Beberapa hari terakhir, William begitu terpesona pada kecantikan Grace sampai-sampai ia merasa asing dengan dirinya sendiri. Bahkan, ia sampai memecahkan gelas karena tak mampu menahan emosinya saat dari wanita itu berciuman dengan Theo. "Biarin aja kalau dia mau main-main!" pikirnya, tak peduli apa yang sedang Grace lakukan dengan Theo. Perempuan itu... terlalu berani. * * * Di vila rumah keluarga Camila, suasana ruang tamu terasa dingin meski matahari masih tinggi. Camila duduk di sofa dengan wajah masam. “Papa, Mama, William makin lama makin menjauh dari aku! Ini semua gara-gara Grace." Patrick menatap putrinya dengan kening berkerut. “Camila, masa sih Donovan sampai begitu ke kamu? Dia udah cerai dari Grace belum? Kapan dia nikahin kamu?” Camila mengentakkan kakinya dengan kesal. “William sama Grace belum cerai! Itu semua salah Grace! Dia keras kepala, nggak mau cerai!” Patrick mengalihkan pandangannya ke Melanie dengan sorot dingin. “Mel, gimana nih? Harusnya kan kamu bis
William berjalan cepat menuju pintu bar, langkahnya keras dan terukur,. sementara darah masih menetes dari telapak tangannya yang terluka. Tapi dia tidak menunjukkan rasa sakit sedikit pun. Camila menyusulnya dengan panik. "William, tunggu!" Ia berhasil mengejar dan berdiri di depannya, lalu langsung menyeretnya ke sisi lain bar, menjauh dari keramaian. "Kamu kenapa sih?" tanyanya pelan. "Tanganmu sampe berdarah gitu... kamu marah, ya?" William tidak menjawab. Pandangannya kosong, tertuju ke arah lain. Camila melirik luka di tangannya. "Kamu begitu karena cemburu?" Masih tidak ada jawaban. Hanya napas berat. Camila menggigit bibirnya. Ia tahu William tak suka dicecar. Tapi hatinya sudah terlanjur panas sejak tadi. "Kamu marah karena Grace tadi ciuman sama Theo?" tanyanya, nada bicaranya sedikit tinggi. "Bukannya kamu gak peduli sama dia?" William melirik ke arahnya, sebentar, lalu kembali memalingkan pandangan. "Aku memang nggak peduli!" ucapnya dingin. Camila tertawa kecil
William berdiri tegak, posturnya tinggi dan mengintimidasi saat tubuh Grace terdesak antara dadanya dan dinding. Senyum tipis menghiasi bibirnya, dingin dan penuh ejekan. "Aku yakin kamu ngelakuin itu sengaja, kan?" Grace meletakkan kedua tangannya di dadanya, berusaha mendorong tubuh pria itu menjauh. "Aku nggak ngerti kamu ngomong apa." "Jangan pura-pura bego!" Mata William yang gelap dan tajam memancarkan kemarahan. "Kamu sengaja ngelempar aku ke pelukan Emily, kan?" Dia akhirnya mengerti. Dari awal, dia tahu Grace mempermainkannya. Dia hanya pion dalam rencana licik untuk memecah hubungan Camila dan Emily. Grace bahkan tak berpikir dua kali saat menyerahkannya pada wanita lain. Kali ini, Grace tak lagi berpura-pura. Tatapan matanya yang jernih menatap lurus ke mata William. "Tuan Donovan, Emily itu suka banget sama kamu." "Kalau dia suka, itu urusan dia, bukan urusanku." Banyak wanita menyukai William. Tapi bukan berarti dia harus membalas semuanya, kan? Grace terdiam.
Putaran pertama permainan menunjuk William, dan suasana langsung memanas. Emily tersenyum, lalu menatap William. “Tuan Donovan, giliran kamu jawab pertanyaan. Katakan, kamu udah pernah tidur bareng Nyonya Donovan belum?” Hampir semua orang di ruangan itu langsung bersorak, kecuali Theo yang baru datang dari luar negeri dan belum tahu siapa “Nyonya Donovan”. Selain Theo, semua tahu, yang dimaksud Emily adalah Grace. Orang-orang di sekitar meja mulai ribut, bersiul, tertawa, dan ikut memperkeruh suasana. Emily melempar pandangan usil ke arah Grace. “Tuan Donovan, kalian udah nikah tiga tahun, masa iya kamu belum juga sentuh istrimu sendiri? Kamu tuh sayang enggak sih sama dia?” Camila ikut menatap Grace dari atas ke bawah, nada suaranya sombong. “Aku udah bilang ke William buat enggak nyentuh si perempuan itu. Jadi ya jelas dia nggak bakal nyentuh lah.” Emily dan Camila kompak ngejatuhin Grace. Riley dan teman-teman lainnya makin menggila, menyoraki William. “Ayo cepet jawab! In
“Karena kamu nyebelin,” balas si G. William bisa merasakan nada kesal meskipun itu hanya sebuah chat.Pria itu mengerutkan kening. Ia tak mengerti sama sekali kenapa G ini tiba-tiba bereaksi seperti itu.Namun ia hanya membalas dengan bertanya "apa maksudmu?", lalu meletakkan ponselnya di meja dan kembali fokus pada dokumen-dokumen yang sedang ia pelajari.Begitu pekerjaannya rampung, malam sudah larut. William berdiri, berjalan ke dapur untuk menuang segelas air putih, dan saat kembali ke kamar, matanya melirik ke arah ranjang. Grace sudah tertidur.Ia berniat kembali ke sofa, tetapi saat itu juga, suara notifikasi terdengar.Ponsel Grace yang tergeletak di samping bantal menyala. Sebuah pesan masuk.William melirik sejenak. Dalam sepersekian detik, matanya menyipit. Pandangannya tertuju pada layar ponsel yang menampilkan sebuah pop up beberapa chat di WhatsApp.Dan ia tertegun. Salah satu pesan yang tampil di home screen adalah dirinya.Tubuhnya bergerak cepat mendekati ranjang. Ta
William baru saja selesai mandi dan kini mengenakan piyama sutra berwarna hitam. Rambutnya masih basah, dan beberapa tetes air terlihat mengalir perlahan dari ujungnya. Uap tipis yang menyelimuti tubuhnya membuat pria itu terlihat lebih muda dan memesona dibanding saat ia memakai jas resmi. Grace melirik sekilas ke arahnya. Pria itu memang punya penampilan yang luar biasa. Suara dering ponsel yang lembut mendadak memecah keheningan. Seseorang menelepon. William melangkah pelan dan mengangkat panggilan itu, lalu suara Paul terdengar dari seberang. "Ada kabar, Tuan. White Scalpel bersedia menemui Anda besok di rumah sakit pusat." Ekspresi William tetap datar. "Waktu itu dia datang lalu pergi sesuka hati, sok misterius. Besok, aku mau lihat siapa dia sebenarnya." Seketika, tubuh Grace terasa dingin. Jantungnya mencelus. Itu akhir baginya. William belum lupa bagaimana White Scalpel mempermainkannya. Berani-beraninya dia? Dia tidak akan membiarkannya lolos begitu saja. Besok, merek