Waktu berlalu begitu cepat. Acara lamaran usai beberapa jam yang lalu. Kini, Namira berada di cafe tempat Skarion bekerja. Dia ingin menceritakan adegan terberat yang dia lalui beberapa hari ini pada Sakrion. Namira ingin mencurahkan semua keluh kesahnya pada laki-laki itu.
"Jadi, lo ada masalah apa?"Skarion adalah satu-satu teman yang Namira punya. Hanya laki-laki itu yang mau mengerti dengan segala keluh kesah yang Namira utarakan. Namira tidak punya teman perempuan karena menurutnya susah mencari teman perempuan yang betulan ingin menjadi teman. Kebanyakan dari mereka munafik dan bermuka dua.Namira menghela nafas panjang. "Gue pengen mati.""Jangan dong!" Skarion menyela dengan tegas. Datang-datang malah bilang mau mati. "Cerita aja. Lo kenapa sampai semenyedihkan ini?""Gue bakal kasih tau lo dalam bentuk poin." Namira malas menjabarkan keseluruhannya. Lebih baik di bagi-bagi agar lebih mudah di ceritakan. Lagipula, masalah yang Namira dapat tidak hanya satu."Sok atuh, cerita.""Pertama, gue hampir dilecehin sama preman. Kejadiannya malam tadi, pas balik dari sini." Itu adalah poin pertama yang cukup berat. Jika saja Juna tidak datang menyelamatkan, mungkin sekarang Namira tidak akan duduk di hadapan Skarion. Eits, kenapa dirinya malah teringat dengan Juna?Laki-laki bercelemek coklat itu melebarkan bola matanya. Tentu kaget. "Kok bisa? Pasti gara-gara nungguin angkot kan? Kualat sih lo, nggak mau gue anterin balik."Namira mengangkat tangannya, meminta Skarion menjeda omelannya. Masih ada dua poin lagi yang harus Namira sampaikan."Yang kedua, gue hampir di tidurin sama Sky." Lagi-lagi Namira dalam bahaya. Beruntungnya, Juna datang menyelamatkan Namira. Kalau tidak, mungkin dia sudah berada di rumah sakit karena penyakit jantung ayahnya kumat. Untuk kedua kalinya, Juna menyelamatkan Namira."What?!" Mata Skarion dibuat melompat dari tempatnya. Kembarannya hampir meniduri Namira? Gila sekali bocah itu. "Kenapa bisa?""Sehabis dari sini, bokap bahas soal perjodohan. Gue nolak, tapi bokap tetap maksa. Gue stres, minta Sky buat jemput dan antar gue ke club. Di sini emang gue yang salah karena berani-beraninya datang ke tempat itu. Tapi--lo ngertilah, gue butuh ketenangan."Namira menghela nafas sebelum kembali melanjutkan."Gue mabok, terus gue nggak tau apa yang terjadi. Paginya, bokap marah, gue ketahuan. Dia bilang gue ditolong sama seseorang dan seseorang itu bilang Sky hampir nidurin gue. Beruntung orang yang nyelamatin gue datang tepat waktu. Kalau enggak--duh, nggak hidup gue sekarang."Diam-diam tangan Skarion terkepal. Bajingan sekali saudaranya sampai punya niatan untuk merusak Namira. Dari awal Skarion sudah memperingatkan bahwa Sky bukan laki-laki baik. Pria itu brandal dan nakal. Tidak cocok bersanding dengan Namira. Tapi yang namanya perempuan, kalau sudah cinta, semuanya terlihat baik. Mata buta dan telinga dibuat tuli hanya karena cinta."Gue minta maaf atas nama Sky, Ra. Gue nggak nyangka tuh bajingan bakal ngelakuin hal keji. Nanti gue bakal ngasih dia pelajaran."Namira mengangguk pelan. Tindakan Sky memang tidak di wajarkan. Namira sendiri sudah mempersiapkan diri untuk bertemu dengan laki-laki itu dan mengakhiri hubungan mereka. Tak peduli jika dirinya masih menaruh cinta pada Sky."Yang ketiga, gue dijodohin. Ini emang nggak seberat poin sebelumnya, tapi lo mau tau siapa calon suami gue?"Skarion mengangguk cepat. Namira menghela nafas. "Namanya Arjuna. Orang yang udah dua kali nolongin gue. Waktu di jahatin