Rahang Basri mengeras, menatap Namira yang hanya bisa menunduk. Dia betulan kecewa dengan putrinya. Kepulangan Namira membuatnya syok. Seorang perempuan mengantarkan Namira dalam keadaan pingsan. Bau alkohol tercium dengan jelas, membuat Basri marah karena anaknya nekat menyentuh minuman haram itu. Dia tau Namira tidak terima dengan perjodohan itu, tapi tidak seharusnya anak itu berkunjung ke tempat maksiat untuk menenangkan diri. Perempuan yang mangantar Namira juga mengatakan bahwa perempuan itu hampir ditiduri oleh seorang lelaki yang mengaku sebagai pacar Namira. Basri yakin, laki-laki itu adalah Sky.
"Puas kamu, Mir. Puas kamu bikin jantung papamu ini hampir copot? Apa mungkin kamu memang ingin papamu ini mati dan kamu tidak jadi menikah dengan anak rekan papa? Hm?" Basri tidak bisa lagi berkata halus. Rasa kecewanya benar-benar besar.Namira menggelengkan kepalanya. Dia sama sekali tidak punya niatan seperti yang dibicarakan papanya. Namira hanya datang untuk menenangkan diri karena pikirannya yang sudah terlalu kacau. Waktu itu Namira tidak bisa berfikir jernih. "Maafin, Mira, Pa. Mira nggak bermaksud untuk bikin papa sakit. Mira cuma stres dan nggak bisa mikir dengan baik.""Papa juga stres, Mira. Tapi papa tidak pernah terpikir datang ke club malam untuk menenangkan diri." Mata Basri menyorot tajam Namira yang menangis.Namira memejamkan matanya. Dia menyesal. Dia mengaku salah. Tindakan yang Namira lakukan memang tidak betul. "Maafin, Mira, Pa... Mira janji nggak bakal ngelakuin ini lagi.""Janji tidak bisa disebut janji jika buktinya tidak ada, Mira. Dulu, kamu juga pernah nongkrong dengan pacarmu dan hampir berakhir seperti ini. Papa sudah bilang, jangan pacaran tapi kamu malah tidak mendengarkan. Apa bagusnya laki-laki seperti Sky? Lihat, tadi malam saja dia hampir menidurimu.""Maaf, Pa... Maaf...""Papa selalu memaafkanmu, tapi kamu tidak pernah mengerti dengan kemauan papa. Semua yang papa lakukan demi kebaikan kamu, Mira. Papa melarang kamu pacaran karena itu bahaya, dosa. Papa menyuruh kamu memakai pakaian yang tertutup agar auratmu terjaga. Tapi apa? Kamu selalu menentang semuanya dan mengatakan peraturan papa kuno."Namira semakin terisak kala air mata jatuh dari sudut mata renta papa. Mulut Namira mendadak terbungkam, tidak bisa membalas ucapan papa karena semua yang dia katakan benar. Namira memang anak yang tidak mau menurut.Basri menghela kasar. Tangannya menyentuh dada ketika rasa sesak mulai menjalar. Renita siap siaga, membantu Basri yang hendak berdiri. Pria itu tidak bisa terlalu emosi karena punya darah tinggi dan penyakit jantung. Bisa bahaya jika Basri nekat marah-marah. Nyawanya bisa saja hilang.Namira menatap kepergian papa dengan perasaan pilu. Namira tidak ingin papanya terluka, tapi Namira juga tidak ingin terkekang."Bersiap-siaplah. Calon suamimu akan datang melamar." Itu ucapan terakhir Basri sebelum benar-benar meninggalkan ruang tengah.Pagi itu, Namira menumpahkan tangisnya. Sebentar lagi kebebasannya akan lenyap.