Share

6. Janji Palsu

Author: Rosa Rasyidin
last update Huling Na-update: 2024-07-12 11:00:46

“Saya harus pulang, Mbak, anak sama istri saya menunggu di rumah.” Arzan menjauh sejenak. Tak baik di rumah berdua saja dengan perempuan yang tidak ada ikatan apa-apa dengannya. Takut terjerumus dalam hubungan terlarang.

“Tunggu. Aku agak trauma hampir jatuh tadi. Bentar aja, please,” ucap Vio sambil memelas.

“Ya sudah saya tunggu di luar saja.” Baru saja Arzan akan beranjak, Vio malah menjatuhkan kepala ke bahu lelaki tersebut. Entah apa rencana wanita licik itu kali ini.

“Mbak,” ujar Arzan perlahan. Ia memikirkan Sasi dan Rere di rumah.

“Aku capek, mungkin karena kurang istirahat. Tolong kalau kamu pulang kunci pintu aja dari luar dan bawa. Besok agak siang aja ke sini, aku ada rapat penting sama klien.” Dengan agak berat Vio mengangkat kepala. Kemudian ia berbaring di ranjang miliknya. Handuk yang menutupi tubuhnya agak tersingkap. Arzan pun lekas berpaling.

“Mbak nggak apa-apa ditinggal sendirian?” Arzan yang sedang sakit pun tak tega melihat Vio sendirian.

Tak menjawab, perempuan cantik itu memejamkan mata dengan erat. Arzan lekas menutupi Vio dengan selimut tebal. Ia matikan lampu dan menutup pintu walau agak ragu meningalkan Vio seorang diri.

Sejenak Arzan mengemas diri dan memakai lagi jaketnya yang diletakkan di kursi. Ia sudah jauh lebih baik dari tadi malam. Andai ia tak punya keluarga, pasti Vio sudah ditemani.

Lelaki itu mengunci pintu rumah sesuai permintaan sang pemilik. Ia starter motor, panaskan sejenak, dikeluarkan, lalu mengunci pagar dan semua kunci ia bawa. Arzan berjanji akan kembali besok pagi secepatnya.

Violetta bangun ketika suara motor tak terdengar lagi. Perempuan cantik itu melihat dari dalam rumah ketika hanya tersisa asap motor Arzan saja di pekarangan. Senyumnya terkembang. Langkahnya untuk dekat dengan putra Baron Hermanto semakin menunjukkan hasil.

“Kalau bukan demi uang, saya tidak akan mendekati lelaki lemah seperti kamu. Hidup mau aja diatur perempuan gak bener.” Vio menutup tirai dan melangkah masuk ke kamar. Di sana ia hidupkan laptop dan memulai pekerjaan rahasia yang ia tekuni. Violetta bukanlah perempuan yang bisa dipandang sebelah mata.

“Halo, iya, kenapa?” Vio menjawab panggilan dari Nada—asprinya. “Udah nggak usah banyak bicara, kalau dia nggak ada gunanya buat kita, hilangkan tanpa barang bukti.” Klik. Panggilan ditutup oleh salah satu tangan kanan Baron Hermanto.

***

Arzan kembali ke rumah. Namun, pemandangan pertama yang ia temukan justru istrinya tengah bersama dengan tiga penagih utang kemarin. Lelaki itu masih ingat bagaimana rasanya dihajar tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan.

“Datang juga, nih, si bodat. Bayar utang bini lu!” hardik si botak yang paling kejam.

“Bang, kasih kami tempo, bisa? Saya lagi nggak ada uang. Tiga hari lagi saya janji bayar.” Alda memelas sambil menangkupakan dua tangan.

“Haaah! Bacot. Dari dulu mangkir aja kerjanya. Bayar gak, atau anak lu gue jual!”

“Tapi biasanya ada tempo, Bang.” Alda ketakutan. Arzan menghela napas berat.

“Saya bayar seadanya dulu, bisa, Bang?” tanya lelaki itu. Sebab mereka telah menjadi bahan tontonan tetangga yang sengaja melihat.

“Terserah, yang penting ada duit malam ini.” Si botak menunjuk wajah Arzan.

