Share

4. Siksaan

Author: Rosa Rasyidin
last update Huling Na-update: 2024-06-29 15:36:04

“Dari mana, Dek?” tanya Arzan ketika Alda baru pulang.

“Biasa, Mas, cuci setrika di rumah orang,” jawab Alda tanpa rasa bersalah. Setelah ia tinggalkan dua anaknya tanpa pengawasan.

“Mending nggak usah kerja daripada anak kita terlantar. Kamu tahu Rere makan beras mentah di rumah.”

“Ya, kalau aku nggak ikutan kerja, gimana kita mau dapat uang, Mas. Kecuali kamu bisa kasih aku minimal 15 juta tiap bulan. Aku jamin ada di rumah buat melayani kamu 24 jam dan anak-anak. Aku juga nggak harus capek-capek jadi babu di luar.” Alda membuka jaket yang menutupi tubuhnya.

Di dalam jaket ia kenakan baju u can see dan jens ketat. Arzan tak mudah dibohongi begitu saja. Sebab pada umumnya orang mencuci baju akan menggunakan daster.

“Jujur kamu sama, Mas, dari mana? Baju kamu itu bukan tanda kamu habis cuci setrika. Nggak ada aroma sabun sama sekali.”

“Yah, Mas, jangan asal ngomong. Emang mau kamu orang menilai jadi suami gak becus gara-gara istrinya dasteran terus. Kalau aku cantik gini orang juga yakin sama kemampuan aku.”

“Kamu itu mencuci sama nyetrika, Dek, bukan jadi pelacur!” Arzan mulai kehilangan kesabaran. Aroma parfum Alda sangat jelas terhirup oleh hidungnya.

“Astaga, Mas! Kamu nuduh aku jual diri? Nggak tahu malu banget. Harusnya bersyukur udah aku bantuin cari uang.” Alda membanting pintu kamar.

Seketika Rere yang tidur terkejut dan menangis. Wanita dengan kulit putih kemerahan karena skin care itu tak peduli. Ia ambil handuk dan lanjut mandi.

Terpaksa Arzan lagi yang turun tangan menidurkan putri keduanya. Padahal ia sudah mencoba bicara baik-baik. Terus menerus dapat bantahan tentu saja egonya sebagai suami tersakiti.

“Sabar, sabar. Semoga setelah ini penjualan rumahku bisa lancar, paling nggak dapat 5 unit sebulan jadi Alda nggak harus keluar cari kerjaan.” Ia mengalah lagi, entah untuk yang keberapa kalinya.

Ketika Alda sedang mandi, masuk pesan ke ponsel lelaki tinggi tegap itu. Dari nomor baru, ia baca dan tertera di bagian bawah tertanda Violet. Seketika ingatan Arzan tertuju pada wanita single cantik dengan riasan sempurna dan wangi sangat lembut. Isi pesan itu meminta agar Violet dijemput besok pagi.

“Apa si mbak salah kirim pesan? Aku yang jemput, pakai apa?” Demi memastikan, ia balas pesan itu.

Benar Violet minta jemput, tak apa walau harus pakai motor. Namun, Arzan menolaknya, sebab pagi-pagi ia harus mengantar Rere ke sekolah dulu. Ia tawarkan pemesanan taksi online saja.

“Rasanya aneh perempuan secantik Mbak Vio tidak tahu cara pesan taksi online. Jangan-jangan dia cuman berniat menggodaku saja,” gumam Arzan.

“Siap yang mau menggoda Mas emangnya?” gumaman lelaki itu didengar Alda yang baru selesai mandi. Rambutnya basah sehabis keramas.

“Nggak ada, kok. Mas ngomong sendiri.” Daripada ia jujur dan Alda marah.

“Lagian perempuan mana yang mau goda kamu, Mas, uang aja nggak punya sama sekali. Oh, ya, hutang di warung udah aku bayar, tuh, SPP Rere besok kamu aja, ya. Jangan lupa cari uang buat angsuran dua hari lagi. Nanti debt collector datang, ngamuk-ngamuk lagi.” Usai menghina suaminya miskin, dengan enteng Alda menyodorkan beberapa kewajiban.

“Ya, Mas tahu.” Arzan teringat dengan Violet lagi. Namun, cepat-cepat ia berpaling dan memdang istrinya yang hanya mengenakan daster tipis saja.

