#Sdms
Bab 5 Lima Bulan BerlaluSingkat cerita lima bulan telah berlalu. Dan aku semakin bisa menikmati hidupku setelah bercerai dengan mas Aryo. Aku juga sudah bekerja di sebuah rumah makan milik teman dekat bulik Erni yang mana tempatnya berada di desa sebelah. Sedangkan untuk tempat tinggal aku di persilakan oleh bu Ratna --pemilik rumah makan-- untuk menempati sebuah rumah kecil yang kebetulan berada di samping rumah makan tersebut.Meski begitu rasa ingin membalas perbuatan keluarga bu Watik pun masih ada. Sebab, bagaimana pun fitnahan juga hinaan mereka masih selalu terngiang-ngiang di kepalaku. Apalagi karena perbuatan mereka telah menjadikan nama baikku tercoreng. Menjadi buruk dimata masyarakat terlebih pada orang-orang desa yang terlanjur mengenalku.Bahkan tak jarang ada orang yang tak ku kenal sekalipun melontarkan kata-kata buruk atau sumpah serapah terhadapku ketika kami sedang berpapasan atau bertemu di suatu tempat.Dan karena hal inilah yang membuatku semakin bertekad untuk bisa membuktikan kebenarannya. Juga membuat keluarga bu Watik membayar atas apa yang mereka lakukan. Sayangnya sampai detik ini aku belum menemukan petunjuk apapun kecuali yang aku tahu kalau bu Watik dan mbak Susi memang sejak awal mereka tak menyukaiku.Dan sebetulnya ada niatan untuk melaporkan tindakan mereka, tetapi karena saat itu statusku masih istri dari mas Aryo dan mengingat keuanganku yang tak begitu baik, aku pun terpaksa mengurungkan niatku itu.Spekulasi yang bisa ku simplukan saat ini adalah adanya kemungkinan kalau mas Aryo menceraikanku karena dia dibawah tekanan ibunya yang mungkin tidak menyukai kehadiranku. Mengingat kata bulik Erni yang mana mas Aryo itu terbilang anak yang cukup berbakti terhadap kedua orang tuanya. Karena hal ini jugalah menjadikan mas Aryo mau-mau saja ketika disuruh menikahiku.Tapi lagi-lagi itu hanya spekulasiku saja. Mengingat aku betul-betul belum ada bukti. Kalaupun iya, seandainya bu Watik memintaku untuk meninggalkan mas Aryo tanpa harus membuat sekenario cerita palsu aku dengan sadar dan berbesar hati akan menerima diceraikan. Toh, waktu itu aku dan mas Aryo juga belum mengenal satu sama lain. Kami menikah atas dasar karena pak Wanto yang berjasa telah memberikanku uang untuk pengobatan ayahku sebelum beliau meninggal.Tapi kenyataannya malah keluarga bu Watik seperti sudah bersekongkol untuk menfitnah diriku dengan cerita paslunya yang pada akhirnya merugikanku sendiri. Dan karena hal inilah membuatku berpikir kalau sepertinya ada alasan yang diinginkan bu Watik selain sekedar memisahkanku dengan mas Aryo.Tapi apapun itu yang harus ku lakukan saat ini adalah bersabar dan terus berusaha agar bisa mengumpulkan banyak bukti atas tindakan jahat mereka."Assalamualaikum! Imah? Kamu di rumah, Nduk?"Mendengar suara dari balik pintu membuatku agak terkejut. Lalu aku pun bergegas membukanya."Waalaikumsalam. Bulik? Tumben ke sini?" dengan senyum sumringah aku menyambut kedatangan bulik