“Zayn, itukan namamu?” Gadis itu pergi meninggalkan tamu yang tidak diundang.Nada membuka pintu. Berdiri di depan dengan tubuh tegak. Rambutnya diikat rapi. Matanya waspada.“Pergi, Zayn. Aku nggak mau ulang dua kali. Jangan ganggu Bu Vio lagi.”Zayn berdiri tenang, bersandar pada dinding seolah malas pergi. Matanya menatap lurus ke wajah Nada. Tidak ada senyuman. Tidak ada emosi.“Tenang, saya cuma mau ngobrol. Tapi kalau kamu paksa.” Lelaki itu mendekati Nada.Nada menghela napas pendek, lalu mendorong pintu agar tertutup.Zayn menahan pintu dengan tangannya. Lalu menyelinap masuk. Gerakannya cepat dan penuh percaya diri.“Kamu baru saja membuat kesalahan. Aku bukan perempuan lemah.”Belum sempat Zayn bicara, Nada menyerang lebih dulu. Sebuah belati nyaris menggores pipi Zayn. Ia mundur cepat. Napasnya mulai berat. Nada bergerak tanpa aba-aba. Ciri khas petarung jalanan. “Tahan, saya hanya ingin bertanya baik-baik.” “Wajahmu bukan orang baik. Terlihat seperti pedofil campur gay.”
Arzan merapikan lipatan jasnya di depan cermin. Kancing terakhir ditutup dengan pasti, mempertegas siluet bahunya yang tegap dan kekar. Sebotol kecil parfum ia angkat dari rak. Botol berisi aroma maskulin dengan sentuhan cedar dan amber yang selalu mengingatkannya pada satu nama. Vio. Wanita yang lima tahun lalu memilih pergi tanpa penjelasan. Namun meninggalkan banyak jejak. Termasuk parfum di tangannya, yang dulu ia pilihkan untuk Arzan. “Aromanya bikin perempuan susah lupa dan kamu jadi lebih maskulin,” kata Vio waktu itu. Tiga semprotan, tidak lebih di titik-titik yang membuat wangi jadi lebih menguar. Saat ia hendak keluar kamar, ketukan halus terdengar dari arah pintu. Suara pelayan dari balik pintu mengatakan Tuan Baron Hermanto ingin bicara sebentar, di ruang kerjanya. Tanpa banyak kata, Arzan mengangguk. Langkahnya terlihat santai menyusuri lorong rumah keluarga Hermanto yang luas, tapi terasa dingin malam itu. Lampu-lampu gantung memantulkan cahaya kebohongan di sepanjan
Seorang lelaki berdiri tepat di pinggir lampu hijau yang menyala di persimpangan Shibuya, dan kerumunan pejalan kaki bergerak serempak. Mata-mata berbadan tegap dan berjaket hitam itu melangkah tenang. Di balik masker dan topinya, mata Zayn selalu mengamati satu titik.“Target mulai terdeteksi!” ucap Zayn penuh keyakinan.Langkah Zayn melambat. Sekilas, dari seberang jalan, ia melihat sosok perempuan dengan rambut panjang dan gaya berpakaian sederhana. Vio, begitu bosnya memanggil.Di samping Vio berjalan seorang bocah lelaki berusia sekitar empat tahun. Zayn tidak terkejut. Tidak juga tersentuh. Kehidupan mafia walau itu perempuan sangat sulit ditebak.Zayn hanya sedang menjalankan misi. Satu dari sekian banyak tugas pengintaian. Dan seperti biasa, ia tidak boleh melibatkan emosi serta perasaan. Jika tidak, Vio bisa saja mengetahui langkahnya. Wanita itu dulu bergelar ratu kematian dan mungkin gelar itu masih Vio pegang.Tiga hari pengintaian berlangsung senyap. Vio hanya keluar unt
Mobil hitam berhenti di basement parkir hotel, jauh dari keramaian pesta di atas. Lantai beton dingin dan sunyi, hanya suara kipas ventilasi dan sesekali deru mesin mobil lain yang lewat. Cahaya temaram dari lampu-lampu neon menyoroti sosok pria yang duduk di kursi belakang dengan dasi yang sudah dilonggarkan.Arzan Aditya Hermanto, wajahnya tampak tenang, bahkan tampan di mata siapa pun. Namun, dari mata cokelat gelap itu, jelas ada badai yang sedang ia tahan. Tangan kirinya menekan pelipis, sementara tangan kanan menggenggam daftar tamu undangan pernikahan yang baru saja ia sobek beberapa jam lalu."Bukan hal seperti ini yang aku mau," gumamnya perlahan saja.Seseorang masuk ke mobil dan duduk di kursi kemudi. Pria bersetelan jas hitam, berwajah keras, menggunakan kacamata, rambut cepak, dan gerak-geriknya sangat teratur.“Zayn.” Arzan memanggil tanpa menoleh.“Ke tempat biasa, Boss?”“Bukan. Kali ini beda,” ucap Arzan singkat. Ia menyandarkan tubuh, lalu menatap kaca depan mobil ya
Vio menggeliat di kasur tipisnya. Ia mengumpulkan nyawa untuk rutinitas harian yang menyenangkan. Rutinitas di sebuah tempat baru yang membuatnya betah berlama-lama di sana.Pagi di Tokyo selalu datang dengan kesunyian yang tenang, begitu kata orang. Sinar matahari mengintip malu-malu dari balik tirai tipis apartemen kecil di daerah Meguro, lalu menyusup ke dalam kamar sederhana yang dipenuhi aroma bunga teh dan bedak bayi.Vio membuka mata perlahan, menoleh ke sisi ranjang di mana seorang anak kecil masih terlelap dalam pelukannya. Namanya Reino, anak laki-laki yang usianya genap 4 tahun.Hasil dari cinta singkat yang sudah ia kubur dalam-dalam, sempat ingin Vio aborsi tapi tak jadi karena rasa iba dan cinta datang tiba-tiba dalam hatinya. Reino terlihat lucu dan begitu polos, damai, dan tak ada sedikit pun jejak kelam masa lalu di wajah mungil itu.Wanita itu menyentuh pipi Reino dengan lembut. Perlahan-lahan putra pertamanya pun membuka mata,“Ayo bangun, mau lihat bunga sakura mek
