Share

7. Pemerasan

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2024-07-14 23:04:03

Alda menatap kepergian Arzan dengan lesu. Ia sadar selama ini sudah terlalu keras dengan suaminya. Namun, wanita dengan kulit putih tak sehat itu terpaksa melakukannya. Ia juga lelah mencari uang akhir-akhir ini. Selain untuk menutupi kebutuhan keluarga juga demi membayar utang-utangnya.

Memang kebutuhan rumah tangga bukanlah tanggung jawab Alda. Tapi ia tak tega melihat dua anaknya merengek terus minta jajan. Dahulu kehidupan mereka sangat berkecukupan sampai hantaman ekonomi ditambah resesi datang tak ada habisnya.

Dahulu Alda bersediah dinikahi Arzan karena lelaki itu berjanji akan bertanggung jawab penuh dengan semua kebutuhannya. Memang ditepati dan suaminya sosok sangat sempurna di matanya. Hanya saja bagi Alda, Arzan bukanlah cinta pertamanya.

Terdengar munafik tapi memang demikian adanya. Alda bersedia dinikahi oleh Arzan karena tidak adanya kepastian dari bekas pacarnya dulu. Lebih parahnya lagi saat sudah menikah mantan pacarnya justru datang memberikan angin surga dan terjadilah semuanya.

Alda tak pernah bisa mengimbangi kebaikan dari Arzan. Walau demikian ia bisa menutupi semua kebohongan dan dustanya dengan sangat baik. Kebohongannya selama ini ia tutupi dan Arzan tak curiga sama sekali. Sebabnya selain karena sibuk bekerja, Arzan juga telanjur cinta mati padanya.

“Maaf, Mas, tapi aku janji akan usaha jadi istri dan ibu yang baik seperti dulu lagi. Kalau kamu terus-terusan marah sama aku, aku takut kamu ceraikan aku.” Wanita itu baru sadar kalau Arzan meninggalkan rumah dalam keadaan bersih.

“Kenapa aku akhir-akhir ini bego banget, ya? Masa urusan cuci piring si mas juga yang turun tangan.” Ibu dua anak itu menarik napas perlahan.

Ada banyak hal yang membuat kepalanya pusing. Selain kebutuhan hidup yang terus merangkak naik, utang yang ia buat sendiri, juga tak luput teror dari mantan pacarnya—Nando.

Mereka berdua masih menjalin hubungan, ditambah Nando pengangguran kelas berat dan kerjanya minta uang saja pada Alda. Entah apa yang dilihat dari pemalas itu. Yang Jelas cinta Alda pada Nando melebihi cintanya pada Arzan.

“Aku emang bodoh dari dulu, tapi herannya rasa bodoh ini membuatku kecanduan. Ya, Tuhan, tolong sembunyikan terus perselingkuhanku sama Aldo. Seperti dulu-dulu, ya, Tuhan. Agar rumah tangga kami masih baik-baik saja karena kedua anakku masih kecil.” Doanya sangat tidak tahu malu.

Sebagai istri yang baik, Alda pun menuruti permintaan Arzan agar tak pergi dari rumah seharian. Ia bereskan setiap sudut rumah yang kotor. Dua anaknya dilepas main di luar. Namun, baru beberapa menit saja ia sudah kelimpungan. Sasi dan Rere mengobrol dengan lelaki asing.

“Kakak, adek, masuk, sekarang!” tegas Alda pada dua putrinya.

Lelaki asing yang mengajak dua bocah itu mengobrol itu mendongak. Sontak Alda terkejut dan menelan ludah berat. Untuk apa Nando nekat datang ke rumahnya.

“Kamu ngapain ke sini?” tanya Alda menekan nada bicaranya, takut tetangga salah paham dan bergosip tentang dirinya.

“Kangen sama kamu, Sayang,” jawab Nando

“Ish, kemaren, kan, kita udah ketemu. Nggak puas?”

“Mama, ketemu siapa?” tanya Sasi dari dalam rumah.

“Bukan siapa-siapa, kok, Sayang, Mama bentar lagi masuk.” Alda menggaruk kepalanya yang gatal. “Jangan gila kamu, Nando, bisa-bisa suami aku pulang dan tahu tentang kita. Dah, mending kamu pulang sana.” Alda mengusir kekasih yang sangat ia cintai.

“Nggak ada ongkos angkot, bagi duit, donk!”

“Ya, ampun, kan tadi malam udah, Nan, masak habis sih secepat itu?”

“Aku butuh makan, minum, sama bayar kosan. Kosan tempat kita ehem, ehem.”

