"Cantik dari maren kemaren kok, Juragan!" Aku langsung meralat ucapanku.
Tak terbayang apa jadinya jika tadi aku keceplosan menghina Kamlia di depan ayahnya. Aku pasti langsung jadi daftar menu buat ular piton peliharaan Juragan Siran. Aku jadi bergidik ngeri membayangkannya.Tak lama ibu Kamlia datang dengan tiga gelas juice jeruk, minuman di rumah orang kaya memang berbeda dengan minuman di rumah rakyat jelata. Di rumahku hanya ada teh yang selalu menjadi andalan menyambut tamu."Terima kasih, Tante!" ucapku ketika ibunya Kamlia meletakkan juice jeruk di depanku."Silahkan diminum ya, Nak Al!" Ibu Kamlia juga ramah banget padaku.Juragan Siran dan isterinya ikut duduk mengelilingi sofa mewah itu. Mereka hendak memulai pembicaraan serius. Kamlia sibuk senyum-senyum mencuri pandang ke padaku. Aku meniup nafas pelan agar diberi kesabaran.Juragan Siran memulai percakapan di antara kami, "Semalam Lia bilang, Nak Al sudah setuju dengan perjodohan ini."Aku jelas terkejut dengan apa yang disampaikan Juragan Siran, bagaimana bisa Kamlia menyampaikan berita bohong seperti itu ke pada kedua orang tuanya. Aku memandang Kamlia dengan kesal. "Dasar ulat bulu beracun," batinku.Pantas saja sedari dari tadi Juragan Siran sangat ramah padaku, itu karena pengakuan sepihak dari Kamlia. Percuma saja sekolah tinggi, baca pesan singkat saja dia salah mengartikan. Aku cuma bilang saya akan datang, bukan saya sudah setuju. "Aduh nambah masalah saja nih ulat bulu," batinku."Bagaimana, Nak Al? Kapan kami dan kedua orang tuamu bisa bertemu?" sambung Juragan Siran.Dari sorot matanya terlihat harapan yang besar. Ayah mana yang tidak ingin anaknya bahagia, termasuk Juragan Siran. Bagaimana pun caranya ia pasti ingin melihat Kamlia bahagia.Pembicaraan langsung dan tanpa basi basi, aku harus jawab apa? Niatku datang untuk membujuk Kamlia membatalkan perjodohan ini. Tapi malah disambut Juragan Siran dengan pertanyaan yang langsung pada intinya. Mereka bahkan tidak memberi kesempatan aku untuk ngobrol berdua dengan Kamlia.Seandainya aku ada waktu untuk bicara berdua dengan Kamlia, aku ingin menjalankan rencanaku dan membuat Kamlia sendiri yang membatalkannya. Tapi ya sudahlah, sekarang saja aku sampaikan di depan kedua orangtua Kamlia."Sebelumnya saya minta maaf, Juragan dan Tante!" aku menjeda ucapanku sesaat. Aku menarik nafas sambil memikirkan kata yang halus untuk menolaknya."Kamlia wanita yang sangat cantik dan berpendidikan. Dia sama sekali tidak pantas bersanding denganku! Jadi aku putuskan untuk tidak melanjutkan perjodohan ini," ucapku tegas."Apaa!" Teriak juragan Siran, wajahnya memerah tangannya juga mengepal.Kamlia yang duduk di sebelahku juga terkejut, ia langsung menangis. "Kenapa bicara seperti itu, Bang?""Kau tidak boleh membatalkan rencana ini. Kamlia sangat mencintaimu, aku tidak akan biarkan anakku patah hati," ucap juragan Siran sambil menggebrak meja, tatapannya seperti siap membakarku hidup-hidup."Maaf juragan, tapi saya tidak bisa!" tukasku."Sekarang saya akan pergi kerumah orang tuamu untuk menentukan tanggal pernikahannya. Tidak boleh ada kata tidak! Ayahmu punya hutang padaku," jelasnya.Juragan Siran langsung berdiri, ia memegang tangan Kamlia dan berjalan cepat menuju pintu. "Kita langsung ke rumah orang tuanya Alfa," putus Juragan Siran.Aku mematung sesaat melihat adegan pemaksaan ini. Aku mengatakan penolakan, tapi Juragan Siran malah ingin menentukan tanggal pernikahan. Anak sama bapak sama saja. "Ya Allah kuatkan hamba, hamba ingin Kinanti," doaku dalam hati.Aku dan ibunya Kamlia bergegas keluar rumah menyusul mereka. Mereka sudah masuk ke dalam mobil. Ibunya Kamlia juga berlari kecil segera masuk ke dalam mobil. Mereka sama sekali tidak mempedulikan aku yang