Share

05. Suami Insomnia

"Kamu istriku, Ashanna, milikku. Jangan kau ingkari itu," bisiknya di telingaku.

Yudistira mulai mencumbuku. Tidak ada bagian dari wajahku yang ia lewatkan. Aku yang polos dan tak berpengalaman hanya bisa pasrah, serta mencoba untuk mengikuti naluriku sebagai perempuan.

Sempat terpikir olehku untuk menolaknya, tetapi hati nuraniku berkata aku harus melakukan kewajibanku sebagai seorang istri. Lagipula pikiran untuk menolak itu hanya terlintas sekejap, karena kedekatan kami langsung melenyapkan semua pemikiran lain.

Pria yang telah menjadi suamiku itu mencium bibirku. Aku mencoba membalasnya, walaupun aku tak tahu jika yang aku lakukan sudah benar. Anggap saja aku aktris yang lagi main drama Korea.

Sejenak Yudis berhenti, lalu menatapku dengan mata sayu. "Sha." Ia memanggil namaku lirih, lalu menjauh dari wajahku, dan meletakkan kepalanya di dadaku. Kemudian ....

Semua berhenti begitu saja.

"Yud ..., Yudistira," panggilku saat tak terjadi apapun. Hanya keheningan yang ada, dan punggungnya yang sedikit bergerak teratur karena bernapas. Waduh, jangan-jangan ia tertidur.

"Yud," panggilku sekali lagi seraya menggoyangkan pundaknya. Tak ada jawaban, hanya hangat embusan napasnya yang kurasakan.

"Ish, keterlaluan kamu, Yud," desisku dengan emosi bercampur aduk.

Meskipun kesal, aku memindahkan kepalanya agar ia bisa tidur dengan nyaman. Capek juga kalau aku harus menahan kepalanya yang berat. Yudis bahkan tidak terbangun, walaupun tubuhnya sedikit terguncang. Ia hanya mendengus sebentar, lalu tertidur lagi.

Aku mengepalkan tangan dan berbuat seolah akan meninju wajahnya. Mengesalkan! Aku sudah mulai terhanyut, eh, ternyata hanya di-PHP-in. Lantas kuselimuti tubuhnya agar tak kedinginan.

Yudistira sudah bertekad untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang suami malam ini, eh, malah ketiduran sendiri.

"Gimana sih manusia satu ini? Katanya insomnia, tapi belum apa-apa sudah keok," gerutuku seorang diri. Harusnya aku senang, malam ini aku belum jadi diapa-apain sama Yudis, tapi harga diriku sebagai wanita serasa jatuh. Ia yang katanya insomnia malah tertidur di "tengah jalan". Eh, bukan! Baru beberapa langkah saja Yudistira sudah pingsan.

Dari ibu mertuaku aku mendengar bahwa anak lelakinya ini sering susah tidur di malam hari, dan dari yang kulihat sendiri Yudis memang punya kantung mata. Hmm, setahuku penyebab insomnia adalah sering begadang, banyak pikiran, atau bahkan depresi. Tidak mengherankan, sih, karena ia seorang workaholic.

Namun, yang jadi pertanyaan mengapa di saat sepenting ini ia malah tertidur? Tekadnya yang tadi mana? Melempem kayak kerupuk di toples yang lupa ditutup?

Semakin aku memikirkannya, semakin aku kesal. Akhirnya aku memilih untuk kembali berbaring di samping suamiku yang tertidur lelap seperti bayi. Sejenak aku memandanginya dengan cahaya lampu tidur yang temaram.

"Kamu memang ganteng, lho, Yud. Yah, lumayan deh, bisa dipamerin ke orang-orang kalau suamiku ganteng," kekehku sendirian, diiringi irama embusan napas Yudistira yang teratur. Ternyata ia tidak mendengkur saat tidur, malahan aku yang kadang ngorok, kata adikku.

Wajahnya begitu damai, ada perasaan puas tergambar di sana. Yudistira pasti lelah, sekaligus lega karena urusan pernikahan sudah beres.

Selama sebulan ini ia sendiri yang langsung turun tangan mengejarkan semua hal yang menyangkut pernikahan kami. Meskipun ada yang membantu, ia terus memantau jika ada kesulitan.

