“Kamu dengar apa yang aku katakan?” Mia menatap Marsha dengan tatapan tajam. Setelah Mia menerima laporan dari Syam tentang keadaan Marsha terakhir kali, saat dini hari, pagi ini, Mia menjemput Marsha di depan pintu masuk rumah sakit saat Marsha hendak memenuhi jadwal shiftnya–dan langsung memasukkannya sebagai pasien siang ini. “Jangan menjadi pasien yang menyebalkan! Kamu tahu rasanya memiliki pasien seperti itu, kan? Me-le-lah-kan!” Marsha hanya mengangguk kecil beberapa kali dan memejamkan kedua matanya. Ia berpura-pura tidur agar tak lagi mendengar omelan kawannya, Mia, Dokter Umum yang mendapatkan shift malam untuk menjaga UGD hari ini. “Bagus.” Mia membereskan peralatan medisnya dan hendak pergi. Tapi langkahnya tertahan di ambang pintu. “Ah, apakah lelaki yang bersamamu tadi ... ia jomblo? Ia lelaki idamanku. Style–” “Ia suamiku.” Mia membulatkan matanya dan segera berlari ke arah Marsha. Ia duduk di tepi ranjang dan menatap kawannya dengan serius. “Sungguh?” Marsha
“Kamu yakin ia tak menyusahkan kamu?” “Tidak.” Marsha membereskan pakaian kotornya dan memasukkan ke kantung keresek hitam sebelum memberikannya pada Derren untuk di bawa pulang. “Kamu tidak perlu khawatir,” Marsha tersenyum miring. “ancaman kamu padanya sangat ampuh. Ia sampai tak berani bertindak sembarangan di depanku.” Derren menghela napas lega. “Syukurlah kalau ia bersikap baik. Tapi hari ini ia tidak datang. Kurang enak badan katanya.” Marsha mengangguk paham. “Ya, aku juga tahu. Dari kemarin ia memang mengeluh sakit perut–sebelum pulang dari sini.” “Begitukah?” Marsha hanya menganggukkan kepalanya pelan dan berjalan kembali ke tempat tidur. Bersiap untuk tidur siang. “Pukul berapa kamu pergi ke kampus?” Derren melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “30 menit lagi. Setelah selesai mengemas barangmu, aku akan langsung ke kampus. Untuk ini–“ Derren mengangkat tas be
Gama menatap datar sembari mendengus kasar. ”Kamulah masalahnya. Kamu seorang pasien. Tugasmu istirahat selama masa pemulihan. Kenapa banyak bergerak?” “Tapi ada yang harus–“ “Aku akan mengurusnya untukmu,” sambar Gama. Lawan bicaranya terdiam. Berpikir beberapa saat sebelum menghempas tangan Gama dari tubuhnya. “Ini bukan urusanmu.” Marsha keluar dari kamar. Gama mengikutinya dengan setia. Tanpa berisik atau bertingkah sehingga Marsha dapat mengusirnya. “Aku akan antar sampai ke tempat tujuan.” Gama kembali berucap saat mereka telah di luar gedung rumah sakit–setelah kondisi mereka aman. Marsha menatapnya lurus. “Kenapa harus kamu? Banyak taxi yang bisa aku tumpangi.” Gama memutar bola matanya malas dan mencegat langkah Marsha yang hendak pergi ke tepi trotoar untuk menghentikan transportasi jalanan pribadi. “Biarkan aku mengantarmu. Aku tak akan banyak tanya lagi. Jika kam
“Hari ini kita sekolah?” Yana dan Naya terdiam kaget dengan kedua mata membulat lebar. “Sungguh?” Derren berseru. Ia tak kalah terkejut dengan kedua adik perempuannya. Marsha mengangguk. “Seragam kalian ada di dalam lemari. Setelah sarapan, kalian bisa mandi dan langsung bersiap.” Marsha tersenyum lembut melihat wajah semringah Yana dan Naya. “Kami akan mengantar kalian.” Dengan cepat Naya dan Yana menyelesaikan sarapannya dan segera berlari ke dalam kamar mereka–bersiap pergi ke sekolah. Derren menatap lurus ke arah Marsha. Hanya diam, tak mengucapkan sepatah kata pun sampai Marsha sadar dengan pandangan itu. “Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Marsha. “Kamu baru keluar dari rumah sakit. Apa tidak masalah pergi ke luar? Kepalamu pasti masih pusing, kan?” Derren mencoba bersikap perhatian. Walau semua sikap itu terasa sangat sulit ia lakukan karena sikap alaminya
