Share

3. Sensasi Pertama

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2024-06-28 08:17:04

“Umur kamu berapa?” tanya Violetta.

“30 tahun Mbak.”

“Saya 42 tahun, bebas panggil aja Vio sama seperti yang lain, ya.” Perempuan itu tersenyum lagi.

“Oh, gitu, saya panggil Tante Vio aja kalau gitu.”

“Ketuaan, Mas, saya belum keriput dan ubanan, saya nggak kalah cantik sama ABG zaman sekarang.” Vio tak suka disebut tua karena ia rajin perawatan.

“Maaf, kalau begitu, saya panggil Mbak Vio aja. Ehm, jadi kita ke kantor sekarang, Mbak, untuk lihat rumah tipe 100, kantor teman saya maksudnya.”

“Boleh, Mas.”

“Panggil nama aja, Mbak, saya lebih muda.”

Keduanya menuruni eskalator yang sama. Violet yang menggunakan heels agak takut hingga memegang tangan Arzan agar tak jatuh. Lelaki itu risih tapi tak bisa menghindar, ia butuh uang andai kata deal antara Violet dan temannya jadi.

“Mbak, saya pakai motor, Mbak bisa pakai mobil dan ikuti saya dari belakang aja,” ujar Arzan ketika turun dari eskalator.

“Saya nggak bawa mobil. Supir saya kayaknya lagi service di bengkel dan baliknya beberapa jam lagi. Saya ikut kamu aja gimana, Mas?” Tawaran yang sangat aneh dari perempuan yang menjaga penampilannya.

“Nanti kotor, Mbak, kena debu sama cipratan air. Kalau pakai taksi saja gimana, saya bantu carikan.”

“Oh, boleh deh.” Violet agak merengut sambil mengendikkan bahu.

Arzan menaiki motor sedangkan Violet ada di dalam taksi. Perempuan berusia matang itu memperhatikan dengan tatapan lurus ke mana perginya sales rumah tersebut. Ponsel Vio berdering, ia pun mengangkatnya.

“Iya, Pak, benar, sudah saya duga. Sisanya serahkan sama saya.” Klik, sambungan diputus.

Senyum Vio hanya sebelah saja, seolah-olah menandakan ia memiliki rencana lain. Sangat berbeda dengan tadi ketika dirinya bermanis manja di hadapan Arzan seperti anak kucing yang lucu.

Setengah jam kemudian, motor Arzan dan taksi yang ditumpangi Vio sampai pada sebuah kantor. Mereka pun masuk setelah dipersilakan oleh salah satu teman sales Arzan.

“Bro, nanti kalau deal, bagi, ya, gue butuh duit,” bisik Arzan perlahan. Temannya mengangguk saja.

“Mas, temenin, saya jangan ditinggal,” pinta Vio.

Lelaki itu menyanggupinya. Mereka pun duduk di kursi yang sama. Harga rumah yang ditawarkan kata Vio tidak membuatnya ingin mundur.

“Ini termasuk murah dengan semua fasilitas yang disediakan,” kata perempuan cantik itu. Ada harapan bagi Arzan kalau dealnya jadi.

Setelah dijelaskan lebih dalam Vio harus membayar sejumlah DP jika ingin membooking salah satu unit rumah yang sudah ready. Wanita dengan aroma parfum wangi itu menyatakan akan membeli secara cash bukan KPR. Karena ia tak suka berurusan dengan ribetnya aturan bank.

“Saya harus bayar 30% dari harga rumah tapi saya lagi nggak bawa uang banyak. Kalau gitu saya ke bank dulu, ya. Bisa temenin, kan, Mas.” Vio menatap ke arah Arzan. Lelaki itu mengangguk saja demi upah sekian persen yang akan ia terima.

Tidak naik taksi, tapi keduanya menggunakan motor. Vio mengatakan dulu saat umur belasan ia pernah hidup susah dan menggunakan sepeda bekas orang. Tak masalah baginya naik motor asal nyaman saja.

Saat mereka berangkat, tangan putih dan halus Vio memeluk pinggang Arzan. Lelaki itu terkesiap sejenak, tapi perjalanan tetap dilanjutkan sampai ke bank dan seterusnya mereka kembali lagi ke kantor dan Vio membayar sesuai jumlah yang disepakati.

