Home / Romansa / Suami Pelarian / 05. Suami Insomnia

Share

05. Suami Insomnia

Author: Teha
last update Last Updated: 2022-12-28 14:12:52

"Kamu istriku, Ashanna, milikku. Jangan kau ingkari itu," bisiknya di telingaku.

Yudistira mulai mencumbuku. Tidak ada bagian dari wajahku yang ia lewatkan. Aku yang polos dan tak berpengalaman hanya bisa pasrah, serta mencoba untuk mengikuti naluriku sebagai perempuan.

Sempat terpikir olehku untuk menolaknya, tetapi hati nuraniku berkata aku harus melakukan kewajibanku sebagai seorang istri. Lagipula pikiran untuk menolak itu hanya terlintas sekejap, karena kedekatan kami langsung melenyapkan semua pemikiran lain.

Pria yang telah menjadi suamiku itu mencium bibirku. Aku mencoba membalasnya, walaupun aku tak tahu jika yang aku lakukan sudah benar. Anggap saja aku aktris yang lagi main drama Korea.

Sejenak Yudis berhenti, lalu menatapku dengan mata sayu. "Sha." Ia memanggil namaku lirih, lalu menjauh dari wajahku, dan meletakkan kepalanya di dadaku. Kemudian ....

Semua berhenti begitu saja.

"Yud ..., Yudistira," panggilku saat tak terjadi apapun. Hanya keheningan yang ada, dan punggungnya yang sedikit bergerak teratur karena bernapas. Waduh, jangan-jangan ia tertidur.

"Yud," panggilku sekali lagi seraya menggoyangkan pundaknya. Tak ada jawaban, hanya hangat embusan napasnya yang kurasakan.

"Ish, keterlaluan kamu, Yud," desisku dengan emosi bercampur aduk.

Meskipun kesal, aku memindahkan kepalanya agar ia bisa tidur dengan nyaman. Capek juga kalau aku harus menahan kepalanya yang berat. Yudis bahkan tidak terbangun, walaupun tubuhnya sedikit terguncang. Ia hanya mendengus sebentar, lalu tertidur lagi.

Aku mengepalkan tangan dan berbuat seolah akan meninju wajahnya. Mengesalkan! Aku sudah mulai terhanyut, eh, ternyata hanya di-PHP-in. Lantas kuselimuti tubuhnya agar tak kedinginan.

Yudistira sudah bertekad untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang suami malam ini, eh, malah ketiduran sendiri.

"Gimana sih manusia satu ini? Katanya insomnia, tapi belum apa-apa sudah keok," gerutuku seorang diri. Harusnya aku senang, malam ini aku belum jadi diapa-apain sama Yudis, tapi harga diriku sebagai wanita serasa jatuh. Ia yang katanya insomnia malah tertidur di "tengah jalan". Eh, bukan! Baru beberapa langkah saja Yudistira sudah pingsan.

Dari ibu mertuaku aku mendengar bahwa anak lelakinya ini sering susah tidur di malam hari, dan dari yang kulihat sendiri Yudis memang punya kantung mata. Hmm, setahuku penyebab insomnia adalah sering begadang, banyak pikiran, atau bahkan depresi. Tidak mengherankan, sih, karena ia seorang workaholic.

Namun, yang jadi pertanyaan mengapa di saat sepenting ini ia malah tertidur? Tekadnya yang tadi mana? Melempem kayak kerupuk di toples yang lupa ditutup?

Semakin aku memikirkannya, semakin aku kesal. Akhirnya aku memilih untuk kembali berbaring di samping suamiku yang tertidur lelap seperti bayi. Sejenak aku memandanginya dengan cahaya lampu tidur yang temaram.

"Kamu memang ganteng, lho, Yud. Yah, lumayan deh, bisa dipamerin ke orang-orang kalau suamiku ganteng," kekehku sendirian, diiringi irama embusan napas Yudistira yang teratur. Ternyata ia tidak mendengkur saat tidur, malahan aku yang kadang ngorok, kata adikku.

Wajahnya begitu damai, ada perasaan puas tergambar di sana. Yudistira pasti lelah, sekaligus lega karena urusan pernikahan sudah beres.

Selama sebulan ini ia sendiri yang langsung turun tangan mengejarkan semua hal yang menyangkut pernikahan kami. Meskipun ada yang membantu, ia terus memantau jika ada kesulitan.

"Sha, siapa saja yang mau kamu undang ke resepsi kita? Bikin daftar, ya, biar sekalian masuk ke daftar tamu undangan." Yudistira menyerahkan buku catatan dan pena ke tanganku.

Dengan malas aku hanya menulis beberapa nama dari orang-orang yang benar-benar dekat denganku. Bahkan teman kerjaku yang dulu saja tak semuanya kuundang. Pokoknya aku ogah-ogahan. Lagian pernikahan instan begini, apa yang bisa dibanggakan? Yang ada nanti aku ditanya macam-macam.

