Share

5. Degup Jantung

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2024-07-01 08:34:57

Alda mengompres wajah Arzan yang lebam dengan air hangat. Tidak hanya itu saja, perut suaminya juga kebiruan kearena bekas tendangan.

Sakit. Tepatnya di bagian hati terdalam lelaki dua anak tersebut. Istrinya tidak bisa menjaga pesan dengan baik. Bukan mudah mencari uang dua juta dalam waktu singkat.

“Mas, kita ke bidan terdekat, ya, aku takut lihat kamu begini,” ucap Alda. Ada rasa sesal di dalam hatinya. Uang dua juta itu juga ia gunakan untuk hal mendesak juga.

Arzan tidak menjawab, ia bangkit bahkan menepis pertolongan istrinya. Lelaki itu masih marah, tapi tak bisa berbicara. Sakit di urat perut menjalar sampai ke bibir. Ketika minum air putih saja terasa sekali pedihnya.

“Mas, maafin, aku, ya. Uangnya aku pakai buat kirim ke orang tua di kampung.” Alda menundukkan kepala.

Arzan menggeleng. Kepercayaannya sudah dikhianati. Apakah istrinya tak bisa berdiskusi dulu padanya. Dia masihlah kepala keluarga walau tidak kaya.

Lelaki yang mencintai Alda tanpa pamrih itu masuk ke kamar, mengunci pintu dan tak membiarkan ibu dari anak-anaknya masuk. Ia butuh menyendiri demi ketenangan.

***

Arzan bangun dengan rasa sakit semakin menjadi di bagian tubuhnya. Padahal hari ini ia mendapat jatah untuk jaga pameran di mall. Uangnya bisa digunakan untuk membayar kebutuhan bulanan. Namun, ia butuh istirahat.

Bahkan lelaki itu mengabaikan panggilan istrinya untuk sarapan. Saking malasnya berbicara, Arzan mengirim chat pada Alda agar mengantar Sasi ke Tk pakai ojeg saja.

“Iya, Mas, aku yang antar, kamu tidur aja di rumah, ya.” Alda menyesali perbuatannya.

Baru saja beberapa menit Arzan tertidur, ada pesan masuk dari Violet. Perempuan cantik itu meminta tolong untuk diantar ke satu tempat. Supirnya masih belum kembali dari kampung.

[Kamu, bisa nyetir, kan, Mas?] Isi pesan Violet.

[Bisa, tapi saya lagi tidak enak badan, Mbak] Arzan tak mau jujur.

[Yah, gimana, donk, padahal ada urusan penting hari ini. Ya udah batalin aja daripada naik taksi diculik orang lagi] Balasan Violet menunjukkan kalau perempuan itu kecewa.

[Oke, Mbak, saya antar, tapi tunggu, saya agak lama sampainya.] Arzan merasa berhutang budi padanya.

Sambil menunggu istrinya kembali, ia mencoba menyeduh teh hangat. Lumayan perutya terisi sedikit. Ketika Alda kembali ia langsung menstarter motor tanpa peduli atas pertanyaan wanita tersebut.

Di atas kendaraan, Arzan menahan nyeri di bagian tubuh tertentu. Di rumah pun ia belum bisa berdamai kalau terus-menerus bertemu Alda yang katanya menyesal.

“Ya ampun, Mas, kamu kenapa?” tanya Violet ketika membuka pintu rumah. Ia lihat ujung bibir Arzan robek sedikit.

“Kecelakaan,” jawab Arzan bohong.

“Ya, terus kenapa dipaksakan ke sini, Mas?” Violet menarik Arzan untuk duduk dan ia pun masuk ke kamar. Tak lama kemudian perempuan cantik itu membawa kotak P3K.

“Gak usah, Mbak.” Arzan menolak ketika kapas akan membasahi lukanya.

“Udah, diem aja, deh!” Violet memaksa.

Beberapa saat kemudian Arzan tumbang di sofa. Violet terkejut, ini semua di luar rencana dan lekas saja ia menghubungi seseorang untuk membawa dokter ke rumahnya.

***

“Dia ini goblog atau gimana, ya, Bu?” tanya Nada—aspri Violet.