Pesta pertunangan harusnya menjadi malam yang sempurna. Setidaknya itulah yang diinginkan Baron Hermanto. Arzan berdiri di tengah gemerlap lampu kristal, menyaksikan bagaimana para tamu berbincang, tertawa, dan mengangkat gelas lebih tinggi. Namun, di tengah keramaian, ada satu hal yang membuatnya gelisah. Valery menghilang padahal mereka tadi masih asyik bersandiwara. Arzan mencari tunangannya di antara para tamu, di sudut-sudut ruangan, bahkan ke taman belakang tempat para tamu biasa mengambil udara segar. Valery tidak ada. Bukan karena ingin tahu, tetapi karena malam itu kesempurnaan adalah kemutlakan. Arzan akhirnya menuju tempat yang lebih tersembunyi dan benar saja, di sana Valery berada. Samar-samar suara tawa lirih dan desahan pelan terdengar dari balik pintu kamar pribadi di sayap barat. Arzan tidak perlu berpikir dua kali untuk memahami apa yang terjadi. Ia membuka pintu sedikit, cukup untuk melihat Valery bersandar pada seorang pria, jemarinya mencengkeram dasi pria itu
Langit sore menggantung kelabu, seolah-olah mengerti apa yang tengah bergemuruh di dada Arzan Hermanto. Putra ketiga Baron Hermanto itu telah berubah sepenuhnya sejak lima tahun lalu.Ia jadi lebih maskulin, muscle dan tentu saja lebih cerdas dan kejam. Bisa dikatakan demikian karena Arzan telah memimpin satu bisnis tersendiri yang diberikan oleh papinya.Di dalam ruang ganti salah satu ballroom termewah milik keluarga Hermanto, pria itu berdiri di depan cermin mengenakan setelan hitam khas mafia kelas atas. Arzan terlihat rapi, gagah, tapi tanpa semangat di mata.Dasi kupu-kupu berwarna merah darah terpasang sempurna di lehernya, kontras dengan sorot mata yang kosong. Pipinya mulus karena cambangnya barus aja dicukur.“Cantik, Arzan. Putri dari keluarga Sondakh bukan cuma pintar, tapi juga tahu cara menjaga nama baik. Sepadan untuk kamu, anakku,” ujar Baron Hermanto sambil menepuk bahu putra bungsunya.Arzan hanya mengangguk, tanpa sepatah kata. Ia pernah bertemu dengan calon tunanga
Langit malam di atas base camp seperti menggantung rendah, berat oleh awan dan dosa. Kilatan petir terlihat menyilaukan.Vio berdiri di lorong belakang, sendirian. Rokok di tangannya habis separuh, tapi ia belum sekali pun mengisapnya. Matanya terpaku pada lantai semen yang dingin, titik di mana darah Ica pertama kali ditemukan. Tidak ada saksi, tidak ada jejak, hanya Ica yang tergeletak membeku dengan luka di leher.Langkah ringan terdengar mendekat. Vio tak perlu menoleh.“Kenapa kamu kembali ke tempat ini sendiri?” suara itu lembut, tapi penuh tekanan emosional.“Karena aku tahu kamu akan datang,” jawab Vio perlahan dan masih menatap lantai.Arzan berdiri di sampingnya. Wajahnya pucat, rambutnya sedikit basah oleh embun malam. Mata yang biasanya jernih kini gelap, seperti menyimpan kesedihan“Kamu masih berpikir aku terlibat?” Arzan ikut duduk di lantai.Butuh waktu beberapa detik sebelum Vio menjawab. “Aku pikir kamu sembunyikan sesuatu dan aku nggak tahu itu untuk lindungi diri k
Aroma tanah basah menyeruak masuk ke hidung di sebuah tanah basah milik keluarga Baron Hermanto. Hujan turun perlahan, seperti turut berduka atas kematian Ica.Di tanah itu sudah banyak anggota mafia yang dikubur tanpa pernah diberi tahu oleh keluarganya. Entah mati karena konflik internal atau eksternal.Vio berdiri kaku di depan makam sederhana yang sangat luas itu. Jaket kulit hitamnya basah, tapi ia tak bergeming. Tatapannya terpaku pada nama yang terukir di batu nisan."Ica Setyana 1990–2025." Vio mengusap air hujan di wajahnya.Tanahnya masih merah, basah dan belum ada satu hari dikubur. Tapi yang membuat Vio marah bukan kematian Ica sebab mereka bukan teman apalagi bestie, melainkan misteri dan pesan Ica yang tak pernah sempat diucapkan padanya.“Kamu seharusnya nggak mati di tempat itu, Ica …” gumam Vio perlahan. “Base camp itu seharusnya aman. Kamu pasti tahu kalau ada ancaman atau ada yang menjebak. Tapi malam itu kenapa kamu lengah? Bukan begini cara kita bekerja, Sayang.”