preman, Juna yang nolongin. Waktu di jahatin Sky, Juna juga yang nolongin. Ini nggak sulit, tapi lucu! Gue nggak bisa ketawa karena saking lucunya!"Skarion mengusap bahu Namira, menguatkan perempuan itu. Skarion tau, ini pasti berat. "Sabar, Ra. Gue tau lo kuat. Seenggaknya lo berjodoh sama orang baik, nggak kayak Sky.""Iya baik, tapi gue nggak mau!" Namira membenarkan kepalanya di lipatan tangan. Frustasi sekali dirinya. "Entah kenapa, gue malah benci sama dia.""Benci sama cinta beda tipis.""Gue benci karena dia mau nerima perjodohan ini. Ah, kenapa harus dia? Gue malu, Sak. Gue malu bersanding sama Arjuna. Dia terlalu sempurna.""Jodoh kan nggak ada yang tau, Ra. Gue yakin, kalian bisa saling melengkapi."Namira memejamkan matanya. "Waktu itu gue fitnah dia mau mesum karena nggak sengaja megang paha gue. Tapi ternyata dia mau nolongin gue dari preman mesum, karena ada sedikit kesalahan gue jadi salah paham. Gue malu, Saka.""Gue yakin dia dewasa, nggak bakal ngungkit-ngungkit masalah kecil kayak begitu.""Tapi gue malu! Hampir nggak punya muka gue pas ketemu sama dia."Skarion kalau jadi Namira juga malu. Orang punya niat baik buat nolongin tapi malah difitnah. Tapi mau bagaimana lagi, salah paham akan selalu ada. "Jangan dipikirin, Ra. Ntar lo malah stres cuma karena masalah malu.""Pusing gue. Mana lusa mau nikah.""Lo undang gue kan?""Iyalah! Yakali enggak." Namira mengangkat kepalanya, menatap Skarion yang tersenyum lebar."Terus? Sky?""Gue bakal putus. Gue nggak mau sama cowok yang nggak bisa menjaga wanitanya. Gue pikir dia baik, tapi tetep aja dia punya pemikiran kotor kayak gitu.""Apapun keputusan lo, gue selalu dukung." Skarion tersenyum teduh, membuat Namira ikut tersenyum."Lo mau makan nggak? Biar gue traktir. Cafe kita lagi ngeluarin menu baru."Namira beruntung punya teman seperti Skarion. "Boleh deh. Menunya apa?""Ayam geprek sambel terasi. Enak, Ra. Serius." Skarion jadi lapar kala membayangkan makanan yang baru saja dia sebut. Padahal Skarion baru selesai makan."Boleh deh, Sak.""Siip. Gue bikinin, spesial buat lo."Namira tersenyum seraya mengacungkan jempolnya. "Makasih ya, Saka.""Yoa!"***Selepas dari tempat Skarion, Namira mampir di sebuah restoran. Dia meminta Sky datang ke sana karena Namira akan mengakhiri hubungannya dengan laki-laki itu hari ini. Bodo amat jika Sky menolak. Intinya Namira ingin lepas dari laki-laki itu. Lagipula, lusa dia akan menikah dengan Juna.Beberapa menit menunggu, akhirnya Sky datang. Gaya laki-laki itu tidak pernah berubah. Jaket rock, celana sobek-sobek, topi hitam dan sepatu converse. Keren sih, tapi lebih keren Skarion yang suka berpakaian rapi. Dua manusia itu berbeda jauh sekali. Namira jadi penasaran kenapa dirinya bisa jatuh cinta pada laki-laki seperti Sky. Kalau kata Skarion, laki-laki belangsak."Sori telat, Ra. Tadi ada perlu dulu." Sky melempar senyum sembari menarik kursi di hadapan Namira.Perempuan itu hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Tiba-tiba dia merasa gelisah. Semacam takut kala teringat dengan kejadian malam tadi."Kamu nggak pesen makan?" tanya Sky. Tidak ada makanan dan minuman di meja mereka. Hanya vas berisi bunga mawar dan dua lilin aroma terapi yang padam.Namira menggeleng pelan. "Hm, Kai." Namira menggaruk telinganya, bingung mulai dari mana. Basa basi atau langsung saja?"Kenapa sayang? Ada masalah?" Sky melipat kedua tangan di atas meja. Tatapannya tertuju pada Namira. "Ceritain aja. Mana tau aku punya solusi."Namira tersenyum