"Ini doang?" tanya Yudis sewaktu melihat daftar nama yang hanya seuprit. Kujawab dengan anggukan. Kupikir pria itu akan mengomel, tapi dia hanya mengatakan oke dan berlalu melanjutkan urusannya.

"Kamu duduk manis saja, aku yang akan mengurus semuanya," kata Yudistira. Ya udah, aku nggak perlu membantu, biar saja kalau ia kerepotan, dan urusan tidak selesai tepat waktu.

Aku hanya melihat, tetapi aku malah stres. Baik ibu kandungku maupun ibu mertuaku selalu repot menyuruhku ini itu sebagai persiapan calon pengantin; melakukan berbagai macam perawatan calon pengantin di salon, dan memberiku banyak nasihat perkawinan untuk seorang istri.

Arrkh, pusing! Aku sampai berharap Yudistira mundur di tengah jalan, karena rasanya sungguh membuatku frustrasi. Tapi doa yang jelek tak bisa mengalahkan tekad sekeras baja. Pada akhirnya aku tetap menjadi istrinya.

Hebat benar kamu, Yudistira Adi Nugraha! Kendati sibuk dengan keperluan pernikahan kami, ia tetap bekerja di tempat kursus dan membantu ayahnya mengurus resort seperti biasanya. Benar-benar workaholic pria satu ini! Mungkin ini yang namanya the power of kepepet.

Yudis bahkan berkali-kali merecoki aku dan muridku yang sedang belajar. "Please remember, this beautiful lady is my future wife," ucapnya pada setiap murid pria yang kuajar, membuat kami terbengong. Aku sangat malu dengan sikapnya yang tiba-tiba posesif, dan itu hampir setiap hari.

Setelah lamaran yang mendadak itu, ia langsung mengumumkan ke semua orang, termasuk murid-murid kursus, bahwa kami telah bertunangan, dan akan menikah dalam waktu dekat.

John, salah satu murid dari Australia, bertanya kepadaku dengan rasa tidak percaya, "Ashanna, kamu yakin Yudistira itu pria yang akan kamu menikahi? Dia gila."

Aku tersenyum mendengarnya. John adalah salah satu murid yang menunjukkan ketertarikan padaku sedari awal aku bergabung di sini. "Mungkin kami memang jodoh, John," jawabku sekenanya.

Kalau dipikir-pikir memang lucu. Yudistira menamai tempat kursus bahasa Indonesianya YAIC, kependekan dari Yogyakarta Assertive Indonesian Course. Siapa sangka YA juga menjadi gabungan inisial nama kami berdua; Yudistira dan Ashanna. Ah, itu sih karanganku saja yang suka cocoklogi sedikit maksa.

"Oh, ya, John," tambahku, "kamu lupa menghilangkan imbuhan me- pada kata menikahi. Harusnya kamu katakan 'pria yang akan kamu nikahi' bukan 'pria yang akan kamu menikahi'. Tolong dicatat, ya."

"Oh, come on, Ashanna," keluhnya, tetapi ia tetap menuruti perintahku untuk mencatatnya.

Aku tersenyum sendiri ketika mengingat orang-orang di tempat kerjaku yang baru. Secara refleks aku kembali menengok ke samping.

Yudistira terlihat sangat berbeda saat tidur, tidak ada kesan bahwa ia seorang wakil direktur sebuah resort, CEO dari sebuah kursus bahasa Indonesia yang bermuridkan banyak orang asing, serta seorang pria yang gila kerja. Tak ada pula kesan jahil, apalagi gila seperti kata John.

"Betapa tenang dunia ini ketika kamu tidak gila, Yud. Semoga kamu bisa menjadi suami yang waras untukku," desahku pelan.

Kadang kala aku bertanya, apa yang ada di benak Yudistira. Pria yang telah menjadi suamiku ini nekat mengeluarkan uang ratusan juta hanya untuk melunasi utang seorang kenalan lama, dan (katanya) tidak mengharapkan imbalan apapun.

Sebulan kemudian tahu-tahu saja perempuan yang dibantunya itu berhasil ia nikahi, tanpa banyak kesulitan. Drama macam apa ini? Bagaimana bila ternyata Yudistira ini pria yang sedikit psycho atau diam-diam terobsesi olehku?

"Pulangkan saja aku pada ibuku, atau ayahku ...." Mungkin lagu lawas itu akan menjadi backsound saat aku melarikan diri darinya.

Duh, kami baru resmi menikah, tapi pikiranku sudah aneh-aneh saja. Yang jelas Yudistira tidak punya catatan kriminal. Keluarganya menyayanginya, jadi pasti ia orang yang baik, setidaknya untuk saat ini hal itu bisa aku pegang.

