***
Garden party.Begitulah tema pesta resepsi pernikahan Adara dan Danendra sore ini. Digelar di tempat yang sama dengan tempat akad nikah, acara nampak meriah oleh tamu-tamu terhormat.Menjalani serangkaian proses, siang tadi Adara dan Danendra resmi menikah. Direstui kedua pihak keluarga, acara berjalan dengan lancar dan khidmat.Menggantikan Rafly, Danendra menjalankan tugasnya dengan baik—membuat keluarga Adara bahagia. Namun, tentunya tidak dengan Adara sendiri, karena alih-alih hanyut dalam kebahagiaan, perempuan itu justru dilanda sedih.Tak sebentar, rasa sedih Adara awet hingga sekarang karena melihat semua yang ada di venue pernikahan, dirinya teringat pada Rafly yang entah bagaimana nasibnya.Ah, Rafly. Di tengah hingar bingar pesta resepsi, pikiran Adara justru berkelana memikirkan kekasihnya itu. Masih hidupkah dia? Selamatkah dia? Atau mungkin sekarang Rafly sudah di surga?Ah, Ya Tuhan. Rasanya semua ini berat bagi Adara. Membayangkan Rafly tak selamat membuat hatinya sakit. Namun, di sisi lain dia tak boleh menunjukan sakitnya karena jika Adara menangis, Danendra akan dilanda malu."Ini minumnya ... lho, Ra. Kamu nangis?"Danendra yang baru saja kembali setelah mengambil minum untuk Adara, tentu saja terkejut melihat istrinya berkaca-kaca sambil memandangi area dansa yang sudah tersedia.Punya impian sejak dulu ingin berdansa bersama Rafly setelah menikah, Adara memang sengaja menyiapkam semuanya di acara resepsi. Namun, sekarang ketika waktunya tiba, Rafly justru tak ada."Eh, Dan. Udah ambil minumnya?" tanya Adara yang langsung sigap menyeka sedikit air mata di pipinya."Kamu kenapa?" tanya Danendra. Duduk di salah satu kursi tamu, dia menatap Adara dengan seksama. "Mikirin Rafly?""Kok kamu tahu?" tanya Adara.Danendra tersenyum. "Siapa lagi yang kamu pikirin di saat kaya gini selain dia, Ra," ucapnya. "Seharusnya yang duduk di depan kamu itu kan, dia. Bukan aku.""Dan aku ...." Adara kini justru merasa tak enak dengan Danendra. Mendengar ucapan yang dilontarkan pria itu, entah kenapa dia merasa Danendra tersinggung. "Maaf aku enggak bermak-""Its okay," kata Danendra. "Kamu enggak perlu minta maaf. Kamu sama sekali enggak salah.""Tapi kan, Dan-""Jangan sedih," kata Danendra. "Nanti tamu nyangkanya kamu diapa-apain sama aku."Adara tersenyum. "Enggaklah, Dan. Mana mungkin," ucapnya. "Kebanyakan tamu yang datang sore ini itu temen aku dan mereka tahu kamu.""Kan kali aja ada yang enggak kenal aku, Ra," kata Danendra."Danendra Putra Alexander," ucap Adara—sengaja menyebut nama lengkap suaminya itu. "Semua tamu di sini atau bahkan orang asing pun akan tahu siapa kamu, Dan.""Kamu berlebihan.""Aku serius," kata Adara."Minumnya." Tak mau terlihat salah tingkah karena pujian Adara, Danendra langsung meraih gelas berisi minuman lalu memberikannya pada Adara. "Tadi kan kamu bilang haus.""Makasih," kata Adara."Sama-sama."Hampir dua jam berlangsung, pesta resepsi Adara dan Danendra sampai pada acara puncak dan yang paling ditunggu-tunggu yaitu dansa.Berlatarkan rumput hijau yang dikelilingi lilin elektrik juga kelopak bunga mawar putih, Danendra dan Asara