kecil. Serius, Namira tidak tega memutuskan Kai. Dia malah kasihan dengan laki-laki itu. "Kai...""Iya. Ada apa?"Menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya pelan. Namira pasti bisa. Dia pasti bisa mengakhiri hubungannya. Pasti bisa!"Aku mau kita putus, Kai."Senyum manis di wajah Sky langsung lenyap, berganti sorot tajam yang begitu menusuk. Namira meneguk ludahnya, menatap Kai takut. Dia yakin, Kai pasti tidak setuju."Putus?!""Maaf, Kai," lirih Namira menundukkan kepalanya. Dia takut dengan wajah marah laki-laki itu.Kai terkekeh kecewa. Kemudian berteriak sembari menyapu semua benda yang berada di atas meja hingga berserakan di lantai. Dia berdiri dari duduknya, agak merendahkan tubuhnya agar wajahnya sejajar dengan wajah Namira. "Gue nggak mau putus, Namira! Nggak akan!""Tapi kita harus putus," balas Namira enggan menatap wajah Sky. Dia masih menunduk, menatap kedua telapak tangan yang bergetar.Brak!Sky memukul meja kuat, membuat Namira tersentak kaget. Sekarang dia betulan ketakutan. Sebelumnya Namira tak pernah melihat Sky semarah ini. "Kenapa harus?""Aku bakal nikah. Kita nggak lanjut, Kai." Namira beranikan diri menatap wajah Sky yang sudah memerah. Dia tak boleh ciut. Sky akan senang jika Namira ketakutan dan lemah. "Kita harus selesai, Kai.""Nikah?" Sky tertawa miris sembari membuang muka ke samping. "Jadi lo beneran setuju sama pernikahan rancangan bokap lo?""Maaf. Tapi papa lebih penting, Kai." Ya, Namira tidak ingin Papanya jatuh sakit hanya karena masalah pernikahan ini. Tak apa perasaan Namira sakit, asalkan papa baik-baik saja.Sky menggeram, memukul meja dengan kepalan tangannya. Dia tidak ingin melepaskan Namira. Sky mencintai perempuan itu. Bahkan di laut khayalnya sudah tercipta rumah dan pesta pernikahan mereka berdua. Seharusnya Sky yang bersama Namira hingga ke pelaminan. Bukan laki-laki asing yang datang karena dijodohkan. Ah! Sial! Sky membenci keluarga Namira.Melihat Sky yang diam, sebuah ide muncul di otak Namira. Cara agar laki-laki itu merelakannya ialah dengan tidak menampakkan wajah lagi di hadapan Sky. Kalau bisa mereka tidak bertemu dalam jangka waktu yang cukup lama. Maka dari itu, Namira beranjak bangkit. Dia harus sesegera mungkin pergi dari sini. "Sekali lagi aku minta maaf, Kai. Semoga kamu selalu bahagia. Aku pamit pulang."Sky menatap ke arah Namira. Tangannya terulur menahan pergelangan tangan perempuan itu, membuat Namira tak bisa melangkah. "Kata siapa lo boleh pergi?""Lepas, Kai."Sky menggelengkan kepalanya. Masih ada sisa kemarahan di wajah Sky. Namira takut laki-laki itu kalap dan malah melakukan hal diluar dugaan. Sky kasar dan tidak punya hati jika sedang dikuasai amarah. "Denger, Namira. Gue nggak bakal lepasin lo. Mau lo udah nikah, punya anak atau bahkan jadi nenek sekalipun. Kita akan selamanya menjadi sepasang kekasih.""Enggak." Namira menggelengkan kepalanya sembari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Sky yang kian menguat. "Kita nggak bisa sama-sama. Lupain aku dan cari perempuan lain, Kai.""Kenapa nggak bisa? Karena lo udah nikah?" Sky berdecak pelan. "Kita bisa pacaran secara diam-diam. Nikah secara diam-diam juga bisa. Semuanya bakal aman kalau nggak ketahuan Namira.""Jangan gila, Kai!""Gue nggak gila. Gue hanya mengusulkan. Lagian, lo masih cinta kan sama gue?"Namira menarik tangannya kuat hingga terlepas, lalu melayangkan tatapan tajam ke arah laki-laki itu. Benar kata Skarion, Sky yang selama ini bersama Namira hanyalah Sky berwajah