"Yudistira, kamu jangan main-main, ya!" sergahku keras.
"Ashanna, aku nggak main-main, aku serius. Aku memang sedang mencari istri," ungkapnya dengan ekspresi bersungguh-sungguh.
Aku tercengang setelah mendengar pernyataannya tadi. Apa katanya? Dia sedang mencari istri? Aku tak akan percaya begitu saja.
Pengkhianatan Aldo dan Winda sudah cukup membuatku kacau, dan sekarang aku harus mendengar hal yang lebih mengejutkan lagi. Aku mengusap wajahku dengan putus asa.
Setelah kehebohan tadi, aku langsung mengajak Yudistira pergi. Sekarang kami ada di dalam mobil Yudistira di tempat parkir mall.
"Lagian kalau kita menikah, uangku adalah uangmu, kamu nggak perlu lagi memikirkan bagaimana cara melunasi utang yang ratusan juta itu," tambahnya tanpa perasaan.
"Nah! Apa kubilang? Pada akhirnya tetap saja aku hanya dijual untuk menutupi utang, persis seperti Siti Nurbaya. Kenapa nggak dari awal saja begitu?" desisku, tak mampu menutupi kekesalan.
Yudistira sama saja dengan Juragan Suseno, yang menginginkan aku menjadi istrinya. Bedanya Yudis masih muda, dan belum beristri.
"Sha, itu cuma sebuah logika. Aku nggak menilaimu sebagai manusia pelunas utang. Kamu sendiri 'kan yang mulai, kamu bilang dengan begitu gamblang di hadapan orang-orang kalau kamu mau menikah denganku. Jadi sekarang kamu harus bertanggung jawab terhadap omonganmu sendiri, Sha, banyak saksinya," ucap Yudis tegas, tak memberi tempat untuk kompromi.
Saat kecil kami memang sering ribut, tapi, ya, ributnya anak kecil, nggak ada yang serius, dan semua selalu berakhir dengan kami ngakak bersama. Namun, Yudistira yang ini sangat berbeda, ia sangat serius, dan sedikit misterius.
Sewaktu menghadapi para penagih utang bulan lalu, ia sangat cool, santai, seolah itu hanya masalah sepele. Sedangkan hari ini, ia terlihat sangat serius, dan ngotot. Pria ini seolah tak ingin melepaskan kesempatan untuk menjebakku dalam pernikahan.
"Tapi tadi aku cuma main-main, Yud. Aku cuma ingin membuat Aldo menyesal, dan sakit hati karena telah mengkhianatiku," dalihku dengan nada suara yang lebih lembut, berharap pria di sampingku ini bisa bersikap fleksibel.
"Sha, kita memang teman bermain saat kecil, tapi sekarang kita sudah dewasa, kita nggak bisa main-main terus. Ini saatnya kita serius," tegas Yudistira, tak mau mengalah sedikitpun. Pendiriannya tak tergoyahkan. Sebegitu besar kah keinginannya untuk menikah?
"Ngapain sih mesti cari istri sekarang? Kamu 'kan masih muda, masa depanmu masih panjang, masih bisa bersenang-senang sebagai bujangan," argumenku masih mencari celah untuk terlepas dari tekanan ini.
"Aku sudah 26 tahun, Sha, sudah lewat seperempat abad. Lagian ini hidupku, suka-suka aku dong, mau menikah kapan," balasnya enteng.
"Betul, Yud, tapi nikahnya juga nggak harus sama aku kali. Kamu muda, tampan, kaya, pasti banyak perempuan lain yang lebih baik dari aku, yang mau sama kamu, Yud. Please!"
"Emang tadi ada yang nyuruh kamu untuk bilang kalau kamu mau nikah sama aku? Nggak ada, 'kan? Kamu sendiri yang ngomong kalau kamu mau menikah denganku? Aku nggak mau dimanfaatkan hanya untuk menggertak, Sha. Kalau mau mendapat manfaat tuh harus sungguh-sungguh, nggak boleh main-main. Makanya aku seriusin kamu," ucapnya yakin, seolah sedang menasihati anak SD.
