Home / Rumah Tangga / Suami Muda Nona Konglomerat / 4. Pertemuan tak terduga

Share

4. Pertemuan tak terduga

Author: Damaya
last update Last Updated: 2023-08-09 05:16:17

Dewa memilih kembali ke 'Rumah kebugaran' tempat dirinya bekerja, daripada kembali ke rumah yang pasti membuatnya semakin uring-uringan. Sekarang saja tawaran Tika masih berusaha ia hempaskan dari benaknya, dengan melakukan olahraga kecil.

"Wa!"

Melihat Cakra buru-buru menghampirinya ke ruang fitness, Dewa segera meletakkan kembali dumbbell pada tempatnya.

"Sorry! Aku harus pergi sekarang. Mobil Nina mogok di jalan, dan dia tidak bisa menghubungi Gusti." terang Cakra begitu sudah mendekati Dewa.

"Oh! Ya sudah, Abang pergi aja."

"Serius? Inikan hari liburmu?"

"Santai saja, Bang. Lagipula aku nggak ada janji dengan anak-anak."

"Syukurlah kalau begitu." Cakra sudah berbalik badan. Tapi detik berikutnya kembali menghadap Dewa. "Oh iya, hampir saja lupa. Nanti ada yang mau datang. Dia masih pemula. Aku juga belum tau orangnya. Aku serahkan dia padamu." Menepuk pelan bahu Dewa disertasi senyum ringan, meski hanya singkat.

"Selalu siap, Bang," jawab Dewa sambil mengangkat ibu jari tangannya yang kanan ke atas

"Baiklah, aku pergi sekarang."

Dewa tidak lagi menjawab, karena memang Cakra berbicara sambil sedikit berlari keluar. Memperhatikan Cakra lewat dinding kaca transparan, dan mengetahui lelaki itu masih saja berlari kecil menuju pintu utama, Dewa akhirnya memutuskan mendekati alat yang paling sering digunakan.

Namun, baru saja duduk di alat Pec Deck Fly, kemunculan seorang pemuda membuatnya kembali berdiri.

"Kakak Personal Trainer di sini?"

"Benar. Silahkan. Alat mana yang ingin kamu gunakan lebih dulu."

"Treadmill. Aku sudah beberapa kali menggunakannya."

"Baiklah."

Dewa membantu mengatur kecepatan begitu pemuda itu sudah berjalan pelan di atas alat tersebut. Mengingat pemuda itu memiliki tubuh lebih berisi, Dewa dengan sabar menjelas berapa kecepatan serta waktu yang dibutuhkan untuk pemula.

Setelah paham dengan semua penjelasannya, pemuda itu mulai berani mencoba alat yang lain. Pun dengan Dewa yang benar-benar bisa melupakan tawaran Tika dengan menikmati tugas.

"Apa Kakak juga rajin berolahraga? Butuh berapa lama pemula sepertiku bisa membentuk tubuh kekar seperti Kakak?"

Sayangnya, Dewa yang masih belum mencurigai gelagat aneh pemuda itu, menjawab tenang setiap keingintahuannya. "Kamu bisa memiliki tubuh tak kalah bagus dari saya. Syaratnya, rajin berolahraga dan jaga pola makan."

"Aku pasti akan berusaha sangat keras. Asalkan Kakak berjanji mau membantuku."

Merasa risih sekaligus terkejut ada tangan meraba dadanya, reflek Dewa mengibaskan tangan itu, dan segera menjauh. Sekujur tubuhnya seketika meremang, mengetahui pemuda itu menatap penuh damba dirinya.

"Cukup untuk hari ini. Kau bisa melanjutkannya lagi besok di tempat manapun, terserah!" kata Dewa ketus sambil berjalan keluar lebih dulu.

Alih-alih berhenti pemuda itu masih berusaha memanggilnya, Dewa tetap melangkah lebar tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Ia paling benci jika ada laki-laki bertulang lunak berani menyentuh tubuhnya, apalagi berharap sesuatu yang lebih. Itu sangat menjijikan. 

"Sialan. Hari ini aku benar-benar apes!" Memutar tutup botol air mineral yang ia ambil sebelum meninggalkan ruang fitness, Dewa menenggak isinya hingga setengah begitu duduk di kursi taman.

Rumah kebugaran milik Cakra memang menghadap taman kota. Cukup menyeberang jalan raya, Dewa bisa menghindari pemuda tadi yang juga sudah pergi setibanya ia di sana. 