topeng. Dia tak mengira laki-laki itu akan seperti ini."Kita selesai, Kai! Sekalipun aku masih cinta sama kamu!"Plak!Sky menampar Namira. "Gue bakal bunuh calon suami lo supaya kalian nggak bisa menikah. Lo hanya milik gue. Cuma sama Sky seorang Namira boleh menikah."Namira memegangi pipinya yang perih. Sekarang dia sadar, Sky tak mencintainya. Sky hanya terobesesi."Sadar, Kai. Kamu sendiri nggak cinta sama aku! Kamu cuma terobsesi. Lupain aku, Kai! Lupain!""Shut up your mouth!" hardik Sky marah."Kenyataannya emang gitu, Kai. Yang kamu rasakan ke aku bukan Cinta tapi--" Namira memejamkan matanya kala tangan Sky kembali terangkat hendak menampar wajahnya. Namun beberapa detik menunggu, tak ada apapun yang menempel di pipi Namira. Perempuan itu memberanikan membuka mata dan mendapati seseorang menahan tangan Sky."Nggak usah ikut campur!" teriak Sky menarik tangannya.Juna menatap Sky datar. "Saya nggak bakalan ikut campur kalau yang kamu tampar bukan perempuan."Sky tidak peduli dengan ucapan Juna. Dia mengulurkan tangannya, hendak meraih pergelangan tangan Namira dan membawa perempuan itu keluar dari sini. Tapi tangan Juna lebih dulu menarik Namira agar bersembunyi di belakangnya."Jauhkan tangan busuk kamu dari tubuh calon istri saya!"Sky terperangah sejenak. Menatap Juna yang berdiri di hadapannya. "Lo bukannya--""Iya, yang semalam itu saya." Juna menyela cepat."Anjing!" Sky meninju wajah Juna, membuat wajah Juna tertoleh ke samping."Sky!" teriak Namira memperingatkan.Sky tak peduli. Dia bergerak hendak menyerang Juna. Namun dengan begitu tiba-tiba, kedua tangannya di tahan dua orang berbadan tegap yang entah datang dari mana. Sky memberontak, tapi tenaganya tak cukup untuk melepaskan dari. "Lepasin gue bangsat!""Bawa dia. Dan pastikan jera karena telah memukul saya," titah Juna pada dua orang yang menahan Sky.Kedua bawahan Juna mengangguk. Kemudian membawa Sky yang berteriak tidak jelas meninggalkan restoran.Dirasa sudah beres, Juna membalikkan badan menghadap Namira. "Ayo pulang.""Lo kenapa bisa ada di sini? Ngikutin gue ya?" Namira malah menuduh Juna.Laki-laki itu tersenyum miring. "Nggak punya waktu saya buat ngikutin kamu.""Cih!" Namira menatap Juna tajam. "Jangan harap gue bakalan nerima lo meski lo udah nolongin gue sebanyak tiga kali," tegas Namira sebelum akhirnya melangkah pergi. Meninggalkan Juna yang diam membisu. Dia masih kesal pada laki-laki itu. Tapi disisi lain bersyukur karena Juna selalu datang di saat waktu yang tepat. Tapi tetap saja, Namira membenci Arjuna."Ck! Dasar tidak tau terima kasih."Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, hari pernikahan Namira dan Junapun tiba. Hari ini, mereka akan melangsungkan akad disusul acara resepsi. Acara digelar di sebuah gedung milik Gamandi dan semuanya sudah diatur oleh pria itu. Namira dan sekeluarga hanya tinggal datang, membawa si pengantin wanita yang tak lain adalah Namira yang sudah didandani secantik mungkin serta di pakaikan kebaya yang sudah disiapkan ibu Namira. Namira di gandeng Basri dan Renita memasuki gedung yang sudah dipenuhi banyak orang. Tampak di tempat ijab qabul, Juna duduk menunggu. Ditemani bapak penghulu dan beberapa saksi dari pihak Namira dan Juna. Laki-laki itu menawan dan rupawan dengan setelannya. Kemeja putih dibalut jas berwarna hitam. Berpadu dengan celana bahan berwarna senada. Tak lupa dengan kopiah yang menutupi kepala Juna, membuatnya terlihat semakin tampan. Namira akui, Juna memang tampan. "Karena pengantin wanitanya sudah duduk di samping mas ganteng, ada baiknya kita mulai ijab qabulnya," u
