Setelah beberapa hari pulang dari pulau Jawa, Imron selalu mengurung dirinya di dalam kamar, ia hanya akan keluar bila ada keperluannya saja.
Imron duduk termenung memandangi gawai-nya yang berbunyi, Icha berkali-kali menghubunginya, namun sekalipun tak pernah ia angkat, bahkan semua pesan singkat darinya selalu diabaikan.
Icha memang cantik, tapi Imron belum memiliki perasaan lebih kepadanya, walaupun ia berusaha untuk mencintai, namun hatinya tetap tidak bisa menerima, karena ia masih teringat Humaira.
Sangat menyakitkan baginya, membayangkan mantan istrinya itu sedang berbulan madu bersama lelaki lain, kalau bukan karena Laras, tentu tidak akan pernah ada kata perceraian, kini ia benar-benar sangat menyesal.
Imron mengambil sebatang rokok, kemudian menghisapnya dalam-dalam hingga asapnya mengepul ke udara, ia berpikir keras, bagaimana caranya agar ia bisa balas dendam kepada Laras.
"Mamak akan cepat sembuh, kalau melihat kalian bahagia, terutama kau, Ali, cepatlah kau mencari pengganti," lirihnya.Salamah dan Saudah saling berpandangan, mereka langsung menatap Imron meminta penjelasan."Tenang saja Mak! Yang penting mamak' sembuh dulu, jangan berpikir yang macam-macam, ya Mak!" balas Imron.Raudah hanya mengangguk lemah, tatapannya menyimpan harapan besar terhadap anak lelakinya.Ia sadar, usia tak' lagi muda, ia hanya ingin menikmati masa tuanya dengan penuh kebahagiaan.Kelahiran si kembar merupakan sebuah mukjizat baginya, namun ia sangat terpukul melihat kenyataan yang ada, ternyata kebahagiannya hanya semu semata.Suster datang menghampiri mereka, kemudian berkata,"Maaf, waktunya sudah habis, pasien mau dipindahkan ke ruangan lain," ucapnya."Kami keluar dulu ya Mak!" ucap Salamah.
"Kenapa harus sama dia, Mak! Jelaslah belum nikah, mana ada yang mau sama gadis gendut dan jelek macam dia, tak' mau aku," balas Imron."Kau belum nampak, macam mana dia sekarang, Ali! Cobalah telepon dia dulu, baru komentar." Raudah memberikan kartu nama yang bertuliskan Nuralima Hutagalung.Dengan terpaksa, Imron pun mau menerima, kemudian menyimpannya di dalam dompet."Kok bisa mamak' jumpa sama dia?" tanya Imron."Dia lagi jenguk kawannya yang sakit, kebetulan jumpa sama Saudah di depan," jawabnya."Tadi dia ada tanya kabar kau, Ali! Lama kami cerita-cerita," ucapnya."Tapi baru saja dia pulang, kau inilah, lama pula baru sampai di sini, ditunggunya dari tadi," imbuhnya lagi."Bagaimana dengan keadaan mamak' sekarang? Apa sudah mendingan?" tanya Imron."Alhamdulillah, semakin membaik; apalagi setelah jumpa sama Nuralima tadi, nampaknya
Imron sedang menikmati makan siangnya di kantin rumah sakit seorang diri, Saudah dan anaknya sudah pergi beberapa menit yang lalu menuju mushola untuk menunaikan ibadah shalat Dzuhur.Ia mengambil gawai yang bergetar di dalam saku bajunya, tertera nama Togar terpampang di layar handphone, kemudian ia pun segera menekan tombol berwarna hijau, untuk menyambungkan panggilan.["Halo! Assalamualaikum! Horas bah! Kemana saja kau, Imron? Lama tak' ada kabar!"] ucap Togar setelah telepon tersambung.["Waalaikumsalam, maaf kawan, sibuk kali' aku di kampung, mamak'-ku masuk rumah sakit. Apa kabarnya di sana?"] balas Imron.["Oh, pantaslah! Susah kali' dihubungi, lagi sibuk rupanya,"] ucap Togar.["Ya begitulah, bagaimana keadaan di sana?"] tanya Imron.["Keadaan di sini seperti biasanya, cuma aku kasihan kali' tengok si Icha, murung terus dia,"] jawab Togar.