Hubunganku dengan Yudistira tidak dimulai seperti pasangan pada umumnya. Dan setahuku, dari pengalaman orang-orang, kehidupan berumah tangga tak semudah dan seindah kisah novel. Oleh sebab itu aku harus berjuang untuk membuat perkawinan ini berhasil. Kami telah terikat komitmen seumur hidup.

Selama beberapa waktu aku terjaga, dan tak sanggup memejamkan mata. Dini hari barulah rasa kantuk menyerang, aku tertidur lelap, hingga tanpa sadar aku bangun kesiangan. Untung tidak ada yang berkomentar, "Dasar perempuan malas!" karena kalau ada yang bilang begitu, aku akan balik tidur lagi.

Aku menyusul suamiku di meja makan dengan malu-malu karena bangun kesiangan. Pagi itu saat kami sarapan berdua. Setelah tidur semalaman wajahnya tampak lebih segar ... dan tampan. Duh, mikir apa sih aku ini?

Hanya saja manusia satu ini telah kembali ke wajah workaholic-nya yang serius. Hilang sudah kesan yang ditimbulkannya semalam. Memang dasarnya amburadul orang ini!

"Yud," panggilku sejenak mencoba mengalihkannya dari perangkat elektronik yang dipegangnya tanpa hasil. Hanya lenguhan, "Hmm," yang menjadi jawaban, sementara perhatiannya masih tertuju pada tablet di tangannya.

"Kenapa, ya, baru menuju 24 jam kita resmi menikah, tapi perasaanku bilang bahwa hidup denganmu itu nggak seru?" tanyaku lesu.

Kini Yudistira memalingkan wajahnya kepadaku sepenuhnya. Aku memang mengucapkan kalimat tadi untuk mengusik harga dirinya sebagai pria, dan akhirnya berhasil juga. Hihi.

"Kata siapa, Sha?" sahutnya cepat.

"Nggak perlu pakai kata siapa, udah kelihatan kok. Pagi-pagi sarapan bareng, tapi yang dilihat gawainya mulu. Ditanya kek istrinya, mau makan apa, mau minum apa gitu," cemoohku dengan bibir manyun.

Dan kena lagi! Yudistira mulai perhatian. Ia menuangkan teh hangat ke cangkirku, dan mendekatkan roti isi di hadapanku.

"Makan ini dulu, ya, nanti siangan dikit kita makan yang lebih kenyang," ujarnya lembut.

Suaranya mengundangku untuk melihat wajahnya. Ia tengah menatapku lekat, dengan senyuman selembut puding coklat. Alamak!

"Iya, Yud," sahutku cepat. Aku memalingkan wajah karena tersipu, tak mampu menghadapi tatapannya. Salah tingkah aku mengambil roti isi itu dan memakannya pelan-pelan. Sesekali kulirik dia malu-malu.

Rupanya pria ini membaca gestur tubuhku. Dalam sekejap mata raut mukanya berubah. Seringaian jahil dan sorot mata licik menghiasi wajahnya. "Tunggu saja, Sha. Kamu akan melihat bahwa hidup denganku akan penuh dengan kejutan yang tak pernah kamu bayangkan sebelumnya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Pelarian   88. Suami Pelarian (Bab Terakhir)

    (Tiga tahun kemudian) "Tangkap, anak-anak!" "Ayo, Dik! Lari!" "Ahahaha! Kakak!!!" Teriakan dan jeritan tawa khas bocah yang sanggup memekakkan telinga, membuat suasana di halaman belakang rumah mertuaku begitu ramai. Berisik, sekaligus menghangatkan hati. Yudistira, suami yang amat kucintai, bermain tangkap bola dengan kedua anak kami, Dias dan Nara. Meskipun keduanya mewarisi wajah sang ayah, sifat mereka sangat berbeda. Nara pemberani, cerewet, dan berjiwa pemimpin, cocok banget dengan suasana hati yang kurasakan ketika aku hamil. Sedangkan Dias lebih tenang, dan mudah tersentuh, cocok juga dengan pembawaanku yang suka mewek saat mengandungnya. Kupandang mereka bertiga penuh sayang. "Lucu banget, ya, cucu-cucu Mama," celetuk ibu mertuaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Anak Mama lebih lucu, Ma," sahutku sambil cengengesan. Kan, suamiku memang lucu. Sesaat Mama Ani terbengong, lalu dia memukulku main-main. "Baguslah, kalau kamu masih menganggap anak Mama yang paling luc