“Makasih ya, Mas, udah bantu kerjaan saya jadi lebih gampang. Semoga kita masih bisa berurusan seterusnya.” Vio berdiri di depan Arzan. Lelaki itu agak mundur ke belakang sedikit. “Ini.” Perempuan cantik itu memberikan ponselnya pada Arzan.

“Untuk apa, ya, Mbak?”

“Simpan nomor Mas di sana, mungkin saya butuh bantuan suatu hari nanti. Saya pendatang baru di kota ini dan belum memahami situasi. Saya lihat Mas orang baik yang bisa menolong, bisa, kan?”

Diberikan senyum sangat manis dengan tatapan menggoda, tentu saja Arzan luluh. Dengan tangan sedikit gemetar ia input nomor ponselnya di handphone Vio. Setelahnya perempuan itu undur diri dan pulang menggunakan taksi.

“Gini nih, wajah kalau ganteng banyak perempuan naksir,” sindir temannya.

“Terserah yang penting gue dapat duit seperti yang lo janjiin. Hari ini ya, gue butuh banget duitnya.”

“Ya semua juga butuh, Zan, tunggu sabar, dihitung dulu, ACC bos, uangnya pindah ke tangan gue baru lo bisa dapet. Lagian gue heran, wajah kayak lo kenapa gak jadi model aja, mau panas-panasan jual rumah.”

“Udah, yang penting kerja gue halal dan ngasilin duit. Gue tungguin lo di sini sampai cair f*e rumahnya.”

Benar, lelaki berusia 30 tahun itu menunggu sampai sore telah berganti senja yang memerah. Kesabarannya membuahkan hasil. Ia mendapatkan f*e yang cukup pantas karena membawa nasabah potensial.

Meski belum mencukupi untuk membayar hutang Alda, paling tidak setengahnya sudah ada. Lelaki itu pulang dengan senyum cerah dan hati tenang. Namun, sampai rumah, anak-anaknya di kurung dari luar. Alda tidak ada, Sasi tidak tahu mamanya pergi ke mana.

***

Tengah malam, Vio baru saja pulang dari sebuah urusan. Ia masih menggunakan setelan blazer yang sama. Pada tas tangan wanita itu terdapat kuitansi pembayaran rumah.

Vio memberhentikan taksi, masuk ke dalamnya dan merebahkan kepala. Bayangan wajah Arzan yang polos membuatnya kerap kali tersenyum.

Supir taksi terpana melihat kecantikan wajah Vio sekaligus rok pendeknya yang terangkat hingga paha putih dan mulus itu tersingkap. Niat jahatnya timbul apalagi ketika taksi memasuki jalanan yang sepi.

Supir taksi menelan ludah, ia tak bisa menahan diri. Mobil ia belokkan pada sebuah rumah sepi kira-kira tak jauh lagi dan ia akan menikmati kemolekan tubuh penumpang yang tidur di belakangnya.

“Ngapain berhenti di sini?” Ternyata Vio tidak tidur. “Saya minta di antar ke alamat, kamu budeg atau bodoh?” Matanya terbuka dan menatap supir taksi dari spion dengan tajam.

“Jangan banyak ngomong, turuti kata-kata saya. Sebentar aja nggak akan lama, setengah jam juga selesai. Layani saya kalau nggak kamu saya bunuh!” ancamnya sambil mengunci pintu mobil.

“Mau bunuh saya, yakin?” Vio menyeringai.

“Jangan banyak bicara. Di sini saja, buka baju kamu, cepetan.” Supir taksi mengeluarkan pisau kecil.

“Okei, tunggu sebentar, ya, saya pakai parfum dulu biar wangi dan kamu puas apa-apain saya.” Vio merogoh tasnya. Ada sesuatu yang ia cari dan raih.

“Gitu, donk, perempuan itu harus nurut dan jadi babu laki, jadi nggak mati sia-sia di dalam parit.” Supir taksi juga membuka baju dan singlet yang ia kenakan. Namun, beberapa detik kemudian, ia merasa kesakitan. Sebuah tali menjerat lehernya dengan sangat erat hingga membuatnya tak bisa bernapas.