berdiri berhadapan dan tentu saja para tamu siap menjadi saksi dansa romantis keduanya."Kalau canggung, pegangannya enggak usah rapat-rapat. Enggak apa-apa," kata Danendra sebelum dansa dimulai.Namun, entah kenapa Adara justru merasa ucapan Danendra memiliki arti sebaliknya. Dia merasa ucapan itu justru memiliki arti; pegangan saja yang erat karena kini Adara justru berpegangan erat pada pinggang Danendra."Ra."Adara hanya memandang Danendra tanpa banyak berucap, hingga sebuah lagu dari Bright Eyes yang berjudul firs day of my life, akhirnya mengalun di area pesta.Perlahan, Danendra dan Adara mulai berdansa dengan tenang mengikuti alunan lagu tersebut dan tentunya para tamu yang menyaksikan dansa romantis itu langsung mengeluarkan ponsel bahkan kamera untuk mengabadikan momen.Entahlah. Meskipun, mereka cukup tahu jika Danendra bukan pengantin pria sebenarnya, rasa suka tetap saja menyelimuti karena bagi para tamu—khususnya yang mengenal Danendra, pria itu bisa dibilang cukup sempurna untuk menjadi seorang suami.Kaya? Tentu saja. Besarnya perusahaan Alexander juga cabang yang ada di mana-mana membuat kekayaan keluarga Danendra tak bisa diragukan.Tampan? Danendra seperti dewa yunani. Berbeda dari kedua saudaranya yang memiliki manik abu dari sang papa, Danendra justru memiliki warna mata coklat hazel yang diwarisi dari sang Mama.Rahang yang tegas, alis tebal juga proporsi yang tinggi membuat Danendra terlihat begitu perfect. Dari segi sikap pun dia berbeda dari kedua saudaranya yang keras.Danendra bisa dibilang soft boy yang memiliki hati selembut sutra dan tentunya semua itu sudah terbukti—dilihat dari bagaimana cara dia menolong Adara—perempuan yang dicintainya menghadapi masalah."Dansanya romantisnya sudah, tinggal kissing scenenya yang belum!"Menyelesaikan kegiatan dansa, Danendra dan Adara langsung disambut intruksi sang pembawa acara yang disambut riuh para tamu.Kissing scene. Momen yang paling ditunggu-tunggu para tamu di setiap pernikahan karena memang semuanya lumrah dilakukan. Tak perlu berlebihan, pasangan pengantin biasanya hanya akan menempelkan bibir mereka masing-masing atau mungkin sedikit lebih intim—tergantung dari keberanian mereka."Itu perlu ya?" tanya Danendra.Adara menatap Danendra kikuk. Meskipun semuanya sudah diganti, nyatanya tak semua bisa terganti termasuk susunan acara resepsi yang sudah diberikan pada sang pembawa acara beberapa hari sebelum pernikahan.Adara dan Ralfy yang berencana menikah atas dasar sama-sama cinta memang sengaja menyelipkan kissing scene setelah dansa selesai tanpa tahu jika saat pesta tiba, Danendralah yang berdiri di depan Adara untuk melakukan semuanya."Kalau kamu enggak keberata-""Harusnya aku yang nanya itu," kata Danendra. "Kamu pasti udah bayangin momen indah sama Rafly. Kalau kamu keberatan lakuin sama aku, kamu bisa bilang sama pembawa acaranya untuk lewatin momen ini.""Dan.""Jangan merasa terbebani dengan perasaan aku ke kamu, Ra," ucap Danendra yang memang sempat mengungkap perasaannya pada Adara, sebelum menikah."Enggak usah dilewatin," kata Adara yang akhirnya berusaha memantapkan hati. "Kamu