Omong kosong jika mereka betulan ke toko elektronik untuk membeli remot tv. Nyatanya, tempat yang mereka kunjungi adalah area street food malam. Membeli aneka jajanan yang entahlah--Namira tidak menduga bahwa Juna yang sok cool itu suka dengan arum manis. Bahkan dia membeli dua bungkus karena saking sukanya.
Tak hanya itu, ia juga membeli beberapa makanan asin dan gurih. Dan tampaknya, kegiatan jajan itu sepenuhnya dilakukan oleh Juna. Ia bahkan menghiraukan Namira dan tidak peduli jika Namira tertinggal di belakang. Seharusnya yang sibuk menyapa abang-abang gerobak itu adalah dirinya, bukan Juna.Dan kini, mereka sudah berada di dalam mobil. Setelah menghabiskan setengah isi dompet dan separuh jam hanya untuk menelusuri pinggiran jalan. Wajah Namira masih tertekuk kesal meski sudah disogok dua kotak martabak sultan. Junapun tidak merasa bersalah karena telah mengerjai perempuan itu. Jika Namira memang tidak ingin ada di sini untuk menemaninya, Namira bisa pulang sendiri dengan angkot dan ojek online. Namun nyatanya, perempuan itu tetap mengikuti langkah Juna. Hal itulah yang membuat Juna merasa tidak bersalah atas kekesalan Namira."Kamu marah sama saya? Kalau iya, kamu saya turunin di sini," ujar Juna kala mobil berhenti di lampu merah.Namira melirik Juna sinis. Ingin sekali ia cekik kemudian ia banting laki-laki itu. "Nggak.""Bagus deh."Namira mendengus kasar. Benar-benar tidak peka. "Lo jahat!""Loh? Kok jahat?""Lo bohong.""Tokonya udah tutup, makanya saya ajak kamu jajan," jawab Juna sembari tersenyum."Ngajak gue jajan?" Namira berdecih sinis. "Lo kali yang jajan. Nggak ada tuh gue beli apapun di sana.""Salah kamu. Ngapain diem-diem nggak jelas.""Ish, lo nya aja yang nggak peka! Seharusnya lo tanyain gue, mau jajan apa? Lo beliin makanan yang enak. Ini apa, lo malah ninggalin gue cuma karena ngejar Abang jasuke. Terus makan wafle sendirian," kesal Namira. Juna memang tidak tau diuntung. Hampir mereka ditertawakan orang-orang karena keantusiasan laki-laki itu mengejar Abang jasuke yang nyatanya tidak kemana-mana. Lalu membeli satu wafle dan tidak terlintas di benaknya untuk membelikan Namira. Ah, bagaimana tidak kesal.Juna menatap Namira sekilas sembari tersenyum tipis. Iya sih, tadi Juna terlalu bersemangat untuk jajan sehingga tidak mempedulikan Namira. Ia tidak menepis bahwa ia salah."Oke deh, saya salah.""Emang lo yang salah! Yakali gue.""Saya minta maaf.""Semudah itu?""Terus? Saya harus cium kaki kamu dulu atau cium--" Namira meletakkan jari telunjuknya di depan mulut Juna. Ia yakin, kalimat negatif akan keluar dari mulut laki-laki itu."Diam. Gue udah maafin."Senyum lebar Juna langsung muncul. "Kamsahamida."Namira menaikkan salah satu alisnya. Ada-ada saja tingkah suaminya ini. "Dih, jijik gue dengernya."Juna tidak menghiraukan. Malahan, dengan gerakan cepat ia mencuri ciuman di pipi kiri Namira. Perempuan itu terbelalak, menatap Juna terkejut."Apa? Mau bilang jijik?" tanya Juna dengan kedua alis dinaikkan. Terlihat menantang.Namira tidak menekuk wajah, tidak juga marah. Ia hanya diam sembari memalingkan wajah. Kemudian menyentuh dadanya. Ada sesuatu yang berdetak dengan cepat. Huh, kenapa bisa Namira seberdebar ini?Jangan katakan tubuhnya merespon baik ciuman