Tangan lelaki itu menggelepar-gelepar di kaca mobil hingga membentuk jejak. Di belakang sana Vio menjerat leher korban dengan sekuat tenaga. Salah besar jika ia akan pasrah disentuh oleh lelaki yang tak ia inginkan.

Beberapa saat kemudian supir taksi tak bergerak lagi. Matanya terbuka lebar dan lidahnya terjulur ke luar. Vio melepaskan tali yang menjerat leher korban. Segera ia mendial nomor pada ponselnya.

“Halo! Iya, ke sini sekarang, urus satu mayat lelaki nggak berguna. Sekalian jemput, capek saya disuruh ngurus bocah ingusan yang takut sama istri.” Klik! Vio memanggil bantuan.

Siapakah sebenarnya perempuan sadis yang tersembunyi di balik riasan yang cantik dan menggoda? Dan apa urusannya dengan Arzan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    54. Akhir Dari Sandiwara

    Vio berlari tergesa-gesa dengan napas memburu, helai gaun putihnya berkibar di belakang, dan sepatu hak tinggi yang menusuk tumitnya mulai terasa menyakitkan. Tapi itu tak penting, yang penting hanya satu, Reino."Arzan, jangan bawa dia!" ucap Vio lantang. Matanya nanar menyaksikan Arzan yang berjalan cepat menggendong bocah laki-laki kecil yang menangis pelan di pelukannya."Dia anakku juga, Vio!" Suara Arzan terdengar tajam. "Kamu pikir aku akan diam saja melihatmu sembunyikan dia selama ini?!""Aku melindungi dia darimu!" Vio terus mengejar, tak peduli rasa sakit di kakinya yang mulai menusuk. "Karena kamu bukan lagi orang yang dulu! Karena kamu semakin berbahaya!"“Kamu juga berbahaya, Vio, lalu apa yang kamu coba sembunyikan dariku selama lima tahun, keterlaluan kamu, padahal kita bisa bicarakan ini baik-baik.”Arzan berhenti sejenak dan menoleh pada Vio yang kini terhuyung. Pada saat yang sama Reino memberontak turun dari gendongannya. Mereka belum saling mengenal.Vio tersandun

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    53 Berbelit-belit

    Mobil sedan silver melaju menyusuri jalan malam yang masih basah oleh hujan lebat di sore hari. Di balik jendela, lampu-lampu kota bersinar mencuat seperti rahasia yang ingin muncul ke permukaan.Zayn duduk di belakang kemudi, ia memegang setir dengan erat. Hasil tes DNA masih terselip di konsol tengah seperti menyentuh jari-jari dinginnya.‘Kalau kuberi tahu sekarang, situasinya bisa meledak. Tapi kalau kutunda, mungkin jadi makin berbahaya. Reino itu anak Arzan. Aku harus pastikan berita itu sampai,’ ucap Zayn dalam hatiIa melirik ke kaca tengah, melihat bayangan Vio dan Arzan yang duduk di belakang. Keduanya terdiam. Tapi ia tahu, pikiran mereka tidak sedang tenang.Vio duduk bersandar, matanya tak menatap keluar atau ke Arzan. Ia hanya memejamkan mata sejenak lalu menarik napas dalam-dalam.‘Kalau Arzan sampai melihat Reino malam ini dia pasti tahu. Ia akan menghubungkan semuanya, dan hidupku yang selama ini kuatur pelan-pelan akan hancur. Tapi kalau aku tolak dia masuk ke rumah,

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya     52 Bayangan di Balik Topeng

    Aula pesta dipenuhi tamu-tamu bertopeng, gaun dan jas berwarna hitam-putih berbaur dalam simfoni visual yang memukau. Musik klasik mengalun dari orkestra kecil di sudut ruangan, menciptakan suasana yang penuh dengan kepalsuan.Vio berdiri di dekat meja minuman, tangannya menggenggam gelas anggur putih yang belum disentuh. Topeng berwarna hitam putih yang menyatu jadi pola abstark itu menutupi hampir seluruh wajahnya, menyisakan hanya bibir dan dagu yang terlihat. Ia tampak tenang, tapi matanya terus bergerak dan mengamati sekitarnya.Di seberang ruangan, berdiri seorang pria bertubuh tegap dengan jas hitam dan topeng burung elang. Ia tidak berbicara, tidak menari, hanya berdiri sambil menyesap sampanye dari gelas ramping. Tatapannya tajam, tak pernah lepas dari sosok Vio.Arzan.Ia mengenal gerak tubuh itu. Cara Vio menoleh, cara ia menahan napas saat merasa diawasi, semuanya terlalu familiar. Tapi ia tidak bergerak mendekat. Ia hanya mengamati, membiarkan dirinya larut dalam rasa pah

