Home / Romansa / Suami Pengganti Wasiat Papa / Perbincangan Pertama

Share

Perbincangan Pertama

Author: PutriNaysaa
last update Last Updated: 2023-09-22 13:19:41

“Iya saya tahu, nona ... maksud saya ... kamu tidak akan bisa mencintai laki-laki lain.” Gallen menjawab setelah jeda lumayan lama dari pernyataan Emily.

Emily menatap tajam manik mata Gallen di hadapannya, embun mulai menetes dari luar gelas minum mereka yang tidak tersentuh.

“Alasan apa yang membuat kamu mau menikahi aku tolong jawab jujur. Karena kamu hanya kasihan? Atau karena kamu tahu jika aku anak bungsu dari keluarga kaya raya?” Emily dengan lantang menyuarakan kemungkinan paling masuk akal laki-laki yang mengurusi pernikahannya, sang pemilik wediing organizer, langsung menikahinya setelah sang papa meminta.

Gallen mendengus kecil mendengar tuduhan kejam dari Emily. Memilih tidak menanggapinya dengan emosi juga. Gallen mengerti jika Emily tengah mengalami hal sangat berat sebanyak dua kali dalam waktu bersamaan. 

“Saya mampu mencukupi kebutuhan saya dan adik saya dengan perusahaan wedding organizer saya, Emily. Saya tidak butuh limpahan harta dari kamu.” Gallen mengatakannya dengan sedikit smirk pada sudut bibirnya.

Emily tidak tersinggung sedikitpun akan sindiran balik dari laki-laki yang berstatus suaminya secara agama.

“Begini Emily mari kita bicarakan sebagai orang dewasa yang berakal. Di sini bukan hanya ada kamu, tapi juga ada saya. Kita mempunyai tujuan hidup yang sudah pasti berbeda, pernikahan jelas bagi saya pribadi bukan suatu mainan. Saat saya menerima dan menjawab ijab qobul, maka saya berjanji bukan hanya di depan wali istri saya. Tapi saya juga berjanji di hadapan Yang Maha Esa. Apa pun alasan saya menikahi kamu di belakang sana, tidak akan mengurangi tanggung jawab saya sebagai seorang suami terlepas kamu mau menerima atau tidak nanti kita bicarakan. Saya tidak akan menuntut cinta atau apalah itu, saya juga tidak meminta kamu melakukan peran sebagai selayaknya seorang istri. Saya hanya memerankan peran saya sebagai suami, yaitu menjaga kamu selayaknya pesan terakhir papa kamu.” Gallen mengutarakan semua yang ingin ia katakan. 

“Aku tidak akan bisa menjalani rumah tangga setelah kejadian ini.” Emily menunduk menyadari jika ia cukup keterlaluan pada Gallen dengan ucapannya beberapa saat lalu.

“Iya saya paham, makanya saya bilang semua terserah kamu. Jika memang kamu sebegitu tersiksanya menikah tiba-tiba dengan saya maka akan saya ceraikan selepas seratus harian almarhum papa kamu. Saya minta tolong kamu bertahanlah selama seratus hari itu, setelahnya akan saya ceraikan. Bagaimana apa itu cukup membuat kamu lega?” Gallen masih membalas tatap dalam wanita di sebarangnya.

“Semudah itu?” tanya Emily.

“Loh bukankah itu yang kamu harapkan dari semua yang baru saja kamu katakan? Saya tidak suka menyiksa orang lain dengan mengikatnya di samping saya. Intinya saya sudah menjalankan amanah saya dengan baik sesuai apa yang papa kamu minta, jika keinginan datangnya dari kamu maka itu tidak menyalahi janji saya pribadi,” jawab Gallen.

Gallen menghembuskan nafas panjang melihat Emily diam seribu bahasa. Ia meneguk minumannya yang semakin cair sebelum melanjutkan kembali penuturannya.