***Juna terdiam setelah Gamandi membahas perihal pernikahannya dengan putri teman kerjanya. Sebenarnya tak masalah, karena Juna memang hidup di atas segala peraturan sang ayah. Sekalipun Juna menolak, semuanya tidak akan berubah. Tapi masalahnya, Juna tidak diberitahukan identitas calon istrinya. Bahkan namanyapun Juna tidak tahu. Katanya biar jadi kejutan."Kamu bersiap-siaplah. Kita akan berangkat lima belas menit lagi."Juna menghela nafas. Lekas beranjak menuju kamar. Sebentar lagi dia akan menikah dengan perempuan yang sama sekali tidak dia kenal. Dia baru saja lulus dari universitas kedokteran, belum sempat berbuat apa-apa dan sekarang akan lekas menikah. Huh, sungguh indah sekali jalan hidupnya."Sebentar lagi anak bunda akan menikah. Sayang sekali, bunda tidak ada disini."Juna mengusap figura sang bunda yang telah lama berpulang. Kemudian segera bersiap-siap. Hari ini, dia akan melamar wanita yang akan menjadi calon istrinya.***Keluarga Namira sudah siap, menunggu kedatangan keluarga Gamandi. Siang ini acara lamaran akan berlangsung dan lusa acara pernikahan akan segera di langsungkan. Namira tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada kekuatan untuk menolak atau protes. Namira tidak ingin papanya drop hanya karena masalah ini."Pak Gamandi dan keluarga sudah datang."Basri dan Renita segera berdiri, menyambut Gamandi di depan pintu. Rombongan yang dibawa Gamandi tidak terlalu banyak. Hanya sekitaran empat sampai lima orang."Sehat Pak Gama?" Basri menjabat tangan Pak Gamandi."Alhamdulillah, sehat Pak Basri."Sementara orang tua sibuk berbasa basi, tatapan Namira justru fokus pada seorang laki-laki yang berdiri di sisi Gamandi. Juna. Namira kenal dengan wajah itu karena baru semalam mereka bertemu. Jangan katakan jika Junalah calon suami Namira.Juna tersenyum ramah pada orang tua Namira. Lalu tatapannya tak sengaja bertemu dengan Namira. Jika Namira terkejut, maka Juna lebih dari terkejut. Ternyata perempuan yang dia tolong semalamlah yang akan menjadi calon istrinya. Bagaimana bisa dunia sesempit ini?Kedua keluarga duduk berhadap-hadapan. Berkali-kali Namira curi-curi pandang dan selalu ketahuan. Dia bukannya terpesona atau bersyukur bisa dilamar oleh laki-laki seperti Juna, hanya saja, ada sedikit rasa tidak terima. Entahlah, ada sesuatu yang tak kasat mata yang menolak kehadiran Juna.Malahan Namira membenci laki-laki itu karena mau-mau saja menikah dengannya. Namira membuat tekad untuk tidak jatuh cinta pada Arjuna."Bagaimana Namira? Apakah kamu menerima lamaran anak saya?"Namira tersentak, menatap Gamandi yang baru saja bertanya. Mata Namira melirik ayahnya, lalu menatap Juna lalu kemudian kembali menatap Gamandi. Dia menarik nafas, lalu menghembuskannya pelan. "Ya, Mira menerima lamaran, Arjuna."Semua mengucap syukur. Tampak kebahagiaan di wajah Basri yang beberapa hari kemarin selalu murung. Gamandi menjabat tangan Basri, mengucapkan selamat dan Basri membalas dengan lirih ucapan terima kasih. Semua masalah yang terjadi akan segera berakhir. Apa yang telah dia perjuangkan akan kembali bangkit.Acara dilanjut dengan kegiatan makan-makan. Renita sudah menyiapkan banyak jamuan untuk dinikmati bersama keluarga Gamandi. Mereka berlalu menuju meja makan, menyisakan Namira yang masih duduk di ruang tamu. Juna sendiri pamit untuk ke kamar mandi."Kenapa nggak ikut makan?"Namira menoleh. Juna duduk di sebelahnya. "Peduli lo?"Juna mengedikkan bahunya. Dia hanya bertanya. "Nggak nyangka kan kalau saya yang bakal jadi suami kamu?"Namira mendelik sinis. "Lebih tepatnya nggak