suami aku sekarang, dan kita boleh melakukan semua itu.""Tapi Ra-""Its okay, Dan."Mengikuti intruksi, Danendra mulai menangkup wajah Adara dengan kedua telapak tangannya, sementara Adara yang memiliki tinggi badan lebih pendek—harap-harap cemas menunggu bibir Danendra mendarat di bibirnya."Kamu tega khianatin aku, Ra? Kamu jahat!"Entah darimana asalnya, Adara tiba-tiba saja dibuat terkejut ketika suara Rafly terdengar jelas di telinganya—membuat dia yang hampir saja berciuman dengan Danendra, langsung mendorong dada suaminya itu dengan telapak tangan ketika bibir Danendra bahkan hampir saja menyentuh bibirnya."Ra."Danendra yang mundur selangkah karena keterkejutannya langsung memandang Adara penuh tanya, begitupun para tamu yang terkejut karena memang dorongan Adara pada Danendra tak pelan."Rafly, Dan. Aku dengar suara Rafly barusan," kata Adara."Rafly? Di mana, Ra?""Enggak tahu, Dan, tapi aku dengar suaranya barusan," kata Adara. Dia kemudian mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok Rafly setelah telinganya dengan jelas mendengar suara pria itu. "Rafly. Kamu di mana, Raf?""Enggak ada Rafly di sini, Ra," kata Danendra yang langsung mendekati Adara lagi lalu mendaratkan kedua tangannya di bahu Adara."Ada, Dan! Barusan aku dengar suaranya," kata Adara. "Kamu tunggu sebentar di sini ya, aku pastiin dulu."Adara berniat melangkahkan kaki keluar dari area dansa. Namun, kakinya terhenti ketika Danendra meraih tangannya."Kamu mau ke mana, Ra?""Sebentar, Dan. Aku harus pastiin dulu," kata Adara."Enggak ada Rafly di sini, Adara," ujar Danendra."Suaranya ada, Danendra!" kata Adara dengan suara yang sedikit meninggi lalu setelah itu dia melepaskan paksa tangan Danendra dari lengannya. "Kamu tunggu di sini, aku mau pastiin dulu."Tanpa menghiraukan Danendra maupun para tamu yang menatapnya heran, Adara langsung berjalan dengan tergesa-gesa menuju pintu masuk tempat pesta resepsinya digelar, sementara Danendra masih berdiri di tempatnya tak tahu harus berbuat apa.Hingga suara seorang perempuan membuatnya menoleh."Belum apa-apa dia udah berani gituin kamu, Dan. Apa kabar nanti?""Memalukan!"Adara hanya menunduk tanpa berani menatap sang papa yang terlihat cukup marah padanya.Pesta resepsi selesai, Ginanjar yang malu dengan kelakuan Adara—meninggalkan Danendra tadi begitu saja, tentunya langsung menarik tangan sang putri lalu membawanya ke kamar untuk dia tegur.Ginanjar Lazuardi—pengusaha yang memiliki ambisi tinggi itu memang cukup menjunjung tinggi nama baik keluarganya. Siapapun itu—sekalipun itu Adara, jika berani mencoreng nama baik keluarganya, Ginanjar akan memberikan teguran."Maaf, Pa. Adara cuman refleks tadi," kata Adara. "Adara tiba-tiba aja denger suara Rafly, Pa.""Pembodohan," celetuk Ginanzar. "Kamu pikir Papa akan percaya dengan cerita halusinasi kamu, hm? Rafly sudah mati, Adara. Lupakan dia. Suami kamu sekarang, Danendra.""Pa." Adara mendongak—menatap sang papa tak terima ketika kata 'mati' terlontar begitu saja. Padahal, sampai detik ini Adara masih berharap Rafly masih hidup. Meskipun kemungkinannya kecil. "Rafly belum tentu meninggal!