Namun, setelah sepersekian menit duduk dan melihat banyaknya pengunjung yang datang berpasangan. Tawaran Tika justru kembali melintas. Berharap bisa mengusirnya dengan menenggak minumannya hingga tandas, yang ada wajah sembab Tika semakin jelas di ingatan.

"Ck. Mustahil aku mabuk hanya karena minum air saja. Tapi apa yang membuat perempuan itu tidak juga pergi dari kepalaku?" gerutunya seraya mengangkat botol yang sudah kosong. Lantas, segera melemparkannya ke kotak sampah yang tidak jauh dari tempatnya duduk. Detik berikutnya, Dewa tersenyum puas melihat botol tersebut bisa masuk dengan sempurna.

"Sayang, kenapa kita ke tempat ini? Bukankah seharusnya pergi ke pestanya sekarang?"

Suara itu sampai di telinga Dewa, hanya saja ia tidak begitu peduli—-masih memperhatikan anak laki-laki yang sedang bermain bola di dekatnya.

"Sabar Honey, salah satu temanku meminta kita menunggunya disini."

"Oh! Baiklah. Aku akan menunggu sabar selagi itu bersamamu."

"Terima kasih, Honey. I love you too."

"Love you more, Sayang."

"Apa mereka pikir tidak ada orang lain yang bisa mendengar itu, menggelikan!" gerutu Dewa mulai jengah.

Naasnya, mulai penasaran dengan pasangan tersebut, Dewa menoleh sekilas ke asal suara, dan kembali menoleh untuk mempertegas penglihatannya. Benar saja, seketika itu Dewa terjingkat bangun setelah yakin tidak sedang salah mengenali seseorang. 

Perempuan muda yang kini tengah tersenyum manis saat mendapat usapan di pipinya itu, tak lain Clara. Perempuan matre yang kemarin lusa baru memutus hubungan dengannya melalui selembar surat, dan sekarang sudah bersama laki-laki lain. 

'Dasar sialan! Cepat juga dia cari mangsa,' dengus Dewa dalam hari. Mengetahui pasangan itu bersandar pada mobil yang dipastikan milik lelaki yang bersama Clara.

"Perempuan brengsek!" Umpatan itu disertai dua kali pukulan keras menghantam wajah lelaki yang bersama Clara.

Sontak saja, perempuan itu memekik lantang. "Hei!! Ada apa denganmu!!" Marah Clara melihat lelaki yang bersamanya jatuh tersungkur di atas rumput. "Apa kau sudah gila!! Apa masalahmu tiba-tiba memukulnya? Dasar Brandal tidak tahu diri! Tidakkah kau tahu siapa dia, hah!"

"Apa peduliku siapa dia! Bagiku dia hanya laki-laki bodoh yang mau membuang banyak uangnya hanya untuk perempuan matre sepertimu."

Plakk!!!

Tamparan Clara yang tidak berarti apapun di pipi Dewa, justru menerbitkan senyum licik di sudut bibirnya. "Kenapa? Tidak terima? Bukankah itu kelebihan orang tuamu dalam mendidik anak-anaknya? Harus bisa menarik laki-laki kaya untuk dijadikan ladang mereka."

"Tutup mulutmu!" sergah Clara tidak terima. "Kau pikir siapa dirimu, hah! Kau tak lebih dari seekor tikus yang tinggal di tempat-tempat menjijikan!" Tersenyum sinis melihat Dewa menajamkan mata. Namun, bukannya takut, Clara justru semakin berani menantang. "Apa yang bisa kau lakukan selain menjadi musuh masyarakat, hm? Jelaskan padaku, apa prestasimu kecuali hanya mengganggu ketentraman kami semua." 

"Kau!"

"Siapa dia, Honey? Kekasihmu?"

Tatapan tajam Dewa beralih pada lelaki itu yang berniat bangkit dari tempatnya. "Diam di tempatmu! Atau kau ingin siapapun tidak bisa lagi mengenali wajahmu!" ancamnya yang tidak pernah main-main. 

Alhasil lelaki itu kembali duduk berjongkok seraya membersihkan tangannya yang kotor. Rupanya wajah menyeramkan Dewa, cukup membuat nyalinya menciut. 

"Dan kau!" Jari telunjuk Dewa meruncing tepat di dekat hidung Clara. "Aku bisa melakukan apa saja untuk menghancurkanmu, ingat itu!"

"Cih! Kau pikir aku takut dengan ancamanmu? Tidak Dewa. Sekalipun kau beserta pasukanmu yang terbiasa membuat onar itu menghadangku di jalan. Aku tidak akan pernah memutar arah. Aku akan membawa kalian semua tinggal di balik jeruji dan membusuk di sana. Agar kami bisa tidur tenang saat malam hari." 