“Saya serahkan semuanya sama kamu Emily, saya tidak akan meminta kamu tinggal dengan saya juga. Kamu bisa tinggal di rumah kamu dan saya di rumah saya. Kewajiban saya di sini adalah menjaga kamu sampai saatnya kamu lebih baik keadaannya dan kamu bilang pada saya untuk diceraikan. Sungguh tidak apa-apa seperti itu, pekerjaan saya terus terang saja sangat padat. Saya tidak akan mengganggu kamu dengan berada di sekitar kamu dan membuat kamu risih.” Gallen memilih menyudahi percakapan sepihak mereka karena Emily lebih banyak diamnya.

“Kamu tidak merasa di rugikan?” tanya Emily.

“Enggak ... Saya pernah menyesal satu kali sebelum kepergian bapak saya. Saya tidak akan menyesal kedua kali hanya karena kamu tidak bisa menerima pernikahan ini. Oh iya sekalian saya jelaskan, penghasilan saya memang tidak sebanyak kamu mungkin. Tapi selama kamu menjadi istri saya, kamu akan tetap menerima nafkah yang saya berikan. Mungkin nominalnya tidak seperti bayangan kamu maaf, tapi itulah yang saya mampu berikan sebagai tanggung jawab saya. Pembayaran yang kamu bayarkan pada WO saya sudah saya kembalikan lima puluh persen pada kakak kamu karena kami tidak menyelesaikan tugas sampai akhir acara. Jadi kamu hanya dikenakan penggantian tenaga dan alat-alat yang sudah di set pada hotel kemarin. Oh satu lagi, saya bisa pastikan adik saya tidak akan berkata tidak sopan lagi seperti kemarin. Dia memang sedikit emosional, tapi dia baik sesungguhnya. Ada yang lain yang ingin kamu katakan? Kita harus kembali sebelum acara tahlilan dimulai,” tukas Gallen.

Emily menggelengkan kepalanya, ia tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan di hadapan laki-laki yang tidak menunjukkan kemarahannya padahal Emily sudah menuduh yang tidak-tidak.

“Kita pulang saja, kepala aku sakit,” gumam Emily.

“Kamu ingin kita ke Dokter dulu sebelum pulang?” tanya Gallen memastikan.

“Tidak perlu, langsung pulang saja,” jawab Emily singkat.

Gallen mengangguk dan menyelesaikan pembayaran minuman mereka berdua yang hampir tidak tersentuh. Sesampainya di rumah keduanya melakukan kegiatan masing-masing, Gallen yang berbaur dengan para keluarga laki-laki dan Emily yang membantu di dapur menyiapkan makanan tanpa suara. Bahkan tidak ada yang berani bertanya apa pun padanya. Yang Emily jelas rasakan adalah adik Gallen, Giana selalu menghindarinya. Baik sekedar tatap mata atau akan keberadaannya pada satu ruangan maka Giana akan pindah ke ruangan lainnya. 

Ketika Acara selesai dan Emily tengah mengambil air untuk minum, ia melihat Giana tengah mengelapi piring basah yang sudah di cuci oleh Mbak di rumahnya. Keluarganya satupun tidak ada yang berada di dapur untuk bersih-bersih, namun Giana yang di hari pertama ia bertemu mengamuk menyerukan jika ia sangat tidak terima kakaknya mendapatkan perlakuan buruk dari Emily, justru yang mau membantu sampai dapur.

“Kamu tidak perlu melakukan itu, kamu bisa istirahat di kamar tamu.” Suara Emily membuat gerak tangan Giana terhenti di udara.

“Jangan besar kepala, aku tidak melakukan ini untuk mengambil hati siapapun di rumah ini. aku tidak tega membiarkan Mbak Santi mengerjakan ini sendirian. Di rumah kami, kami melakukan ini bersama-sama.” Tanpa menoleh, Giana menyahut dengan sarkas.

“Saya sudah melarang Neng Giana sungguh Mbak Emily.” Mbak Santi cepat mengatakannya.

