Share

Bab 44

Penulis: Sinar Rembulan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-16 11:39:40
“Aku akan bercerai.”

Tiga kata itu terucap dingin. Tak ada getar, tak ada ragu. Kalimat itu seolah telah lama bersemayam di relung hatinya, menunggu saat yang tepat untuk dilepaskan.

Cakra menatap istrinya, lama. Ada bias keheranan dalam sorot matanya, mungkin juga keterkejutan. Tapi yang paling mencolok adalah ketidakpercayaan. Seakan baru kali ini ia melihat Saira seberani ini. Berani menggenggam luka dan menjadikannya senjata.

Padahal selama ini, bukan dia yang selalu menahan? Bukan dia yang tetap tinggal meski hatinya berulang kali dihancurkan?

“Saira … kamu sadar apa yang baru saja kamu ucapkan?” Suara Cakra rendah, tapi cukup membuat seluruh ruangan tertunduk dalam keheningan.

Saira menatapnya. Tajam dan dalam. Sepasang mata itu sudah terlalu sering berkaca, tapi kali ini tidak. Kali ini hanya ada keteguhan.

“Aku sadar. Dan aku mengatakannya karena aku siap dengan konsekuensinya. Lagipula, kamu sudah menyetujuinya.”

“Aku memang setuju untuk tes DNA. Tapi perceraian, aku tidak set
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 45

    Saira mendongak menatapnya, dua tangan disilangkan di dada. “Kalau nggak seperti itu, kamu bisa apa? Bisa buktiin kalau Shopia bukan anak kamu? Kamu bersikeras dengan pendapatmu, Indira juga terus mengungkit kalian pernah—” “Kami nggak pernah tidur bersama!” seru Cakra. “Kamu nggak punya bukti, kan?” balas Saira cepat, tajam. Napas Cakra kembali berembus berat. “Tapi aku merasa nggak pernah melakukan apa-apa.”"Kamu merasa tidak melakukannya, tapi Indira mana mungkin bicara asal di depan Mama?""Kamu nggak percaya suamimu sendiri?"“Aku percaya apa yang aku lihat!” seru Saira. "Sejak dia datang, dia yang selalu kamu pedulikan. Bahkan aku entah nomor sekian. Sekarang semuanya seperti ini, bagaimana aku nggak percaya?"“Aku nggak bisa asal bicara tanpa bukti,” tukas Cakra, nada suaranya meninggi. Cakra mengacak rambutnya frustasi. “Kamu bisa mengajukan tes DNA aja, tanpa perlu mengungkit perceraian! Kenapa kamu harus memperumit semua ini?”“Karena hidupku memang sudah rumit sejak men

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 44

    “Aku akan bercerai.”Tiga kata itu terucap dingin. Tak ada getar, tak ada ragu. Kalimat itu seolah telah lama bersemayam di relung hatinya, menunggu saat yang tepat untuk dilepaskan.Cakra menatap istrinya, lama. Ada bias keheranan dalam sorot matanya, mungkin juga keterkejutan. Tapi yang paling mencolok adalah ketidakpercayaan. Seakan baru kali ini ia melihat Saira seberani ini. Berani menggenggam luka dan menjadikannya senjata.Padahal selama ini, bukan dia yang selalu menahan? Bukan dia yang tetap tinggal meski hatinya berulang kali dihancurkan?“Saira … kamu sadar apa yang baru saja kamu ucapkan?” Suara Cakra rendah, tapi cukup membuat seluruh ruangan tertunduk dalam keheningan.Saira menatapnya. Tajam dan dalam. Sepasang mata itu sudah terlalu sering berkaca, tapi kali ini tidak. Kali ini hanya ada keteguhan.“Aku sadar. Dan aku mengatakannya karena aku siap dengan konsekuensinya. Lagipula, kamu sudah menyetujuinya.”“Aku memang setuju untuk tes DNA. Tapi perceraian, aku tidak set