“Suamimu sangat perhatian.” “Ya, Bu Marsha. Kamu pasti bahagia hidup dengannya.” Marsha menggelengkan kepalanya. Mencoba menghapus semua pemikiran itu dari kepalanya. Setelah memberikan bekal buatan Derren pada rekan kerjanya, mereka semua tak berhenti menyanjung Derren di depannya. Membuatnya pening seharian. “Kenapa kamu?” tanya Derren, melihat tingkah aneh Marsha. Marsha segera sadar dari lamunannya. Ia menatap Derren yang duduk di sampingnya–join nonton TV. “Kapan kamu pulang?” ucapnya, sedikit terkejut. “Baru saja. Sudah makan malam?” Marsha melihat ke arah jarum jam sebelum ia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak makan malam.” Derren menatapnya tajam. “Kamu lupa kata Dokter Tomo?" Marsha melirik ambigu dan menggeleng. “Tidak. Tapi tadi sore aku sudah makan beberapa potong roti isi. Sekarang aku kenyang.” Derren mengangguk. Ia tak lagi mempermasalahkannya dan melihat pon
Derren terdiam. Bima dapat melihat kegugupan mulai menyerang pemuda itu. “Tidak sopan. Aku bertanya padamu.” Bima berjalan mendekat. “Kamu tidak mendengarnya?” “Maaf Tuan Bima. Saya mendengarnya.” “Lalu, apa jawabannya?” Derren melirik dua sepeda yang masih di bungkus rapi, di samping Bima. Bima mengikuti pandangan itu. “Itu milikmu?” Derren mengangguk pelan. “Marsha membelinya untuk kedua adik perempuan saya. Mereka baru masuk sekolah hari ini.” Derren menatap sungkan. “Dan Marsha salah memberikan alamat pengirimannya. Jadi saya datang untuk mengambilnya agar mereka bisa menggunakannya berangkat sekolah hari ini.” “Kamu akan membawanya sendiri? Di mana Marsha?" Bima terus bertanya dengan nada ketus. Tapi tampaknya ia tak berniat untuk mengusirnya. “Marsha masih tidur, Tuan. Ia begadang semalaman karena pekerjaan.” Bima mempersilahkan Derren mengambil sepeda itu. “
”Ayah kan bucin!” Bima membulatkan matanya. Ia menatap tajam putri bungsunya. “Marsha, jangan kurang ajar!” Marsha memutar bola matanya malas–tak menanggapi. Ia segera masuk ke dalam rumah dan mengambil barang-barangnya sebelum kembali berjalan keluar. Ia menyalami tangan Bima dan izin berangkat kerja. “Aku berangkat.” “Bukannya kamu masuk siang?” “Aku tukar shift dengan teman. Aku akan pulang sore agar bisa menemani Ayah dan anak-anak nanti.” Bima mengangguk paham. “Berhati-hatilah ketika mengemudi.” Marsha hanya melambaikan tangannya dan meninggalkan Bima. Ia menatap Ayahnya yang berdiri di teras dengan tatapan menyelidik. “Ia pasti memiliki rencana.” Marsha tersenyum pada Bima sebelum ia masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan rumah. Bima menghela napas penat. Senyuman manisnya hilang dalam sekejap. “Mereka sangat gaduh,” cemoohnya. Bima berjalan masuk ke dalam rumah dan membongkar tasnya. Ia mengeluarkan perkakas. Banyak kamera kecil yang telah ia siapkan. “Cari
Pak Hans bangun dari duduknya. Ia mengeluarkan sebuah belati dari dalam jas kemejanya. Ia menodongkan ujung belatinya pada Anis. "Padahal tadinya saya berniat melepaskan Anda jika Anda pura-pura bodoh." Anis mempertajam penglihatannya. Ia pun telah menodongkan pistol pada Pak Hans. "Namun tampaknya, kita tidak bisa mempertahankan tali persaudaraan ini, ya?!" Anis tersenyum miring dan .... DOR! Derren terdiam. Baru 5 menit sejak ia keluar dari lift, suara tembakan tiba-tiba berseru di seluruh gedung. "Apa yang terjadi?" Banyak orang berlalu lalang di sekitar Derren dengan wajah panik. "Anda tidak perlu menghiraukan masalah ini, Tuan. Kita serahkan pada tim keamanan sekolah saja." Seorang lelaki muda yang kemarin ia temui, kini telah berdiri di depannya dengan tatapan dingin. Derren memicingkan matanya. "Jangan menyembunyikan rasa gugupmu di depan orang yang mudah peka. Kamu akan terlihat seperti orang bodoh, Nak!" Marco menatapnya dengan gusar. Kini ia tak lagi menyembuny