“Gila, ya, kamu, makanya cari kerja donk!”

“Iya, nanti gampang itu, bagi donk, seratus aja nggak apa-apa, kok.” Nando tak akan beranjak sampai pacarnya memberikan uang. Mau tak mau Alda merogoh koceknya lagi agar rumah tangganya selamat. Untung masih ada sisa uang dari Arzan yang sengaja ia sembunyikan.

“Makasih, sayangku.”

“Eh, kamu mau ngapain. Di sini tempat umum, jangan macam-macam!” ancamnya pada Nando.

“Okey, kalau gitu aku tunggu di kosan seperti biasa, kabarin kalau kamu kangen sama aku.”

“Tapi beberapa hari ini aku stop dulu ke kosan kamu, ya, suamiku masih marah, nanti runyam.”

“Oke deh, Sayang, apa sih yang nggak buat kamu.” Nando meninggalkan Alda yang menatapnya sambil memiringkan bibir.

Betapa mudah si pemalas itu mencari uang tanpa harus bekerja keras. Kurang uang kos tinggal tadah tangan. Tak ada makanan tinggal telpon Alda. Service memuaskan termasuk urusan ranjang, dan hubungan gila itu sudah berlangsung sejak awal mula pernikahan Alda dan Arzan.

“Aku akan terus pertahankan kegoblokan kamu, Alda. Aku nggak mungkin lepas tambang emas aku. Ngapain capek-capek kerja tinggal minta aja. Aku nggak peduli walau suami kamu banting tulang peras keringat nangis darah, nggak ada urusannya sama aku.” Nando mengecup uang merah dua lembar yang diberikan Alda untuknya. Kemaren ia memiliki utang dengan rentenir akibat kalah judi slot. Alda juga yang membayarkan.

Wanita itu meminjam dari rentenir lagi dengan bunga berbunga. Utang yang membuat Arzan harus babak belur karena bukan salahnya. Tidak ada orang tua yang sakit, itu semua bohong. Apalagi orang tua Arzan yang sudah lama putus hubungan dengan anak lelakinya.

***

Lelaki dengan tubuh tinggi tegap itu memasuki pekarangan rumah Violet sesuai janjinya. Ia perhatikan tidak ada tanda-tanda aktifitas sang pemilik rumah, apalagi tetangga yang elo gue urus sendiri-sendiri.

Di tangan kanan Arzan ada sebungkus bubur ayam langganannya. Ia harap Vio makan makanan kelas rakyat jelata sepertinya. Tapi kalau tidak tentu ia akan memakannya sendiri.

Rumah itu dibuka setelah Arzan beberapa kali mengetuk dan tidak juga ada jawaban. Ia takut Vio kenapa-kenapa. Segera saja ayah dari dua anak itu ke ruang tamu. Ia buka pintu kamar tanpa mengetuk pintu dan Vio sedang menggunakan handuk.

“Maaf, Mbak, saya nggak sengaja.” Ditutupnya lagi pintu itu tanpa melihat ke arah Vio.

Perempuan itu menyunggingkan senyum. Rencananya baru saja dimulai. Tidak ada lelaki mana pun yang bisa menolak rayuan seorang perempuan di tengah kegersangan kasih sayang dan sentuhan di dalam hatinya.

“Sorry, Bro, tapi lingkungan kita memang keras. Jadi kamu harus dikasih pelajaran supaya sadar, dan aku janji nggak akan pakai hati dalam hubungan kita kali ini.” Violetta memilih setelan blazer warna merah muda yang cocok dengan gayanya yang masih muda. Meski sudah berumur kepala empat nyatanya ia pandai merawat diri dan terlihat sebaya dengan Nada asprinya.

Vio berdandan sebentar, kira-kira setengah jam, tak lupa ia pakai parfum yang wangi sekali, belum termasuk menata gaya rambutnya agar senantiasa terlihat rapi.

“Mbak, kalau masih lama, saya pulang kalau begitu. Sepertinya Mbak sudah sehat,” ucap Arzan dari luar.

“Tunggu, sebentar, ya, aku mau minta tolong sama kamu, Mas, jangan pergi dulu kalau gitu.”

“Oh, iya, Mbak, siap.”

Tak lama kemudian Vio keluar dari kamar. Semangkuk bubur ayam tersaji. Arzan mulai tak canggung dengan teman perempuan yang belum lama ia jumpai.

“Makasih, ya,” kata Vio sambil tersenyum dan mengecap rasa bubur. “Ehm, enak banget.”

“Saya kira Mbak nggak makan bubur ayam.”

“Alasan?”

“Bukan makanan orang kaya.”

“Ah, makanan nggak pernah memandang kasta, hanya perlu penyesuaian tempat penyajian saja.” Vio menyantap bubur pemberian Arzan sampai habis.

“Sudah selesai, Mbak? Kalau gitu saya boleh pulang?”

“Jangan, aku mau minta tolong, mungkin sampai malam. Aku ada pertemuan di hotel. Aspriku hari ini cuti, supir juga belum pulang. Mau, ya, temani aku, nanti dibayar?”

Mendengar kata hotel, membuat Arzan agak ragu, apalagi acaranya sampai malam. Tapi ia butuh uang dan kasihan rasanya meninggalkan Violet seorang diri. Sebuah anggukan menjadi jawaban dari lelaki itu.

Arzan diminta memanaskan mobil terlebih dahulu dan ia pun sempatkan mengirim pesan kepada Alda bahwa dirinya ada lembur serta akan pulang larut malam.

Sementara itu di dalam rumah, Vio mengirim pesan pada Nada agar mempersiapkan semuanya. Hubungannya dengan Arzan harus ada perkembangan yang pesat dan cara ekstrim pun tak akan ragu ia lakukan.

“Boleh juga kalau aku cobain bocah sesekali, biar dia cepat dewasa.” Senyum Vio tersungging. Terkadang menghalalkan segala cara untuk menang memang harus dilakukan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya     48 Negosiasi

    Arzan mengangkat gelas dan memperhatikan cairan keemasan yang berputar di dalamnya. Buih-buih kecil naik ke permukaan. Di luar jendela apartemen, langit senja menyala merah jingga, tapi semua warna terasa pudar di matanya.Ia menarik napas panjang lalu membiarkan aroma sampanye mengisi paru-paru sebelum menyesapnya perlahan. Namun, rasa dingin yang menggelitik tenggorokan tak cukup untuk meredakan beban yang bergelayut di pikirannya.Baron Hermanto masih terbaring lemah di rumah sakit. Setiap kabar yang datang hanya berisi ketidakpastian, membuat Arzan semakin merasa terasing dari rumah yang sudah lima tahun menjadi tempatnya berpulang.Lalu soal Karel, kakaknya seperti bayangan yang tak bisa dihindari. Entah kesengajaan atau kebetulan, selalu saja ada sesuatu yang membuat mereka bersinggungan dalam konflik yang terus berulang. Arzan memijit pelipisnya, mencoba meredam sakit kepala yang mulai menjalar.Bunyi bel pintu apartemen memecah lamunannya. Pesanan telah datang. Ia bangkit dari

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    47 Mata Pisau

    “Zayn, itukan namamu?” Gadis itu pergi meninggalkan tamu yang tidak diundang.Nada membuka pintu. Berdiri di depan dengan tubuh tegak. Rambutnya diikat rapi. Matanya waspada.“Pergi, Zayn. Aku nggak mau ulang dua kali. Jangan ganggu Bu Vio lagi.”Zayn berdiri tenang, bersandar pada dinding seolah malas pergi. Matanya menatap lurus ke wajah Nada. Tidak ada senyuman. Tidak ada emosi.“Tenang, saya cuma mau ngobrol. Tapi kalau kamu paksa.” Lelaki itu mendekati Nada.Nada menghela napas pendek, lalu mendorong pintu agar tertutup.Zayn menahan pintu dengan tangannya. Lalu menyelinap masuk. Gerakannya cepat dan penuh percaya diri.“Kamu baru saja membuat kesalahan. Aku bukan perempuan lemah.”Belum sempat Zayn bicara, Nada menyerang lebih dulu. Sebuah belati nyaris menggores pipi Zayn. Ia mundur cepat. Napasnya mulai berat. Nada bergerak tanpa aba-aba. Ciri khas petarung jalanan. “Tahan, saya hanya ingin bertanya baik-baik.” “Wajahmu bukan orang baik. Terlihat seperti pedofil campur gay.”