masih di belakang.Mobil itu berangkat. Aku masih mematung di teras, melihat mereka sampai menghilang dari pandangan. Pintu rumah bahkan tidak mereka tutup, biarlah aku yang menutupnya, dari pada maling masuk malah aku nanti yang di tuduh.Setelah selesai menutup pintu, aku teringat wanitaku, semua akan aku hadapi demi dirinya. Aku mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan ke pada Kinanti, "Kinan, bantu Abang dengan doamu!"Aku menyimpan ponselku kembali, karena Kinanti pasti tidak akan membalasnya, yang penting dia tahu aku sedang berusaha. Aku pun menaiki motor, menyiapkan mentalku menghadapi kemarahan ayah dan ibu di rumah nanti.Aku sampai di rumah, dari teras sudah terdengar Juragan Siran meneriaki ayahku, "Anakmu Alfa berani sekali menolak perjodohan ini. Aku nggak mau tau Eman! Pernikahan mereka harus dilaksanakan. Segera!"Aku bergegas masuk. Semua mata melihat ke arahku. Ayah pun berjalan mendekatiku lalu melayangkan sebuah tamparan di pipiku. Seketika pipiku terasa panas.Ayah menunjuk tepat di wajahku sambil berkata dengan marah, "Berani sekali kau, mengambil keputusan sebesar ini!"Ingin sekali rasanya aku membalas tamparan itu, tapi aku masih menghargainya sebagai ayahku."Bukankah sudah aku bilang kemaren! Aku tidak bisa menikahi Kamlia," ucapku dengan lantang.Sekarang juragan Siran berjalan mendekatiku."Kalau aku tidak membantu Ayahmu dulu, mungkin kau tidak pernah ada di dunia ini!" ujar Juragan Siran mulai mengungkit hutang budinya ayah."Iya, Alfa! mengertilah!" ucap ayah memelas padaku."Sapi-sapi itu mati sebelum ayah dan ibu menikah! Aku tidak ada sangkut pautnya dengan sapi-sapi sial*an itu!" protesku."Jelas kau ada hubungannya. Jika Juragan Siran tidak membantu Ayah membayar hutang, maka ayah dan ibu tidak akan jadi menikah dan kau tidak akan pernah ada di dunia!" jelas ayahku sambil menatap mataku.Mereka memang pernah bercerita padaku, tentang masa lalu ayah saat masih bujang dulu. Beberapa bulan sebelum menikahi ibu, ia menjaga sepuluh ekor sapi untuk dirawat sampai hari raya kurban. Namun saat dalam pengawasan ayah sapi-sapi itu meninggal karena memakan rumput yang beracun.Ayahku tidak mampu menggantinya hingga penjara menjadi pilihan, rencana pernikahan mereka terancam batal. Tepat di saat hari raya kurban datang, Juragan Siran membantu ayah mengganti sapi-sapi itu, karena mereka berteman baik.Seandainya Juragan Siran tidak membantu ayah waktu itu, mereka pasti tidak jadi menikah lalu aku tidak akan lahir ke dunia. Oleh sebab hutang budi itulah aku harus menikahi Kamlia."Aku mungkin akan lahir dari orang tua yang lain," elakku."Astaghfirullah, Nak! Apa yang kau bicarakan? Kau menyesal jadi anak kami?" Ibu menangis menutup mulutnya.Aduh ... kenapalah ibu harus menangis, bukankah memang benar yang aku katakan. Jika dulu mereka tidak jadi menikah, jika Allah berkehendak aku bisa saja lahir dari pasangan yang lain. Bukan maksudku menyesali telah lahir dari mereka, bukan itu."Maaf, Ibu! Aku tidak mengatakan aku menyesal jadi anak kalian!" sanggahku.Aku memandang mereka semua bergantian, lalu berkata, "Sudahlah! Jika kalian terus memaksaku menikah dengan Kamlia, maka dengan terpaksa aku akan menunjukkan sesuatu."Sore sudah hampir maghrib begini aku malah harus membukan aib Kamlia. Sebenarnya sungguh tidak tega, tapi demi masa depanku, aku harus tega. "Maafkan aku, Kamlia!" batinku.Aku berjalan menuju kursi tamu yang terbuat dari rotan itu."Lebih baik kita duduk dulu," ajakku pada mereka semua.Aku duduk terlebih dahulu, disusul ayah dan ibuku yang duduk di sebelah. Lalu juragan Siran, Isterinya dan Kamlia duduk di kursi yang berhadapan denganku. Meskipun sempit tapi masih muat.Aku mulai dengan sedikit basa-basi pada mereka, "Sebelumnya aku minta maaf! Bukan maksudku melakukan ini semua. Hanya saja ke adaan memaksaku."Aku mengeluarkan ponsel. Dari tatapan mereka aku tahu mereka semua sangat penasaran dengan apa yang akan aku sampaikan. Tapi mereka masih diam seribu bahasa, membuatku menambah sedikit kata-kataku."Aku sangat senang Kamlia menginginkan aku menjadi suaminya. Tapi aku tidak bisa, karena seseorang memberitahuku satu hal yang membuat aku harus menolak menikahi Kamlia!""Cepatlah