Nada suaranya menunjukkan betapa Yudis telah merasa menang, dan pada kenyataannya aku memang sudah kalah. Menyebalkan!
"Tapi, Yud, kamu pasti menyesal kalau menikah denganku." Aku mencari strategi lain untuk melemahkan pendiriannya.
"Mengapa aku harus menyesal?"
"Aku nggak pandai masak ...."
"Hah!" dengus Yudis penuh cemoohan.
"Aku nggak bisa ngurus anak, terus ... apa, ya? Oh, aku masih suka main, jajan, nyalon, pokoknya aku ini boros, Yud. Aku juga suka ngorok, kalau tidur, aku orangnya ceroboh, aku juga mageran. Pokoknya enggak banget! Jangan sampai kamu menyesal nanti, makanya mundur saja, Yud. Kamu cari wanita lain saja, ya?" pintaku nyaris memohon-mohon.
Niatku adalah membuat Yudi ilfeel. Sayangnya semuanya sia-sia karena itu tak membuatnya mundur.
"Sha, aku punya uang. Kita bisa bayar pembantu untuk mengurus rumah, masak, atau kita bisa makan di luar, pesan delivery. Kalau kamu mau nyalon, main, jajan, atau apa saja, tinggal jalan. Beres, 'kan?"
Mataku membulat tak percaya dengan omongan Yudistira, tapi saat kulihat senyuman jahil di bibirnya, aku tahu itu hanya sebuah sarkasme. Ya, meskipun aku yakin Yudis mampu melakukan itu kalau ia mau.
"Hhh, enak, ya, jadi orang kaya, banyak duitnya. Mau apa-apa tinggal 'cling' langsung muncul," desahku sedikit menyindir.
"Makanya kamu nggak perlu ragu untuk menikah denganku. Kamu ...."
"Hentikan, Yud, cukup!!!" pekikku sebal. Rasanya ingin kucakar wajahnya, tapi kalau dia terluka, aku tak sanggup membayar biaya pengobatannya nanti. Aku meliriknya kesal, bahkan senyuman kemenangannya terasa mengejek.
"Kamu merusak masa depanku, tau!" seruku kesal.
"Aku justru menyelamatkan masa depanmu, Sha."
"Aku nggak bisa lagi menikah dengan pria yang kucintai," rintihku.
"Kita bisa belajar saling mencintai, Ashanna," ucap Yudistira. Suaranya mulai terdengar lembut. "Lagipula pria yang kamu cintai sudah bersama perempuan lain, dan mereka akan menikah. Apakah kamu tidak ingin menunjukkan bukti pernyataanmu tadi, dengan menikah lebih cepat daripada mereka?"
"Ah, ngapain ngingetin lagi sama pasangan pengkhianat itu?" sungutku dengan suara yang tiba-tiba tercekat. Pria satu ini ternyata pintar memancing di air keruh. Mungkin nenek moyangnya dulu seorang nelayan.
Yudis memandangku iba. Air mata yang sedari tadi kujaga agar tidak jatuh, sekarang mulai memenuhi kelopak mataku. Aku tak ingin terlihat lemah, tetapi aku sudah lelah menahannya dari tadi.
"Puk, puk." Yudistira menepuk pundak kirinya, memberikan isyarat bahwa aku bisa menangis di pundaknya.
"Boleh?" tanyaku.
Ia mengangguk. Aku meletakkan dahiku di pundak Yudis. Tanpa dapat kutahan lagi air mataku tumpah. Aku menangis sesenggukan. Selama sebulan ini aku menahan semua kepedihan sendiri. Ternyata aku tak sekuat itu. Ditambah lagi kekasih dan sahabatku menikamku dari belakang, pedihnya sungguh tak tertahankan.
Sesekali Yudistira mengusap kepalaku. Ia juga sempat menawarkan tisu yang ada di mobilnya untukku menghapus air mata. Pengertian juga dia.
