Share

Perbincangan Pertama

“Iya saya tahu, nona ... maksud saya ... kamu tidak akan bisa mencintai laki-laki lain.” Gallen menjawab setelah jeda lumayan lama dari pernyataan Emily.

Emily menatap tajam manik mata Gallen di hadapannya, embun mulai menetes dari luar gelas minum mereka yang tidak tersentuh.

“Alasan apa yang membuat kamu mau menikahi aku tolong jawab jujur. Karena kamu hanya kasihan? Atau karena kamu tahu jika aku anak bungsu dari keluarga kaya raya?” Emily dengan lantang menyuarakan kemungkinan paling masuk akal laki-laki yang mengurusi pernikahannya, sang pemilik wediing organizer, langsung menikahinya setelah sang papa meminta.

Gallen mendengus kecil mendengar tuduhan kejam dari Emily. Memilih tidak menanggapinya dengan emosi juga. Gallen mengerti jika Emily tengah mengalami hal sangat berat sebanyak dua kali dalam waktu bersamaan. 

“Saya mampu mencukupi kebutuhan saya dan adik saya dengan perusahaan wedding organizer saya, Emily. Saya tidak butuh limpahan harta dari kamu.” Gallen mengatakannya dengan sedikit smirk pada sudut bibirnya.

Emily tidak tersinggung sedikitpun akan sindiran balik dari laki-laki yang berstatus suaminya secara agama.

“Begini Emily mari kita bicarakan sebagai orang dewasa yang berakal. Di sini bukan hanya ada kamu, tapi juga ada saya. Kita mempunyai tujuan hidup yang sudah pasti berbeda, pernikahan jelas bagi saya pribadi bukan suatu mainan. Saat saya menerima dan menjawab ijab qobul, maka saya berjanji bukan hanya di depan wali istri saya. Tapi saya juga berjanji di hadapan Yang Maha Esa. Apa pun alasan saya menikahi kamu di belakang sana, tidak akan mengurangi tanggung jawab saya sebagai seorang suami terlepas kamu mau menerima atau tidak nanti kita bicarakan. Saya tidak akan menuntut cinta atau apalah itu, saya juga tidak meminta kamu melakukan peran sebagai selayaknya seorang istri. Saya hanya memerankan peran saya sebagai suami, yaitu menjaga kamu selayaknya pesan terakhir papa kamu.” Gallen mengutarakan semua yang ingin ia katakan. 

“Aku tidak akan bisa menjalani rumah tangga setelah kejadian ini.” Emily menunduk menyadari jika ia cukup keterlaluan pada Gallen dengan ucapannya beberapa saat lalu.

“Iya saya paham, makanya saya bilang semua terserah kamu. Jika memang kamu sebegitu tersiksanya menikah tiba-tiba dengan saya maka akan saya ceraikan selepas seratus harian almarhum papa kamu. Saya minta tolong kamu bertahanlah selama seratus hari itu, setelahnya akan saya ceraikan. Bagaimana apa itu cukup membuat kamu lega?” Gallen masih membalas tatap dalam wanita di sebarangnya.

“Semudah itu?” tanya Emily.

“Loh bukankah itu yang kamu harapkan dari semua yang baru saja kamu katakan? Saya tidak suka menyiksa orang lain dengan mengikatnya di samping saya. Intinya saya sudah menjalankan amanah saya dengan baik sesuai apa yang papa kamu minta, jika keinginan datangnya dari kamu maka itu tidak menyalahi janji saya pribadi,” jawab Gallen.

Gallen menghembuskan nafas panjang melihat Emily diam seribu bahasa. Ia meneguk minumannya yang semakin cair sebelum melanjutkan kembali penuturannya.

“Saya serahkan semuanya sama kamu Emily, saya tidak akan meminta kamu tinggal dengan saya juga. Kamu bisa tinggal di rumah kamu dan saya di rumah saya. Kewajiban saya di sini adalah menjaga kamu sampai saatnya kamu lebih baik keadaannya dan kamu bilang pada saya untuk diceraikan. Sungguh tidak apa-apa seperti itu, pekerjaan saya terus terang saja sangat padat. Saya tidak akan mengganggu kamu dengan berada di sekitar kamu dan membuat kamu risih.” Gallen memilih menyudahi percakapan sepihak mereka karena Emily lebih banyak diamnya.

“Kamu tidak merasa di rugikan?” tanya Emily.

“Enggak ... Saya pernah menyesal satu kali sebelum kepergian bapak saya. Saya tidak akan menyesal kedua kali hanya karena kamu tidak bisa menerima pernikahan ini. Oh iya sekalian saya jelaskan, penghasilan saya memang tidak sebanyak kamu mungkin. Tapi selama kamu menjadi istri saya, kamu akan tetap menerima nafkah yang saya berikan. Mungkin nominalnya tidak seperti bayangan kamu maaf, tapi itulah yang saya mampu berikan sebagai tanggung jawab saya. Pembayaran yang kamu bayarkan pada WO saya sudah saya kembalikan lima puluh persen pada kakak kamu karena kami tidak menyelesaikan tugas sampai akhir acara. Jadi kamu hanya dikenakan penggantian tenaga dan alat-alat yang sudah di set pada hotel kemarin. Oh satu lagi, saya bisa pastikan adik saya tidak akan berkata tidak sopan lagi seperti kemarin. Dia memang sedikit emosional, tapi dia baik sesungguhnya. Ada yang lain yang ingin kamu katakan? Kita harus kembali sebelum acara tahlilan dimulai,” tukas Gallen.

Emily menggelengkan kepalanya, ia tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan di hadapan laki-laki yang tidak menunjukkan kemarahannya padahal Emily sudah menuduh yang tidak-tidak.

“Kita pulang saja, kepala aku sakit,” gumam Emily.

“Kamu ingin kita ke Dokter dulu sebelum pulang?” tanya Gallen memastikan.

“Tidak perlu, langsung pulang saja,” jawab Emily singkat.

Gallen mengangguk dan menyelesaikan pembayaran minuman mereka berdua yang hampir tidak tersentuh. Sesampainya di rumah keduanya melakukan kegiatan masing-masing, Gallen yang berbaur dengan para keluarga laki-laki dan Emily yang membantu di dapur menyiapkan makanan tanpa suara. Bahkan tidak ada yang berani bertanya apa pun padanya. Yang Emily jelas rasakan adalah adik Gallen, Giana selalu menghindarinya. Baik sekedar tatap mata atau akan keberadaannya pada satu ruangan maka Giana akan pindah ke ruangan lainnya. 

Ketika Acara selesai dan Emily tengah mengambil air untuk minum, ia melihat Giana tengah mengelapi piring basah yang sudah di cuci oleh Mbak di rumahnya. Keluarganya satupun tidak ada yang berada di dapur untuk bersih-bersih, namun Giana yang di hari pertama ia bertemu mengamuk menyerukan jika ia sangat tidak terima kakaknya mendapatkan perlakuan buruk dari Emily, justru yang mau membantu sampai dapur.

“Kamu tidak perlu melakukan itu, kamu bisa istirahat di kamar tamu.” Suara Emily membuat gerak tangan Giana terhenti di udara.

“Jangan besar kepala, aku tidak melakukan ini untuk mengambil hati siapapun di rumah ini. aku tidak tega membiarkan Mbak Santi mengerjakan ini sendirian. Di rumah kami, kami melakukan ini bersama-sama.” Tanpa menoleh, Giana menyahut dengan sarkas.

“Saya sudah melarang Neng Giana sungguh Mbak Emily.” Mbak Santi cepat mengatakannya.

“Iya Bi, tidak apa-apa kalau memang mau dia. Saya tahu kamu sangat membenci saya, Giana. Tapi kamu adalah tamu di rumah ini, tidak ada tamu yang mencuci piring di dapur rumah kita,” tandas Emily.

Giana tidak menanggapi. “Yang ini di simpan di mana Mbak Santi? Masih ada lagi tidak yang harus dicuci, saya biasa mencuci piring kok di rumah jangan cemas. Saya yatim piatu jadi biasa melakukan apa-apa sendiri.”

“Sudah atuh Neng, terima kasih ya sudah dibantu. Neng Giana istirahat saja ya.” Mbak Santi membelai lengan Giana dengan senyuman lebar.

Hal tersebut tidak pernah terjadi pada Emily, ia tidak pernah dekat dengan para pekerja di rumah orang tuanya semenjak dewasa. Ia merasa aneh menyaksikan adik Gallen melakukan hal itu di rumahnya.

Giana melewati Emily begitu saja, tanpa menoleh sedikitpun pada Emily. Jelas sekali kebencian terpancar dari mata Giana pada sosok Emily.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status