#Sdms
Bab 4 Meninggalkan Rumah Bulik ErniAku tersenyum sembari menatap punggung bulik Erni dan Rahma yang mulai menghilang. Dalam hati aku berucap syukur karena masih dipertemukan dengan orang baik diantara orang-orang yang julid kepadaku.
***
Diwaktu yang sama disaat bulik Erni dan Rahma masih mengaji dengan sengaja aku menunggu kepulangan mas Aryo dari balik jendela depan. Berharap bisa melihat kejadian seperti malam sebelumnya supaya aku bisa mengambil foto secara diam-diam dan bisa ku jadikan sebagai bukti untuk memulihkan kembali nama baikku.
Ditunggu punya tunggu sampai adzan isya berkumandang aku juga belum melihat tanda-tanda kepulangan mas Aryo. Untung saja aku masih libur sholat sehingga aku masih bisa memantau lebih lanjut.
"Mau sampai kapan di situ terus?" tanya bulik Erni yang ternyata sudah menyelesaikan kewajibannya sebagai muslimah.
"Eee, bentar lagi Bulik," jawabku.
"Sudah, ayo makan dulu!" ajak bulik Erni lalu berjalan kearah dapur. Dimana meja makan berada.
Karena tak enak hati aku pun mengikuti langkah bulik Erni. Tetapi baru beberapa langkah meninggalkan posisiku, tiba-tiba aku mendengar suara mobil dari arah luar rumah. Dengan cepat aku kembali ke posisi dan mengintip dari balik jendela. Memastikan siapa yang datang. Dan ternyata bukan mobil yang mengantar mas Aryo pulang seperti sebelumnya. Melainkan sebuah sepeda motor dengan dua penumpangnya.
Dan yang membuatku bertanya-tanya ketika melihat sepeda motor tersebut adalah mengapa kendaraan beroda dua itu malah berhenti di depan rumah bulik Erni. Reflek dengan cepat aku membuka pintu karena ingin melihat siapa yang datang di jam seperti ini.
"Assalamualaikum." Salah seorang pemuda dengan stelan koko lengkap dengan kopiah di kepalanya datang menghampiriku yang berdiri menatap kedatangannya bersama seorang pemuda lainnya.
"Wa–walaikumsalam. Cari siapa, ya, Mas?" tanyaku pada pemuda yang tampaknya lebih mudah lima tahuan dariku. Yang sejujurnya membuatku agak terkesima melihatnya, tetapi mengingat statusku segeralah aku menghilangkan rasa tersebut.
Pemuda tersebut tersenyum kearahku. "Bu Erni ada?" tanya pemuda tersebut.
Belum sempat aku menjawab tiba-tiba bulik Erni dan Rahma muncul. Mungkin karena mereka juga mendengar suara kendaraan yang berhenti di depan rumah mereka.
"MasyaaAlla!." Bulik Erni pun mendekati pemuda yang berdiri di depanku ini, lalu memeluknya setelah pemuda itu mencium takzim tangan kanannya.
Baru setelah berpelukan dengan bulik Erni gantian dengan Rahma yang hanya mencium takzim tangan pemuda tersebut.
Dan setelah itu bulik Erni memperkenalkan bahwa pemuda itu adalah anaknya yang bernama Hilman. Sedangkan pemuda satunya, Baim, yang ternyata adalah teman semasa di pondok yang juga saat ini sedang melakukan pengabdian sama halnya dengan anaknya.
Setelah perkenalkan singkat itu akhirnya bulik Erni mengajak kami semua untuk makan bersama. Saat makan itu pula lah Hilman menjelaskan kalau kepulangannya kali ini karena ada libur yang diberikan pihak pondok pesantren selama tiga hari.
Meski hanya tiga hari libur namun karena sudah lama tak pulang bahkan saat mendengar kabar kakak sepupunya alias mas Aryo menikah maka ia memutuskan untuk pulang.