Sudah waktunya istirahat malam. Baru lelaki dengan wajah tampan itu ingat, rasanya sudah hampir sebulan ia tak dapat pelayanan ranjang dari Alda.

“Dek, kamu nggak lagi halangan, kan?” Tangan Arzan menyentuh pinggang Alda.

“Nggak, sih, tapi aku lagi males, capek tahu! Nyuci banyak banget sama nyetrika. Udah akut tidur dulu sama anak-anak, kamu sana gih ke kamar sendiri.” Penolakan lagi, entah sampai kapan Alda begitu terus.

Lelaki penyabar itu hanya bisa mengelus dada saja. Arzan sadar kurang bisa memberikan uang pada Alda, tapi tak sekali pun ia pernah berkata atau berbuat kasar. Apakah meminta sebuah sentuhan tak layak ia dapatkan.

Hingga akhirnya Arzan menahan hasrat sampai tertidur. Dan itu berulang lagi selama tiga hari. Jenuh, ia butuh hiburan di tengah kerasnya menjalani hidup.

***

Siang harinya Violet mengirim pesan pada Arzan. Sebuah permintaan tolong karena perempuan cantik itu tersasar setelah taksinya mogok. Mau tak mau ia harus menolongnya. Padahal Arzan harus bagi-bagi brosur untuk mengejar target.

“Maaf, Mbak, saya lama. Lagian Mbak ngapain bisa sampai ke tanah kosong dan sepi jauh dari perumahan?” Lelaki dua anak tersebut menurukan standar motornya.

“Nggak tahu, Mas, aku ketiduran di taksi, jadi tahu-tahu diturunkan di sini. Eh, nggak apa-apa ya, sebut aku. Kalau pakai saya berasa formal banget di kantor.”

“Nggak apa-apa, Mbak, santai aja. Yuk, pergi.” Lekas Arzan memberikan sebuah helm.

Violet duduk menyamping dan kembali memeluk lelaki itu dengan erat. Rasanya Arzan harus membiasakan diri untuk berdekatan dengan orang asing.

“Makan dulu, Mas, lapar habis nyasar.” Violet menunjuk sebuah restaurant mahal. Arzan sungkan, uangnya tak akan cukup. “Tenang aja, aku yang bayar, Mas.”

Tak hanya dibayarkan oleh Violet, tapi perempuan dengan kulit cantik dan sehat itu meminta agar Arzan membungkus buat keluarganya di rumah. Meski malu-malu tetap diambil juga oleh Arzan, sekalian menghemat pengeluaran.

“Makasih, Mas, besok aku repotin lagi, ya. Aku udah coba pakai taksi tahunya nyasar. Supir mobilku pulang kampung.” Violet mengembalikan helmnya pada Arzan. Ia diantar sampai ke rumah baru yang sudah ditempati langsung.

“Baik, Mbak,” jawab lelaki itu sambil tersenyum.

Siapa sangka Violet akan menyodorkan dua lembar uang merah untuknya. Awalnya ditolak Arzan, tapi karena dipaksa akhirnya diambil juga. Kata Vio untuk mengganti uang minyaknya yang habis.

Lelaki dengan tubuh tinggi dan tegap itu pulang dengan perasaan bingung. Secara naluri laki-laki Vio cantik dan lembut. Tapi seperti kata istrinya tak mungkin ia akan dilirik karena kemiskinan jadi penghalang.

“Ya, ampun aku mikir apa ini? Aku sudah punya istri.” Arzan menggeleng. Ia harus fokus pada kebahagiaan keluarga di rumah. Uang yang ia dapat akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

***

Sampai di rumah, kembali Alda tidak ada. Untungnya Sasi dan Rere tidur lelap, tersisa Arzan yang harus mencuci tumpukan piring. Ketika sedang fokus membilas sisa sabun, suara ketukan pintu terdengar begitu nyaring. Lekas ia buka dan lagi-lagi debt collector yang sama datang.

“Bacot memang lu, ya. Bayar hutang!” Pintu dibanting dengan kuat. Kali ini yang datang empat orang lelaki.

“Bang, uangnya sudah saya kasihkan istri. Harusnya sudah dibayar.”

“Nggak ada bini lu datang. Dari kemarin gue tungguin. Bayar hutang bini lo sekarang.”

“Saya nggak ada uang lagi, Bang, sumpah.” Arzan mundur beberapa langkah.