Oh, Tuhan, benarkah pria ini adalah orang yang akan menjadi teman hidupku? Suamiku? Bagaimana kami menjalani perkawinan kami nanti? Apakah perkawinan ini adalah jalan keluar untuk masalahku, atau justru akan menjadi sumber masalah baru? Bisakah kami saling memahami, melengkapi layaknya pasangan yang memulai semuanya dengan cinta?
Aku sadar, seperti kata Yudis, aku tak bisa mundur lagi. Dan mungkin ini memang kesempatanku untuk membalas budi, meskipun Yudis bilang pernikahan ini tak ada hubungannya dengan utang kami. Jika memang ia sedang mencari istri, dan wanita yang diinginkannya adalah aku, mungkin yang terbaik adalah menerima ajakannya. Ia teman masa kecilku, dan aku mengenal keluarganya.
Tapi aku belum tahu Yudistira dewasa seperti apa. Aku hanya melihat dia di tempat kursus, sesekali di rumah karena ia selalu punya pekerjaan untuk dilakukan. Bagaimana kalau setelah kami menikah ia mengabaikanku karena sibuk dengan pekerjaannya sendiri? Hal ini sungguh memusingkan.
"Yud, antarkan aku ke rumah saja. Besok weekend, 'kan? Aku ingin ketemu Ibu," pintaku setelah tangisanku mereda.
"Baiklah, Sha."
Tanpa banyak kata, Yudis mengantarkanku pulang, ke rumah orang tuaku. Ia tak memaksa untuk mengajakku mengobrol, dan membiarkanku memejamkan mata selama perjalanan.
Saat kami tiba, adik-adikku menyambutku riang. Namun, setelah melihat kondisiku, mereka langsung memanggil Ibu.
"Kamu kenapa, Nak?" tanya Ibu dengan suara penuh keprihatinan saat melihat wajahku yg kusut.
"Ibu," rintihku sembari menghambur ke pelukan wanita yang melahirkanku itu, membuatnya semakin bingung.
"Ke kamar saja, Bu," usul Bapak yang langsung bergerak membantu Ibu membawaku ke kamar tidurku. Aku kembali menangis di pelukan Ibu, dengan ketiga adikku yang setia menemani.
Ibu tidak berkata apapun, apalagi bertanya. Ia hanya membiarkanku menangis.
Sepertinya Bapak berbicara dengan Yudistira, samar kudengar suara mereka di ruang tamu. Setengah jam kemudian pemuda itu berpamitan, dan meninggalkan rumah kami.
Besok siangnya keluarga Yudistira datang untuk melamarku.
***
"Kita akan menjadi suami istri sungguhan, jadi kita juga akan melakukan hal-hal yang dilakukan oleh pasangan. Aku yakin kamu tahu maksudku," tegas Yudis sewaktu kami membicarakan hal-hal yang menyangkut pernikahan kami.
"Tapi aku bisa menolak, kalau aku tidak mau," balasku tak mau kalah. Membayangkannya saja aku sudah ngeri, aku dan Yudis ... hiiii.
"Kamu bisa menolak, Shanna," bisik Yudis sembari menatapku tajam, "tapi tak mungkin selamanya kamu menghindar." Ucapan Yudis membungkamku.
Sebagai anak yang diajarkan tentang kesucian pernikahan, serta kewajiban dalam berumah tangga, aku tahu tidak baik bagi seseorang menahan hak pasangan sahnya untuk melakukan hubungan suami istri. Aku tak bisa menghindar selamanya.
Ibu sangat senang saat mengetahui kami akan menikah. "Nggak apa-apa, Nak. Nak Yudistira itu baik, dia pasti sayang sama kamu, dan lambat laun kalian pasti bisa saling mencintai. Ibu sama Bapak dulu juga dijodohkan kok," nasihat Ibu dengan mata berbinar bahagia.
Keluargaku mendukung, demikian pula keluarga Yudistira. Bu Ani dan kedua adik perempuan Yudis juga sangat senang. Ayah dan kakak lelakinya setuju saja. Meskipun Mas Juna belum menikah, tidak masalah baginya untuk dilangkahi oleh adik tirinya.