"Iya Halimah ini mantan istrinya Aryo," ujar bulik Erni yang membuatku agak terkejut sampai-sampai aku tersedak.
"Ya Allah, maaf, ya, Nduk kalau bikin kaget," kata bulik Erni yang tampak panik melihatku tersedak.
"Gak pa-pa, kok, Bulik," balasku setelah meneguk air putih dalam gelas kaca di depanku.
Dengan perasaan yang agak canggung aku mencoba tersenyum tipis kearah Hilman yang juga melemparkan pandangannya ke arahku. Lalu membenarkan perkataan bulik Erni sebelumnya.
"Iya. Tapi pernikahan kami gak lama. Malah baru tadi pagi mas Aryo ngasih surat cerainya," kataku dengan tetap berusaha terlihat baik-baik saja meski dalam hati masih dongkol dengan keputusan sepihak dari mas Aryo juga sikap bu Watik.
Mendengar perkataanku barusan malah sekarang gantian Hilman yang tersedak. Dengan cepat ia pun mengambil minum yang ada di dekatnya.
"Bukannya belum lama kalian menikah?" tanya Hilman.
"Iya. Satu bulan juga belum genap," kataku lalu menyuap satu sendok nasi ke mulutku.
"Sudah, makan dulu!" seru bulik Erni tiba-tiba. Sekilas pun ku lihat beliau seperti memberi kode kepada anaknya untuk berhenti mewawancarai diriku.
Mungkin bulik Erni merasa tak enak terhadapku mengingat tadi pagi setelah mendapat surat cerai aku sempat menangis. Barangkali beliau berpikir jika aku masih bersedih dengan apa yang terjadi padaku hari ini.
Padahal seandainya bulik Erni tahu aku sudah lebih mendingan. Apalagi dengan dukungan dan semangat yang beliau berikan membuatku semakin kuat dan akan terus berjuang untuk memulihkan kembali nama baikku.
Ditambah saat kedua mataku pertama kali melihat kedatangan anak bujang bulik Erni aku merasa semakin baik-baik saja. Sudah seperti mendapat suntikan energi positif.
***
Dikarenakan adanya diriku, Hilman memutuskan untuk menginap di rumah Baim yang kebetulan juga tinggal di desa ini. Tepatnya di RT sebelah.
"Maaf." Hanya kata itu yang bisa ku ucapkan ketika melihat anak lelaki bulik Erni tersebut hendak meninggalkan ibunya. Itu pun hanya ku ucapkan dalam hati.
"Nitip ibu dan Rahma, ya, Mbak," kata Hilman lalu berpamitan pada ibu juga adiknya.
Mendengar perkataannya barusan membuatku agak tertegun. Jangan-jangan dia bisa mendengar isi hatiku?
Melihat kondisi seperti ini membuatku tak enak hati pada bulik Erni. Waktu yang begitu langka beliau bisa dapatkan malah rusak karena kehadiranku di rumah ini.
"Maaf, ya, Bulik," kataku pada bulik Erni setelah anak lelakinya sudah tak terlihat lagi.
"Sudah. Gak pa-pa. Daripada kamu yang tidur di luar malah bahaya," balas bulik Erni lalu mengajakku masuk ke dalam.
Lagi-lagi aku dibuat bersyukur dengan dipertemukannya aku dan keluarga bulik Erni yang mana akhlak mereka jauh berbeda dengan keluarga bu Watik. Tapi dilain sisi aku juga bersyukur dulu bisa bertemu dengan pak Wanto meski dengan cara yang awalnya membuatku harus dipaksa menerima kenyataan.
***Keesokan harinya aku memutuskan untuk pergi dari rumah bulik Erni. Bukan karena kepulangan Hilman, melainkan karena aku sudah bercerai dari mas Aryo. Dan itu artinya aku bukanlah lagi termasuk dari anggota keluarga ini.