  • Suami Pelarian   87. Orang Tua Terbaik

    "Selamat, Nak! Sudah lengkap sekarang, satu perempuan, satu laki-laki." "Selamat, ya, Yudistira dan Ashanna, anak kalian ganteng banget!" "Lucunya anak kalian!" Pujian semacam itu sering kudengarkan beberapa hari ini setelah si Cendol lahir ke dunia. Membanggakan memang, tetapi tak semua pujian membuatku senang. "Ya, ampun! Ini sih foto copy-an Yudistira." "Mirip banget dengan bapaknya." "Benar, mirip plek ketlipek-tiplek." Katanya anak perempuan lebih mirip ayahnya, sedangkan anak lelaki lebih mirip ibunya. Nah, sekarang aku punya dua anak, satu perempuan, satu laki-laki, mengapa nggak ada satu pun yang mirip aku? Mereka berdua mirip bapaknya, ibunya kebagian apa? Seakan-akan aku cuma dijadikan jalan lewat mereka lahir ke dunia. Aku mau nitipin bentuk hidung saja mereka menolak.Memang sih, hidung suamiku lebih mancung ketimbang hidungku, jadi sudah pasti hidung anak-anakku juga mancung. Hah!"Malah bagus kali, Sha. Nggak akan ada yang meragukan bahwa kamu punya anak sama Yudi

  • Suami Pelarian   86. Cendol

    "Sayang, ini kabar bahagia, mengapa kamu bersedih?" Pertanyaan suamiku, meskipun disampaikan dengan suara yang lembut, malah membuatku semakin galau, hingga rasanya aku ingin menangis. Bagaimana aku tidak sedih, baru juga enam bulan lalu aku melahirkan, eh, aku sudah hamil lagi. Bukannya aku tidak senang, tetapi anak pertamaku masih kecil, ia masih butuh banyak perhatian dariku, aku bahkan berencana untuk memberikan ASI eksklusif untuk Nara paling tidak selama setahun. "Seorang ibu hamil bisa saja menyusui, tetapi itu juga tergantung kondisi sang ibu. Bila ibu sehat, tak menutup kemungkinan untuk tetap menyusui," kata dokter kandunganku memberiku sedikit harapan.Sayangnya, aku tidak termasuk ibu sehat itu. Kehamilan kedua, aku malah teler luar biasa. Bukan hanya mengalami morning sick, tubuhku rasanya sangat lemas hingga tak mampu melakukan banyak aktivitas. Dan lagi-lagi suamiku yang harus repot mengurus kebutuhanku, membantuku bila aku perlu makan, atau ke kamar mandi.Namun, yan

  • Suami Pelarian   85. Anak Perempuan yang Mirip Ayahnya

    "Sakit banget, ya, Sayang?" suamiku bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan sebagai jawaban, karena kuyakin ekspresi wajahku saat ini sudah cukup menggambarkan apa yang kurasakan.Kata orang sakit bersalin tuh sakit banget, dan itu benar kurasakan, padahal ini barulah awal prosesnya. Perut melilit seperti saat sedang kebelet BAB, ada desakan yang kuat untuk mengeluarkan isi perut, tetapi sayangnya melahirkan tak semudah itu.Belum lagi kontraksi yang terjadi, mirip sekali dengan kram perut. Aku pernah membaca di internet bahwa rasa sakit persalinan itu setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan. Dalam kasusku kayaknya 21 tulang yang patah, deh."Sha, kamu benar-benar sanggup melahirkan secara normal? Atau mau operasi saja?" tanya suamiku tiba-tiba.Kupalingkan mataku kepadanya, matanya berkaca-kaca. Aku tertawa lemah. "Yud, aku yang sakit, tapi mengapa kamu yang menangis?" aku balik bertanya. Kusentuh pipi pria yang kucintai itu.K

  • Suami Pelarian   84. Anniversary

    "Mbak, ini serius pilihanmu, Mbak? Asli, bukan Mbak Ashanna banget, lho." Ketiga adikku memandangku dengan tatapan penuh komplikasi, antara kagum, heran, dan sedikit tak percaya. Nada suara mereka terdengar mencemooh. "Unbelievable! Cantik, sih, cantik ...," komentar Desi mengambang, masih belum sanggup menerima kenyataan. Selama ini aku memang suka tampil cantik, tapi kecenderungannya cantik yang anggun, elegan, bukan cantik ala ciwi-ciwi yang girly dan kemayu. Mengingat tema acara untuk wedding anniversary ketiga kami adalah pernikahan, sudah sewajarnya aku mengenakan gaun pernikahan. Namun, karena perutku yang semakin membesar, jalan bulan keenam gitu loh, aku tak bebas memakai sembarang baju, karena bentuk perutku yang seperti balon bisa terekspos. Berdasarkan rekomendasi dari ahli bridal yang sudah berpengalaman belasan tahun, aku dibantu untuk memperoleh gaun yang tepat. Pilihannya jatuh kepada gaun pengantin ala-ala princess berwarna putih cantik, dengan bagian rok merekah

  • Suami Pelarian   83. Lagi-lagi Kuaci!

    "Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status