Tiba-tiba saja tawa sumbang Dewa memecah ketegangan, mengetahui Clara balik mengancamnya dengan cara murahan. "Kau yakin bisa melakukannya? Atas bantuan dia?" Beralih pada lelaki itu yang ternyata sudah kembali bangkit. Tawa Dewa semakin menggelegar di udara. "Lihatnya. Baru menghadapiku saja kedua kakinya sudah bergetar. Lantas, bisa kau bayangkan akan semengenaskan apa dia saat mengetahui pasukanku ada ratusan orang?" Maju satu langkah mendekati Clara. "Kau salah pilih lawan, Clara. Lihat saja, bagaimana caraku bisa membalas penghinaanmu hari ini. Aku pasti bisa membuatmu menangis darah. Kau harus membayar mahal untuk hati ini," lirihnya penuh penegasan.

"Jangan jadikan dirimu seperti perempuan! Buktikan saja daripada kau hanya banyak bicara," cicit Clara disertai tatapan remeh. "Kau dan pasukanmu yang ratusan itu akan membusuk di penjara. Aku pastikan itu, dan sekalipun aku tidak bisa melakukannya. Pasti akan ada orang lain yang mengambil alih tugas itu."

Clara memasuki mobil lebih dulu, diikuti lelaki yang bersamanya segera berjalan memutar dan membuka pintu samping kemudi. Sejurus kemudian mobil berwarna merah cerah itu bergerak meninggalkan Dewa yang masih bergeming di tempat.

"Aku pasti bisa membuktikan diri. Lihat saja nanti, bagaimana kau akan merengek kepadaku, Clara."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Muda Nona Konglomerat   105. Tamat

    Begitu tahu siapa yang sedang menunggu mereka di ruang tamu, Tika beralih pandang pada Dewa yang juga akan menuju tempat yang sama. Mengetahui Dewa mengangguk samar—seolah mengatakan semua pasti baik-baik saja, Tika mengatur nafas terlebih dulu sebelum memutuskan memasuki ruangan tersebut. Melihat kemunculan pemilik rumah, Floren segara bangkit dari sofa. "Tika! Maaf. Aku baru bisa datang sekarang." Melihat sikap ramah Floren yang seakan tidak pernah terjadi ketegangan di antara mereka, Tika seketika berhenti, dan kembali menoleh Dewa yang juga ikut berhenti."Sebaiknya kita duduk," bisik Dewa menangkap kerutan di dahi sang istri. Mendapat anggukan setuju, Dewa membimbing Tika duduk di sofa yang sama. Meletakkan paper bag berukuran sedang ke atas meja, pun dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya—Floren kembali berkata, "ada hadiah tak seberapa untuk si kecil. Diterima ya. Sekali lagi aku ucapkan selamat atas kelahiran putra kalian." Namun, ternyata Floren tak cukup berani berad

  • Suami Muda Nona Konglomerat   104. Menyimpan rasa yang sama

    Jagat media tengah dihebohkan dengan berita kematian Firman. Pemuda dua puluh delapan tahun itu ditemukan meringkuk tak bernyawa di dalam kamarnya. Diduga luka sayatan melintang di leher, hingga putusnya urat nadi yang menjadi penyebab nyawa pemuda itu tidak bisa diselamatkan. Dugaan sementara Firman nekat mengakhiri hidup, lantaran depresi.Pernyataan tersebut diperkuat oleh keterangan tahanan lain, yang mengatakan jika sejak kedatangan teman-temannya, Firman berubah murung, dan tidak banyak bicara. Sampai akhirnya selang beberapa hari, saat petugas datang mengantarkan sarapan, berulang kali memanggil tidak juga ada jawaban—Firman tetap meringkuk di atas karpet usang, dan begitu dipastikan ternyata ada genangan darah di dekat leher yang mulai mengering. Diperkirakan Firman melancarkan aksinya saat malam hari.Naasnya, keadaan tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di kediaman Liem. Ketegangan yang menurut keterangan terjadi saat pagi hari itu, menyisakan kekacauan hingga menjadi saks