Toh, aku juga tak enak hati pada bulik Erni jika terus-terusan menumpang di rumah ini. Ditambah selama aku ada di sini, baik bulik Erni ataupun Rahma sering mendapat perlakuan buruk dari beberapa tetangga yang tak suka akan keberadaanku. Lagipula dalam jangka beberapa pekan lagi Hilman akan menyelesaikan tugasnya terhadap pondok tempat ia mengabdi. Itu artinya cepat atau lambat kepergianku dari rumah ini juga tetap terjadi.
Awalnya bulik dan Rahma berat untuk membiarkanku pergi lantaran tak masalah bagi mereka cemooh yang diberikan para tetangga. Karena sebetulnya aku sudah dianggap seperti anak sendiri oleh bulik Erni.
Bab 124 EndingTak lama setelah kabar gembira itu mencuat, tiba-tiba kami semua yang berada di teras rumah Bu Watik itu pun seketika dibuat terkejut lantaran terdengar teriakan dari arah dalam rumah. Dan sudah bisa ditebak teriakan yang cukup kencang itu pasti berasal dari Bu Watik.Di waktu yang bersamaan itu pula lah Mas Aryo lantas berlari dengan cepat menuju dalam rumah. Pastilah ia merasa khawatir jikalau terjadi sesuatu pada ibunya itu. Bulik Erni, Sarah, Rahma, serta aku yang menggendong Abrisam pun dengan panik menyusul Mas Aryo ke dalam. Dan disaat kami semua berada tepat di depan kamar Bu Watik, kedua mata kami dibuat tercengang dengan pemandangan di depan sana.Dimana Bu Watik ternyata ... Terjatuh dari tempat tidurnya.Entahlah apa yang sebelumnya wanita paruh baya itu perbuat hingga membuatnya terjatuh dari kasurnya. Namun yang jelas hal tersebut membuat Mas Aryo begitu terkejut. Begitu juga dengan diriku dan yang lainnya.Mendapati ibunya dalam kondisi demikian, tanpa b
Bab 123 Kondisi Mantan Mertua Setelah memberikan jawabanku tersebut, aku tidak lagi mendengar suara dari Mas Hilman. Dan entah mengapa di momen itu aku merasa kalau suami mudaku itu sedang memikirkan sesuatu yang ujung-ujungnya aku diminta untuk mengembalikan satu set perhiasan itu.Astagfirullah ... Aku terus berucap istighfar dalam hati sembari terus berharap kalau Mas Hilman tidak memintaku untuk mengembalikan satu set perhiasan itu. Karena bagaimanapun aku berusaha menghargai hadiah yang dikirim Siska itu. Walaupun perihal permintaan maaf dari Siska belum juga diketahui secara pasti. Namun yang jelas jika memang benar Siska ingin meminta maaf dan sudah menyesali perbuatannya, hal itu lah yang membuatku senang dan bukan semata-mata karena perhiasan saja.Namun ternyata dugaanku salah. Ketika aku meminta untuk menyudahi aktivitas memijat ini, Mas Hilman masih sama seperti sebelumnya. Tetap tak bersuara. Tentu saja hal ini sudah bisa dipastikan kalau suami mudaku itu pasti tertidur.