***"Dan, ini baju aku simpan di mana?""Di lemari yang putih aja, Ra. Kosong kok itu.""Oke."Hari ini—satu hari setelah hari pernikahan mereka, Danendra dan Adara langsung pindah ke apartemen milik Danendra.Tak terlalu membawa banyak baju, keduanya hanya menggerek dua koper menuju apartemen yang terbilang cukup mewah tersebut.Seorang Danendra Putra Alexander memang tak bisa diragukan lagi. Di usianya yang baru saja menginjak dua puluh delapan tahun, karirnya sudah bersinar.Disokong sang Papa yang menjadi salah satu pimpinan di perusahaan besar Alexander grup, tak sulit rasanya bagi Danendra membangun karir."Capek juga."Selesai membereskan semua bajunya di lemari, Adara duduk di ujung kasur dengan kedua tangannya yang bertumpu ke belakang."Capek?" tanya Danendra."Lumayan," jawab Adara.Danendra tersenyum lalu ikut duduk di samping Adara. "Habis ini kita makan," ucapnya."Makan apa?""Makan hati?" tanya Danendra yang membuat Adara memandangnya. "Aku bercanda."Adar tersenyum. U
***"Lagi ngerjain apa, Dan?"Baru keluar dari kamar mandi, Adara langsung melayangkan pertanyaan tersebut ketika melihat Danendra duduk di depan laptop yang disimpan di meja kerjanya.Memiliki ukuran yang cukup luas, kamar tersebut memang diisi beberapa furniture. Selain sofa, di kamar Danendra juga terdapat meja kerja, meja rias juga lainnya."Laporan keuangan," jawab Danendra. Dia kemudian menoleh—memandang Adara yang masih memakai bathrobes berwarna putih juga handuk yang melilit rambut basahnya. "Udah selesai mandinya?""Udah," jawab Adara. "Kenapa?""Mau ajak kamu makan," kata Danendra. "Aku udah pesen makanannya tadi. Udah datang juga.""Oh oke, aku pake baju dulu," kata Adara. Setelah itu dia berjalan menuju lemari lalu mengeluarkan setelan piyama satin berwarna merah muda dari sana. "Dan.""Ya?""Aku males ke kamar mandi," ucap Adara. "Kamu bisa keluar dulu, enggak? Aku mau pake baju.""Oh oke," kata Danendra. Tak banyak bicara, dia langsung meng-shut down laptopnya lalu meny
***"Dan, bangun. Udah pagi. Kamu mau ikut ke Majalengka, kan?"Adara yang sudah rapi dengan pakaiannya lantas duduk di pinggir kasur sebelah kanan untuk membangunkan Danendra yang masih tertidur pulas.Tak ada respon, Adara yabg semula duduk di kasur kini berpindah tepat. Dia berjongkok di depan wajah Danendra dan sial, jantungnya seolah berhenti berdetak ketika dia melihat wajah polos sang suami ketika tidur.Menggemaskan seperti bayi. Entah kenapa tiga kata itu langsung terbersit di pikiran Adara ketika pupil matanya tak kunjung beralih dari Danendra."Enggak, Ra. Kamu enggak boleh cinta sama Danendra," gumam Adara—segera menyadarkan dirinya dari lamunan. "Ada Rafly. Dia udah kembali, Ra. Sadar."Adara menarik napas pelan lalu fokus pada tujuan awalnya berjongkok di depan Danendra. Pelan, dia mengulurkan tangan lalu menepuk bahu pria itu. "Danendra bangun, Dan. Udah jam tujuh," kata Adara lagi dan kali ini Danendra merespon.Membuka matanya perlahan, Danendra mengerjap ketika persi
***"Siapa, Ra?"Danendra langsung keluar dari kamar sesaat setelah dirinya memakai kaos hitam polos juga celana pendek. Mengerutkan kening, dia memandang Adara yang masih berdiri di dekat pintu."Lho, enggak dibuka?""Degdegan," kata Adara apa adanya.Penasaran, Danendra berjalan mendekati Adara lalu memandang intercom di samping pintu. Teresa. Di luar sana sang mama berdiri sambil menenteng kotak makan susun di tangannya."Mama," gumam Danendra. Dari intercom, dia memandang Adara. "Mama aku lho, Ra. Kenapa