“Udah culik aja dua anaknya terus jual jadi pelacur!”

“Ampun, Bang, jangan, saya bisa jelasin, atau kasih saya waktu buat kumpulin uang lagi.” Lelaki itu mengiba dengan sungguh-sungguh.

“Gue males berurusan sama orang nunggak kayak lu. Oke, gue nggak akan ambil anak lu, tapi lu harus dapat pelajarannya.” Debt collector itu melirik anak buahnya.

Tanpa pikir panjang dan tanpa ampun, sebuah pukulan disusul tendangan mendarat di tubuh Arzan. Pintu rumah itu dikunci rapat hingga tidak ada tetangga yang melihat.

Sasi yang bangun masuk lagi ke dalam kamar dan menangis sesenggukan. Arzan lebam dan kesakitan, siksaan tadi membuatnya muntah di lantai. Debt collector dan anak buahnya pulang setelah puas menyiksanya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    54. Akhir Dari Sandiwara

    Vio berlari tergesa-gesa dengan napas memburu, helai gaun putihnya berkibar di belakang, dan sepatu hak tinggi yang menusuk tumitnya mulai terasa menyakitkan. Tapi itu tak penting, yang penting hanya satu, Reino."Arzan, jangan bawa dia!" ucap Vio lantang. Matanya nanar menyaksikan Arzan yang berjalan cepat menggendong bocah laki-laki kecil yang menangis pelan di pelukannya."Dia anakku juga, Vio!" Suara Arzan terdengar tajam. "Kamu pikir aku akan diam saja melihatmu sembunyikan dia selama ini?!""Aku melindungi dia darimu!" Vio terus mengejar, tak peduli rasa sakit di kakinya yang mulai menusuk. "Karena kamu bukan lagi orang yang dulu! Karena kamu semakin berbahaya!"“Kamu juga berbahaya, Vio, lalu apa yang kamu coba sembunyikan dariku selama lima tahun, keterlaluan kamu, padahal kita bisa bicarakan ini baik-baik.”Arzan berhenti sejenak dan menoleh pada Vio yang kini terhuyung. Pada saat yang sama Reino memberontak turun dari gendongannya. Mereka belum saling mengenal.Vio tersandun

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    53 Berbelit-belit

    Mobil sedan silver melaju menyusuri jalan malam yang masih basah oleh hujan lebat di sore hari. Di balik jendela, lampu-lampu kota bersinar mencuat seperti rahasia yang ingin muncul ke permukaan.Zayn duduk di belakang kemudi, ia memegang setir dengan erat. Hasil tes DNA masih terselip di konsol tengah seperti menyentuh jari-jari dinginnya.‘Kalau kuberi tahu sekarang, situasinya bisa meledak. Tapi kalau kutunda, mungkin jadi makin berbahaya. Reino itu anak Arzan. Aku harus pastikan berita itu sampai,’ ucap Zayn dalam hatiIa melirik ke kaca tengah, melihat bayangan Vio dan Arzan yang duduk di belakang. Keduanya terdiam. Tapi ia tahu, pikiran mereka tidak sedang tenang.Vio duduk bersandar, matanya tak menatap keluar atau ke Arzan. Ia hanya memejamkan mata sejenak lalu menarik napas dalam-dalam.‘Kalau Arzan sampai melihat Reino malam ini dia pasti tahu. Ia akan menghubungkan semuanya, dan hidupku yang selama ini kuatur pelan-pelan akan hancur. Tapi kalau aku tolak dia masuk ke rumah,

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya     52 Bayangan di Balik Topeng

    Aula pesta dipenuhi tamu-tamu bertopeng, gaun dan jas berwarna hitam-putih berbaur dalam simfoni visual yang memukau. Musik klasik mengalun dari orkestra kecil di sudut ruangan, menciptakan suasana yang penuh dengan kepalsuan.Vio berdiri di dekat meja minuman, tangannya menggenggam gelas anggur putih yang belum disentuh. Topeng berwarna hitam putih yang menyatu jadi pola abstark itu menutupi hampir seluruh wajahnya, menyisakan hanya bibir dan dagu yang terlihat. Ia tampak tenang, tapi matanya terus bergerak dan mengamati sekitarnya.Di seberang ruangan, berdiri seorang pria bertubuh tegap dengan jas hitam dan topeng burung elang. Ia tidak berbicara, tidak menari, hanya berdiri sambil menyesap sampanye dari gelas ramping. Tatapannya tajam, tak pernah lepas dari sosok Vio.Arzan.Ia mengenal gerak tubuh itu. Cara Vio menoleh, cara ia menahan napas saat merasa diawasi, semuanya terlalu familiar. Tapi ia tidak bergerak mendekat. Ia hanya mengamati, membiarkan dirinya larut dalam rasa pah