“Dikit. Biasa banget laki-laki goblog kena cinta itu menyedihkan. Kamu habis ini langsung pulang, ya, jangan sampai ketahuan sama dia. Sepertinya sebentar lagi dia sadar.”

“Baik, Bu, tapi saya juga mengingatkan, Ibu jangan pakai hati dalam permainan kali ini.”

“Itu gampang, dan sejak kapan saya punya hati? Thank’s, Nad, udah mengingatkan.”

Setelah Nada dan dokter pulang, Arzan pun membuka matanya perlahan. Ia melihat diri sendiri dan sebuah infus tergantung di sisi kiri. Lelaki itu mengira ada di rumah sakit.

“Aku nggak berani ke rumah sakit, trauma, jadi dirawat di sini aja, ya. Lebam kamu serius, kenapa nggak berobat dulu, sih!” Violet cemberut dan ia membawakan Arzan bubur putih tawar dan beberapa obat.

“Saya harus pulang, Mbak, istri dan anak saya menunggu di rumah.”

“No, istri dan anak kamu bisa menunggu, tapi kesehatan kamu nggak. Tenang aja, aku akan tidur di kamar lain. Mas takut sama aku? Aku nggak makan orang?”

“Bukan gitu, Mbak.” Arzan terbatuk sejenak. “Tapi apa kata tetangga nanti kalau kita tinggal bersama tanpa ikatan.”

“Di sini gak ada tetangga, lu lu gue gue, semuanya. Oke ini buburnya, bisa makan sendiri?” tanya Violet dan dijawab anggukan oleh Arzan. “Aku ke kamar dulu, ya, ada kerjaan, bye.” Sebelum pergi ia tersenyum begitu manis pada Arzan.

Lelaki itu menggeleng, selain karena sakit, tapi ia merasa semakin lama hubungannya dengan Violet bukan sebatas teman.

“Mana ada teman yang merawatku sampai seperti ini. Bahkan Alda tak pernah peduli pas aku sakit.” Ia mengambil bubur dan menghabiskan dengan cepat, tak lupa beberapa butir obat diminum. Agar Arzan cepat sembuh dan bisa pulang ke rumah. Bahaya kalau lama-lama berdua dengan Violet.

Malam hari beranjak tanpa menunggu sedetik pun. Arzan bangun dan membuka selang infus di tangannya. Ia merasa baik-baik saja dan tidak mungkin meninggalkan kedua putrinya di rumah sendirian.

“Mbak, saya izin pulang dulu, ya.” Arzan memanggil tapi Violet tidak terlihat.

“Tunggu sebentar.” Permpuan itu ada di dalam kamar mandi kamarnya. Violet keluar memakai handuk kimono dengan tubuh setengah basah. “Pulang, emang udah sembuh?” tanyanya dengan wajah polos tanpa make up. Tetap saja sama cantiknya bahkan membuat Arzan berdegup jantungnya.

“Saya punya istri dan anak di rumah, Mbak, kasihan mereka.”

“Oh, gitu, kirain mau nginap, tapi tunggu dulu sebentar.” Violet masuk. Ia mengambil beberapa lembar uang berwarna biru dan merah.

Perempuan keji di balik wajah cantiknya itu tahu bahwa uang adalah kebutuhan utama Arzan, setelahnya mungkin sebuah perhatian dan sentuhan lembut.

“Bawa buat jaga-jaga.” Violet menyodorkannya.

“Nggak, Mbak, makasih, saya masih ada uang.”

“Butuh, kan? Ya udah ambil saja, aku nggak pernah ditolak dan nggak suka penolakan.” Violet mengambil tangan Arzan dan meletakkan uang tersebut di tangannya.

Antara mau tidak mau, dibilang butuh, benar, dibilang butuh sekali tapi tidak begitu juga cara Arzan mendapatkan uang.

“Hati-hati di jalan, ya.” Violet berjalan perlahan. Namun, ia terpeleset dan hampir jatuh. Untung saja Arzan mengkapnya lebih cepat.

“Mbak yang hati-hati.” Arzan menahan tubuh Vio di lengannya.

Perempuan itu bangkit perlahan. Dengan napas naik turun seolah-olah ketakutan, ia menyentuh dada Arzan yang berdegup kencang. Keduanya saling menatap sejenak tanpa berkedip.