mau. Gue udah punya pacar asal lo tau.""Putusin."Namira menatap Juna sengit. "Apaan? Gue Cinta sama dia.""Pacar kamu nggak baik. Semalam dia hampir ngerusak kamu." Juna masih ingat bagaimana Sky melucuti bajunya dan menidurkan Namira yang tak berdaya di atas ranjang. Pikiran busuk macam apa itu? Jika pacar Namira mencintai perempuan itu, tak seharusnya dia melakukan hal itu. Dan seharusnya dia tidak membawa Namira ke tempat seperti itu.Dahi Namira mengerut heran. "Tau dari mana lo?""Saya yang menyelamatkan kamu. Cuma saya nyuruh Zuna buat nganterin kamu pulang," jawab Juna. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, lalu membuang nafas pelan. "Lagian, kayak nggak ada tempat lain aja yang didatengin. Itu isinya orang sesat semua. Datang ke sana sama aja bunuh diri."Fakta baru. Juna dua kali menjadi pahlawan dan menyelamatkan Namira dari kejadian yang hampir serupa. Pertama, preman yang ingin melecehkannya dan kedua, Sky yang ingin menidurinya. Apa Namira harus mengucapkan terima kasih karena aksi heroik laki-laki itu? Cih, bukan Namira namanya jika luluh dengan mudah hanya karena Juna menyelamatkan hidupnya."Lo berharap gue balas budi atas apa yang lo lakuin?" Namira terkekeh sinis, lalu menggeleng pelan. "Jangan harap Arjuna.""Saya nggak butuh tuh. Saya juga nggak peduli dengan aksi balas Budi kamu." Juna berujar acuh."Terus? Mau gue kasih cinta? Atau menerima pernikahan ini dengan lapang dada?" Namira kembali menggelengkan kepalanya. "Gue nggak akan pernah mencintai lo, Juna. Justru gue benci sama lo.""Hati-hati. Cinta sama benci beda tipis." Juna membalas ucapan Namira, lalu beranjak pergi begitu saja. Mau perempuan itu Cinta atau tidak, Juna tidak peduli. Dia hanya akan melakukan tugasnya sebagai suami yang baik nantinya. Toh, kalau Namira melawan dan membangkang, dia juga yang akan susah.Namira mengepalkan tangannya. Menatap Juna tajam. "Awas lo. Gue bakal bikin lo nyesel nikah sama gue."Waktu berlalu begitu cepat. Acara lamaran usai beberapa jam yang lalu. Kini, Namira berada di cafe tempat Skarion bekerja. Dia ingin menceritakan adegan terberat yang dia lalui beberapa hari ini pada Sakrion. Namira ingin mencurahkan semua keluh kesahnya pada laki-laki itu. "Jadi, lo ada masalah apa?"Skarion adalah satu-satu teman yang Namira punya. Hanya laki-laki itu yang mau mengerti dengan segala keluh kesah yang Namira utarakan. Namira tidak punya teman perempuan karena menurutnya susah mencari teman perempuan yang betulan ingin menjadi teman. Kebanyakan dari mereka munafik dan bermuka dua. Namira menghela nafas panjang. "Gue pengen mati.""Jangan dong!" Skarion menyela dengan tegas. Datang-datang malah bilang mau mati. "Cerita aja. Lo kenapa sampai semenyedihkan ini?""Gue bakal kasih tau lo dalam bentuk poin." Namira malas menjabarkan keseluruhannya. Lebih baik di bagi-bagi agar lebih mudah di ceritakan. Lagipula, masalah yang Namira dapat tidak hanya satu. "Sok atuh, cerit
