POV : Hana“Han, hewan-hewan di peternakan hampir mati semua,” kata Mas Irwan dari seberang telepon.“Apa? Kok, bisa?”“Sepertinya ada orang yang sengaja ingin melakukan ini. Mas menemukan botol racun di kotak sampah.”“Ya Allah, Mas. Sapi-sapinya bagaimana?”“Alhamdulillah, banyak yang selamat. Cuma ... ada dua sapi yang keburu mati, karena dikasih makan duluan. Sisanya belum sempat dikasih makan, karena si Yudi keburu laporan begitu lihat gelagat aneh dua sapi itu setelah dikasih makan.”“Alhamdulillah, ya Allah. Ya sudah, nanti pulang dari sini kami mampir ke rumah ya, Mas. Atau ... nanti malam kami datang ke sana.”“Iya, Han. Mas tutup dulu, ya, teleponnya. Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam.” Aku menutup telepon, dan Mas Hada mendekat. Kuceritakan kejadian yang menimpa peternakan Mas Irwan. Kami sepakat, nanti malam akan berkunjung ke rumah Ibu. Kebetulan sudah lama juga tidak main ke sana.***Aku dan Mas Suhada janji datang ke rumah Ibu setelah salat Magrib, tapi hingga Isya s
Pulang dari rumah Ibu—setelah asar, aku memutuskan mampir ke kantor Mas Hada untuk mengantarkan nasi kotak yang dititipkan oleh Ibu. Aku menemui Pak Satpam dan dia mengizinkanku naik. Di lift, tanpa sengaja aku bertemu dengan seorang wanita. Dia memakai kemeja berwarna putih dan rok cokelat selutut, rambutnya digerai sepanjang bahu. Hidung mancung dan mata yang sipit dipadu dengan bulu mata yang lentik, membuat kaum hawa di hadapanku ini terlihat semakin menarik. Belum lagi aroma wangi yang berasal dari tubuhnya, pasti membuat siapa pun merasa betah ada di dekat dia.“Hana, ya?” tanyanya, saat kami baru saja keluar lift menuju ruangan Mas Hada.“Iya, Mbak.”“Mau cari Suhada?”“Eh, iya.”“Dia sudah makan. Tadi keluar sama aku pukul 15.15.”Aku menghentikan langkah, kemudian menatap wanita super seksi yang ada di hadapanku ini. “Oh, ya? Makan di mana kalian, Mbak?” tanyaku masih bersikap sopan.“Di luar, pakai mobil dinas. Biasalah, namanya juga teman satu kantor.”Aku tersenyum tipis.
POV : Suhada ***Sungguh, aku tak tega. Sementara mereka sibuk bercerita, aku mengeluarkan gawai dan memutuskan mengirim pesan.[Assalamu’alaikum, Cantik. Sayang, lagi apa?]Tak perlu menunggu waktu lama, Hana membalasnya. [Wa’alaikumsalam, Mas Suhada yang paling ganteng sedunia. Aku lagi masak.][Masak apa, sih, Sayang?][Tumben banget tanya-tanya. Kenapa nih?]Aku mengetik 'Mas sedih karena akan pelatihan luar kota, dan akan meninggalkan kamu sendiri', tapi kuhapus lagi. Kuputuskan untuk membalasnya seperti ini. [KANGEN. Emot cium.] Hana membalas, dengan mengirimkan begitu banyak emot love.***“Mas, kamu kenapa, sih?” tanya Hana, karena sejak tadi aku terus saja memeluknya.“Enggak apa-apa, Sayang. Kenapa memang? Enggak boleh?”“Ya, boleh. Cuma enggak biasanya. Dari pulang kerja sampai sekarang, kok meluk terus? Kayak mau pergi jauh saja.”“Habisnya, Mas enggak tahu bagaimana caranya memberi tahu kamu kalau Mas itu cintaaa banget sama kamu.”“Sudah tahu! Kan, Mas sendiri yang
“Mas!” Aku terpekik kecil, saat Mas Hada membawaku ke tempat baju di sebuah mall. Sudah lama aku berpuasa membeli pakaian, karena tidak memungkinkan. Meskipun tempat ini bukan butik di mana biasanya aku memesan pakaian dengan harga yang cukup tinggi, tapi aku sudah bahagia. Aku menyentuh setiap baju yang tergantung rapi di mall ini. Kuangkat dan kutatap dengan mata berbinar bahagia. Mas Hada mengikutiku dari belakang. Dengan senyum yang terus melengkung, dia setia menemaniku memilih pakaian. Hingga aku menemukan pakaian yang pas untuk Bik Romlah dan Ibu. Mas Hada terlihat bingung dengan baju yang kupilih. “Sayang, itu bukannya untuk orang tua, ya?”“Iya, Mas. Untuk Ibu dan Bik Romlah dulu,” kataku tanpa menoleh ke arahnya, masih sibuk memilih beberapa pakaian.Mas Hada tersenyum sedikit. Kenapa baru-baru ini dia pelit sekali tersenyum? Aku mengabaikan, saat dia terpaku menatapku dengan tangan yang melipat di depan dada. Selesai memilih pakaian Ibu dan Bik Romlah, aku pergi ke arah l
