Setelah mengantarkan Kinanti, aku pun memutar motor ke bengkel tempat aku bekerja. Sekitar lima belas menit, aku sudah sampai di bengkel.
"Aduh ... dingin sekali. Andai ada yang memeluk pasti hangat!" Aku berandai-andai dipeluk seseorang, mungkin karena memang sudah kebelet nikah.Seminggu telah berlalu, sudah selama itu pula Kinanti mendiamkanku. Ketika pagi hari aku membeli dagangannya, dia bahkan masih tidak ramah padaku. Aku sudah lelah didiamkan terus oleh Kinanti.Waktu yang aku tunggu telah tiba, pesan dari Kamlia telah masuk ke ponselku, ia memang selalu mengabari jika sudah berada di kampung. Meskipun tak pernah sekali pun aku balas.[Bang! Lia sudah di kampung!]Aku pun langsung membalasnya, "Nanti sore saya akan ke sana."[Abang benaran?]Aku tidak membalasnya lagi, namun pesan Kamlia masuk kembali ke ponselku.[Aku tunggu, Bang!] Pesan singkat itu ditambahkan emot tersenyum beberapa buah.Entahlah bagaimana ekspresi Kamlia disana, yang jelas aku sangat bahagia dengan kepulangan Kamlia kali ini. Artinya aku bisa segera menemuinya dan menjalankan rencanaku.Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar, masih ada dua motor jatahku untuk diperbaiki, sedangkan yang satu lagi jatah Mang Ardhan. Pemilik motor hanya minta ganti oli dan yang satu ganti Benan. Paling lama setengah jam lagi selesai, jadi tidak masalah."Mang!" Aku memanggil Mang Ardhan yang masih sibuk dengan motor yang sedang ia kerjakan."Kenapa?" tanyanya tanpa melihat ke arahku."Setelah dua motor ini selesai, aku izin pulang kampung ya!"Mang Ardhan menatapku, lalu bertanya, "Sama Kinanti lagi?""Nggak, Bang! Aku sendiri mau minta restu." ucapku sambil tersenyum."Oh ... ok! Semangat!"Mang Ardhan menyemangatiku, ia berdiri lalu membuat gerakan mengayunkan tangan sambil berucap dengan keras, "SE ... MA ... NGAT.""Apaan sih, Mang! Lebay tau nggak?"Aku terkekeh dengan aksinya, Mang Ardhan adalah pemilik bengkel tempat aku bekerja ini.Aku tamatan SMK jadi aku punya keahlian memperbaiki motor. Karena tidak punya modal untuk membuka usaha bengkel sendiri, aku pergi ke kampung sebelah ikut kerja dengan orang. Meskipun gajinya tidak besar, yang jelas aku tidak lagi bergantung pada orangtuaku.Aku merasa sudah siap berumah tangga. Walaupun aku tidak bisa menjamin akan menjadi orang kaya, namun aku percaya selagi mau berusaha rezeki akan tetap ada.Jam menunjukkan pukul tiga, pekerjaanku sudah selesai dan aku segera bersiap lalu pamit pada Mang Ardhan dan Teh Yusri. "Mang, Teh! Aku berangkat dulu.""Hati-hati," teriak Teh Yusri.Sebelum pulang ke kampung, aku menemui Kinanti di rumahnya. Sampai di rumah Kinanti aku melihat gerbang terkunci. Tapi aku tahu Kinanti ada di dalam karena pintu depan rumahnya terbuka lebar."Kinan!" panggilku dengan suara keras, beberapa kali aku bunyikan klakson motorku.Kinanti ke luar dari rumah, ia hanya melihatku dari pintu. Aku tersenyum melihatnya, sedangkan ia masih berekspresi datar. Aku luruskan lagi garis senyum yang terlanjur kutarik lebar di bibirku.Aku turun dari motor membuka helm dan mendekati gerbang, berharap ia akan membukakan kunci gerbang. Beberapa menit berlalu, ia masih mendiamkanku. Tega sekali ia membiarkanku berdiri di depan gerbang seperti penagih hutang. Aku sama sekali tidak dipersilahkan masuk. Ia sendiri berdiri di depan pintu. Aku menatapnya sendu, seperti meminta belas kasihan menunggu ia bicara."Ada apa?" ia bertanya tanpa adanya panggilan Abang padaku seperti biasa."Abang kangen dan mau bicara!"Setelah seminggu aku dicuekin, ditelepon juga tidak pernah diangkat. Keberadaan aku di sini untuk mendapat jawaban dari semua pertanyaanku tentang sikapnya. Aku juga ingin menjelaskan jika aku akan menyelesaikan masalah perjodohan itu, aku ingin menyampaikan padanya untuk menungguku."Mau