Juna.Jangan sampai Namira kalah dalam pertaruhan ini.Jangan sampai Namira jatuh cinta pada manusia aneh itu."Fix, kamu mulai suka sama saya," ujar Juna menjentikkan jarinya."Diam Juna atau gue tendang pusaka lo.""I love you Namira," bisik Juna tepat di telinga Namira. Senyuman jahil menghiasi wajah Juna yang terlihat tengil.Perempuan itu memejamkan matanya, berusaha mengatur nafas yang memburu dan detak jantung yang diluar kendali. Juna sialan! Pasti ada pelet disetiap kalimatnya.Sepasang suami istri itu sama-sama gusar dengan masalah yang mereka hadapi. Lima belas menit berlalu, keduanya sama-sama termenung di depan televisi yang menyala. Tadinya ingin nonton film bareng sembari bercerita perihal bagaimana hari ini. Tapi entah kenapa keduanya sama-sama melayang dengan pikiran masing-masing.Namira dengan masalah tugas baru dan rekan setim yang menjengkelkan, lalu Juna dengan janji ingin menikahi Zahira dalam upaya penyelamatan. Masalah mereka sama-sama rumit.Perihal naik jabatan. Mau bagaimanapun, naik jabatan dan memperoleh karir yang bagus adalah cita-cita Namira sejak lama. Peluang yang ada tidak mungkin dia abaikan. Namun lagi-lagi Namira sangsi karena rekannya adalah Regi. Namira tidak tau bagaimana caranya meminta izin pada Juna. Takut pria itu marah dan tidak mengizinkannya.Kemudian perihal menikahi pasien sendiri. Hal itu tidak pernah ada dalam rencana Juna. Dia tidak berniat menikah lagi karena mencintai Namira sulitnya setengah mati. Namun Juna ti
Juna tau apa yang dia janjikan adalah upaya penyelamatan. Tapi Juna juga mesti tau bahwa janji yang dia ucapkan bukan hanya omong kosong yang bisa dengan mudah dilupakan. Mungkin Juna bisa menyepelekan ucapannya kalau yang mendengarnya bukan remaja delapan belas tahun yang mengaku bercita-cita jadi istrinya. Juna bisa tenang kalau yang dia ajak bicara adalah anak SD yang suka lupa siapa pria idamannya.Kini, Juna harus menanggungnya sendirian. Janji yang dia diserukan disaksikan banyak orang, termasuk Amel yang tau kalau Juna sudah punya istri. Dia juga tidak tau harus bagaimana agar Zahira tidak kembali bunuh diri. Bukan tak mungkin Zahira tak akan mengulangi kejadian tadi. Tapi tak mungkin juga Juna menikahi gadis itu. Yang benar saja? Namira bisa terluka.Juna berada dalam masalah besar. Ah, sialan. Kenapa hidupnya bisa serumit ini?"Kondisinya stabil, dok," ucap Amel yang baru saja memeriksa Zahira.Juna tersadar dari lamunannya. Matanya tertuju pada gadis yang terlelap di atas r
"DOKTER JUNA!"Teriakan maut dari Amelia hampir membuat nyawa Juna tercabut dari tubuhnya karena tersedak kacang hijau yang sedang dia makan. Buru-buru meraih segelas air, lalu meneguknya hingga tandas. Kemudian mata Juna menatap Amel yang berlari mendekati mejanya. Raut wajah perempuan itu tampak gusar, seperti baru saja ditagih hutang oleh debkolektor tidak punya hati."Dokter!" Suaranya masih tinggi disertai napas yang memburu."Apasih, Mel?"Amel tidak langsung menjawab. Terlebih dahulu mengatur napasnya yang berantakan. "Itu, pasien dokter... pasien dokter mau bunuh diri!"Kontan mata Juna melebar karena terkejut. "Pasien saya yang mana?""Itu dok, yang kecil," jawab Amel.Hanya ada satu pasien anak kecil yang Juna tangani. Dia lekas beranjak, menatap Amel yang masih belum usai dengan cemasnya. "Dimana dia?""Di rotroof, dok."Juna bergegas meninggalkan kantin dan bubur kacang hijau yang baru dimakan separuh. Sedangkan Amel menyusul di belakang. "Apa sih yang dipikirkan anak itu
