Alarm berbunyi nyaring. Segera aku mengucek mata, dan melirik jam di atas kepala ranjang. Ternyata jam sudah menunjukkan hampir pukul 02.00 malam. Segera aku bangun, lalu menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. Setelah selesai, aku segera melakukan salat malam. “Assalamu’alaikum warohmatullah. Assalamu’alaikum warohmatullah.”Kutengadahkan tangan untuk berdoa, meminta kekuatan iman supaya tidak goyah, dan terhindar dari segala rayuan setan, termasuk dijauhkan dari hal-hal yang buruk. Tak lupa berdoa untuk kesehatan istri, pun keluarga yang jauh di sana. Selesai berdoa, kuusapkan tangan ke muka. Semoga Allah mendengar semua doaku. Aamiin. Aku melipat sajadah, dan kembali berbaring di kasur. Kubuka laci nakas dan memeriksa gawai. Sejak pagi aku belum mengaktifkannya, saking padatnya acara yang kujalani hari ini. Gawai hidup dan ada beberapa notifikasi masuk, termasuk notifikasi chat dari Hana, wanitaku. Aku tersenyum membaca beberapa chat-nya, lalu membalas. Di sana dia selalu
POV : Hana“Iya, Mas?” Dengan semangat, aku mengangkat telepon Mas Hada. Ini pertama kalinya dia menelepon, setelah beberapa hari belakangan hanya bisa membalas chat sesekali. “Han, ada yang mau bicara.”“Siapa?”“Halo, Hana?”“I-iya?”“Saya, Fika. Jangan ditutup teleponnya. Ini saya speaker, supaya kamu dan Mas Hada sama-sama mendengar pengakuanku. Jadi, aku dan Prio pernah menjadi teman yang sangat dekat. Kami sering ke kelab malam bersama teman-teman. Bahkan tanpa ingat dosa, kami sering tidur bersama.”“Astagfirullahalazim.”“Aku tahu, perbuatan kami itu sangat enggak terpuji. Aku bahkan pernah hamil, karena sering tidur dengan Prio.”Aku memejamkan mata.“Dulu, Prio pernah memintaku menikah dengan Suhada, tapi mendengar cerita darinya ... aku menolak, karena Suhada hanya seorang office boy. Bagiku, itu sangat memalukan.” Dia terisak. “Aku terus mendesak Prio bertanggung jawab atas anak yang ada di kandunganku, tapi dia terus menolak dan memaksaku menikah dengan Hada. Katanya, Ha
Samar-samar, aku merasa ada yang membelai lembut kepala. Aku membuka mata, dan mendapati Mas Hada sudah ada di sampingku. Aku mengucek mata, memastikan kalau yang kulihat bukan hantu.“Mas, ini serius kamu?” Aku langsung memeluk erat tubuhnya, lalu cemberut. “Ih, jahat! Kok, enggak bilang pulang lebih awal? Aku, kan belum siap-siap. Mana sudah tidur lagi, pas kamu pulang.”“Jangan cemberut. Kan jadi pengin ci—”“Langsung saja kenapa, sih? Pakai bilang begitu.”Mas Hada tertawa sambil menggelengkan kepala. “Kamu itu makin lucu, deh! Ya sudah, jadi boleh nih?”“Memang aku pernah nolak?”Malam itu, kami tuntaskan rasa rindu selama hampir satu minggu tak bertemu. Seperti biasa, dia amat manis memperlakukanku. Keringat dan peluh melebur menjadi satu.“Baca doa enggak tadi sebelum mulai?” tanyanya seraya mengecup pucuk kepala, setelah kami selesai. “Doa apa?”“Kalau Mas berdoa. Semoga segera ada langkah kaki anak kecil di rumah kita yang sederhana ini.”Aku tersenyum, lalu menyandarkan kep
Aku diam cukup lama di dalam kamar mandi, sementara Mas Hada sudah gelisah menungguku di luar sana. Bagaimana kalau dia tahu, kalau ternyata hasilnya seperti ini? Kira-kira reaksinya bagaimana, ya? Aku menarik napas panjang, bersiap untuk keluar menemui Mas Hada. Setelah cukup tenang, kubuka pintu dan langsung tampak wajah Mas Hada yang terlihat tegang. “Sayang, bagaimana? Mas sampai izin loh hari ini. Enggak masuk kerja, karena ingin nemenin kamu pakai alat itu.”“Mas pakai alat ini enggak sampai hitungan jam, bahkan menit.”“Mas, deg-degan soalnya.” Dia memang terlihat sangat tegang. Aku langsung melewati tubuhnya dan duduk di ujung kasur. Mas Hada mengekorku dari belakang dan duduk di bawah, menghadap ke arahku. Antara ingin tertawa dan kasihan lihat wajahnya seperti itu. “Mas, maaf, ya,” ucapku kemudian dengan wajah penuh dengan penyesalan.Mas Hada menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. Dia memegang sebelah tanganku dan menciumnya. “Enggak apa, belum rezeki. Kita coba la