"Saya terima nikah dan kawinnya Syafnita Kinanti binti Idris Rahmad dengan mas kawin tersebut dibayar ... tuunaaii," aku berhasil mengucapkan kabul dalam satu tarikan nafas dengan sangat lancar."Bagaimana saksi?" tanya Pak Penghulu pada saksi yang telah ditunjuk."Sah ... sah!" ucap saksi hampir bersamaan. Seketika rasa gugup yang membelenggu dari semalam, lepas seketika. Lega sekali rasanya."Ya Allah, aku bahagia sekali!" batinku.Kutatap wajah cantik dengan kerudung putih tulang yang duduk di sampingku. Sesaat pandangan kami bertemu. Wajahnya berseri, ia tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya dariku.Aku pun tersenyum tertahan menyaksikan tingkahnya yang malu-malu seperti kucing. Sungguh ia cantik luar biasa menurutku."Saudara Alfa, boleh tanda tangan di sini!" Suara Pak Penghulu membuyarkan lamunanku dalam kekaguman, ia memintaku untuk menandatangani buku nikah kami. Meskipun aku menikahi seorang janda, namun pernikahan ini juga terdaftar secara negara.Penghulu sekaligus wali
"Nggak! Abang tahu kau wanita yang mandiri," aku menjeda ucapanku. "Tapi untuk ke depannya kau jangan lupa sudah memiliki sandaran!"Aku memperingatinya dengan serius, aku mau dia membutuhkan aku dalam setiap situasi. Bukan bermaksud menginginkannya menjadi wanita manja, aku hanya ingin lebih berguna sebagai suami."Iya, Bang! Kau sandaranku dan anak-anak sekarang," balasnya menatapku. Terlihat harapan yang besar di sana.Setelah satu jam, kami berdua selesai membereskan barang yang berserakan di rumah. Mulai dari dapur, ruang tengah dan ruang tamu sampai ke teras. Semua sudah kami pel dengan bersih, perabot pun sudah kembali ketempat semula.Baru saja aku mau mengantarkan alat pel ke belakang, tangis Yura terdengar."Ibu ... hiks! Ibu di mana?" rengeknya terdengar kencang dari dalam kamar. Semakin lama semakin kencang saja suaranya memanggil ibunya.Kinanti segera berlari mengejar Yura hendak menenangkan bocah itu, tanpa peduli padaku. "Ibu di sini, Ra!" teriaknya.Ia berlari secepat
Aku terbangun mendengar kehebohan di luar kamar. Aku terkejut karena ada rambut panjang tepat di depan wajahku. Aku mencium aromanya yang wangi. Seketika ingatanku tentang pernikahan kemaren muncul."Oh ... iya! Inikan, Kinanti, isteriku," aku membatin merasa lucu, baru bangun masih linglung dengan statusku sendiri.Suara gaduh di luar memaksaku segera bangun dari tidurku. Aku juga membangunkan isteriku."Yang, sayang! Bangun!" Mungkin tidur berbantal lenganku terlalu nyaman, hingga aku sulit membangunkannya. Beberapa kali aku harus menggoyang bahu Kinanti. "Sepertinya di luar, Mixi sama Yura dimarahi ibu," aduku pada isteriku yang masih terlelap."Kenapa, Bang?" tanyanya masih setengah tidur. Namun sudah berusaha untuk bangun. Rupanya Kinanti tidak bingung dengan statusnya sekarang. Berbeda denganku, ia tidak linglung dengan kehadiranku di sisinya."Mixi dan Yura, mereka sudah ke luar!" jawabku.Kinanti segera berdiri, ia juga mendengar suara kencang ibu. Aku juga berdiri dan segera
Setelah selesai berpamitan, kami pun keluar dari rumah itu. Tidak ada satu kado pun yang kami bawa dari hajatan kemaren, padahal teman-teman sepermainanku dulu, turut hadir dan membawakan aku kado. Tapi tidak satu pun yang aku buka, apa lagi aku bawa. Biarlah menjadi milik bapak dan ibu.Aku telah selesai memanaskan mesin motor maticku, lalu mengeluarkannya dari teras rumah. Pangkalan ojek beberapa meter dari rumahku. Aku rasa lebih baik berbonceng empat dari pada mereka berjalan kaki."Yura bisa di depan!" titahku. Anak itu nurut, ia naik di depan dan Mixi di belakang. Sempit sekali motor ini. Aku bahkan mepet ke depan. "Semoga suatu saat bisa beli mobil," batinku.Sampai di pangkalan ojek, sudah ada seorang tukang ojek, langsung saja aku merentalnya untuk dua jam perjalanan. Mixi dan Yura berboncengan dengan tukang ojek, aku mengiringi mereka tepat di belakang hanya berbonceng dengan Kinanti."Yang! Pegangan. Nanti jatuh!" Aku menarik tangannya agar melingkar di pinggangku. Sebelum
Kami sampai di rumah, Kinanti menyiapkan piring untuk kami sarapan. Setelah sarapan, aku pamit mau ke bengkel Mang Ardhan untuk mengambil pakaianku. Selama ini aku tinggal di bengkel, aku dan Mang Ardhan selalu bekerja bersama."Yang, Abang ambil baju di bengkel ya," teriakku. Kinanti sudah berada di dapur setelah membereskan piring kami tadi. Mungkin ia mau bersih-bersih rumah dulu setelah ini, biarlah aku pergi sendiri, jaraknya juga tidak terlalu jauh."I-iya, Bang!" sahutnya yang juga berteriak.Aku mengendarai motor dengan pelan, di perjalanan aku ingin membeli rokok. Aku pun mengarahkan motor ke sebuah warung di pinggir jalan. Aku tadi tidak tahu di situ ada Bang Panji, andai aku tahu tak akan aku mampir di sini. Bang Panji terlihat sedang ngobrol dengan teman-temannya. Begitu aku turun dari motor, aku merasa mereka semua melihat sinis padaku. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.Aku tidak ingin peduli dengan tatapan mereka, mungkin itu hanya perasaan aku saja. Ya sudah, aku
"Eh ... kalian sudah pulang? Ibu baru mau ke pasar beli ayam buat kalian!" sambut Kinanti dengan lembut. Sangat lembut ia bicara pada anak-anak, jiwa keibuannya begitu kental terlihat.Ia melirik ke arahku, aku mengalihkan pandangan. Kepalaku terasa berat saat sudah di ujung begini. Arghh ... ini bocah berdua menggangguku saja."Kalian tunggu di luar ya, Ibu membereskan ini dulu," sambung Kinanti sambil menunjuk kantong kresek yang tadi aku bawa. Ia meminta anaknya ke luar."Baik, Bu!" Mereka keluar begitu saja tanpa menyapaku, mungkin mereka dapat melihat wajahku yang sedang kesal."Jangan ganggu Ibu dulu ya!" teriaknya setelah Mixi dan Yura berlalu dari kamar.Kinanti melihatku kembali lalu berjalan ke arah pintu. "Maaf ya, Bang! Biar aku kunci dulu pintunya."Ia pasti tahu hukumnya melayani suami. Hanya saja hasratku sudah hilang untuk saat ini. Aku menetralkan perasaanku, rasanya aku ingin marah pada dua bocah ajaib yang tiba-tiba datang mengganggu. Aku mulai kesal, tapi tetap aka
Lidahku kelu, aku tak kunjung menjawab. Pelayan muda itu kembali bicara padaku, "Silahkan lihat-lihat dulu, Mas!"Ada beberapa ibu-ibu, semua melihat ke arahku. Rasanya aku ingin mundur saja, tapi barang yang aku cari tersusun indah di patung bagian atas. Sedikit lagi aku akan mendapatkannya. Aku putuskan untuk menegakkan kepala berjalan santai mendekati patung, tidak aku hiraukan lagi tatapan aneh mereka."Mbak! Aku mau yang ungu sama merah!" putusku.Gadis itu pun langsung menurunkan patung dan melepasnya di depanku. Aku segera berbalik badan, seketika aku teringat dengan warna ungu. Entah mengapa warna ungu identik dengan status janda. Rasanya tidak pantas aku membelikan Kinanti warna ungu, nanti ia berpikiran lain."Mbak, yang ungu ganti warna lain aja," ucapku sambil terus berjalan ke kasir tanpa memastikan barang yang ia ganti.Aku menunggu beberapa saat pesanan ku selesai dibungkus."Berapa, Mbak?" Aku menerima kantong kresek dan mengeluarkan dompetku."Seratus enam puluh ribu,