Pagi menjelang terlalu cepat. Tak disangka, Juna tertidur pulas sembari memeluk Namira yang juga tidak menyadari posisi mereka. Nampak terlelap begitu nyenyak, membuat Juna yang sudah bangun duluan menjadi deg-degan. Posisi yang berbahaya, membuat darah berdesir dan jantung berdebar-debar. Wah, memang tidak sia-sia dia menikah dengan perempuan itu. Sebenarnya paras tak terlalu diperhitungkan, tapi jika dapat yang hampir sempurna, jelas Juna bersyukur. "AAAAAAA!"BUGH! Namira terbangun tepat di saat mata Juna menatap dalam wajah perempuan itu. Namira memekik, mendorong Juna yang memeluknya hingga jatuh dari ranjang. Meringis sudah tulung punggung Juna karena terhantuk sudut nakas. "Lo ngapain?!"Juna mengerutkan dahi kesakitan. Memegangi pinggangnya yang berkedut. Kemudian tatapannya tertuju pada Namira yang melotot garang. "Kamu kenapa dorong saya?!""Situ ngapain meluk gue?!""Ya mana saya tau."Namira menatap Juna kesal. Ingin ia bejek-bejek rasanya wajah tampan itu. Tapi Namira
"Kita pisah kamar?""Maunya sih gitu.""Alay banget. Serius.""Kok alay?!""Kayak drama. Ini dunia nyata, ngapain tidur pisah kamar. Mending nggak usah nikah.""Kok?!"Juna menaikkan kedua alisnya, menantang Namira untuk lanjut berbicara. Perempuan itu menatap Juna tajam, kemudian berlalu meninggalkan laki-laki itu dengan langkah yang dihentak-hentakkan. Dari belakang, Juna memperhatikan dalam diam. Tidak melepas pandangan hingga perempuan itu hilang di balik tangga. Kemudian ia ikut menyusul sembari menggeleng-gelengkan kepala tidak habis fikir. Lantai atas punya dua kamar. Salah satu pintunya terbuka lebar, memperlihatkan Namira yang sibuk meratapi diri di depan kaca. Tampak frustasi. Mungkin dia menyesal dengan pernikahan ini. Tapi ya bodo amat. Rezal hanya mengedikkan bahunya, tidak mau peduli. Tidak ada gunanya menyesal. Salah dia sendiri, kenapa disaat Juna datang melamar, Namira menerimanya dengan senang hati. Kalau tidak mau ya tolak. Toh, Juna bisa menikah dengan perempuan l
Usai melaksanakan sholat Maghrib, Namira memutuskan untuk duduk di ruang tengah, berniat untuk menonton televisi atau serial atau series atau semacam itulah. Sebelum itu, Namira sudah memesan cemilan untuk menemaninya saat nonton. Rencananya ia akan menonton ulang film Korea yang berjudul Descandent of the sun. Masih belum move on dan ada sedikit rasa rindu terhadap bapak-bapak tentara keren itu.Namun tampaknya rencana menonton dengan tenang tidak akan berjalan dengan lancar, sebab Juna tiba-tiba duduk di sebelahnya tanpa permisi. Mana langsung meraih remot dan mengganti siaran ke siaran tv nasional. Langsung saja, Pak Kemet dan Dadang menjadi tontonan Namira."Kok lo ganti sih?!"Juna menoleh, menatap Namira dengan air muka lugu. "Emangnya kamu mau nonton film apa? Dunia terbalik kan?"Namira menatap Juna kesal. Sejak kapan tontonan Namira dunia terbalik? Tau saja tidak dia kalau ada serial itu di pertelevisian Indonesia. "Gue mau nonton Drakor, Juna! Apaan tuh dunia terbalik.""Dra