Aku keluar, kemudian duduk di rerumputan di taman depan rumah sederhana ini. Kupandangi langit di atas sana. Cerah dan bertabur begitu banyak perhiasan langit. Rasanya baru kemarin Mas Irwan mengajakku membeli es krim di toko dekat rumah, rasanya baru kemarin Ibu membelikanku baju sekolah, rasanya baru kemarin aku tamat SMA. Waktu, kenapa begitu cepat berlalu? Tahu-tahu, aku sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi orang tua. Beruntung aku bertemu Mas Hada, pria yang bisa membawaku ke jalan yang lebih terarah. Entah apa jadinya, kalau aku bertemu pria yang salah.“Ngelamun saja!” Aku dikagetkan dengan kedatangan Mas Hada yang tiba-tiba. “Ih, Mas! Kamu ngagetin saja!” Aku mencubit kecil perutnya, dan dia tertawa. Mas Hada membungkuk dan mencium pucuk kepala, lalu ikut duduk di sampingku. “Mikirin apa?” tanyanya seraya menarik kepalaku untuk bersandar di bahu pria itu.“Mikirin hidup, Mas. Enggak kerasa, waktu begitu cepat berlalu.”“Andai kamu tahu. Seolah dihitung mundur untuk me
POV : Hada**Sylviana.M**"Gila! Aku mana bisa menikahi gadis sembarangan. Aku memang ingin menikah, tapi tentu saja dengan wanita yang kucintai, Yo!”Malam ini Prio tiba-tiba datang ke rumah. Dia memintaku menggantikan posisinya sebagai pengantin pria, karena Prio mendadak akan pergi ke Belanda besok. Dia diam, berdiri kaku di hadapanku, lalu mengangsurkan secarik kertas bermeterai yang entah apa isinya.“Apa ini?” tanyaku bingung, menerima kertas itu dari tangannya.“Itu surat perjanjian, Suhada. Bulan lalu aku berjanji akan membawa Ibu operasi mata, dan kamu tahu dia sangat bahagia. Maaf, sampai kapan pun, kurasa kau tak akan mampu membuatnya bisa melihat. Jika kau mau menggantikan posisiku besok, aku berjanji, begitu pulang dari Belanda, donor mata itu sudah kudapat. Ibu langsung operasi, supaya bisa melihat.”Aku duduk di kursi kayu yang ada di samping rumah.“Hada, mudah saja. Datang besok ke
Pov : Hana**Sylviana.M***“Ya sudah, menjauhlah! Aku mau mandi,” ucapku sambil mendorong dadanya dengan jari telunjuk.Tubuh pria itu perlahan menjauh, mengikuti dorongan jariku. Segera aku beranjak menuju kamar mandi. Ingat wajah yang katanya seperti dakocan, aku memilih berdiri di depan meja rias, memperhatikan wajah sesaat dan membersihkannya. Baru saja tangan terayun hendak membersihkan wajah dengan kapas yang sudah ditetesi toner, tiba-tiba pria itu mengembuskan napas berat. Dia mendekat, lalu mengangkat tubuhku.“Apa-apaan? Turunin!” teriakku marah.“Mandi! Nanti kalau sudah mandi bukan hanya muka yang bersih, tapi semuanya.”“Aku bisa sendiri.”“Lama!”Sampailah kami di depan kamar mandi. Dia menurunkan dan mendorongku masuk, setelahnya menutup pintu dan membuatku super kesal.“Berani sekali memperlakukan aku seperti ini!” teria
Pov : Suhada“Jadi, kalian berteman? Jangan bilang, kalian sudah merencanakan kejadian ini dari jauh hari?” Hana mencurigaiku. Meski terlihatseperti itu, tapi kenyataannya aku menikahinya karena kemauanku sendiri, bukan karena surat perjanjian itu.“Aku enggak seperti itu.” Aku menatapnya selama beberapa saat, kemudian mengalihkan pandangan.“Kalau suatu saat terbukti kamu bersekongkol dengannya untuk menghancurkanku, aku enggak akan pernah memaafkanmu, Mas!”Aku tidak menjawab, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kamu enggak capek? Aku bersihin dulu kamar kita.”“Kita?”“Ya, kenapa memang?”“Aku tidur sama kamu, Mas?”“Jadi maunya kamu bagaimana?” Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menarik tangannya dan mengajak ke kamar. Ruang berukuran 3x3 meter dengan kasur tanpa ranjang. Ada lemari plastik di ujung ruangan yang biasa