Share

BAB 2. MENEMUI KAMLIA

Setelah mengantarkan Kinanti, aku pun memutar motor ke bengkel tempat aku bekerja. Sekitar lima belas menit, aku sudah sampai di bengkel.

"Aduh ... dingin sekali. Andai ada yang memeluk pasti hangat!" Aku berandai-andai dipeluk seseorang, mungkin karena memang sudah kebelet nikah.

Seminggu telah berlalu, sudah selama itu pula Kinanti mendiamkanku. Ketika pagi hari aku membeli dagangannya, dia bahkan masih tidak ramah padaku. Aku sudah lelah didiamkan terus oleh Kinanti.

Waktu yang aku tunggu telah tiba, pesan dari Kamlia telah masuk ke ponselku, ia memang selalu mengabari jika sudah berada di kampung. Meskipun tak pernah sekali pun aku balas.

[Bang! Lia sudah di kampung!]

Aku pun langsung membalasnya, "Nanti sore saya akan ke sana."

[Abang benaran?]

Aku tidak membalasnya lagi, namun pesan Kamlia masuk kembali ke ponselku.

[Aku tunggu, Bang!] Pesan singkat itu ditambahkan emot tersenyum beberapa buah.

Entahlah bagaimana ekspresi Kamlia disana, yang jelas aku sangat bahagia dengan kepulangan Kamlia kali ini. Artinya aku bisa segera menemuinya dan menjalankan rencanaku.

Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar, masih ada dua motor jatahku untuk diperbaiki, sedangkan yang satu lagi jatah Mang Ardhan. Pemilik motor hanya minta ganti oli dan yang satu ganti Benan. Paling lama setengah jam lagi selesai, jadi tidak masalah.

"Mang!" Aku memanggil Mang Ardhan yang masih sibuk dengan motor yang sedang ia kerjakan.

"Kenapa?" tanyanya tanpa melihat ke arahku.

"Setelah dua motor ini selesai, aku izin pulang kampung ya!"

Mang Ardhan menatapku, lalu bertanya, "Sama Kinanti lagi?"

"Nggak, Bang! Aku sendiri mau minta restu." ucapku sambil tersenyum.

"Oh ... ok! Semangat!"

Mang Ardhan menyemangatiku, ia berdiri lalu membuat gerakan mengayunkan tangan sambil berucap dengan keras, "SE ... MA ... NGAT."

"Apaan sih, Mang! Lebay tau nggak?"

Aku terkekeh dengan aksinya, Mang Ardhan adalah pemilik bengkel tempat aku bekerja ini.

Aku tamatan SMK jadi aku punya keahlian memperbaiki motor. Karena tidak punya modal untuk membuka usaha bengkel sendiri, aku pergi ke kampung sebelah ikut kerja dengan orang. Meskipun gajinya tidak besar, yang jelas aku tidak lagi bergantung pada orangtuaku.

Aku merasa sudah siap berumah tangga. Walaupun aku tidak bisa menjamin akan menjadi orang kaya, namun aku percaya selagi mau berusaha rezeki akan tetap ada.

Jam menunjukkan pukul tiga, pekerjaanku sudah selesai dan aku segera bersiap lalu pamit pada Mang Ardhan dan Teh Yusri. "Mang, Teh! Aku berangkat dulu."

"Hati-hati," teriak Teh Yusri.

Sebelum pulang ke kampung, aku menemui Kinanti di rumahnya. Sampai di rumah Kinanti aku melihat gerbang terkunci. Tapi aku tahu Kinanti ada di dalam karena pintu depan rumahnya terbuka lebar.

"Kinan!" panggilku dengan suara keras, beberapa kali aku bunyikan klakson motorku.

Kinanti ke luar dari rumah, ia hanya melihatku dari pintu. Aku tersenyum melihatnya, sedangkan ia masih berekspresi datar. Aku luruskan lagi garis senyum yang terlanjur kutarik lebar di bibirku.

Aku turun dari motor membuka helm dan mendekati gerbang, berharap ia akan membukakan kunci gerbang. Beberapa menit berlalu, ia masih mendiamkanku. Tega sekali ia membiarkanku berdiri di depan gerbang seperti penagih hutang. Aku sama sekali tidak dipersilahkan masuk. Ia sendiri berdiri di depan pintu. Aku menatapnya sendu, seperti meminta belas kasihan menunggu ia bicara.

"Ada apa?" ia bertanya tanpa adanya panggilan Abang padaku seperti biasa.

"Abang kangen dan mau bicara!"

Setelah seminggu aku dicuekin, ditelepon juga tidak pernah diangkat. Keberadaan aku di sini untuk mendapat jawaban dari semua pertanyaanku tentang sikapnya. Aku juga ingin menjelaskan jika aku akan menyelesaikan masalah perjodohan itu, aku ingin menyampaikan padanya untuk menungguku.