Kembali pada rumah sakit bukan hal yang Zahira syukuri. Sebetulnya dia tidak berharap bisa terbaring lagi di sini. Rasanya semua harapan untuk sembuh sudah habis kala Juna memutuskan untuk tidak menemuinya lagi. Hati Zahira benar-benar patah melihat Juna membencinya tanpa Zahira tau apa yang telah dia lakukan. Zahira juga tidak pernah membayangkan Juna mau menerimanya kembali sebagai pasien. Sedikit egois, seharusnya Juna bersikap profesional sebagai dokter. Terlepas dari masalah mereka yang tidak jelas, mereka adalah dokter dan pasien. Juna mungkin membenci Zahira dan tidak ingin melihatnya lagi, tapi abai pada pasien karena masalah pribadi bukan bagian dari profesional. Terbaring tidak berdaya, mengabaikan pengobatan, enggan makan dan tidak mau bertemu siapapun karena Juna adalah bentuk dari perasaan Zahira yang merasa ditolak. Dia tidak menapik bahwa dia suka pada Juna. Mungkin sudah pada level cinta yang mana rela melakukan apapun agar mereka bisa bersama. Zahira suka pada Juna
Kaki Gamandi bergerak gelisah. Dia mendengar kabar bahwa hubungan Juna dan Namira kian membaik. Dan kabar mengenai Regi yang dibenci oleh Namira menjadi masalah baru yang harus segera dia selesaikan. Gamandi tidak akan merasa puas jika dendamnya tak terbalaskan. Semuanya harus hancur. Baik itu Basri ataupun putrinya. Tidak satupun dari mereka boleh berbahagia.Dia akan menekankan sekali lagi, tujuannya membantu Basri dan menjodohkan anak mereka adalah untuk membalaskan dendam pada Basri. Gamandi tidak datang dengan raut wajah benar-benar senang. Semua yang dia tunjukkan hanyalah sebuah topeng. Tidak ada yang tau dengan rencana dan rasa bencinya. Gamandi bergerak sendiri."Silahkan temui saya nanti sore di caffe seberang. Ada yang ingin saya bicarakan," ucap Gamandi pada seseorang yang berada pada sambungan telvon.Tidak ada cara lain selain melibatkan orang lain. Gamandi tidak ingin rencana yang telah dia susun sejak lama hancur begitu saja.***Zahira benar-benar datang menemui Juna
Regi tidak mampir. Setelah menurunkan Namira dan Sky, dia langsung pulang. Rencananya rusak karena kehadiran Sky. Seharusnya dia bisa berduaan dengan Namira dan memperbaiki hubungan mereka. Namun makhluk sialan itu muncul dan merusak semuanya.Kini, di teras rumah itu ada Namira dan Sky. Dia mengekori Saras, seperti seorang anak yang mengekori ibunya. "Lo ngapain di sini, Sky?" tanya Namira sebelum mendorong pintu rumahnya agar terbuka."Main," jawabnya enteng sembari menggali harta karun dari lubang hidungnya.Namira menghela panjang. "Mending lo balik. Gue mau istirahat.""Kasih gue minum. Haus." Dia mengusap tenggorokannya.Namira mendengus, jengkel. "Habis itu pulang.""Okay.""Jangan ikut ke dalam. Duduk di sini aja," ucap Namira kala Sky mengikutinya ke dalam rumah.Dengan wajah cemberut, Sky kembali mundur, lalu duduk di kursi teras. Tapi tidak apa. Meski diperlakukan kurang baik, Sky telah bertemu Namira. Setidaknya dia berhasil menjauhkan Namira dan Regi.Sky duduk diam semb