Lelaki dengan dua anak tersebut mengeluarkan uang pemberian Vio tadi. Setengah juta lebih melayang begitu saja tanpa tertinggal selembar pun.

“Gitu, donk! Lu bayar, gue seneng, kita temenan.” Debt collector segera berlalu. Tapi sebelumnya ia tinggalkan pesan akan kembali satu minggu lagi untuk mengambil sisa tagihan yang ada.

“Mas,” panggil Alda tapi tidak dipedulikan oleh Arzan. “Mas, kamu masih marah sama aku?” Duar! Pintu kamar dibanting oleh Arzan. Alda kaget, selama menikah, baru kali ini suaminya kasar. “Apa aku udah keterlaluan, ya?” gumamnya sambil menundukkan kepala.

Di dalam kamar lelaki tinggi dan tegap itu berkaca. Baru kali ini ia merasa begitu dipecundangi oleh seorang perempuan bergelar istri.

“Apa yang tidak pernah aku berikan sama kamu, Alda? Tapi tindakan kamu kali ini sudah kelewat batas.” Ia terduduk di pinggir ranjang sambil memegangi rambutnya.

Semua upaya telah Arzan lakuka agar keluarga kecilnya berkecukupan. Andai saja tak ada utang tanpa sebab yang dibuat Alda, tentu ia tak akan bingung ke mana mencari uang.

“Untung ada Mbak Vio yang baik sama aku.” Arzan merebahkan diri di ranjang.

Matanya terpejam sejenak lalu ia buka lagi. Teringat ia bagaimana nasib Vio ditinggal sendirian di rumah. Ingin ke sana juga, tapi bagaimana dengan kedua putrinya?

Arzan mengirim pesan, berharap dapat balasan, tapi pesan itu tak dipedulikan oleh Vio yang ia tinggal ketika sedang tidur. Atau mungkin perempuan itu sedang keluar rumah dan mengerjakan urusan penting.

***

Alda melihat ke kamar di mana Arzan masih belum mengizinkannya untuk masuk. Wanita itu menarik napas berat. Sungguh ia menyesal, tapi ia pun tak punya pilihan lain.

Alda diperas habis-habisan, oleh lelaki yang mengetahui masa kelamnya dulu. Ia bukanlah sebaik yang dikira oleh suaminya. Entah sampai kapan bangkai itu bisa ditutupi.

“Aku harus gimana, ya?” Alda masuk ke kamar di mana Rere dan Sasi sedang tidur. Ia rebahkan diri di sisi paling pinggir. Semua masalah ia buat sendiri, dan ternyata wanita itu tak bisa menyelesaikannya dengan baik.

“Andai waktu bisa diputar lagi, aku nggak akan terjerumus dalam urusan gila itu. Sekarang gimana? Semua udah terjadi. Kalau Mas Arzan tahu, bisa dia ceraiin aku. Nanti aku dapat uang dari mana untuk membiayai kehidupan sehari-hari sama kebutuhan dua anakku.” Alda mengelus rambut Rere.

Sesekali ia lirik Sasi juga, dua anak perempuan yang dominan mirip dengannya. Arzan begitu menyayangi mereka sepenuh hati.

“Nggak, lelaki seperti Mas Arzan harus jadi suamiku selamanya. Aku harus bisa membuat dia betah. Aku janji nggak akan bentak-bentak dia lagi. Aku akan mulai semua dari awal sebelum terlambat.”

Nyatanya Alda tertidur pulas sampai pagi. Ketika Arzan bangun, bahkan tumpukan piring kotor dengan aroma makanan basi belum juga dicuci.

“Sesibuk apa kamu, Alda? Sampai urusan begini juga aku yang harus turun tangan. Selain fisik, apa harga diri aku juga ingin kamu hancurkan?” Walau demikian Arzan tetap turun tangan membantu pekerjaan istrinya.

Alda bangun dan terkejut melihat semuanya sudah rapi. Ia menepuk dahi sendiri. Wanita itu terlena dengan rasa sejuk di dalam kamar.

“Mas, aku buatin sarapan, ya?” Alda berusaha bersikap manis pagi itu. Arzan hanya menggeleng saja. “Mas, jangan cuekin aku. Aku minta maaf, aku janji nggak akan ngutang lagi sama orang lain, sumpah demi Tuhan.”