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    51. Undangan Pesta

    Hampir saja ponsel itu melayang ke dinding. Vio berusaha menekan kemarahannya, ada sebab ia melakukan itu. Lagi-lagi panggilannya tak diangkat.Sudah berapa kali ia mencoba menelepon nomor yang tak dikenal sebagai satu-satunya petunjuk di mana keberadaan Nada. Tapi selalu saja sama hasilnya, kosong."Kenapa tidak diangkat juga? Apa mereka sengaja menghindar? Atau sesuatu terjadi sama Nada?" Vio menghela napas panjang. Indonesia terasa lebih panas dari Jepang walau di malam hari. Ia pun mengenakan baju tidur tipis saja.Langkahnya terasa berat saat ia masuk ke kamar tidur putranya. Udara tropis lembap melekat di kulit, tapi ruangan ber-AC terasa tak mampu meredam hatinya yagn sedang memanas. Di sana, Reino tertidur meringkuk di atas selimut tipis, napasnya naik turun dengan teratur.Vio mendekat, ia melipat lutut di tepi ranjang, dan menyentuh kening anaknya serta mengecupnya pelan."Maafkan Mama, kamu harus ikut dalam kekacauan ini." Vio menatap wajah Reino dengan penuh kasih sayang.

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    50. Kunjungan Kecil

    Zayn membuka pintu rumah perlahan. Ia memastikan pintu ukuran besar itu tak mengeluarkan suara. Udara malam menyeruak masuk bersama perasaan gelisah. Rumah Vio sunyi, hanya cahaya lampu saja dan beberapa pelayan yang masih mondar-mandir di dapur.Zayn menyayangkan penjagaan di rumah Vio minim sekali. Mengingat wanita itu dulu banyak musuhnya. Hal-hal tak diinginkan tentu bisa terjadi.Langkahnya ringan menyusuri lantai kayu yang sedikit berderit. Ia tahu Reino belum tidur malam-malam begini. Bocah empat tahun itu pasti masih menyesuaikan diri dengan perbedaan cuaca di Indonesia yang tak sama dengan Jepang.Di ruang keluarga, Reino duduk bersila di atas karpet, ia dikelilingi mainan. Matanya yang besar menatap layar TV yang setengah menyala dan menampilkan kartun tanpa suara. Boneka doraemon tergenggam erat di tangannya.Zayn terhenti di depan pintu. Pekerjaannya kali ini sangat mudah dan semoga saja Vio masih lama pulangnya.Reino menoleh perlahan. Mata polos itu menatapnya tanpa curig

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    49. Kata Rindu

    Reino menatap keluar jendela mobil dengan mata berbinar, ia menyaksikan gedung-gedung tinggi Jakarta yang melintas ketika mobil lewat. Keringat Reino menetes. Mereka turun di depan rumah mewah milik Vio.“Mama, Indonesia panas ya,” gumamnya sambil mengibaskan tangan kecilnya ke wajah.“Karena di sini mataharinya lebih dekat ke kulit, sayang.” Vio tersenyum tipis, satu tangannya menyentuh kepala Reino lembut. Padahal AC mobil sudah dihidupkan.“Apa kita akan mencari Papa?” tanya Reino polos, lalu menoleh ke arah ibunya. Matanya jernih, tapi pertanyaannya terlalu jujur.“Nggak, Sayang, ada hal yang harus Mama selesaikan sendiri.” Vio menarik napasReino terdiam sejenak, lalu memeluk Vio dengan erat. “Reino ingin sekali ketemu sama Papa, Ma.” Ya karena sejak lahir Reino hanya diurus oleh Vio dan Nada saja.“Reino, main dulu sama Bibi ya, Mama harus kerja. Di Indonesia kerjaan Mama banyak nggak seperti di Jepang.” Vio memanggil pelayan rumahnya untuk mengurus Reino.“Habis itu kita kemba

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status