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    51. Undangan Pesta

    Hampir saja ponsel itu melayang ke dinding. Vio berusaha menekan kemarahannya, ada sebab ia melakukan itu. Lagi-lagi panggilannya tak diangkat.Sudah berapa kali ia mencoba menelepon nomor yang tak dikenal sebagai satu-satunya petunjuk di mana keberadaan Nada. Tapi selalu saja sama hasilnya, kosong."Kenapa tidak diangkat juga? Apa mereka sengaja menghindar? Atau sesuatu terjadi sama Nada?" Vio menghela napas panjang. Indonesia terasa lebih panas dari Jepang walau di malam hari. Ia pun mengenakan baju tidur tipis saja.Langkahnya terasa berat saat ia masuk ke kamar tidur putranya. Udara tropis lembap melekat di kulit, tapi ruangan ber-AC terasa tak mampu meredam hatinya yagn sedang memanas. Di sana, Reino tertidur meringkuk di atas selimut tipis, napasnya naik turun dengan teratur.Vio mendekat, ia melipat lutut di tepi ranjang, dan menyentuh kening anaknya serta mengecupnya pelan."Maafkan Mama, kamu harus ikut dalam kekacauan ini." Vio menatap wajah Reino dengan penuh kasih sayang.

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    50. Kunjungan Kecil

    Zayn membuka pintu rumah perlahan. Ia memastikan pintu ukuran besar itu tak mengeluarkan suara. Udara malam menyeruak masuk bersama perasaan gelisah. Rumah Vio sunyi, hanya cahaya lampu saja dan beberapa pelayan yang masih mondar-mandir di dapur.Zayn menyayangkan penjagaan di rumah Vio minim sekali. Mengingat wanita itu dulu banyak musuhnya. Hal-hal tak diinginkan tentu bisa terjadi.Langkahnya ringan menyusuri lantai kayu yang sedikit berderit. Ia tahu Reino belum tidur malam-malam begini. Bocah empat tahun itu pasti masih menyesuaikan diri dengan perbedaan cuaca di Indonesia yang tak sama dengan Jepang.Di ruang keluarga, Reino duduk bersila di atas karpet, ia dikelilingi mainan. Matanya yang besar menatap layar TV yang setengah menyala dan menampilkan kartun tanpa suara. Boneka doraemon tergenggam erat di tangannya.Zayn terhenti di depan pintu. Pekerjaannya kali ini sangat mudah dan semoga saja Vio masih lama pulangnya.Reino menoleh perlahan. Mata polos itu menatapnya tanpa curig

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    49. Kata Rindu

    Reino menatap keluar jendela mobil dengan mata berbinar, ia menyaksikan gedung-gedung tinggi Jakarta yang melintas ketika mobil lewat. Keringat Reino menetes. Mereka turun di depan rumah mewah milik Vio.“Mama, Indonesia panas ya,” gumamnya sambil mengibaskan tangan kecilnya ke wajah.“Karena di sini mataharinya lebih dekat ke kulit, sayang.” Vio tersenyum tipis, satu tangannya menyentuh kepala Reino lembut. Padahal AC mobil sudah dihidupkan.“Apa kita akan mencari Papa?” tanya Reino polos, lalu menoleh ke arah ibunya. Matanya jernih, tapi pertanyaannya terlalu jujur.“Nggak, Sayang, ada hal yang harus Mama selesaikan sendiri.” Vio menarik napasReino terdiam sejenak, lalu memeluk Vio dengan erat. “Reino ingin sekali ketemu sama Papa, Ma.” Ya karena sejak lahir Reino hanya diurus oleh Vio dan Nada saja.“Reino, main dulu sama Bibi ya, Mama harus kerja. Di Indonesia kerjaan Mama banyak nggak seperti di Jepang.” Vio memanggil pelayan rumahnya untuk mengurus Reino.“Habis itu kita kemba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status