiliki hubungan?""Kurang lebih sudah satu tahun, kalau tidak salah tanggal
Wira menepati janjinya, pria ini mendatangi kediaman Saraswati dan Nadia, wanita tua ini menyahut hangat nan ramah. "Silakan duduk, maaf hanya ini jamuan yang bisa saya berikan.""Tidak apa, jangan repot-repot, saya tidak akan lama," kekeh Wira, "di mana Nadia?""Baru saja keluar, bermain bersama teman-temannya.""Iya sudah, biarkan saja Nadia bermain. Gadis seusia Nadia memang masih aktif bermain," kekeh Wira, "jadi kedatangan saya kesini karena ingin menepati janji saya kemarin, saya akan membiayai sekolah Nadia sampai lulus termasuk membiayai hidup Nadia dan neneknya," kekeh Wira lagi. Pembahasan ini serius, tapi dibuat santai olehnya."Syukurlah ..., pasti Nadia sangat senang bisa kembali kuliah." Bahagia Saraswati, "Nak Abi tidak ikut?"Wira berdeham kecil bersama penyesalan. "Abi tidak bisa datang." Wira menjeda sesaat, "sebenarnya saya juga ingin membahas tentang pernikahan Abi dan Nadia."Saraswati semakin dibuat bahagia mendengarnya. "Jadi kapan pernikahan itu terjadi, apakah