Hari ini kami benar-benar menikah, menikah sungguhan, bukan kawin kontrak. Namun, untuk masalah perceraian ... aku tidak tahu. Aku tidak ingin menikah hanya untuk bercerai. Yudis juga bilang tidak akan ada perceraian, tapi siapa tahu nanti dia berubah pikiran, karena menyesal.
"Uaah, capek banget!" Aku meregangkan badanku yang kelelahan, ototku kaku semuanya.
"Sudah mandi, Sha?" tanya Yudistira masih dengan setelan jas khusus yang membuatnya semakin gagah. Hari ini ia sangat tampan.
"Sudah," jawabku singkat.
"Oke, gantian aku mandi, ya. Kamu istirahat saja dulu, nanti aku menyusul," ucapnya dengan cengiran lebar di bibir.
Acara hari ini sungguh melelahkan. Aku sangat bersyukur ketika semuanya selesai. Saat ini kami akan menikmati malam pengantin di kamar yang sudah ditata khusus layaknya kamar bulan madu di resort milik ayah mertuaku.
Tunggu, menikmati malam pengantin? Duh, bulu kudukku merinding jadinya. Aku membaringkan badanku miring dengan mata tertutup. Sejenak pikiranku mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebulan belakangan ini.
Pikiran-pikiran itu berseliweran di kepalaku, membuatku sejenak terlena. Aku tersentak saat merasakan pinggangku dipeluk dari belakang.
"Yud," desisku seraya memukul lengannya yang melingkari perutku. Meskipun hanya ada kami berdua, tanpa sadar aku menahan suaraku agar tidak terlalu keras.
"Ashanna, ini malam pengantin kita," kata Yudis seraya ia mulai mencium pipiku.
"Tapi, Yud, tadi kamu bilang padaku untuk beristirahat. Istirahat di malam hari berarti tidur, 'kan? Kamu juga pasti lelah, Yud. Kita tidur saja, ya." Aku mencoba berkelit dan menghindari Yudistira, tapi ia sama sekali tak melepaskan pelukannya.
Bisikan Yudistira selanjutnya membuatku merinding lagi. "Iya, Sha, tidur ... tidur denganku, suamimu."
(Tiga tahun kemudian) "Tangkap, anak-anak!" "Ayo, Dik! Lari!" "Ahahaha! Kakak!!!" Teriakan dan jeritan tawa khas bocah yang sanggup memekakkan telinga, membuat suasana di halaman belakang rumah mertuaku begitu ramai. Berisik, sekaligus menghangatkan hati. Yudistira, suami yang amat kucintai, bermain tangkap bola dengan kedua anak kami, Dias dan Nara. Meskipun keduanya mewarisi wajah sang ayah, sifat mereka sangat berbeda. Nara pemberani, cerewet, dan berjiwa pemimpin, cocok banget dengan suasana hati yang kurasakan ketika aku hamil. Sedangkan Dias lebih tenang, dan mudah tersentuh, cocok juga dengan pembawaanku yang suka mewek saat mengandungnya. Kupandang mereka bertiga penuh sayang. "Lucu banget, ya, cucu-cucu Mama," celetuk ibu mertuaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Anak Mama lebih lucu, Ma," sahutku sambil cengengesan. Kan, suamiku memang lucu. Sesaat Mama Ani terbengong, lalu dia memukulku main-main. "Baguslah, kalau kamu masih menganggap anak Mama yang paling luc
"Selamat, Nak! Sudah lengkap sekarang, satu perempuan, satu laki-laki." "Selamat, ya, Yudistira dan Ashanna, anak kalian ganteng banget!" "Lucunya anak kalian!" Pujian semacam itu sering kudengarkan beberapa hari ini setelah si Cendol lahir ke dunia. Membanggakan memang, tetapi tak semua pujian membuatku senang. "Ya, ampun! Ini sih foto copy-an Yudistira." "Mirip banget dengan bapaknya." "Benar, mirip plek ketlipek-tiplek." Katanya anak perempuan lebih mirip ayahnya, sedangkan anak lelaki lebih mirip ibunya. Nah, sekarang aku punya dua anak, satu perempuan, satu laki-laki, mengapa nggak ada satu pun yang mirip aku? Mereka berdua mirip bapaknya, ibunya kebagian apa? Seakan-akan aku cuma dijadikan jalan lewat mereka lahir ke dunia. Aku mau nitipin bentuk hidung saja mereka menolak.Memang sih, hidung suamiku lebih mancung ketimbang hidungku, jadi sudah pasti hidung anak-anakku juga mancung. Hah!"Malah bagus kali, Sha. Nggak akan ada yang meragukan bahwa kamu punya anak sama Yudi