Erni yang ternyata ditemani anak lelakinya. Hilman."Monggo duduk dulu Bulik, Imah buatkan teh sebentar, ya," kataku namun dengan cepat bulik Erni mencegahnya. Katanya tak perlu karena ada hal yang lebih penting untuk dibicarakan segera."Duduklah," kata bulik Erni yang memintaku duduk di sampingnya. Sedangkan Hilman duduk di bangku yang bersebrangan denganku.Dengan raut wajah kebingungan aku pun menurut kata wanita yang sudah ku anggap sebagai orang tuaku sendiri ini."Kedatangan Bulik ke sini mau melamar kamu untuk anakku, Hilman," kata bulik Erni sembari menyentuh punggung tangan kananku.Aku tercengang mendengar bulik Erni berkata demikian. Sampai-sampai aku menelan ludahku sendiri saking tak percaya dengan apa yang ku dengar barusan."Me–melamar Bulik?" tanyaku dengan wajah tak percaya.Bulik Erni tersenyum lalu mengiyakan kembali apa yang sebelumnya beliau katakan.Menyadari keseriusan dari apa yang disampaikan bulik Erni membuat netraku sepintas teralihkan kearah pemuda yang duduk di depanku. Pemuda yang usianya dibawahku dan bisa dikatakan ia baru lulus dari sekolah tingkat atas. Namun, meski demikian ku akui dalam ilmu agama Hilman pasti lebih diatasku. Mengingat ia adalah lulusan pondok pesantren. Bukan seperti diriku yang hanya lulusan SMP."Kamu yakin mau melamar saya? Mmm, maksudnya kan saya bukan lulusan pondok seperti kamu. Ditambah usia saya diatas kamu," kataku dengan hati-hati supaya Hilman tak merasa tersinggung."InsyaaAllah saya sudah yakin, Mbak," balas Hilman dengan wajah yang memang meyakinkan."Alasannya?" tanyaku.Hilman pun menjabarkan mengapa ia mau melamarku meski jelas banyak perbedaan diantara kami. Dimana sebetulnya ia sendiri tak tahu pasti mengapa ia ingin melamarku. Hanya saja memang katanya sejak awal pertemuan kami di rumahnya malam itu, ia seperti merasa tertarik denganku. Tetapi saat ia mengetahui bagaimana statusku saat itu ia memilih untuk mencoba menghilangkan rasa tertariknya itu. Karena saat itu ia berpikir selain aku masih dalam masa iddah, ada kemungkinan jika aku tengah atau akan hamil atau mas Aryo sendiri ada niatan untuk mengajakku untuk rujuk.Barulah selepas lima bulan ini l Hilman memberanikan diri untuk berbicara pada ibunya tentang perasaannya terhadapku. Meski disaat itu ia juga sempat ragu dengan perasaannya sendiri namun setelah melakukan sholat istikharah beberapa kali kemudian ia merasa mantab untuk melamarku."Bulik setuju kalau kamu jadi menantuku," ucap bulik Erni dengan senyum yang tampak penuh pengharapan.Aku tersenyum tipis menanggapi ucapan bulik Erni barusan. Entah mau mau menjawab apa karena aku sendiri masih merasa tak percaya dengan apa yang dihadapkan denganku saat ini."Gak perlu dijawab sekarang. Kami akan kasih kamu waktu secukupnya," kata bulik Erni lagi."Iya, Mbak. Mbak Imah berhak menerima kesempatan waktu untuk memikirkan semuanya," tambah Hilman yang mendukung ucapan ibunya.Ku coba menenangkan pikiranku sejenak dengan mengambil napas dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Mulai agak tenang dengan mantab aku berkata, "saya terima lamaran kamu." Aku tersenyum kearah bulik Erni lalu kearah Hilman.Mendengar jawabanku barusan tampak bulik Erni dan Hilman agak terkejut. Mungkin mereka tak menyangka jika aku akan memberi jawaban secepat ini."Beneran diterima, Nduk?" tanya bulik Erni dengan wajah yang masih tak percaya.Dengan penuh keyakinan aku pun mengiyakan pertanyaan bulik Erni. Dan seketika itu juga bulik Erni pun memelukku sambil berkata terima kasih."Alhamdulillah .... " Terdengar ucapan syukur dari Hilman yang entah mengapa malah membuatku dadaku agak sesak.Dalam pelukan bulik Erni aku pun membalas ucapan terima kasihnya. Meski aku sendiri tak tahu apakah aku bisa menjadi istri yang baik untuk Hilman kedepannya. Sebab alasan mengapa aku menerima lamarannya karena aku berpikir dengan pernikahan ini akan bisa menjadi jembatan untukku membalas perbuatan keluarga bu Watik.Bab 124 EndingTak lama setelah kabar gembira itu mencuat, tiba-tiba kami semua yang berada di teras rumah Bu Watik itu pun seketika dibuat terkejut lantaran terdengar teriakan dari arah dalam rumah. Dan sudah bisa ditebak teriakan yang cukup kencang itu pasti berasal dari Bu Watik.Di waktu yang bersamaan itu pula lah Mas Aryo lantas berlari dengan cepat menuju dalam rumah. Pastilah ia merasa khawatir jikalau terjadi sesuatu pada ibunya itu. Bulik Erni, Sarah, Rahma, serta aku yang menggendong Abrisam pun dengan panik menyusul Mas Aryo ke dalam. Dan disaat kami semua berada tepat di depan kamar Bu Watik, kedua mata kami dibuat tercengang dengan pemandangan di depan sana.Dimana Bu Watik ternyata ... Terjatuh dari tempat tidurnya.Entahlah apa yang sebelumnya wanita paruh baya itu perbuat hingga membuatnya terjatuh dari kasurnya. Namun yang jelas hal tersebut membuat Mas Aryo begitu terkejut. Begitu juga dengan diriku dan yang lainnya.Mendapati ibunya dalam kondisi demikian, tanpa b
Bab 123 Kondisi Mantan Mertua Setelah memberikan jawabanku tersebut, aku tidak lagi mendengar suara dari Mas Hilman. Dan entah mengapa di momen itu aku merasa kalau suami mudaku itu sedang memikirkan sesuatu yang ujung-ujungnya aku diminta untuk mengembalikan satu set perhiasan itu.Astagfirullah ... Aku terus berucap istighfar dalam hati sembari terus berharap kalau Mas Hilman tidak memintaku untuk mengembalikan satu set perhiasan itu. Karena bagaimanapun aku berusaha menghargai hadiah yang dikirim Siska itu. Walaupun perihal permintaan maaf dari Siska belum juga diketahui secara pasti. Namun yang jelas jika memang benar Siska ingin meminta maaf dan sudah menyesali perbuatannya, hal itu lah yang membuatku senang dan bukan semata-mata karena perhiasan saja.Namun ternyata dugaanku salah. Ketika aku meminta untuk menyudahi aktivitas memijat ini, Mas Hilman masih sama seperti sebelumnya. Tetap tak bersuara. Tentu saja hal ini sudah bisa dipastikan kalau suami mudaku itu pasti tertidur.