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya     46 Siluet

    Arzan merapikan lipatan jasnya di depan cermin. Kancing terakhir ditutup dengan pasti, mempertegas siluet bahunya yang tegap dan kekar. Sebotol kecil parfum ia angkat dari rak. Botol berisi aroma maskulin dengan sentuhan cedar dan amber yang selalu mengingatkannya pada satu nama. Vio. Wanita yang lima tahun lalu memilih pergi tanpa penjelasan. Namun meninggalkan banyak jejak. Termasuk parfum di tangannya, yang dulu ia pilihkan untuk Arzan. “Aromanya bikin perempuan susah lupa dan kamu jadi lebih maskulin,” kata Vio waktu itu. Tiga semprotan, tidak lebih di titik-titik yang membuat wangi jadi lebih menguar. Saat ia hendak keluar kamar, ketukan halus terdengar dari arah pintu. Suara pelayan dari balik pintu mengatakan Tuan Baron Hermanto ingin bicara sebentar, di ruang kerjanya. Tanpa banyak kata, Arzan mengangguk. Langkahnya terlihat santai menyusuri lorong rumah keluarga Hermanto yang luas, tapi terasa dingin malam itu. Lampu-lampu gantung memantulkan cahaya kebohongan di sepanjan

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    45 Mata-mata

    Seorang lelaki berdiri tepat di pinggir lampu hijau yang menyala di persimpangan Shibuya, dan kerumunan pejalan kaki bergerak serempak. Mata-mata berbadan tegap dan berjaket hitam itu melangkah tenang. Di balik masker dan topinya, mata Zayn selalu mengamati satu titik.“Target mulai terdeteksi!” ucap Zayn penuh keyakinan.Langkah Zayn melambat. Sekilas, dari seberang jalan, ia melihat sosok perempuan dengan rambut panjang dan gaya berpakaian sederhana. Vio, begitu bosnya memanggil.Di samping Vio berjalan seorang bocah lelaki berusia sekitar empat tahun. Zayn tidak terkejut. Tidak juga tersentuh. Kehidupan mafia walau itu perempuan sangat sulit ditebak.Zayn hanya sedang menjalankan misi. Satu dari sekian banyak tugas pengintaian. Dan seperti biasa, ia tidak boleh melibatkan emosi serta perasaan. Jika tidak, Vio bisa saja mengetahui langkahnya. Wanita itu dulu bergelar ratu kematian dan mungkin gelar itu masih Vio pegang.Tiga hari pengintaian berlangsung senyap. Vio hanya keluar unt

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    44 Bertemu Mantan

    Mobil hitam berhenti di basement parkir hotel, jauh dari keramaian pesta di atas. Lantai beton dingin dan sunyi, hanya suara kipas ventilasi dan sesekali deru mesin mobil lain yang lewat. Cahaya temaram dari lampu-lampu neon menyoroti sosok pria yang duduk di kursi belakang dengan dasi yang sudah dilonggarkan.Arzan Aditya Hermanto, wajahnya tampak tenang, bahkan tampan di mata siapa pun. Namun, dari mata cokelat gelap itu, jelas ada badai yang sedang ia tahan. Tangan kirinya menekan pelipis, sementara tangan kanan menggenggam daftar tamu undangan pernikahan yang baru saja ia sobek beberapa jam lalu."Bukan hal seperti ini yang aku mau," gumamnya perlahan saja.Seseorang masuk ke mobil dan duduk di kursi kemudi. Pria bersetelan jas hitam, berwajah keras, menggunakan kacamata, rambut cepak, dan gerak-geriknya sangat teratur.“Zayn.” Arzan memanggil tanpa menoleh.“Ke tempat biasa, Boss?”“Bukan. Kali ini beda,” ucap Arzan singkat. Ia menyandarkan tubuh, lalu menatap kaca depan mobil ya

  • Suami Miskin itu Ternyata Kaya Raya    43 Jepang dan Semua Rasa yang Ada

    Vio menggeliat di kasur tipisnya. Ia mengumpulkan nyawa untuk rutinitas harian yang menyenangkan. Rutinitas di sebuah tempat baru yang membuatnya betah berlama-lama di sana.Pagi di Tokyo selalu datang dengan kesunyian yang tenang, begitu kata orang. Sinar matahari mengintip malu-malu dari balik tirai tipis apartemen kecil di daerah Meguro, lalu menyusup ke dalam kamar sederhana yang dipenuhi aroma bunga teh dan bedak bayi.Vio membuka mata perlahan, menoleh ke sisi ranjang di mana seorang anak kecil masih terlelap dalam pelukannya. Namanya Reino, anak laki-laki yang usianya genap 4 tahun.Hasil dari cinta singkat yang sudah ia kubur dalam-dalam, sempat ingin Vio aborsi tapi tak jadi karena rasa iba dan cinta datang tiba-tiba dalam hatinya. Reino terlihat lucu dan begitu polos, damai, dan tak ada sedikit pun jejak kelam masa lalu di wajah mungil itu.Wanita itu menyentuh pipi Reino dengan lembut. Perlahan-lahan putra pertamanya pun membuka mata,“Ayo bangun, mau lihat bunga sakura mek

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status