“Mbak, udah? Saya mau pulang dulu.”

“Oh, iya, aku ngerepotin banget, ya,” ucap Vio tanpa melepas tangannya pada Arzan.

“Nggak, justru saya yang merepotkan.” Lelaki tinggi dan tegap itu membantu Vio masuk ke kamar dan duduk di tepi ranjang.

“Arzan, bisa jangan pulang dulu, aku masih …” Vio mengembuskan napas perlahan dari bibirnya. Tidak ada jawaban dari lelaki di hadapannya. Tapi Arzan juga tidak beranjak pergi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    54. Akhir Dari Sandiwara

    Vio berlari tergesa-gesa dengan napas memburu, helai gaun putihnya berkibar di belakang, dan sepatu hak tinggi yang menusuk tumitnya mulai terasa menyakitkan. Tapi itu tak penting, yang penting hanya satu, Reino."Arzan, jangan bawa dia!" ucap Vio lantang. Matanya nanar menyaksikan Arzan yang berjalan cepat menggendong bocah laki-laki kecil yang menangis pelan di pelukannya."Dia anakku juga, Vio!" Suara Arzan terdengar tajam. "Kamu pikir aku akan diam saja melihatmu sembunyikan dia selama ini?!""Aku melindungi dia darimu!" Vio terus mengejar, tak peduli rasa sakit di kakinya yang mulai menusuk. "Karena kamu bukan lagi orang yang dulu! Karena kamu semakin berbahaya!"“Kamu juga berbahaya, Vio, lalu apa yang kamu coba sembunyikan dariku selama lima tahun, keterlaluan kamu, padahal kita bisa bicarakan ini baik-baik.”Arzan berhenti sejenak dan menoleh pada Vio yang kini terhuyung. Pada saat yang sama Reino memberontak turun dari gendongannya. Mereka belum saling mengenal.Vio tersandun

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    53 Berbelit-belit

    Mobil sedan silver melaju menyusuri jalan malam yang masih basah oleh hujan lebat di sore hari. Di balik jendela, lampu-lampu kota bersinar mencuat seperti rahasia yang ingin muncul ke permukaan.Zayn duduk di belakang kemudi, ia memegang setir dengan erat. Hasil tes DNA masih terselip di konsol tengah seperti menyentuh jari-jari dinginnya.‘Kalau kuberi tahu sekarang, situasinya bisa meledak. Tapi kalau kutunda, mungkin jadi makin berbahaya. Reino itu anak Arzan. Aku harus pastikan berita itu sampai,’ ucap Zayn dalam hatiIa melirik ke kaca tengah, melihat bayangan Vio dan Arzan yang duduk di belakang. Keduanya terdiam. Tapi ia tahu, pikiran mereka tidak sedang tenang.Vio duduk bersandar, matanya tak menatap keluar atau ke Arzan. Ia hanya memejamkan mata sejenak lalu menarik napas dalam-dalam.‘Kalau Arzan sampai melihat Reino malam ini dia pasti tahu. Ia akan menghubungkan semuanya, dan hidupku yang selama ini kuatur pelan-pelan akan hancur. Tapi kalau aku tolak dia masuk ke rumah,

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya     52 Bayangan di Balik Topeng

    Aula pesta dipenuhi tamu-tamu bertopeng, gaun dan jas berwarna hitam-putih berbaur dalam simfoni visual yang memukau. Musik klasik mengalun dari orkestra kecil di sudut ruangan, menciptakan suasana yang penuh dengan kepalsuan.Vio berdiri di dekat meja minuman, tangannya menggenggam gelas anggur putih yang belum disentuh. Topeng berwarna hitam putih yang menyatu jadi pola abstark itu menutupi hampir seluruh wajahnya, menyisakan hanya bibir dan dagu yang terlihat. Ia tampak tenang, tapi matanya terus bergerak dan mengamati sekitarnya.Di seberang ruangan, berdiri seorang pria bertubuh tegap dengan jas hitam dan topeng burung elang. Ia tidak berbicara, tidak menari, hanya berdiri sambil menyesap sampanye dari gelas ramping. Tatapannya tajam, tak pernah lepas dari sosok Vio.Arzan.Ia mengenal gerak tubuh itu. Cara Vio menoleh, cara ia menahan napas saat merasa diawasi, semuanya terlalu familiar. Tapi ia tidak bergerak mendekat. Ia hanya mengamati, membiarkan dirinya larut dalam rasa pah