"Sha, siapa saja yang mau kamu undang ke resepsi kita? Bikin daftar, ya, biar sekalian masuk ke daftar tamu undangan." Yudistira menyerahkan buku catatan dan pena ke tanganku.

Dengan malas aku hanya menulis beberapa nama dari orang-orang yang benar-benar dekat denganku. Bahkan teman kerjaku yang dulu saja tak semuanya kuundang. Pokoknya aku ogah-ogahan. Lagian pernikahan instan begini, apa yang bisa dibanggakan? Yang ada nanti aku ditanya macam-macam.

"Ini doang?" tanya Yudis sewaktu melihat daftar nama yang hanya seuprit. Kujawab dengan anggukan. Kupikir pria itu akan mengomel, tapi dia hanya mengatakan oke dan berlalu melanjutkan urusannya.

"Kamu duduk manis saja, aku yang akan mengurus semuanya," kata Yudistira. Ya udah, aku nggak perlu membantu, biar saja kalau ia kerepotan, dan urusan tidak selesai tepat waktu.

Aku hanya melihat, tetapi aku malah stres. Baik ibu kandungku maupun ibu mertuaku selalu repot menyuruhku ini itu sebagai persiapan calon pengantin; melakukan berbagai macam perawatan calon pengantin di salon, dan memberiku banyak nasihat perkawinan untuk seorang istri.

Arrkh, pusing! Aku sampai berharap Yudistira mundur di tengah jalan, karena rasanya sungguh membuatku frustrasi. Tapi doa yang jelek tak bisa mengalahkan tekad sekeras baja. Pada akhirnya aku tetap menjadi istrinya.

Hebat benar kamu, Yudistira Adi Nugraha! Kendati sibuk dengan keperluan pernikahan kami, ia tetap bekerja di tempat kursus dan membantu ayahnya mengurus resort seperti biasanya. Benar-benar workaholic pria satu ini! Mungkin ini yang namanya the power of kepepet.

Yudis bahkan berkali-kali merecoki aku dan muridku yang sedang belajar. "Please remember, this beautiful lady is my future wife," ucapnya pada setiap murid pria yang kuajar, membuat kami terbengong. Aku sangat malu dengan sikapnya yang tiba-tiba posesif, dan itu hampir setiap hari.

Setelah lamaran yang mendadak itu, ia langsung mengumumkan ke semua orang, termasuk murid-murid kursus, bahwa kami telah bertunangan, dan akan menikah dalam waktu dekat.

John, salah satu murid dari Australia, bertanya kepadaku dengan rasa tidak percaya, "Ashanna, kamu yakin Yudistira itu pria yang akan kamu menikahi? Dia gila."

Aku tersenyum mendengarnya. John adalah salah satu murid yang menunjukkan ketertarikan padaku sedari awal aku bergabung di sini. "Mungkin kami memang jodoh, John," jawabku sekenanya.

Kalau dipikir-pikir memang lucu. Yudistira menamai tempat kursus bahasa Indonesianya YAIC, kependekan dari Yogyakarta Assertive Indonesian Course. Siapa sangka YA juga menjadi gabungan inisial nama kami berdua; Yudistira dan Ashanna. Ah, itu sih karanganku saja yang suka cocoklogi sedikit maksa.

"Oh, ya, John," tambahku, "kamu lupa menghilangkan imbuhan me- pada kata menikahi. Harusnya kamu katakan 'pria yang akan kamu nikahi' bukan 'pria yang akan kamu menikahi'. Tolong dicatat, ya."

"Oh, come on, Ashanna," keluhnya, tetapi ia tetap menuruti perintahku untuk mencatatnya.

Aku tersenyum sendiri ketika mengingat orang-orang di tempat kerjaku yang baru. Secara refleks aku kembali menengok ke samping.

Yudistira terlihat sangat berbeda saat tidur, tidak ada kesan bahwa ia seorang wakil direktur sebuah resort, CEO dari sebuah kursus bahasa Indonesia yang bermuridkan banyak orang asing, serta seorang pria yang gila kerja. Tak ada pula kesan jahil, apalagi gila seperti kata John.

"Betapa tenang dunia ini ketika kamu tidak gila, Yud. Semoga kamu bisa menjadi suami yang waras untukku," desahku pelan.