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, hari pernikahan Namira dan Junapun tiba. Hari ini, mereka akan melangsungkan akad disusul acara resepsi. Acara digelar di sebuah gedung milik Gamandi dan semuanya sudah diatur oleh pria itu. Namira dan sekeluarga hanya tinggal datang, membawa si pengantin wanita yang tak lain adalah Namira yang sudah didandani secantik mungkin serta di pakaikan kebaya yang sudah disiapkan ibu Namira. Namira di gandeng Basri dan Renita memasuki gedung yang sudah dipenuhi banyak orang. Tampak di tempat ijab qabul, Juna duduk menunggu. Ditemani bapak penghulu dan beberapa saksi dari pihak Namira dan Juna. Laki-laki itu menawan dan rupawan dengan setelannya. Kemeja putih dibalut jas berwarna hitam. Berpadu dengan celana bahan berwarna senada. Tak lupa dengan kopiah yang menutupi kepala Juna, membuatnya terlihat semakin tampan. Namira akui, Juna memang tampan. "Karena pengantin wanitanya sudah duduk di samping mas ganteng, ada baiknya kita mulai ijab qabulnya," u
Pagi menjelang terlalu cepat. Tak disangka, Juna tertidur pulas sembari memeluk Namira yang juga tidak menyadari posisi mereka. Nampak terlelap begitu nyenyak, membuat Juna yang sudah bangun duluan menjadi deg-degan. Posisi yang berbahaya, membuat darah berdesir dan jantung berdebar-debar. Wah, memang tidak sia-sia dia menikah dengan perempuan itu. Sebenarnya paras tak terlalu diperhitungkan, tapi jika dapat yang hampir sempurna, jelas Juna bersyukur. "AAAAAAA!"BUGH! Namira terbangun tepat di saat mata Juna menatap dalam wajah perempuan itu. Namira memekik, mendorong Juna yang memeluknya hingga jatuh dari ranjang. Meringis sudah tulung punggung Juna karena terhantuk sudut nakas. "Lo ngapain?!"Juna mengerutkan dahi kesakitan. Memegangi pinggangnya yang berkedut. Kemudian tatapannya tertuju pada Namira yang melotot garang. "Kamu kenapa dorong saya?!""Situ ngapain meluk gue?!""Ya mana saya tau."Namira menatap Juna kesal. Ingin ia bejek-bejek rasanya wajah tampan itu. Tapi Namira
"Kita pisah kamar?""Maunya sih gitu.""Alay banget. Serius.""Kok alay?!""Kayak drama. Ini dunia nyata, ngapain tidur pisah kamar. Mending nggak usah nikah.""Kok?!"Juna menaikkan kedua alisnya, menantang Namira untuk lanjut berbicara. Perempuan itu menatap Juna tajam, kemudian berlalu meninggalkan laki-laki itu dengan langkah yang dihentak-hentakkan. Dari belakang, Juna memperhatikan dalam diam. Tidak melepas pandangan hingga perempuan itu hilang di balik tangga. Kemudian ia ikut menyusul sembari menggeleng-gelengkan kepala tidak habis fikir. Lantai atas punya dua kamar. Salah satu pintunya terbuka lebar, memperlihatkan Namira yang sibuk meratapi diri di depan kaca. Tampak frustasi. Mungkin dia menyesal dengan pernikahan ini. Tapi ya bodo amat. Rezal hanya mengedikkan bahunya, tidak mau peduli. Tidak ada gunanya menyesal. Salah dia sendiri, kenapa disaat Juna datang melamar, Namira menerimanya dengan senang hati. Kalau tidak mau ya tolak. Toh, Juna bisa menikah dengan perempuan l
Usai melaksanakan sholat Maghrib, Namira memutuskan untuk duduk di ruang tengah, berniat untuk menonton televisi atau serial atau series atau semacam itulah. Sebelum itu, Namira sudah memesan cemilan untuk menemaninya saat nonton. Rencananya ia akan menonton ulang film Korea yang berjudul Descandent of the sun. Masih belum move on dan ada sedikit rasa rindu terhadap bapak-bapak tentara keren itu.Namun tampaknya rencana menonton dengan tenang tidak akan berjalan dengan lancar, sebab Juna tiba-tiba duduk di sebelahnya tanpa permisi. Mana langsung meraih remot dan mengganti siaran ke siaran tv nasional. Langsung saja, Pak Kemet dan Dadang menjadi tontonan Namira."Kok lo ganti sih?!"Juna menoleh, menatap Namira dengan air muka lugu. "Emangnya kamu mau nonton film apa? Dunia terbalik kan?"Namira menatap Juna kesal. Sejak kapan tontonan Namira dunia terbalik? Tau saja tidak dia kalau ada serial itu di pertelevisian Indonesia. "Gue mau nonton Drakor, Juna! Apaan tuh dunia terbalik.""Dra