bicara apa, Bang? Jangan lama-lama!" ketusnya."Abang mau bicara banyak! Buka gerbangnya ya!" tawarku.Kinanti terlihat masih diam di tempatnya berdiri, sama sekali tidak ada tanda-tanda ia akan membuka gerbang. Ia malah melipat tangan di depan dada. Aku harus sabar menghadapinya."Kinan, jangan begini dong! Abangkan jadi bingung!" Aku memelas padanya."Abang kesini lagi besok kalau sudah dapat restu! Kalau nggak dapat ya sudah!" Ia hendak berbalik masuk ke dalam rumahnya kembali."Abang cuma mau pamit pulang ke kampung sebentar. Sore ini akan Abang selesaikan masalah dengan Kamlia. Kau tunggu saja besok!" Tak aku tunggu lagi jawaban darinya, aku langsung memakai helm dan menaiki motor lalu pergi begitu saja. Sungguh tidak enak rasanya didiamkan seperti ini.Aku pun langsung memacu motorku dengan kecepatan tinggi ke kampungku. Jarak yang biasanya ditempuh dua jam sekarang aku tempuh sejam lebih lima belas menit.Aku sampai di rumah Kamlia, aku datang ke sini tanpa pulang ke rumahku terlebih dahulu."Assalamualaikum," ucapku sambil mengetuk pintu rumah Kamlia."Waalaikumussalam," terdengar jawaban dari dalam ternyata Juragan Siran yang menyahut salamku.Tak lama pintu pun dibukakannya. "Eh ada calon mantu! Yuk masuk."Juragan Siran sangat ramah padaku, ia mungkin belum tahu jika minggu kemaren aku membawa pulang wanita lain. Aku pun masuk dan duduk setelah ia mempersilahkan duduk.Rumahnya paling besar di kampung ini, bisa dibilang Juragan Siran orang paling kaya di sini. Ia terkenal karena punya banyak perkebunan sawit dan juga sawah, tapi aku tidak tertarik dengan ke kayaannya."Lia, Kamlia!" Juragan Siran memanggil anak gadisnya."Ada tamu untuk kamu ini!" sambung Juragan Siran dengan suara yang cukup keras."Sebentar ya, Nak Al!" Juragan Siran pergi dari pandanganku.Tidak lama ia kembali lagi bersama Kamlia. Ternyata wanita itu sudah berdandan. Pipinya merah, bibirnya juga memakai gincu. Di mataku malah terlihat seperti badut, lucu sekali. Setika bayanganku tentang Kinanti hadir, wanita itu tidak perlu pewarna, pengawet atau pemanis buatan. Kinanti sudah cantik alami."Abang sudah lama?" tanya Kamlia berbasa-basi. Sikap sok polos, sok alim dan sok imutnya membuat lambungku seketika bereaksi."Baru aja, sih!" jawabku.Kamlia mengambil duduk di sampingku sangat mepet sekali. Ia tersenyum malu-malu, tapi percuma ia cosplay jadi ibu peri karena aku tau ia itu mak lampir.Melihat kami yang duduk bersebelahan, Juragan Siran langsung berucap, "Cocok sekali."Aku menggaruk kepalaku yang menjadi gatal karena ditempeli ulat bulu, lama-lama rasa gatalnya menjalar ke wajah dan sekarang seluruh tubuhku. Karena duduk dekat ulat bulu beracun ini benar-benar membuatku gatal, dan ingin segera menyingkirkannya.Juragan Siran duduk di sofa sampingku, sekarang ia malah berteriak memanggil isterinya, "ibuk, airnya sudah?""Bentar, Pak!" Terdengar sahut isterinya dari arah dapur."Maaf ya, Nak Alfa! Sebentar lagi minumannya siap! Nak Alfa pasti haus." Juragan Siran sangat pandai berbasa-basi padaku. Wajahnya begitu ceria menyambutku, mungkin ia sangat berharap perjodohan ini terlaksana."Sudah lama kau tidak bertemu Kamlia, dia tambah cantik ya?" puji Juragan Siran pada anak satu-satunya itu."Cantik dari ma-" aku terdiam. Hampir saja aku keceplosan mencelanya."Cantik dari maren kemaren kok, Juragan!" Aku langsung meralat ucapanku.Tak terbayang apa jadinya jika tadi aku keceplosan menghina Kamlia di depan ayahnya. Aku pasti langsung jadi daftar menu buat ular piton peliharaan Juragan Siran. Aku jadi bergidik ngeri membayangkannya.Tak lama ibu Kamlia datang dengan tiga gelas juice jeruk, minuman di rumah orang kaya memang berbeda dengan minuman di rumah rakyat jelata. Di rumahku hanya ada teh yang selalu menjadi andalan menyambut tamu."Terima kasih, Tante!" ucapku ketika ibunya Kamlia meletakkan juice jeruk di depanku."Silahkan diminum ya, Nak Al!" Ibu Kamlia juga ramah banget padaku.Juragan Siran dan isterinya ikut duduk mengelilingi sofa mewah itu. Mereka hendak memulai pembicaraan serius. Kamlia sibuk senyum-senyum mencuri pandang ke padaku. Aku meniup nafas pelan agar diberi kesabaran.Juragan Siran memulai percakapan di antara kami, "Semalam Lia bilang, Nak Al sudah setuju dengan perjodohan ini."Aku jelas terkejut dengan apa yang