Kadang kala aku bertanya, apa yang ada di benak Yudistira. Pria yang telah menjadi suamiku ini nekat mengeluarkan uang ratusan juta hanya untuk melunasi utang seorang kenalan lama, dan (katanya) tidak mengharapkan imbalan apapun.

Sebulan kemudian tahu-tahu saja perempuan yang dibantunya itu berhasil ia nikahi, tanpa banyak kesulitan. Drama macam apa ini? Bagaimana bila ternyata Yudistira ini pria yang sedikit psycho atau diam-diam terobsesi olehku?

"Pulangkan saja aku pada ibuku, atau ayahku ...." Mungkin lagu lawas itu akan menjadi backsound saat aku melarikan diri darinya.

Duh, kami baru resmi menikah, tapi pikiranku sudah aneh-aneh saja. Yang jelas Yudistira tidak punya catatan kriminal. Keluarganya menyayanginya, jadi pasti ia orang yang baik, setidaknya untuk saat ini hal itu bisa aku pegang.

Hubunganku dengan Yudistira tidak dimulai seperti pasangan pada umumnya. Dan setahuku, dari pengalaman orang-orang, kehidupan berumah tangga tak semudah dan seindah kisah novel. Oleh sebab itu aku harus berjuang untuk membuat perkawinan ini berhasil. Kami telah terikat komitmen seumur hidup.

Selama beberapa waktu aku terjaga, dan tak sanggup memejamkan mata. Dini hari barulah rasa kantuk menyerang, aku tertidur lelap, hingga tanpa sadar aku bangun kesiangan. Untung tidak ada yang berkomentar, "Dasar perempuan malas!" karena kalau ada yang bilang begitu, aku akan balik tidur lagi.

Aku menyusul suamiku di meja makan dengan malu-malu karena bangun kesiangan. Pagi itu saat kami sarapan berdua. Setelah tidur semalaman wajahnya tampak lebih segar ... dan tampan. Duh, mikir apa sih aku ini?

Hanya saja manusia satu ini telah kembali ke wajah workaholic-nya yang serius. Hilang sudah kesan yang ditimbulkannya semalam. Memang dasarnya amburadul orang ini!

"Yud," panggilku sejenak mencoba mengalihkannya dari perangkat elektronik yang dipegangnya tanpa hasil. Hanya lenguhan, "Hmm," yang menjadi jawaban, sementara perhatiannya masih tertuju pada tablet di tangannya.

"Kenapa, ya, baru menuju 24 jam kita resmi menikah, tapi perasaanku bilang bahwa hidup denganmu itu nggak seru?" tanyaku lesu.

Kini Yudistira memalingkan wajahnya kepadaku sepenuhnya. Aku memang mengucapkan kalimat tadi untuk mengusik harga dirinya sebagai pria, dan akhirnya berhasil juga. Hihi.

"Kata siapa, Sha?" sahutnya cepat.

"Nggak perlu pakai kata siapa, udah kelihatan kok. Pagi-pagi sarapan bareng, tapi yang dilihat gawainya mulu. Ditanya kek istrinya, mau makan apa, mau minum apa gitu," cemoohku dengan bibir manyun.

Dan kena lagi! Yudistira mulai perhatian. Ia menuangkan teh hangat ke cangkirku, dan mendekatkan roti isi di hadapanku.

"Makan ini dulu, ya, nanti siangan dikit kita makan yang lebih kenyang," ujarnya lembut.

Suaranya mengundangku untuk melihat wajahnya. Ia tengah menatapku lekat, dengan senyuman selembut puding coklat. Alamak!

"Iya, Yud," sahutku cepat. Aku memalingkan wajah karena tersipu, tak mampu menghadapi tatapannya. Salah tingkah aku mengambil roti isi itu dan memakannya pelan-pelan. Sesekali kulirik dia malu-malu.

Rupanya pria ini membaca gestur tubuhku. Dalam sekejap mata raut mukanya berubah. Seringaian jahil dan sorot mata licik menghiasi wajahnya. "Tunggu saja, Sha. Kamu akan melihat bahwa hidup denganku akan penuh dengan kejutan yang tak pernah kamu bayangkan sebelumnya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status