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 43

    Suasana makan malam berlangsung tenang.Tak banyak percakapan yang mengalir, hanya suara sendok dan garpu yang beradu pelan, sesekali diselingi celoteh ringan dari Shopia yang berhasil memancing tawa kecil dari beberapa orang di meja. Namun tidak demikian dengan Saira. Tatapannya kosong, pikirannya melayang entah ke mana. Makanan di piringnya hanya disentuh seperlunya.Di tengah keheningan yang membentang, suara Indira tiba-tiba terdengar.“Cakra, kenapa nggak ambil sapi lada hitamnya? Waktu reservasi tadi, aku memang pesan menu ini khusus buat kamu.”Saira menghentikan gerakan tangannya. Pisau yang semula menggurat daging kini terhenti di udara.“Ini saja sudah cukup,” jawab Cakra tenang.Namun Indira tampak mengabaikan penolakan itu. Ia menyendokkan beberapa potong daging ke piring Cakra sambil berkata,“Nggak usah sungkan. Aku tahu ini favorit kamu.”Dari seberang meja, Sandrina ikut menyahut sambil tersenyum. “Dari dulu memang Kak Indira yang paling tahu selera Kakak.”Senyum lem

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 42

    Malam minggu telah tiba.Tubuh Saira memang belum sepenuhnya pulih, tapi setidaknya ia sudah tak lagi terbaring lemah seperti beberapa hari lalu.Biasanya, ia tak betah berlama-lama di rumah. Tapi kali ini, tubuhnya memaksa untuk pasrah. Tak ada pilihan lain selain diam dan beristirahat.Yang membuat segalanya terasa berbeda justru datang dari sosok yang selama ini nyaris tak bisa ditebak: Cakra, suaminya.Ia tidak berubah secara dramatis. Tidak tiba-tiba jadi romantis atau penuh perhatian layaknya pria dalam drama. Tapi tetap saja, ada yang berubah.Diam-diam, Saira merasakannya.Cara Cakra melarangnya melakukan pekerjaan berat. Cara ia menyiapkan air hangat, menyuruhnya banyak beristirahat, hingga diam-diam membatalkan beberapa agenda hanya untuk tetap di rumah.Ia tetap pria yang sama, dingin, hemat bicara, dan penuh rahasia. Tapi kali ini, perhatiannya hadir seperti kabut tipis: tak terlihat, tapi terasa menyelimuti.Saira tidak tahu, apa yang membuat Cakra jadi seperti itu. Apaka

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 41

    Saira menghela napas panjang. Ia tak tahu apa niat lelaki itu, tapi ia hanya bisa berharap ini adalah sesuatu yang baik bagi hubungannya dengan Cakra.Beberapa jam kemudian, suara pintu yang terbuka pelan membuatnya mengalihkan pandangan dari langit-langit kamar. Obat yang ia minum tadi siang sudah bereaksi, membuatnya mengantuk berat. Namun, hingga saat ini, Saira belum benar-benar tidur. Ia hanya berbaring dalam diam, pikirannya dipenuhi berbagai hal yang sulit dijelaskan.Cakra melangkah masuk, membawa nampan berisi beberapa camilan dan segelas teh hangat. Tanpa berkata apa-apa, ia meletakkan nampan itu di atas meja kecil di samping tempat tidur."Kamu mau?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Saira melirik nampan itu sejenak sebelum kembali menatap Cakra. "Aku nggak minta makanan."Cakra duduk di tepi tempat tidur yang kosong. "Aku yang bawa."Saira diam. Tatapannya tertuju pada bungkusan kecil berisi biskuit dan beberapa potong roti. Ia mengenali cam

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 40

    Kotak kecil berwarna hitam itu masih teronggok di atas meja. Saira menatapnya dengan ragu—penasaran dengan isinya, tetapi enggan untuk membukanya.Cakra menggeser kotak itu ke arahnya. "Buka saja," ucapnya singkat.Dengan tarikan napas pelan, Saira akhirnya meraih kotak itu dan membuka penutupnya. Mata cokelatnya sedikit membesar saat melihat isinya—sebuah gelang emas bertatahkan permata kecil yang berkilauan halus di bawah cahaya.Entah bagaimana Cakra bisa tahu seleranya, tapi desain gelang itu begitu simpel, nyaris serupa dengan koleksi perhiasan yang sering ia pakai."Itu buat kamu," ujar Cakra datar. "Anggap saja sebagai permintaan maaf soal Mama kemarin."Sejenak, Saira membisu. Matanya menatap gelang itu, lalu beralih ke wajah Cakra. Sekilas, ia menangkap kegugupan samar dalam sorot mata laki-laki itu.Namun, perasaan hangat yang sempat muncul di dadanya langsung menguap begitu saja.Soal Mama.Saira menutup kembali kotak itu dengan tenang, lalu mengulurkannya kembali kepada Ca