Sore sudah hampir maghrib begini aku malah harus membukan aib Kamlia. Sebenarnya sungguh tidak tega, tapi demi masa depanku, aku harus tega. "Maafkan aku, Kamlia!" batinku.Aku berjalan menuju kursi tamu yang terbuat dari rotan itu."Lebih baik kita duduk dulu," ajakku pada mereka semua.Aku duduk terlebih dahulu, disusul ayah dan ibuku yang duduk di sebelah. Lalu juragan Siran, Isterinya dan Kamlia duduk di kursi yang berhadapan denganku. Meskipun sempit tapi masih muat.Aku mulai dengan sedikit basa-basi pada mereka, "Sebelumnya aku minta maaf! Bukan maksudku melakukan ini semua. Hanya saja ke adaan memaksaku."Aku mengeluarkan ponsel. Dari tatapan mereka aku tahu mereka semua sangat penasaran dengan apa yang akan aku sampaikan. Tapi mereka masih diam seribu bahasa, membuatku menambah sedikit kata-kataku."Aku sangat senang Kamlia menginginkan aku menjadi suaminya. Tapi aku tidak bisa, karena seseorang memberitahuku satu hal yang membuat aku harus menolak menikahi Kamlia!""Cepatlah
"Saya terima nikah dan kawinnya Syafnita Kinanti binti Idris Rahmad dengan mas kawin tersebut dibayar ... tuunaaii," aku berhasil mengucapkan kabul dalam satu tarikan nafas dengan sangat lancar."Bagaimana saksi?" tanya Pak Penghulu pada saksi yang telah ditunjuk."Sah ... sah!" ucap saksi hampir bersamaan. Seketika rasa gugup yang membelenggu dari semalam, lepas seketika. Lega sekali rasanya."Ya Allah, aku bahagia sekali!" batinku.Kutatap wajah cantik dengan kerudung putih tulang yang duduk di sampingku. Sesaat pandangan kami bertemu. Wajahnya berseri, ia tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya dariku.Aku pun tersenyum tertahan menyaksikan tingkahnya yang malu-malu seperti kucing. Sungguh ia cantik luar biasa menurutku."Saudara Alfa, boleh tanda tangan di sini!" Suara Pak Penghulu membuyarkan lamunanku dalam kekaguman, ia memintaku untuk menandatangani buku nikah kami. Meskipun aku menikahi seorang janda, namun pernikahan ini juga terdaftar secara negara.Penghulu sekaligus wali
"Nggak! Abang tahu kau wanita yang mandiri," aku menjeda ucapanku. "Tapi untuk ke depannya kau jangan lupa sudah memiliki sandaran!"Aku memperingatinya dengan serius, aku mau dia membutuhkan aku dalam setiap situasi. Bukan bermaksud menginginkannya menjadi wanita manja, aku hanya ingin lebih berguna sebagai suami."Iya, Bang! Kau sandaranku dan anak-anak sekarang," balasnya menatapku. Terlihat harapan yang besar di sana.Setelah satu jam, kami berdua selesai membereskan barang yang berserakan di rumah. Mulai dari dapur, ruang tengah dan ruang tamu sampai ke teras. Semua sudah kami pel dengan bersih, perabot pun sudah kembali ketempat semula.Baru saja aku mau mengantarkan alat pel ke belakang, tangis Yura terdengar."Ibu ... hiks! Ibu di mana?" rengeknya terdengar kencang dari dalam kamar. Semakin lama semakin kencang saja suaranya memanggil ibunya.Kinanti segera berlari mengejar Yura hendak menenangkan bocah itu, tanpa peduli padaku. "Ibu di sini, Ra!" teriaknya.Ia berlari secepat