Dengan cepat, imron mengeluarkan gawai-nya untuk menyimpan nomor telepon milik Nuralima, ia pun melakukan panggilan namun segera ia matikan kembali, hatinya masih bimbang untuk memulai percakapan.Tak' lama kemudian, gawai-nya berdering, tertera nama 'Ima gendut' terpampang di layar handphone-nya, namun Imron mengabaikannya.Setelah beberapa kali berdering, akhirnya Imron pun mau mengangkat telepon dari Nuralima.["Halo! Assalamualaikum! Dengan siapa ya? Tadi miscall ke nomor saya,"] ucap seorang wanita dengan suara lembut.["Apa benar ini dengan Nuralima?"] tanya Imron ragu.["Iya benar, dengan saya sendiri. Ini siapa ya?"] balas Nuralima.["Yang benar saja, Dek! Kok nampak lain suaranya; ini pasti adeknya kan? Mana Nuralima nya? Ada hal yang sangat penting yang Abang sampaikan,"] ucap Imron.["Sampaikan saja, Bang!"]
Tak' lama kemudian, muncul seorang wanita menuruni tangga, Imron berdiri dan menatap ke arahnya.Wanita itu tersenyum, saat mereka beradu pandang."Maaf, Bang! Lama nunggu ya?" ucapnya."Ka... Kamu Sarma? A... Atau bukan?" tanya Imron tergagap."Sudah lama, kita tak' jumpa, Abang sudah tak' mengenaliku lagi, coba perhatikan baik-baik, aku ini siapa," ucap gadis itu."Enggak... Nggak mungkin kalau kamu si gendut itu!" Imron menatap gadis cantik di depannya.Imron memindai gadis di depannya dari atas ke bawah, ia benar-benar takjub dengan perubahan pada Nuralima
Imron menatap Nuralima yang sedang termenung melalui kaca mobil bagian dalam."Dek, besok malam Abang ke rumah ya? Boleh enggak?" tanya Imron."Nanti kakak yang tadi marah loh Bang, kalau nampak Abang pigi ke rumahku," jawab Nuralima.Imron tersenyum, kemudian menatap gadis itu kembali sambil berkata,"Cemburu kau ya? Mana ada, Dek! dia kan cuma kawan Abang.""Sama juga kayak kita yang cuma kawan, ya Bang?" Nuralima menatap Imron melalui kaca mobil bagian dalam."Memangnya ada perlu apa Abang mau datang ke rumahku?" imbuhnya lagi."Memangnya tak' boleh, Abang main-main ke rumah, Dek? Pengen ngobrol-ngobrol aja, kan' udah lama kita nggak jumpa," ujar Imron."Boleh kok Bang," jawab Nuralima, netra mereka saling bertemu melalui kaca mobil, Imron mengukir senyum, sementara Nuralima hanya membalasnya sekilas, kemudian ia meng
Imron menatap Nuralima yang sedang termenung melalui kaca mobil bagian dalam."Dek, besok malam Abang ke rumah ya? Boleh enggak?" tanya Imron."Nanti kakak yang tadi marah loh Bang, kalau nampak Abang pigi ke rumahku," jawab Nuralima.Imron tersenyum, kemudian menatap gadis itu kembali sambil berkata,"Cemburu kau ya? Mana ada, Dek! dia kan cuma kawan Abang.""Sama juga kayak kita yang cuma kawan, ya Bang?" Nuralima menatap Imron melalui kaca mobil bagian dalam."Memangnya ada perlu apa Abang mau datang ke rumahku?" imbuhnya lagi."Memangnya tak' boleh, Abang main-main ke rumah, Dek? Pengen ngobrol-ngobrol aja, kan' udah lama kita nggak jumpa," ujar Imron."Boleh kok Bang," jawab Nuralima, netra mereka saling bertemu melalui kaca mobil, Imron mengukir senyum, sementara Nuralima hanya membalasnya sekilas, kemudian ia meng
"Dek, ada acara apa di dalam? Rame kali nampaknya?" tanya Imron menatap Nuralima penuh dengan tanda tanya."Itu rombongan keluarga Bang Tohir, Bang!" jawab Nuralima, pandangannya menatap ke arah dalam rumah."Siapa itu Bang Tohir? Keluarga dek Ima ya?" tanya Imron.Sarma tiba-tiba datang dari arah belakang rumah dengan tergopoh-gopoh, kemudian ia menghampiri mereka."Kucari ke mana-mana tak' nampak, di sini rupanya Kakak! Dipanggil mamak' dari tadi !" ucap Sarma sambil mengatur nafasnya yang tersengal-sengal."Kau datang secara tiba-tiba, mengagetkan Kakak pula, malas kali jumpa sama mereka itu, kau saja yang kawani mereka," balas Nuralima."Aku pun tak' mau, ayolah Kak! Jumpai dulu sebentar, merepet pula nanti mamak', tak' sanggup kita dengar nanti, " ujar Sarma."Ayo Bang Ali, kawani aku." Nuralima bangkit dari duduknya.