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 39

    Cakra melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.Hanya satu hal yang ada di pikirannya—Saira.Begitu tiba di rumah, ia langsung turun dan melangkah cepat menuju kamar wanita itu. Namun, yang ia temukan di sana hanyalah Bi Surti yang tengah merapikan tempat tidur.Mendengar suara langkah kaki, Bi Surti menoleh. Wajahnya sedikit tegang saat melihat Cakra."Pak Cakra," sapanya hati-hati."Di mana Saira?" tanya Cakra, suaranya terdengar tegang.Bi Surti menunduk ragu. Baru beberapa menit yang lalu ia memberi tahu majikannya bahwa Saira hanya beristirahat di kamar. Tapi sekarang, saat Cakra tiba, wanita itu malah tidak ada."Ibu ada di balkon, Pak... katanya mau bekerja," jawab Bi Surti sedikit bimbang. Ia ragu sejenak sebelum menambahkan, "Tapi dari tadi Ibu belum makan, Pak."Tatapan Cakra langsung tertuju pada nampan di atas meja kecil. Makanan di sana masih utuh—nasi putih, buah potong, dan semangkuk sup sama sekali tidak tersentuh. Hanya segelas air yang berkurang sedikit.Astaga.Ap

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 38

    Keesokan harinya.Di ruang rapat kantor, Cakra duduk di kursi utama dengan ekspresi serius. Layar proyektor di hadapannya menampilkan presentasi proyek hotel baru di Semarang. Bram, sahabat sekaligus rekan bisnisnya, tengah menjelaskan detail rencana konstruksi—mulai dari anggaran hingga desain interior yang akan dibahas lebih lanjut bersama tim sore nanti.Namun, pikiran Cakra tidak sepenuhnya berada di ruangan itu. Kejadian semalam terus terputar di kepalanya—tatapan penuh luka Saira, suaranya yang bergetar saat menuntut kebenaran, dan keheningan yang seolah menjadi jurang di antara mereka.Bahkan sampai pagi ini dia belum bisa bicara dengan Saira. Wanita itu menutup diri. Sedangkan Cakra tak ingin mengganggubya terlebih dahulu. "Cak, dengerin nggak?" Suara Bram memecah lamunannya. Pria yang berusia sama dengannya itu melayangkan protes saat apa yang telah ia utarakan tak diberikan sanggahan maupun pujian. Hanya di hadiahi tatapan kosong dari Cakra. Sementata Cakra mengalihkan

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 37

    Suara Cakra terdengar dingin. Telunjuknya terangkat menunjuk ke arah pintu. Ambar yang mendengar itu langsung menoleh, menatap putranya dengan tidak percaya. "Apa?" "Keluar, Ma," ulang Cakra, kali ini lebih tegas. "Mama sudah kelewatan." Wajah Ambar menegang. "Kamu sudah berani mengusir Mamamu sendiri?" Cakra mengepalkan rahang, berusaha menahan emosi yang jelas hampir meledak. "Mama sudah melampaui batas." Ambar menatap putranya dengan mata menyala. "Kamu lebih memilih perempuan ini daripada orang yang melahirkanmu?" Cakra tidak menghindari tatapan ibunya. Matanya tajam, penuh ketegasan. "Aku tidak memilih siapa pun, Ma. Tapi kalau Mama terus bersikap seperti ini, aku tidak akan diam saja." Hening. Untuk sesaat, hanya napas berat yang terdengar. Ambar mengepalkan tangannya sebelum akhirnya mengalihkan tatapan ke Saira yang masih duduk diam. Pakaiannya basah, rambutnya juga. Air yang tadi disiramkan masih menetes dari ujung helainya. "Perempuan ini sudah merusak semuanya!"

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status