"Mau bicara apa, Bang? Jangan lama-lama!" ketusnya.

"Abang mau bicara banyak! Buka gerbangnya ya!" tawarku.

Kinanti terlihat masih diam di tempatnya berdiri, sama sekali tidak ada tanda-tanda ia akan membuka gerbang. Ia malah melipat tangan di depan dada. Aku harus sabar menghadapinya.

"Kinan, jangan begini dong! Abangkan jadi bingung!" Aku memelas padanya.

"Abang kesini lagi besok kalau sudah dapat restu! Kalau nggak dapat ya sudah!" Ia hendak berbalik masuk ke dalam rumahnya kembali.

"Abang cuma mau pamit pulang ke kampung sebentar. Sore ini akan Abang selesaikan masalah dengan Kamlia. Kau tunggu saja besok!" Tak aku tunggu lagi jawaban darinya, aku langsung memakai helm dan menaiki motor lalu pergi begitu saja. Sungguh tidak enak rasanya didiamkan seperti ini.

Aku pun langsung memacu motorku dengan kecepatan tinggi ke kampungku. Jarak yang biasanya ditempuh dua jam sekarang aku tempuh sejam lebih lima belas menit.

Aku sampai di rumah Kamlia, aku datang ke sini tanpa pulang ke rumahku terlebih dahulu.

"Assalamualaikum," ucapku sambil mengetuk pintu rumah Kamlia.

"Waalaikumussalam," terdengar jawaban dari dalam ternyata Juragan Siran yang menyahut salamku.

Tak lama pintu pun dibukakannya. "Eh ada calon mantu! Yuk masuk."

Juragan Siran sangat ramah padaku, ia mungkin belum tahu jika minggu kemaren aku membawa pulang wanita lain. Aku pun masuk dan duduk setelah ia mempersilahkan duduk.

Rumahnya paling besar di kampung ini, bisa dibilang Juragan Siran orang paling kaya di sini. Ia terkenal karena punya banyak perkebunan sawit dan juga sawah, tapi aku tidak tertarik dengan ke kayaannya.

"Lia, Kamlia!" Juragan Siran memanggil anak gadisnya.

"Ada tamu untuk kamu ini!" sambung Juragan Siran dengan suara yang cukup keras.

"Sebentar ya, Nak Al!" Juragan Siran pergi dari pandanganku.

Tidak lama ia kembali lagi bersama Kamlia. Ternyata wanita itu sudah berdandan. Pipinya merah, bibirnya juga memakai gincu. Di mataku malah terlihat seperti badut, lucu sekali. Setika bayanganku tentang Kinanti hadir, wanita itu tidak perlu pewarna, pengawet atau pemanis buatan. Kinanti sudah cantik alami.

"Abang sudah lama?" tanya Kamlia berbasa-basi. Sikap sok polos, sok alim dan sok imutnya membuat lambungku seketika bereaksi.

"Baru aja, sih!" jawabku.

Kamlia mengambil duduk di sampingku sangat mepet sekali. Ia tersenyum malu-malu, tapi percuma ia cosplay jadi ibu peri karena aku tau ia itu mak lampir.

Melihat kami yang duduk bersebelahan, Juragan Siran langsung berucap, "Cocok sekali."

Aku menggaruk kepalaku yang menjadi gatal karena ditempeli ulat bulu, lama-lama rasa gatalnya menjalar ke wajah dan sekarang seluruh tubuhku. Karena duduk dekat ulat bulu beracun ini benar-benar membuatku gatal, dan ingin segera menyingkirkannya.

Juragan Siran duduk di sofa sampingku, sekarang ia malah berteriak memanggil isterinya, "ibuk, airnya sudah?"

"Bentar, Pak!" Terdengar sahut isterinya dari arah dapur.

"Maaf ya, Nak Alfa! Sebentar lagi minumannya siap! Nak Alfa pasti haus." Juragan Siran sangat pandai berbasa-basi padaku. Wajahnya begitu ceria menyambutku, mungkin ia sangat berharap perjodohan ini terlaksana.

"Sudah lama kau tidak bertemu Kamlia, dia tambah cantik ya?" puji Juragan Siran pada anak satu-satunya itu.

"Cantik dari ma-" aku terdiam. Hampir saja aku keceplosan mencelanya.

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Roro Halus
hahha kamlia berarti pake pewarna, pemanis dan pengawet dong, ngakak thor
goodnovel comment avatar
Allyaalmahira
"abang kangen.." entah kenapa aku yang tersentuh ...
goodnovel comment avatar
Haerani Eka
aku dapat memaklumi kenapa kinanti bersikap dingin gitu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status