Bab 122 Satu Set Perhiasan "O ya, udah hubungi nomor di paket mu itu belum?" tanya Mas Hilman yang membuatku teringat sesuatu."Astaghfirullah, belum, Mas," balasku.Benar, setelah menerima paket beberapa hari yang lalu, dimana paket yang berisikan satu set perhiasan emas itu membuatku dan Mas Hilman terkejut saat mengetahuinya. Alhasil karena tidak ada nama pengirim dan hanya ada nomor telepon yang sepertinya dari toko perhiasan itu dibeli, aku berencana untuk menghubungi toko tersebut. Dengan tujuan untuk mengkonfirmasi apakah satu set perhiasan yang aku terima benar-benar ditujukan untukku.***"Mas, Mas, Mas!!" dengan terburu-buru aku mendekati Mas Hilman yang baru saja pulang dari sekolah."Kenapa?" tanyanya heran."Lihat, deh," ucapku seraya meminta Mas Hilman melihat ke arah layar hp yang berada di tanganku.Setelah membaca isi pesan yang aku tunjukkan lantas saat itu juga Mas Hilman menatapku dengan raut wajah kebingungan. Sontak hal itu membuatku yang tadinya ceria seketika
Bab 121 Kepergian Mbak SusiSayangnya, ketika Mbak Susi belum sempat memulai ceritanya disaat yang bersamaan tiba-tiba muncul Rahma, adik iparku. Ia datang dengan nafas terengah-engah sambil membawa Abrisam."Maaf semuanya," kata Rahma sembari menurunkan keponakannya.Abrisam pun berjalan dengan wajah riangnya ke arahku. Sedangkan Rahma diminta untuk duduk terlebih dahulu dan menenangkan diri sebelum bercerita. Sampai akhirnya Rahma diminta untuk menceritakan apa yang menjadi sebab ia menyusul ke rumah ini dengan kondisi seperti itu tadi. Dimana ternyata ... Ada seseorang yang mencariku.Mendengar hal itu Mas Hilman lantas bergegas keluar rumah dan berjalan pulang ke rumahnya. Sedangkan aku menitipkan Abrisam ke ibu mertuaku dan segera menyusul suami mudaku itu. Begitu juga dengan Rahma yang mengikutiku dari belakangku. Sementara yang lainnya lebih memilih untuk tetap berada di tempatnya sembari memantau dari kejauhan.***Bersamaan dengan kehadiranku, saat itu pula lah Mas Hilman me
Bab 120 Pesan Untukku"Gak pa-pa, kok, Bulik," jawab Mbak Susi dengan suara pelan seraya tersenyum ke arah Bulik Erni.Melihat kondisi Mbak Susi yang berjalan seperti itu, ditambah adanya luka lebam dibeberapa titik wajahnya membuatku merasa kasihan padanya. Aku betul-betul tak menyangka jika pernikahan yang awalnya dulu penuh drama kini harus berakhir seperti ini. Sungguh menyedihkan dan sungguh malang nasib mantan kakak iparku itu.Di momen ini pula lah yang membuatku semakin bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi? Dan adakah kesalahan yang diperbuat Mbak Susi hingga Pak Tejo dan ketiga istrinya yang lain sampai tega meninggalkan bekas luka-luka di tubuh Mbak Susi seperti itu.Sampai akhirnya setelah melihat Mbak Susi lebih tenang dan lebih rileks, Bu Watik yang memang sejak tadi malam mengkhawatirkan anaknya sampai-sampai dia pingsan pun mulai mengajukan pertanyaan terkait apa yang sebenarnya terjadi. Selain itu aku sendiri juga teramat penasaran dengan apa yang membuat Mbak S
Bab 119 Menjemputnya pulang ke rumahMelihat nama dari orang yang meneleponku malam-malam itu seketika aku dibuat mendelik. Mendadak pula jantungku berdebar-debar karena aku merasa yakin kalau ada hal yang penting untuk disampaikan malam itu juga. Ku angkat lah panggilan telepon tersebut dan mendapati kabar yang sangat-sangat membuatku terkejut seketika. Bahkan saking terkejutnya aku sampai tidak bisa menggerakkan badanku untuk beberapa detik. Sampai akhirnya tiba-tiba Mas Hilman terbangun dan melanjutkan obrolan dari orang yang cukup kami kenal itu lewat telepon.Setelah beberapa saat kemudian panggilan telepon berakhir. Dan saat itu juga Mas Hilman memintaku untuk bersiap karena kami akan segera pergi ke tempat sesuai yang disampaikan orang yang belum lama menelepon kami tadi. Dengan perasaan yang masih syok, aku tetap berusaha tenang. Karena bagaimanapun nanti setelah sampai di tempat tujuan, aku lah yang akan berperan penting di sana.***"Ada apa, Sar?" tanyaku panik ketika aku