“Iya Bi, tidak apa-apa kalau memang mau dia. Saya tahu kamu sangat membenci saya, Giana. Tapi kamu adalah tamu di rumah ini, tidak ada tamu yang mencuci piring di dapur rumah kita,” tandas Emily.

Giana tidak menanggapi. “Yang ini di simpan di mana Mbak Santi? Masih ada lagi tidak yang harus dicuci, saya biasa mencuci piring kok di rumah jangan cemas. Saya yatim piatu jadi biasa melakukan apa-apa sendiri.”

“Sudah atuh Neng, terima kasih ya sudah dibantu. Neng Giana istirahat saja ya.” Mbak Santi membelai lengan Giana dengan senyuman lebar.

Hal tersebut tidak pernah terjadi pada Emily, ia tidak pernah dekat dengan para pekerja di rumah orang tuanya semenjak dewasa. Ia merasa aneh menyaksikan adik Gallen melakukan hal itu di rumahnya.

Giana melewati Emily begitu saja, tanpa menoleh sedikitpun pada Emily. Jelas sekali kebencian terpancar dari mata Giana pada sosok Emily.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Bola Mata Abu-abu  (The End)

    “Belum Sayang?” Suami Gracia baru datang setelah Emily masuk ruang operasi tiga puluh menit lalu. “Belum, baru setengah jam masuk.” Gracia menjawab dengan masih merangkul lengan mamanya yang sedari tadi terdiam dan Gracia tahu sang mama tiada memutuskan doanya untuk keselamatan Emily dan si kembar. Mereka berempat menunggu di luar pintu ruang operasi dengan jantung berdebar-debar. Sementara Gallen yang ikut ke dalam menemani proses kelahiran kedua putri mereka jauh lebih jantungan. Seluruh badannya dingin dan ada rasa ingin muntah namun ia tahan sekuat tenaga, bahkan serangan pusing akan dinginnya ruang operasi mampu membuat Gallen menggigil. Gallen berada di samping kepala istrinya memberikan pandangan menenangkan pada Emily walau isi hari dan kepalanya berkutat pada suara para tenaga medis yang meminta berbagai jenis alat bedah yang tidak Gallen pahami. “Sudah sampai mana?” tanya Emily pelan.Gallen terse

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Menunggu Dua Bidadari

    “Ada lagi enggak barang lainnya? Takutnya tertinggal.” Mama Emily bertanya kala Gallen memasukkan satu persatu perlengkapan untuk menemani Emily di rumah sakit. “Sepertinya sudah semua, Ma. Kalau memang ada yang kurang nanti aku akan ambil kembali. Mama naik duluan saja, aku akan bawa Emily.” Gallen membukakan pintu untuk sang mama agar naik ke mobil terlebih dahulu. Gallen kembali masuk ke dalam rumah di mana Emily duduk berdampingan dengan Giana dan Gracia. “Kita mau ke rumah sakit tapi kaya mau demo rame begini,” kelakar Emily. “Bagus dong Em, kita kan juga mau dampingi kamu biar deg-degannya dibagi-bagi,” jawab Gracia. “Deg-degan tapi juga excited, Kak.” Emily menerima uluran tangan Gallen yang berniat membantunya berdiri dari posisi duduk. “Ayo kita Bismillah sama-sama ya, Sayang.” Gracia mengecup kepala samping Emily dengan memegangi pinggang sang adik yang tampak kepa

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Kontraksi Berikutnya

    “Ah ... selamat, aduh ya ampun ... aku mau punya keponakan?” Emily kembali berseru, menggeser badan mengimpit Gracia untuk memeluknya dari samping dengan bersemangat. “Kamu tahu sekali aku sangat bahagia, Em. Aku sudah bisa membayangkan anak-anak kita berlarian merebutkan neneknya.” Gracia kembali mengusap sudut matanya yang basah. Emily mengangguk, menyetujui perkataan kakaknya yang ia yakin benar. Si kembar dan sepupu mereka akan memperebutkan sang nenek kelak seperti mama mereka. “Berapa minggu tadi usianya? aku hanya baca bagian positif.” Emily merangkul bahu Gracia erat. “Enam minggu,” jawab suami Gracia. “Titip kakak aku yang cerewet ini ya Bang, awas kalau kenapa- kenapa.” Emili pura-pura mengancam dengan menyipitkan matanya ke arah suami Gracia. “Pasti dong Dek, mereka adalah hidup aku sekarang ini,” tukas suami Gracia. Emily memeluk sang kakak dengan

