Share

Pria Bernama Wira

"Maaf mengganggu, seorang gadis membawa sebuah foto, dia mencari bapak." Satpam menunjukan selembar foto yang dibawanya pada Wira kala sang bos sedang senggang.

 

"Seorang gadis?" Dahi Wira berkerut, kemudian menatap dua gambar pria dalam foto tanpa menyentuh. "Dari mana gadis itu mendapatkan foto saya? Itu adalah foto lima tahun lalu ketika saya di luar negeri bersama Abraham."

 

"Gadis itu mengatakan jika pria di samping bapak adalah ayahnya."

 

Segera, ingatan Wira melayang pada pristiwa lima tahun lalu kala Abimana mengalami kecelakaan saat itu putranya kehilangan banyak darah, Abraham yang menjadi pendonor kala suplai darah di rumah sakit habis yang bertepatan dengan tidak mampunya Wira dan Mila mendonorkan darahnya karena tekanan darah keduanya tidak sesuai dengan persayaratan.

Abraham mendonorkan darahnya dengan senang hati untuk menolong Abimana yang kala itu masih berusia dua puluh satu tahun hingga pemuda itu selamat.

 

Alasan pria ini melakukannya karena Wira bukan rekan bisnis biasa, dia juga seorang sahabat yang selalu kompak dengannya.

 

Wira sangat berterimakasih atas pertolongan Abraham. Maka, hari ini dirinya bergegas menghubungi si pria. "Loh, nomor Abraham sudah tidak aktif?" herannya.

 

"Mungkin bapak bisa menanyakannya pada gadis yang sedang menunggu di lobby," usulan satpam.

 

"Hampir saja saya lupa, persilakan gadis itu masuk," titah Wira.

 

TIdak perlu menunggu lama, kini Wira dan Nadia sudah duduk berhadapan dengan canggung yang dirasa sangat mengotrol gadis ini. Wira memerhatikan kemiripan sang gadis dengan Abraham, tetapi sulit menemukannya. "Jadi ... siapa nama ayah kamu?" tanya pria ini tanpa basa-basi.

 

"Maaf, tidak mungkin kan bapak tidak tahu atau saya menemui Pak Wira yang salah?" Nadia dibuat kebinggungan dan cemas.

 

Wira memandangi garis-garis lugu di wajah gadis yang duduk di hadapannya. "Saya mengenali pria ini, tapi saya ingin tahu apa benar kamu anak gadisnya."

 

Nadia mengerjap kecil. "Saya anak gadis satu-satunya, perkenalkan nama saya Nadia, anak dari seorang pria bernama Abraham dan ibu bernama Naila."

 

Penjelasan itu sudah cukup membuktikan keakuratan informasi. Maka, Wira mulai melanjutkan pertanyaannya, "Bagimana kabar kedua orangtua kamu? Eu, maksudnya kabar papa kamu." Sebenarnya pertanyaan ini sangat canggung karena di masa lalu Naila-istrinya Abraham seakan menghilang ditelan bumi. Entah apakah dengan sengaja melarikan diri atau seseorang menculiknya? Tidak ada yang tahu bahkan kala Abraham mengerahkan banyak detektif untuk mencari Naila, hasilnya tetap nihil.

 

"Mama entah di mana, sedangkan papa ...." Nadia menjeda karena rasa sendu selalu menyelubungi pemikiran terutama hatinya.

 

"Di mana papa kamu?" penasaran Wira yang tidak sabaran ingin mendengar kabar Abraham-malaikat penyelamat putranya.

 

"Papa meninggal satu bulan yang lalu karena serangan jantung," lirih Nadia tidak mampu disembunyikan.

 

Wira terpaku dengan kedua mata sedikit membulat, kemudian berdoa, "Semoga Tuhan menempatkan Abraham di tempat terbaik."

 

Nadia segera melanjutkan, "Sebelum papa meninggal, papa bilang Nadia harus menikah dengan anak Pak Wira." Suara gadis ini tercekat karena mana mungkin menyetujui pernikahan dengan seorang pria yang tidak pernah dikenalinya sama sekali.

 

Wira kembali mengingat masa lalu. "Terimakasih sudah menolong Abi, entah apa yang harus saya lakukan untuk membalas budi kebaikanmu," ucapnya pada Abraham seiring memeluk haru sahabatnya.