  • Suami Muda Nona Konglomerat   103. Towards the end

    "Sayang… apa ada yang serius?""Tidak. Semuanya baik-baik saja."Barulah Dewa bisa bernafas lega setelah mendengar langsung dari mulut Tika. Sebenarnya ekspresi tenang yang ia tunjukan di hadapan semua orang tadi, sangat bertentangan dengan hati ketika mengetahui Tika pergi ke rumah sakit, dan diantar supir. Pikiran sudah tak karuan. Hal buruk seketika silih berganti datang hingga memenuhi kepala. Pasalnya, Tika bukanlah perempuan cengeng yang akan rela bolak-balik rumah sakit, jika itu hanya keluhan yang tak seberapa.Karena itulah Dewa sangat cemas memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya. Tak ayal sampai menyusul ke rumah sakit, dan membiarkan Sam serta Gusti yang menggantikan dirinya rapat dengan klien. Melihat keraguan di wajah Dewa, Tika segara mendekatkan mulut di telinga suami muda itu, agar Dewa tidak semakin mencemaskan dirinya."Aku baru saja berkonsultasi alat kontrasepsi yang aman aku gunakan. Bukankah katamu kita harus menunda adik untuk Arkhan?" Kendati awa

  • Suami Muda Nona Konglomerat   102. Bukan milikmu!

    "Aku hanya ingin kalian tetap hidup. Sekalipun aku harus membayar mahal untuk itu, karena tidak bisa lagi bersamamu, aku terima. Setidaknya bisa melihatmu tetap bernafas itu sudah lebih dari cukup."Pandangan Floren seketika terangkat, kemarahan semakin membumbung tinggi ia rasakan. Semudah itukah Roland memutus sesuatu yang sebenarnya sangat sulit ia lalui? Dimana empati lelaki itu yang justru mengalah dengan keadaan, dan membiarkan dirinya kesakitan seorang diri. Alih-alih bertindak selayaknya lelaki sejati."Aku memang tidak pernah tahu perjanjian apa yang kau sepakati dengan Tuan Liem, " lirih Floren disertai kemarahan yang terlihat jelas dari sorot matanya yang memerah. "Tapi tidak bisakah kau memberiku penjelasan? Atau setidaknya memintaku pergi menggunakan bahasa manusia? Bukan malah berlaku picik dengan merekayasa kecelakaan itu. Cih! Membuat statement rendahan hanya karena ingin menikahi perempuan lain. Memalukan!" Floren bersungut-sungut meluapkan amarah yang hampir meledakk

  • Suami Muda Nona Konglomerat   101. Perempuan aneh

    "Tetap tidak bisa, Nona. Anda harus membuat janji terlebih dahulu.""Kalian berisik sekali! Katakan saja aku teman bos kalian. Dia pasti paham!" ketus Clara.Semakin jengah dengan sikap Clara yang bersikeras ingin dipertemukan dengan atasan mereka, dua resepsionis wanita itu pun saling bertukar pandang dengan raut wajah menahan kesal."Kenapa masih diam saja? Cepat beritahu bos kalian jika aku, Clara sedang menunggu di sini," ujarnya lagi penuh percaya diri. "Sedikit cepat ya… aku tidak terbiasa menunggu." Sambil mengibaskan tangan ke depan wajah, Clara berpaling ke samping. Mengusir bosan dengan mengedarkan pandangan—memperhatikan interior yang ada di sekitarnya. Dalam hati Clara masih saja menggerutu akan kebodohannya yang gegabah memilih Alan—lelaki yang ternyata sangat perhitungan. Seandainya saja ia tahu sejak awal, jika Dewa merupakan pewaris tunggal Adiraksa, tentu saja ia akan bertahan dengan lelaki itu—meski sebenarnya hanya menginginkan tubuhnya. Tapi setidaknya sekarang,

  • Suami Muda Nona Konglomerat   100. Perasaan apa ini?

    "Ini untukku?" Melihat gadis kecil itu mengangguk antusias, Floren tersenyum senang. "Terima kasih. Bunganya sangat cantik. Siapa namamu, Sayang? Oh." Floren berubah tercenung, saat mengetahui gadis yang sejak tadi terus melukis wajahnya dengan senyum manis itu, rupanya penyandang disabilitas."Maafkan aku." Floren segera menjatuhkan lutut, dan memeluk gadis itu yang juga langsung melingkarkan tangan ke lehernya.'Kenapa rasanya begitu menenangkan. Melihat gadis ini, aku seperti melihat diriku sendiri versi kecil.'Sejenak menyelami rasa yang semakin menjalar hati—Floren ingin sebentar saja meminjam gadis itu untuk mengembalikan ketenangan yang nyaris tidak pernah ia dapatkan lagi—setelah kebahagiaannya direnggut paksa beberapa tahun lalu. Terlalu lama terombang-ambing di lautan lepas, Floren tidak tahu dermaga mana yang akan dituju. Hingga membuatnya berada dalam ketidakpastian. Ketika itu yang bisa dilakukan hanya bertahan, menjaga seimbangan agar tidak sampai terguling dan tenggel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status