“Sudah, ya, Mas pergi dulu. Jangan pergi ke mana-mana, temani Rere sama Sasi di rumah, kasihan mereka kamu tinggal-tinggal terus. Tanggung jawab cari uang itu ada sama saya selaku kepala keluarga, mengerti kamu?” Usai mengucapkan kalimat tersebut, Arzan memegangi perutnya yang masih terasa nyeri.

Sesegera mungkin lelaki itu berlalu, ia ada janji untuk menjenguk Violetta yang ditinggal sendirian tadi malam.

Bersambung …

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya     48 Negosiasi

    Arzan mengangkat gelas dan memperhatikan cairan keemasan yang berputar di dalamnya. Buih-buih kecil naik ke permukaan. Di luar jendela apartemen, langit senja menyala merah jingga, tapi semua warna terasa pudar di matanya.Ia menarik napas panjang lalu membiarkan aroma sampanye mengisi paru-paru sebelum menyesapnya perlahan. Namun, rasa dingin yang menggelitik tenggorokan tak cukup untuk meredakan beban yang bergelayut di pikirannya.Baron Hermanto masih terbaring lemah di rumah sakit. Setiap kabar yang datang hanya berisi ketidakpastian, membuat Arzan semakin merasa terasing dari rumah yang sudah lima tahun menjadi tempatnya berpulang.Lalu soal Karel, kakaknya seperti bayangan yang tak bisa dihindari. Entah kesengajaan atau kebetulan, selalu saja ada sesuatu yang membuat mereka bersinggungan dalam konflik yang terus berulang. Arzan memijit pelipisnya, mencoba meredam sakit kepala yang mulai menjalar.Bunyi bel pintu apartemen memecah lamunannya. Pesanan telah datang. Ia bangkit dari

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    47 Mata Pisau

    “Zayn, itukan namamu?” Gadis itu pergi meninggalkan tamu yang tidak diundang.Nada membuka pintu. Berdiri di depan dengan tubuh tegak. Rambutnya diikat rapi. Matanya waspada.“Pergi, Zayn. Aku nggak mau ulang dua kali. Jangan ganggu Bu Vio lagi.”Zayn berdiri tenang, bersandar pada dinding seolah malas pergi. Matanya menatap lurus ke wajah Nada. Tidak ada senyuman. Tidak ada emosi.“Tenang, saya cuma mau ngobrol. Tapi kalau kamu paksa.” Lelaki itu mendekati Nada.Nada menghela napas pendek, lalu mendorong pintu agar tertutup.Zayn menahan pintu dengan tangannya. Lalu menyelinap masuk. Gerakannya cepat dan penuh percaya diri.“Kamu baru saja membuat kesalahan. Aku bukan perempuan lemah.”Belum sempat Zayn bicara, Nada menyerang lebih dulu. Sebuah belati nyaris menggores pipi Zayn. Ia mundur cepat. Napasnya mulai berat. Nada bergerak tanpa aba-aba. Ciri khas petarung jalanan. “Tahan, saya hanya ingin bertanya baik-baik.” “Wajahmu bukan orang baik. Terlihat seperti pedofil campur gay.”

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya     46 Siluet

    Arzan merapikan lipatan jasnya di depan cermin. Kancing terakhir ditutup dengan pasti, mempertegas siluet bahunya yang tegap dan kekar. Sebotol kecil parfum ia angkat dari rak. Botol berisi aroma maskulin dengan sentuhan cedar dan amber yang selalu mengingatkannya pada satu nama. Vio. Wanita yang lima tahun lalu memilih pergi tanpa penjelasan. Namun meninggalkan banyak jejak. Termasuk parfum di tangannya, yang dulu ia pilihkan untuk Arzan. “Aromanya bikin perempuan susah lupa dan kamu jadi lebih maskulin,” kata Vio waktu itu. Tiga semprotan, tidak lebih di titik-titik yang membuat wangi jadi lebih menguar. Saat ia hendak keluar kamar, ketukan halus terdengar dari arah pintu. Suara pelayan dari balik pintu mengatakan Tuan Baron Hermanto ingin bicara sebentar, di ruang kerjanya. Tanpa banyak kata, Arzan mengangguk. Langkahnya terlihat santai menyusuri lorong rumah keluarga Hermanto yang luas, tapi terasa dingin malam itu. Lampu-lampu gantung memantulkan cahaya kebohongan di sepanjan