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Kehamilan Kedua

    “Abang tanyanya seolah meremehkan begitu, aku enggak pernah pacaran sama sekali. Dari mana pernah ciuman. Dan kalaupun sudah pacaran belum tentu aku akan mau melakukan itu,” papar Giana. “Iya paham, kamu wanita baik-baik buka seperti aku yang banyak ceweknya di sana sini,” desah Prasetio. “Aku enggak mengungkit masalah itu, kenapa Abang malah seolah merendahkan diri sendiri seperti itu?” tuntut Giana. “Kita mau berantem masalah ciuman ini? bukankah kamu bilang kangen sama aku kemarin? Sekarang malah menanduk terus,” papar Prasetio. Giana menunduk kecil, diam. “Aku tidak meremehkan kamu yang belum pernah ciuman, bagus malah. Pergaulan kamu sangat baik dan sehat, dan aku enggak merendahkan diri karena bilang banyak cewek. Itu hanya sebagai pengingat untuk aku terus memperbaiki diri agar benar-benar layak disandingkan perempuan seterjaga kamu, Giana. Sumpah mati aku malu sama masa lalu aku pad

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Kencan Calon Adik Ipar

    “Wuih ngeri sekali perut kamu Em, seperti mau meletus,” kelakar laki-laki berjaket kulit hitam. “Asem,” kekeh Emily. “You look so beautyfull, how are you?” Prasetio memberikan pelukan hangat pada Emily dengan pakaian rumahnya, daster. “Peres amat bilang cantik, sudah tahu sebesar ini badan aku. Kabar sehat Alhamdulillah, ada perlu di rumah atau bagaimana kok tiba-tiba balik Indonesia?” tanya Emily. “Ada yang minta aku pulang, kangen katanya,” kekeh Prasetio. Emily tersenyum paham kemudian terkekeh kecil sebelum mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah barunya yang belum sepenuhnya rapi karena baru tiga hari lalu mereka pindahan. “Lagi dijemput sama abangnya, duduk Tio. Sudah pulang ke rumah kan tapi?” tanya Emily. “Sudah, semalam menginap juga di rumah. Iya Giana sudah bilang, bagaimana perkembangan si kembar?” Prasetio menunjuk perut Emily dengan dagunya.

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Pelajaran

    “Jangan terlalu stres ya Ibu, jangan sampai tekanan darahnya naik lagi kalau bisa. Pokoknya harus terus bahagia kalau ibu hamil itu dan selalu hati-hati.” Dokter berpesan pada Emily dan Gallen sebelum esok harinya diperbolehkan pulang. “Baik Dok, akan kami ingat.” Gallen dan Emily menjawab serentak. Gallen siap mendorong Emily yang duduk di kursi roda, sedangkan mama Emily dan Giana berdiri di samping keduanya denga tarikan nafas lega. “Kok kamu tiba-tiba punya darah tinggi si, Sayang?” tanya Mama Emily membelai kepala putrinya. “Ini Ma pelakunya yang buat aku tekanan darah tinggi terus, marahin Ma.” Emily menunjuk Gallen dengan wajah sengaja ia lipat-lipat secara dramatis. “Kamu yang buat anak Mama darah tinggi? Hah? dasar nakal kamu ya.” Mama dengan tertawa memukul lengan Gallen berkali-kali. “Pukul Ma pukul yang kencang, jewer kalau perlu.” Emily mengompori dengan bertepu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status