"Sayang, ini kabar bahagia, mengapa kamu bersedih?" Pertanyaan suamiku, meskipun disampaikan dengan suara yang lembut, malah membuatku semakin galau, hingga rasanya aku ingin menangis. Bagaimana aku tidak sedih, baru juga enam bulan lalu aku melahirkan, eh, aku sudah hamil lagi. Bukannya aku tidak senang, tetapi anak pertamaku masih kecil, ia masih butuh banyak perhatian dariku, aku bahkan berencana untuk memberikan ASI eksklusif untuk Nara paling tidak selama setahun. "Seorang ibu hamil bisa saja menyusui, tetapi itu juga tergantung kondisi sang ibu. Bila ibu sehat, tak menutup kemungkinan untuk tetap menyusui," kata dokter kandunganku memberiku sedikit harapan.Sayangnya, aku tidak termasuk ibu sehat itu. Kehamilan kedua, aku malah teler luar biasa. Bukan hanya mengalami morning sick, tubuhku rasanya sangat lemas hingga tak mampu melakukan banyak aktivitas. Dan lagi-lagi suamiku yang harus repot mengurus kebutuhanku, membantuku bila aku perlu makan, atau ke kamar mandi.Namun, yan
"Sakit banget, ya, Sayang?" suamiku bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan sebagai jawaban, karena kuyakin ekspresi wajahku saat ini sudah cukup menggambarkan apa yang kurasakan.Kata orang sakit bersalin tuh sakit banget, dan itu benar kurasakan, padahal ini barulah awal prosesnya. Perut melilit seperti saat sedang kebelet BAB, ada desakan yang kuat untuk mengeluarkan isi perut, tetapi sayangnya melahirkan tak semudah itu.Belum lagi kontraksi yang terjadi, mirip sekali dengan kram perut. Aku pernah membaca di internet bahwa rasa sakit persalinan itu setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan. Dalam kasusku kayaknya 21 tulang yang patah, deh."Sha, kamu benar-benar sanggup melahirkan secara normal? Atau mau operasi saja?" tanya suamiku tiba-tiba.Kupalingkan mataku kepadanya, matanya berkaca-kaca. Aku tertawa lemah. "Yud, aku yang sakit, tapi mengapa kamu yang menangis?" aku balik bertanya. Kusentuh pipi pria yang kucintai itu.K
"Mbak, ini serius pilihanmu, Mbak? Asli, bukan Mbak Ashanna banget, lho." Ketiga adikku memandangku dengan tatapan penuh komplikasi, antara kagum, heran, dan sedikit tak percaya. Nada suara mereka terdengar mencemooh. "Unbelievable! Cantik, sih, cantik ...," komentar Desi mengambang, masih belum sanggup menerima kenyataan. Selama ini aku memang suka tampil cantik, tapi kecenderungannya cantik yang anggun, elegan, bukan cantik ala ciwi-ciwi yang girly dan kemayu. Mengingat tema acara untuk wedding anniversary ketiga kami adalah pernikahan, sudah sewajarnya aku mengenakan gaun pernikahan. Namun, karena perutku yang semakin membesar, jalan bulan keenam gitu loh, aku tak bebas memakai sembarang baju, karena bentuk perutku yang seperti balon bisa terekspos. Berdasarkan rekomendasi dari ahli bridal yang sudah berpengalaman belasan tahun, aku dibantu untuk memperoleh gaun yang tepat. Pilihannya jatuh kepada gaun pengantin ala-ala princess berwarna putih cantik, dengan bagian rok merekah
"Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak