Share

2. Lamaran dan Dilamar

Rahang Basri mengeras, menatap Namira yang hanya bisa menunduk. Dia betulan kecewa dengan putrinya. Kepulangan Namira membuatnya syok. Seorang perempuan mengantarkan Namira dalam keadaan pingsan. Bau alkohol tercium dengan jelas, membuat Basri marah karena anaknya nekat menyentuh minuman haram itu. Dia tau Namira tidak terima dengan perjodohan itu, tapi tidak seharusnya anak itu berkunjung ke tempat maksiat untuk menenangkan diri. Perempuan yang mangantar Namira juga mengatakan bahwa perempuan itu hampir ditiduri oleh seorang lelaki yang mengaku sebagai pacar Namira. Basri yakin, laki-laki itu adalah Sky.

"Puas kamu, Mir. Puas kamu bikin jantung papamu ini hampir copot? Apa mungkin kamu memang ingin papamu ini mati dan kamu tidak jadi menikah dengan anak rekan papa? Hm?" Basri tidak bisa lagi berkata halus. Rasa kecewanya benar-benar besar.

Namira menggelengkan kepalanya. Dia sama sekali tidak punya niatan seperti yang dibicarakan papanya. Namira hanya datang untuk menenangkan diri karena pikirannya yang sudah terlalu kacau. Waktu itu Namira tidak bisa berfikir jernih. "Maafin, Mira, Pa. Mira nggak bermaksud untuk bikin papa sakit. Mira cuma stres dan nggak bisa mikir dengan baik."

"Papa juga stres, Mira. Tapi papa tidak pernah terpikir datang ke club malam untuk menenangkan diri." Mata Basri menyorot tajam Namira yang menangis.

Namira memejamkan matanya. Dia menyesal. Dia mengaku salah. Tindakan yang Namira lakukan memang tidak betul. "Maafin, Mira, Pa... Mira janji nggak bakal ngelakuin ini lagi."

"Janji tidak bisa disebut janji jika buktinya tidak ada, Mira. Dulu, kamu juga pernah nongkrong dengan pacarmu dan hampir berakhir seperti ini. Papa sudah bilang, jangan pacaran tapi kamu malah tidak mendengarkan. Apa bagusnya laki-laki seperti Sky? Lihat, tadi malam saja dia hampir menidurimu."

"Maaf, Pa... Maaf..."

"Papa selalu memaafkanmu, tapi kamu tidak pernah mengerti dengan kemauan papa. Semua yang papa lakukan demi kebaikan kamu, Mira. Papa melarang kamu pacaran karena itu bahaya, dosa. Papa menyuruh kamu memakai pakaian yang tertutup agar auratmu terjaga. Tapi apa? Kamu selalu menentang semuanya dan mengatakan peraturan papa kuno."

Namira semakin terisak kala air mata jatuh dari sudut mata renta papa. Mulut Namira mendadak terbungkam, tidak bisa membalas ucapan papa karena semua yang dia katakan benar. Namira memang anak yang tidak mau menurut.

Basri menghela kasar. Tangannya menyentuh dada ketika rasa sesak mulai menjalar. Renita siap siaga, membantu Basri yang hendak berdiri. Pria itu tidak bisa terlalu emosi karena punya darah tinggi dan penyakit jantung. Bisa bahaya jika Basri nekat marah-marah. Nyawanya bisa saja hilang.

Namira menatap kepergian papa dengan perasaan pilu. Namira tidak ingin papanya terluka, tapi Namira juga tidak ingin terkekang.

"Bersiap-siaplah. Calon suamimu akan datang melamar." Itu ucapan terakhir Basri sebelum benar-benar meninggalkan ruang tengah.

Pagi itu, Namira menumpahkan tangisnya. Sebentar lagi kebebasannya akan lenyap.

***

Juna terdiam setelah Gamandi membahas perihal pernikahannya dengan putri teman kerjanya. Sebenarnya tak masalah, karena Juna memang hidup di atas segala peraturan sang ayah. Sekalipun Juna menolak, semuanya tidak akan berubah. Tapi masalahnya, Juna tidak diberitahukan identitas calon istrinya. Bahkan namanyapun Juna tidak tahu. Katanya biar jadi kejutan.

"Kamu bersiap-siaplah. Kita akan berangkat lima belas menit lagi."

Juna menghela nafas. Lekas beranjak menuju kamar. Sebentar lagi dia akan menikah dengan perempuan yang sama sekali tidak dia kenal. Dia baru saja lulus dari universitas kedokteran, belum sempat berbuat apa-apa dan sekarang akan lekas menikah. Huh, sungguh indah sekali jalan hidupnya.

"Sebentar lagi anak bunda akan menikah. Sayang sekali, bunda tidak ada disini."

Juna mengusap figura sang bunda yang telah lama berpulang. Kemudian segera bersiap-siap. Hari ini, dia akan melamar wanita yang akan menjadi calon istrinya.

***

Keluarga Namira sudah siap, menunggu kedatangan keluarga Gamandi. Siang ini acara lamaran akan berlangsung dan lusa acara pernikahan akan segera di langsungkan. Namira tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada kekuatan untuk menolak atau protes. Namira tidak ingin papanya drop hanya karena masalah ini.

"Pak Gamandi dan keluarga sudah datang."

Basri dan Renita segera berdiri, menyambut Gamandi di depan pintu. Rombongan yang dibawa Gamandi tidak terlalu banyak. Hanya sekitaran empat sampai lima orang.

"Sehat Pak Gama?" Basri menjabat tangan Pak Gamandi.

"Alhamdulillah, sehat Pak Basri."

Sementara orang tua sibuk berbasa basi, tatapan Namira justru fokus pada seorang laki-laki yang berdiri di sisi Gamandi. Juna. Namira kenal dengan wajah itu karena baru semalam mereka bertemu. Jangan katakan jika Junalah calon suami Namira.

Juna tersenyum ramah pada orang tua Namira. Lalu tatapannya tak sengaja bertemu dengan Namira. Jika Namira terkejut, maka Juna lebih dari terkejut. Ternyata perempuan yang dia tolong semalamlah yang akan menjadi calon istrinya. Bagaimana bisa dunia sesempit ini?

Kedua keluarga duduk berhadap-hadapan. Berkali-kali Namira curi-curi pandang dan selalu ketahuan. Dia bukannya terpesona atau bersyukur bisa dilamar oleh laki-laki seperti Juna, hanya saja, ada sedikit rasa tidak terima. Entahlah, ada sesuatu yang tak kasat mata yang menolak kehadiran Juna.

Malahan Namira membenci laki-laki itu karena mau-mau saja menikah dengannya. Namira membuat tekad untuk tidak jatuh cinta pada Arjuna.

"Bagaimana Namira? Apakah kamu menerima lamaran anak saya?"

Namira tersentak, menatap Gamandi yang baru saja bertanya. Mata Namira melirik ayahnya, lalu menatap Juna lalu kemudian kembali menatap Gamandi. Dia menarik nafas, lalu menghembuskannya pelan. "Ya, Mira menerima lamaran, Arjuna."

Semua mengucap syukur. Tampak kebahagiaan di wajah Basri yang beberapa hari kemarin selalu murung. Gamandi menjabat tangan Basri, mengucapkan selamat dan Basri membalas dengan lirih ucapan terima kasih. Semua masalah yang terjadi akan segera berakhir. Apa yang telah dia perjuangkan akan kembali bangkit.

Acara dilanjut dengan kegiatan makan-makan. Renita sudah menyiapkan banyak jamuan untuk dinikmati bersama keluarga Gamandi. Mereka berlalu menuju meja makan, menyisakan Namira yang masih duduk di ruang tamu. Juna sendiri pamit untuk ke kamar mandi.

"Kenapa nggak ikut makan?"

Namira menoleh. Juna duduk di sebelahnya. "Peduli lo?"

Juna mengedikkan bahunya. Dia hanya bertanya. "Nggak nyangka kan kalau saya yang bakal jadi suami kamu?"

Namira mendelik sinis. "Lebih tepatnya nggak mau. Gue udah punya pacar asal lo tau."

"Putusin."

Namira menatap Juna sengit. "Apaan? Gue Cinta sama dia."

"Pacar kamu nggak baik. Semalam dia hampir ngerusak kamu." Juna masih ingat bagaimana Sky melucuti bajunya dan menidurkan Namira yang tak berdaya di atas ranjang. Pikiran busuk macam apa itu? Jika pacar Namira mencintai perempuan itu, tak seharusnya dia melakukan hal itu. Dan seharusnya dia tidak membawa Namira ke tempat seperti itu.

Dahi Namira mengerut heran. "Tau dari mana lo?"

"Saya yang menyelamatkan kamu. Cuma saya nyuruh Zuna buat nganterin kamu pulang," jawab Juna. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, lalu membuang nafas pelan. "Lagian, kayak nggak ada tempat lain aja yang didatengin. Itu isinya orang sesat semua. Datang ke sana sama aja bunuh diri."

Fakta baru. Juna dua kali menjadi pahlawan dan menyelamatkan Namira dari kejadian yang hampir serupa. Pertama, preman yang ingin melecehkannya dan kedua, Sky yang ingin menidurinya. Apa Namira harus mengucapkan terima kasih karena aksi heroik laki-laki itu? Cih, bukan Namira namanya jika luluh dengan mudah hanya karena Juna menyelamatkan hidupnya.

"Lo berharap gue balas budi atas apa yang lo lakuin?" Namira terkekeh sinis, lalu menggeleng pelan. "Jangan harap Arjuna."

"Saya nggak butuh tuh. Saya juga nggak peduli dengan aksi balas Budi kamu." Juna berujar acuh.

"Terus? Mau gue kasih cinta? Atau menerima pernikahan ini dengan lapang dada?" Namira kembali menggelengkan kepalanya. "Gue nggak akan pernah mencintai lo, Juna. Justru gue benci sama lo."

"Hati-hati. Cinta sama benci beda tipis." Juna membalas ucapan Namira, lalu beranjak pergi begitu saja. Mau perempuan itu Cinta atau tidak, Juna tidak peduli. Dia hanya akan melakukan tugasnya sebagai suami yang baik nantinya. Toh, kalau Namira melawan dan membangkang, dia juga yang akan susah.

Namira mengepalkan tangannya. Menatap Juna tajam. "Awas lo. Gue bakal bikin lo nyesel nikah sama gue."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status