Abraham terkekeh kegelian seiring melepaskan pelukan Wira kemudian menatap santai. "Nikahkan saja anak-anak kita, saya ingin Abimana menjaga Nadia seperti saya yang menjaganya selama ini dengan penuh kasih sayang."

 

Wira ikut terkekeh, "Saya setuju, tapi kita lihat saja nanti bagaimana reaksi Abimana, tapi andai dia tidak sejutu maka saya akan menyuruhnya mengembalikan darahmu." Tawa kegeliannya di akhir.

 

Kini, Wira membuang napas panjang perlahan. "Sekarang, dengan siapa kamu tinggal?"

 

"Dengan nenek," sendu Nadia karena kini hanya Saraswati satu-satunya keluarga di muka bumi ini.

 

"Pulanglah dan katakan pada nenek kamu, saya akan berkunjung."

 

Nadia seolah melihat cahaya terang, tetapi sekalian kegelapan karena mungkin pernikahan itu akan benar-benar terjadi padahal entah sosok seperti apa pria yang akan dinikahinya nanti. "Iya, saya akan mengatakannya pada nenek."

 

Wira segera menghubungi sopir, bertitah untuk mengantar Nadia dengan selamat. Satu jam kemudian, gadis itu telah kembali di sisi sang nenek. "Pak Wira bilang akan berkunjung."

 

"Baguslah, sepertinya dia setuju menikahkan putranya." Perasaan lega ditunjukan Saraswati karena kelak Nadia akan kembali merasakan hidup sejahtera bersama seorang pendamping karena tidak akan selamanya dirinya di sisi sang cucu, usianya sudah kepala enam, mungkin ajal akan segera menjemput.

 

"Kok nenek senang sih ... bagaimana kalau pria itu tidak baik pada Nadia?" rengeknya.

 

"Nenek yakin dia pria baik-baik karena berasal dari keturunan yang baik."

 

"Nadia tidak yakin walau buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," ungkapan kecemasan Nadia.

 

Di sisi lain, Wira sedang berkata pada Abimana, "Papa akan mengenalkan kamu pada seorang gadis."

 

"Tidak perlu repot-repot pa, Abi bisa mencari calon pendamping. Itu kan yang papa mau?" tolak santun Abimana.

 

"Bukan hanya calon pendamping, tapi seorang gadis yang siap menemani kamu sampai akhir."

 

"Kriteria papa itu bisa Abi cari, papa tidak tidak perlu menyiapkan calon istri buat Abi." Masih tolak Abimana.

 

"Pokoknya besok kamu ikut papa menemui keluarga gadis itu, kamu tidak ada hak untuk menolak," tegas Wira ditambah kekeh diakhir.

 

"Loh, kok begitu pa. Itu sih namanya pemaksaan," protes Abimana dengan kekeh.

 

"Intinya papa yakin kamu tidak akan menyesal berkenalan dengan gadis tersebut."

 

Abimana membuang udara pasrah. "Iya sudahlah, Abi patuh saja pada perintah papa, tapi lain halnya jika pada pernikahan karena Abi yang akan berumah tangga bukan papa," kekeh pria ini saat berkata serius.

 

Dua jam kemudian, Abimana tiba di kediaman orangtuanya, pria ini segera mengadu pada sang ibu, "Ma, papa berniat mengenalkan Abi pada gadis pilihannya, apa papa kebelet mau cucu?"

 

Mila terkekeh kegelian, "Tentu saja, bukan cuma papa, tapi mama juga. Ingat, usia kamu sudah dua puluh enam tahun sudah seharusnya kamu menikah, jangan jadi perjaka tua!"

 

"Dua puluh enam masih terlalu muda untuk ukuran seorang pria, mungkin sekitar tiga puluh barulah bisa dikatakan usia pas menikah." Abimana mengungkapkan pemikirannya.

 

"Tidak bisa, itu terlalu matang, kamu pikir di usia berapa papa menikahi mama? Sudahlah, turuti saja rencana papa kamu toh papa selalu memberikan yang terbaik."

 

Abimana tidak memiliki sekutu untuk membelanya, tapi dia belum menyerah. "Apa besok saya menyibukan diri saja? Tapi pasti papa memblokir semua akses Abi dengan alasan semua sudah ditangani oleh orang kepercayaan papa." Ditiupnya udara lewat mulut, "bagaimana bentukan gadis itu, apa wajahnya menyeramkan dengan gigi tonggos?" Fantasi Abimana melambung terlalu jauh.

 

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status