Omong kosong jika mereka betulan ke toko elektronik untuk membeli remot tv. Nyatanya, tempat yang mereka kunjungi adalah area street food malam. Membeli aneka jajanan yang entahlah--Namira tidak menduga bahwa Juna yang sok cool itu suka dengan arum manis. Bahkan dia membeli dua bungkus karena saking sukanya.Tak hanya itu, ia juga membeli beberapa makanan asin dan gurih. Dan tampaknya, kegiatan jajan itu sepenuhnya dilakukan oleh Juna. Ia bahkan menghiraukan Namira dan tidak peduli jika Namira tertinggal di belakang. Seharusnya yang sibuk menyapa abang-abang gerobak itu adalah dirinya, bukan Juna.Dan kini, mereka sudah berada di dalam mobil. Setelah menghabiskan setengah isi dompet dan separuh jam hanya untuk menelusuri pinggiran jalan. Wajah Namira masih tertekuk kesal meski sudah disogok dua kotak martabak sultan. Junapun tidak merasa bersalah karena telah mengerjai perempuan itu. Jika Namira memang tidak ingin ada di sini untuk menemaninya, Namira bisa pulang sendiri dengan angkot
"Masak apa Bu?" tanya Namira pada Bi Arum yang sedang asik di dapur. Memotong-motong kentang sembari memperhatikan masakan di wajan. Bi Arum tersenyum kala tau Namira datang ke dapur. "Masak telur dadar sama sop sayur non," jawab Bi Arum. Memang telur dadar ternyata.Namira menganggukkan kepalanya mengerti. "Boleh nggak kalau Mira ikutan masak?"Bi Arum langsung menatap kaget Namira. "Non mau masak?""Iya Bu.""Tapi jangan deh non. Ini bibi mau goreng ayam. Kalau non yang goreng, nanti tangannya kecipratan minyak." Bi Arum tidak mengizinkan. Takut istri dari majikannya itu terluka jika nekat berdekatan dengan wajan.Namira memasang wajah cemberut. "Bolehlah Bu. Mumpung Mira nggak ada kerjaan." Bi Arum masih ragu untuk memberikan izin kepada Namira. Bahaya jika ibu negara itu terluka karena nekat terjun ke dapur. Bisa-bisa sang paduka mengamuk."Biarin aja, bi. Manusia males kayak dia emang harus tau sama dapur." Entah sejak kapan, Juna berdiri di samping kulkas sembari bersedekap da
"Saya pergi dulu," pamit Juna pada Namira kala mendapati perempuan itu sedang duduk di teras. Membaca majalah seraya menikmati secangkir kopi. Namira mendongak, menatap Arjuna yang sudah kece abis. Tubuh dibalut kemeja lengan pendek berwarna hitam, kaki dilindungi sepatu kece yang kerap dipakai orang-orang kantoran, kaca mata minus di atas hidung, celana bahan berwarna hitam, jam tangan, tas tentengan, jas putih yang tersampir di salah satu lengan, hm--ini terlalu rapi untuk keluar rumah mencari angin. Namira menyipitkan matanya, curiga dengan Juna yang tumben-tumbenan ganteng maksimal. "Mau kemana?""Rumah sakit.""Ngapain? Lo sakit?" tanya Namira, heran. Juna menggeleng. "Ada perlu. Kamu kalau butuh apa-apa, bilang aja sama Bi Arum.""Tapi gue juga mau keluar." Namira juga sudah punya rencana untuk menghabiskan waktu luangnya. Juna beroh singkat. "Yaudah. Saya berangkat kalau gitu."Namira menahan Juna yan