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    51. Undangan Pesta

    Hampir saja ponsel itu melayang ke dinding. Vio berusaha menekan kemarahannya, ada sebab ia melakukan itu. Lagi-lagi panggilannya tak diangkat.Sudah berapa kali ia mencoba menelepon nomor yang tak dikenal sebagai satu-satunya petunjuk di mana keberadaan Nada. Tapi selalu saja sama hasilnya, kosong."Kenapa tidak diangkat juga? Apa mereka sengaja menghindar? Atau sesuatu terjadi sama Nada?" Vio menghela napas panjang. Indonesia terasa lebih panas dari Jepang walau di malam hari. Ia pun mengenakan baju tidur tipis saja.Langkahnya terasa berat saat ia masuk ke kamar tidur putranya. Udara tropis lembap melekat di kulit, tapi ruangan ber-AC terasa tak mampu meredam hatinya yagn sedang memanas. Di sana, Reino tertidur meringkuk di atas selimut tipis, napasnya naik turun dengan teratur.Vio mendekat, ia melipat lutut di tepi ranjang, dan menyentuh kening anaknya serta mengecupnya pelan."Maafkan Mama, kamu harus ikut dalam kekacauan ini." Vio menatap wajah Reino dengan penuh kasih sayang.

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    50. Kunjungan Kecil

    Zayn membuka pintu rumah perlahan. Ia memastikan pintu ukuran besar itu tak mengeluarkan suara. Udara malam menyeruak masuk bersama perasaan gelisah. Rumah Vio sunyi, hanya cahaya lampu saja dan beberapa pelayan yang masih mondar-mandir di dapur.Zayn menyayangkan penjagaan di rumah Vio minim sekali. Mengingat wanita itu dulu banyak musuhnya. Hal-hal tak diinginkan tentu bisa terjadi.Langkahnya ringan menyusuri lantai kayu yang sedikit berderit. Ia tahu Reino belum tidur malam-malam begini. Bocah empat tahun itu pasti masih menyesuaikan diri dengan perbedaan cuaca di Indonesia yang tak sama dengan Jepang.Di ruang keluarga, Reino duduk bersila di atas karpet, ia dikelilingi mainan. Matanya yang besar menatap layar TV yang setengah menyala dan menampilkan kartun tanpa suara. Boneka doraemon tergenggam erat di tangannya.Zayn terhenti di depan pintu. Pekerjaannya kali ini sangat mudah dan semoga saja Vio masih lama pulangnya.Reino menoleh perlahan. Mata polos itu menatapnya tanpa curig

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    49. Kata Rindu

    Reino menatap keluar jendela mobil dengan mata berbinar, ia menyaksikan gedung-gedung tinggi Jakarta yang melintas ketika mobil lewat. Keringat Reino menetes. Mereka turun di depan rumah mewah milik Vio.“Mama, Indonesia panas ya,” gumamnya sambil mengibaskan tangan kecilnya ke wajah.“Karena di sini mataharinya lebih dekat ke kulit, sayang.” Vio tersenyum tipis, satu tangannya menyentuh kepala Reino lembut. Padahal AC mobil sudah dihidupkan.“Apa kita akan mencari Papa?” tanya Reino polos, lalu menoleh ke arah ibunya. Matanya jernih, tapi pertanyaannya terlalu jujur.“Nggak, Sayang, ada hal yang harus Mama selesaikan sendiri.” Vio menarik napasReino terdiam sejenak, lalu memeluk Vio dengan erat. “Reino ingin sekali ketemu sama Papa, Ma.” Ya karena sejak lahir Reino hanya diurus oleh Vio dan Nada saja.“Reino, main dulu sama Bibi ya, Mama harus kerja. Di Indonesia kerjaan Mama banyak nggak seperti di Jepang.” Vio memanggil pelayan rumahnya untuk mengurus Reino.“Habis itu kita kemba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status