enggak dibukain?""Kamu aja," kata Adara. "Aku takut.""Takut kenapa? Mama aku enggak makan orang kok," tanya Danendra.Adara hanya tersenyum meringis tanpa menjawab ucapan Danendra, sementara jantungnya berdegup dua kali lebih kencang.Sikap Teresa yang masih terlihat sinis padanya memang membuat Adara segan. Dia tahu mertuanya itu tak suka padanya karena sudah mengganggu hubungan Danendra dan Felicya.Dan sekarang—jika bisa, ingin sekali rasanya Adara minggat saja ke kamar agar
***"Dan.""Hm."Danendra yang sejak beberapa menit lalu berdiri di depan cermin—merapikan penampilan lantas bergumam pelan ketika namanya kembali dipanggil Adara yang saat ini duduk di pinggir kasur."Sekali lagi maaf ya," ucap Adara penuh sesal. Entah sudah berapa kali dia meminta maaf—sejak kejadian Teresa tadi, hatinya tetap merasa tak enak karena secara tak langsung dialah penyebab dari perselisihan ibu dan anak itu.Danendra menghela napas. Dia yang sudah tampan dengan kemeja abunya berbalik badan lalu bersandar pada meja rias di sana."Kenapa minta maaf terus? Kamu enggak salah," ucap Danendra.Tahu Danendra tak lagi membelakanginya, Adara menoleh lalu memandang sang suami. "Secara enggak langsung aku salah, Dan," ucapnya. "Semua ini kan bermula dari aku. Kalau aku enggak minta tolong kamu buat nika-""Sssst." Danendra beranjak. Dia berjalan menghampiri Adara lalu berjongkok di depan perempuan itu dan setelahnya, sebuah tatapan teduh diberikan Danendra untuk sang istri. "Semua
***"Ini rumahnya?""Iya, ini rumahnya."Setelah terhambat macet, Adara dan Danendra akhirnya sampai di Majalengka setelah tiga jam menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.Berada di perkampungan, suasana asri masih terasa ketika mobil Danendra berhenti persis di depan sebuah rumah sederhana yang memiliki pagar besi pendek.Kata Adara itu rumah sepupu Rafly yang semalam menghubunginya. Delapan tahun berpacaran, Adara memang sudah cukup akrab dengan saudara Rafly bahkan dia pun beberapa kali berkunjung.""Ya udah."Berjalan lebih dulu diikuti Danendra yang mengikutinya dari belakang, Adara sampai di depan pintu."Degdegan," ucap Adara sambil menghela napas pelan ketika tangannya perlahan terulur—berniat mengetuk pintu."Gak sabar ketemu Rafly ya?" tanya Danendra.Adara menoleh lalu tersenyum. "Iya," jawabnya. "Aku udah enggak sabar pengen ketemu dia.""Semoga Rafly baik-baik aja," ucap Danendra."Aamiin," ucap Adara. Kembali memandang pintu bercat putih di depannya, Adara memantapkan
***"Rafly."Perlahan manik mata itu terbuka setelah hampir satu jam tertutup. Adara mengerjap kemudian mengedarkan pandangannya hingga tak lama kedua matanya tertuju pada seorang pria yang tengah duduk di sampingnya sambil meletakkan kepala di samping tangan Adara."Danendra." Adara berucap pelan—membuat Danendra yang sempat terlelap seketika terbangun lalu ikut mengerjap."Ra, kamu bangun juga," kata Danendra."Aku di mana?" tanya Adara. Kesadarannya belum terkumpul, dia tak mengingat apa yang sudah terjadi padanya satu jam lalu. "Aku kenapa?""Kamu pingsan tadi," ucap Danendra."Pingsan?" Adara beringsut kemudian duduk di kasur queen size milik Muthia yang sejak tadi di tiduri. "Aku pingsan kena .... "Adara terdiam ketika otaknya perlahan mulai bekerja—mengingat kembali kejadian apa saja yang dia alami seharian ini. Sarapan bersama Teresa, perjalanan menuju Majalengka, Sesampainya di rumah Wulan, hingga yang paling baru adalah ketika dirinya tiba-tiba saja lemas setelah melihat na