Omong kosong jika mereka betulan ke toko elektronik untuk membeli remot tv. Nyatanya, tempat yang mereka kunjungi adalah area street food malam. Membeli aneka jajanan yang entahlah--Namira tidak menduga bahwa Juna yang sok cool itu suka dengan arum manis. Bahkan dia membeli dua bungkus karena saking sukanya.Tak hanya itu, ia juga membeli beberapa makanan asin dan gurih. Dan tampaknya, kegiatan jajan itu sepenuhnya dilakukan oleh Juna. Ia bahkan menghiraukan Namira dan tidak peduli jika Namira tertinggal di belakang. Seharusnya yang sibuk menyapa abang-abang gerobak itu adalah dirinya, bukan Juna.Dan kini, mereka sudah berada di dalam mobil. Setelah menghabiskan setengah isi dompet dan separuh jam hanya untuk menelusuri pinggiran jalan. Wajah Namira masih tertekuk kesal meski sudah disogok dua kotak martabak sultan. Junapun tidak merasa bersalah karena telah mengerjai perempuan itu. Jika Namira memang tidak ingin ada di sini untuk menemaninya, Namira bisa pulang sendiri dengan angkot
"Masak apa Bu?" tanya Namira pada Bi Arum yang sedang asik di dapur. Memotong-motong kentang sembari memperhatikan masakan di wajan. Bi Arum tersenyum kala tau Namira datang ke dapur. "Masak telur dadar sama sop sayur non," jawab Bi Arum. Memang telur dadar ternyata.Namira menganggukkan kepalanya mengerti. "Boleh nggak kalau Mira ikutan masak?"Bi Arum langsung menatap kaget Namira. "Non mau masak?""Iya Bu.""Tapi jangan deh non. Ini bibi mau goreng ayam. Kalau non yang goreng, nanti tangannya kecipratan minyak." Bi Arum tidak mengizinkan. Takut istri dari majikannya itu terluka jika nekat berdekatan dengan wajan.Namira memasang wajah cemberut. "Bolehlah Bu. Mumpung Mira nggak ada kerjaan." Bi Arum masih ragu untuk memberikan izin kepada Namira. Bahaya jika ibu negara itu terluka karena nekat terjun ke dapur. Bisa-bisa sang paduka mengamuk."Biarin aja, bi. Manusia males kayak dia emang harus tau sama dapur." Entah sejak kapan, Juna berdiri di samping kulkas sembari bersedekap da
"Saya pergi dulu," pamit Juna pada Namira kala mendapati perempuan itu sedang duduk di teras. Membaca majalah seraya menikmati secangkir kopi. Namira mendongak, menatap Arjuna yang sudah kece abis. Tubuh dibalut kemeja lengan pendek berwarna hitam, kaki dilindungi sepatu kece yang kerap dipakai orang-orang kantoran, kaca mata minus di atas hidung, celana bahan berwarna hitam, jam tangan, tas tentengan, jas putih yang tersampir di salah satu lengan, hm--ini terlalu rapi untuk keluar rumah mencari angin. Namira menyipitkan matanya, curiga dengan Juna yang tumben-tumbenan ganteng maksimal. "Mau kemana?""Rumah sakit.""Ngapain? Lo sakit?" tanya Namira, heran. Juna menggeleng. "Ada perlu. Kamu kalau butuh apa-apa, bilang aja sama Bi Arum.""Tapi gue juga mau keluar." Namira juga sudah punya rencana untuk menghabiskan waktu luangnya. Juna beroh singkat. "Yaudah. Saya berangkat kalau gitu."Namira menahan Juna yan
Namira berbalik, memunggungi meja administrasi. Ada banyak manusia berpakaian formal berseliweran di lobi. Mereka tampak bersemangat untuk bekerja dan Namira menginginkan hal itu. Ia ingin sibuk seperti orang-orang itu. Duduk sembari menatap layar komputer, ditemani satu cangkir kopi susu. Indah sekali jika dibayangkan.Senyum Namira memudar kala melihat seorang laki-laki berjalan menghampiri meja administrasi. Mata Namira menyipit, merasa kenal dengan manusia yang sudah punya id card sendiri."Regi? Lo Regi kan? Yang waktu itu hampir pingsan karena antrian ngirim surat lamarannya panjang?" Namira langsung menodongkan sebuah pertanyaan.Pria bernama Regi itu menoleh. Cukup lama matanya menatap Namira sebelum akhirnya berseru heboh. "Namira! Lo udah kerja di sini juga?"Namira menggelengkan kepalanya. "Gue ngirim surat lamaran.""Lagi?" Regi terkekeh. Ia sudah hafal berapa kali perempuan yang satu ini datang ke tempat ini untuk mengirim surat lamaran kerja. "Iya. Lo ngirim surat lamar