Aku terbangun mendengar kehebohan di luar kamar. Aku terkejut karena ada rambut panjang tepat di depan wajahku. Aku mencium aromanya yang wangi. Seketika ingatanku tentang pernikahan kemaren muncul."Oh ... iya! Inikan, Kinanti, isteriku," aku membatin merasa lucu, baru bangun masih linglung dengan statusku sendiri.Suara gaduh di luar memaksaku segera bangun dari tidurku. Aku juga membangunkan isteriku."Yang, sayang! Bangun!" Mungkin tidur berbantal lenganku terlalu nyaman, hingga aku sulit membangunkannya. Beberapa kali aku harus menggoyang bahu Kinanti. "Sepertinya di luar, Mixi sama Yura dimarahi ibu," aduku pada isteriku yang masih terlelap."Kenapa, Bang?" tanyanya masih setengah tidur. Namun sudah berusaha untuk bangun. Rupanya Kinanti tidak bingung dengan statusnya sekarang. Berbeda denganku, ia tidak linglung dengan kehadiranku di sisinya."Mixi dan Yura, mereka sudah ke luar!" jawabku.Kinanti segera berdiri, ia juga mendengar suara kencang ibu. Aku juga berdiri dan segera
Setelah selesai berpamitan, kami pun keluar dari rumah itu. Tidak ada satu kado pun yang kami bawa dari hajatan kemaren, padahal teman-teman sepermainanku dulu, turut hadir dan membawakan aku kado. Tapi tidak satu pun yang aku buka, apa lagi aku bawa. Biarlah menjadi milik bapak dan ibu.Aku telah selesai memanaskan mesin motor maticku, lalu mengeluarkannya dari teras rumah. Pangkalan ojek beberapa meter dari rumahku. Aku rasa lebih baik berbonceng empat dari pada mereka berjalan kaki."Yura bisa di depan!" titahku. Anak itu nurut, ia naik di depan dan Mixi di belakang. Sempit sekali motor ini. Aku bahkan mepet ke depan. "Semoga suatu saat bisa beli mobil," batinku.Sampai di pangkalan ojek, sudah ada seorang tukang ojek, langsung saja aku merentalnya untuk dua jam perjalanan. Mixi dan Yura berboncengan dengan tukang ojek, aku mengiringi mereka tepat di belakang hanya berbonceng dengan Kinanti."Yang! Pegangan. Nanti jatuh!" Aku menarik tangannya agar melingkar di pinggangku. Sebelum
Kami sampai di rumah, Kinanti menyiapkan piring untuk kami sarapan. Setelah sarapan, aku pamit mau ke bengkel Mang Ardhan untuk mengambil pakaianku. Selama ini aku tinggal di bengkel, aku dan Mang Ardhan selalu bekerja bersama."Yang, Abang ambil baju di bengkel ya," teriakku. Kinanti sudah berada di dapur setelah membereskan piring kami tadi. Mungkin ia mau bersih-bersih rumah dulu setelah ini, biarlah aku pergi sendiri, jaraknya juga tidak terlalu jauh."I-iya, Bang!" sahutnya yang juga berteriak.Aku mengendarai motor dengan pelan, di perjalanan aku ingin membeli rokok. Aku pun mengarahkan motor ke sebuah warung di pinggir jalan. Aku tadi tidak tahu di situ ada Bang Panji, andai aku tahu tak akan aku mampir di sini. Bang Panji terlihat sedang ngobrol dengan teman-temannya. Begitu aku turun dari motor, aku merasa mereka semua melihat sinis padaku. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.Aku tidak ingin peduli dengan tatapan mereka, mungkin itu hanya perasaan aku saja. Ya sudah, aku
"Eh ... kalian sudah pulang? Ibu baru mau ke pasar beli ayam buat kalian!" sambut Kinanti dengan lembut. Sangat lembut ia bicara pada anak-anak, jiwa keibuannya begitu kental terlihat.Ia melirik ke arahku, aku mengalihkan pandangan. Kepalaku terasa berat saat sudah di ujung begini. Arghh ... ini bocah berdua menggangguku saja."Kalian tunggu di luar ya, Ibu membereskan ini dulu," sambung Kinanti sambil menunjuk kantong kresek yang tadi aku bawa. Ia meminta anaknya ke luar."Baik, Bu!" Mereka keluar begitu saja tanpa menyapaku, mungkin mereka dapat melihat wajahku yang sedang kesal."Jangan ganggu Ibu dulu ya!" teriaknya setelah Mixi dan Yura berlalu dari kamar.Kinanti melihatku kembali lalu berjalan ke arah pintu. "Maaf ya, Bang! Biar aku kunci dulu pintunya."Ia pasti tahu hukumnya melayani suami. Hanya saja hasratku sudah hilang untuk saat ini. Aku menetralkan perasaanku, rasanya aku ingin marah pada dua bocah ajaib yang tiba-tiba datang mengganggu. Aku mulai kesal, tapi tetap aka