Bab 122 Satu Set Perhiasan "O ya, udah hubungi nomor di paket mu itu belum?" tanya Mas Hilman yang membuatku teringat sesuatu."Astaghfirullah, belum, Mas," balasku.Benar, setelah menerima paket beberapa hari yang lalu, dimana paket yang berisikan satu set perhiasan emas itu membuatku dan Mas Hilman terkejut saat mengetahuinya. Alhasil karena tidak ada nama pengirim dan hanya ada nomor telepon yang sepertinya dari toko perhiasan itu dibeli, aku berencana untuk menghubungi toko tersebut. Dengan tujuan untuk mengkonfirmasi apakah satu set perhiasan yang aku terima benar-benar ditujukan untukku.***"Mas, Mas, Mas!!" dengan terburu-buru aku mendekati Mas Hilman yang baru saja pulang dari sekolah."Kenapa?" tanyanya heran."Lihat, deh," ucapku seraya meminta Mas Hilman melihat ke arah layar hp yang berada di tanganku.Setelah membaca isi pesan yang aku tunjukkan lantas saat itu juga Mas Hilman menatapku dengan raut wajah kebingungan. Sontak hal itu membuatku yang tadinya ceria seketika
Bab 121 Kepergian Mbak SusiSayangnya, ketika Mbak Susi belum sempat memulai ceritanya disaat yang bersamaan tiba-tiba muncul Rahma, adik iparku. Ia datang dengan nafas terengah-engah sambil membawa Abrisam."Maaf semuanya," kata Rahma sembari menurunkan keponakannya.Abrisam pun berjalan dengan wajah riangnya ke arahku. Sedangkan Rahma diminta untuk duduk terlebih dahulu dan menenangkan diri sebelum bercerita. Sampai akhirnya Rahma diminta untuk menceritakan apa yang menjadi sebab ia menyusul ke rumah ini dengan kondisi seperti itu tadi. Dimana ternyata ... Ada seseorang yang mencariku.Mendengar hal itu Mas Hilman lantas bergegas keluar rumah dan berjalan pulang ke rumahnya. Sedangkan aku menitipkan Abrisam ke ibu mertuaku dan segera menyusul suami mudaku itu. Begitu juga dengan Rahma yang mengikutiku dari belakangku. Sementara yang lainnya lebih memilih untuk tetap berada di tempatnya sembari memantau dari kejauhan.***Bersamaan dengan kehadiranku, saat itu pula lah Mas Hilman me
Bab 120 Pesan Untukku"Gak pa-pa, kok, Bulik," jawab Mbak Susi dengan suara pelan seraya tersenyum ke arah Bulik Erni.Melihat kondisi Mbak Susi yang berjalan seperti itu, ditambah adanya luka lebam dibeberapa titik wajahnya membuatku merasa kasihan padanya. Aku betul-betul tak menyangka jika pernikahan yang awalnya dulu penuh drama kini harus berakhir seperti ini. Sungguh menyedihkan dan sungguh malang nasib mantan kakak iparku itu.Di momen ini pula lah yang membuatku semakin bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi? Dan adakah kesalahan yang diperbuat Mbak Susi hingga Pak Tejo dan ketiga istrinya yang lain sampai tega meninggalkan bekas luka-luka di tubuh Mbak Susi seperti itu.Sampai akhirnya setelah melihat Mbak Susi lebih tenang dan lebih rileks, Bu Watik yang memang sejak tadi malam mengkhawatirkan anaknya sampai-sampai dia pingsan pun mulai mengajukan pertanyaan terkait apa yang sebenarnya terjadi. Selain itu aku sendiri juga teramat penasaran dengan apa yang membuat Mbak S
Bab 119 Menjemputnya pulang ke rumahMelihat nama dari orang yang meneleponku malam-malam itu seketika aku dibuat mendelik. Mendadak pula jantungku berdebar-debar karena aku merasa yakin kalau ada hal yang penting untuk disampaikan malam itu juga. Ku angkat lah panggilan telepon tersebut dan mendapati kabar yang sangat-sangat membuatku terkejut seketika. Bahkan saking terkejutnya aku sampai tidak bisa menggerakkan badanku untuk beberapa detik. Sampai akhirnya tiba-tiba Mas Hilman terbangun dan melanjutkan obrolan dari orang yang cukup kami kenal itu lewat telepon.Setelah beberapa saat kemudian panggilan telepon berakhir. Dan saat itu juga Mas Hilman memintaku untuk bersiap karena kami akan segera pergi ke tempat sesuai yang disampaikan orang yang belum lama menelepon kami tadi. Dengan perasaan yang masih syok, aku tetap berusaha tenang. Karena bagaimanapun nanti setelah sampai di tempat tujuan, aku lah yang akan berperan penting di sana.***"Ada apa, Sar?" tanyaku panik ketika aku