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    45 Mata-mata

    Seorang lelaki berdiri tepat di pinggir lampu hijau yang menyala di persimpangan Shibuya, dan kerumunan pejalan kaki bergerak serempak. Mata-mata berbadan tegap dan berjaket hitam itu melangkah tenang. Di balik masker dan topinya, mata Zayn selalu mengamati satu titik.“Target mulai terdeteksi!” ucap Zayn penuh keyakinan.Langkah Zayn melambat. Sekilas, dari seberang jalan, ia melihat sosok perempuan dengan rambut panjang dan gaya berpakaian sederhana. Vio, begitu bosnya memanggil.Di samping Vio berjalan seorang bocah lelaki berusia sekitar empat tahun. Zayn tidak terkejut. Tidak juga tersentuh. Kehidupan mafia walau itu perempuan sangat sulit ditebak.Zayn hanya sedang menjalankan misi. Satu dari sekian banyak tugas pengintaian. Dan seperti biasa, ia tidak boleh melibatkan emosi serta perasaan. Jika tidak, Vio bisa saja mengetahui langkahnya. Wanita itu dulu bergelar ratu kematian dan mungkin gelar itu masih Vio pegang.Tiga hari pengintaian berlangsung senyap. Vio hanya keluar unt

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    44 Bertemu Mantan

    Mobil hitam berhenti di basement parkir hotel, jauh dari keramaian pesta di atas. Lantai beton dingin dan sunyi, hanya suara kipas ventilasi dan sesekali deru mesin mobil lain yang lewat. Cahaya temaram dari lampu-lampu neon menyoroti sosok pria yang duduk di kursi belakang dengan dasi yang sudah dilonggarkan.Arzan Aditya Hermanto, wajahnya tampak tenang, bahkan tampan di mata siapa pun. Namun, dari mata cokelat gelap itu, jelas ada badai yang sedang ia tahan. Tangan kirinya menekan pelipis, sementara tangan kanan menggenggam daftar tamu undangan pernikahan yang baru saja ia sobek beberapa jam lalu."Bukan hal seperti ini yang aku mau," gumamnya perlahan saja.Seseorang masuk ke mobil dan duduk di kursi kemudi. Pria bersetelan jas hitam, berwajah keras, menggunakan kacamata, rambut cepak, dan gerak-geriknya sangat teratur.“Zayn.” Arzan memanggil tanpa menoleh.“Ke tempat biasa, Boss?”“Bukan. Kali ini beda,” ucap Arzan singkat. Ia menyandarkan tubuh, lalu menatap kaca depan mobil ya

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    43 Jepang dan Semua Rasa yang Ada

    Vio menggeliat di kasur tipisnya. Ia mengumpulkan nyawa untuk rutinitas harian yang menyenangkan. Rutinitas di sebuah tempat baru yang membuatnya betah berlama-lama di sana.Pagi di Tokyo selalu datang dengan kesunyian yang tenang, begitu kata orang. Sinar matahari mengintip malu-malu dari balik tirai tipis apartemen kecil di daerah Meguro, lalu menyusup ke dalam kamar sederhana yang dipenuhi aroma bunga teh dan bedak bayi.Vio membuka mata perlahan, menoleh ke sisi ranjang di mana seorang anak kecil masih terlelap dalam pelukannya. Namanya Reino, anak laki-laki yang usianya genap 4 tahun.Hasil dari cinta singkat yang sudah ia kubur dalam-dalam, sempat ingin Vio aborsi tapi tak jadi karena rasa iba dan cinta datang tiba-tiba dalam hatinya. Reino terlihat lucu dan begitu polos, damai, dan tak ada sedikit pun jejak kelam masa lalu di wajah mungil itu.Wanita itu menyentuh pipi Reino dengan lembut. Perlahan-lahan putra pertamanya pun membuka mata,“Ayo bangun, mau lihat bunga sakura mek

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status