POV : Hada Tok! Tok! Tok!“Assalamu’alaikum, Pak.” Aku membuka pintu ruangan Pak Reo.“Oh, iya. Wa’alaikumsalam, Hada. Masuk sini!”Aku masuk, lalu duduk di depan kursi Pak Reo. “Ternyata jadwal pelatihan karyawan dimajukan jadi besok. Jadi, hari ini kamu pulang, terus siap-siap. Besok, pagi-pagi, kumpul di sini sekitar pukul 09.00. Kalian keluar kota naik mobil dinas.”“Dimajukan, Pak?” tanyaku bingung, karena aku belum mengatakan apa pun pada Hana.“Iya, Hada. Surat edarannya baru dikirim melalui fax malam ini.”“Baik, Pak. Kalau begitu, saja permisi dulu.”Aku keluar ruangan, lalu masuk ke ruanganku. Sepi, tak ada orang. Ketiga teman di ruangan ini memang jarang sekali ada di tempat. Mereka sering bepergian entah ke mana. Aku membereskan meja dan bersiap akan pulang, setelah itu keluar ruangan menuju parkiran. “Pulang, Mas?” tanya Pak Sekuriti.“Iya, Pak. Soalnya mau pergi pelatihan besok.”“Oke, Mas!” Pak Sekuriti melambaikan tangan, saat sepeda motorku melewati gerbang. Di ja
“Han, kenapa kamu diam saja, sih?” tanya Kiki.“Kamu kenapa lagi? Ada masalah sama Mas Hada?”Aku diam saja. Hanya melipat tangan di meja, dan menatap papa tulis kosong di depan sana. Masih kuingat perpisahanku dan Mas Hada tadi pagi. Rasanya, masih cukup membuat hati teriris. Itu baru pisah sementara, bagaimana nanti jika Tuhan memisahkan kami selamanya?“Astagfirullah.” Aku mengusap wajah kasar.Benar saja kata Mas Hada, Allah itu enggak suka umatnya terlalu mencintai dunia beserta isinya, melebihi rasa cinta terhadap Dia. Allah itu pencemburu. Dia akan merasa cemburu, jika aku mencintai yang lain lebih dari rasa cintaku terhadap Dia.“Astagfirullah,” ucapku sekali lagi.“Han, kamu enggak kesurupan, kan? Di kelas ini tinggal kita bertiga loh!” Kiki tampak khawatir.“Ini jam berapa, sih?” tanyaku tiba-tiba.“Wah beneran nih anak kesurupan.” Isna menjaga jarak.“Jam berapa?” tanyaku sekali lagi, tak memedulikan ocehan mereka.“Pukul 10.30. Dosen enggak masuk, kita dari tadi bengong di
POV : Hada“Oke, untuk malam ini sampai di sini dulu pelatihannya. Kita akan sambung besok dengan materi yang berbeda. Selamat malam,” ucap seorang pemateri malam ini.Pelatihan khusus malam ini telah selesai. Aku bersiap kembali ke kamar. Kebetulan, pelatihan menggunakan aula khusus di hotel tempat kami menginap. Baru saja akan kembali ke kamar, aku bertemu Jefri—teman yang baru kukenal. Dia supervisor dari salah satu perusahaan yang ada di Pulau Kalimantan. “Hada, mau ke mana?” tanyanya yang membuatku menghentikan langkah.“Balik ke kamar, Jef. Kamu?”“Mau keluar cari angin. Mau ikut?”“Ah, capek banget nih! Aku mau tidur saja.”“Selesai pelatihan ini, kita enggak akan ketemu lagi, loh. Ayolah!” katanya sambil merangkul lengan, dan akhirnya aku mengikutinya.Tanpa kusangka, Jefri membawaku main biliar. Gedung yang cukup besar, di dalam sini berjajar meja panjang sebanyak enam buah. Terdapat lampu sorot di atas setiap mejanya, lalu bola warna-warni yang menghiasi bagian atas meja-m
Alarm berbunyi nyaring. Segera aku mengucek mata, dan melirik jam di atas kepala ranjang. Ternyata jam sudah menunjukkan hampir pukul 02.00 malam. Segera aku bangun, lalu menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. Setelah selesai, aku segera melakukan salat malam. “Assalamu’alaikum warohmatullah. Assalamu’alaikum warohmatullah.”Kutengadahkan tangan untuk berdoa, meminta kekuatan iman supaya tidak goyah, dan terhindar dari segala rayuan setan, termasuk dijauhkan dari hal-hal yang buruk. Tak lupa berdoa untuk kesehatan istri, pun keluarga yang jauh di sana. Selesai berdoa, kuusapkan tangan ke muka. Semoga Allah mendengar semua doaku. Aamiin. Aku melipat sajadah, dan kembali berbaring di kasur. Kubuka laci nakas dan memeriksa gawai. Sejak pagi aku belum mengaktifkannya, saking padatnya acara yang kujalani hari ini. Gawai hidup dan ada beberapa notifikasi masuk, termasuk notifikasi chat dari Hana, wanitaku. Aku tersenyum membaca beberapa chat-nya, lalu membalas. Di sana dia selalu