Share

4). Permintaan Maaf

"Memalukan!"

Adara hanya menunduk tanpa berani menatap sang papa yang terlihat cukup marah padanya.

Pesta resepsi selesai, Ginanjar yang malu dengan kelakuan Adara—meninggalkan Danendra tadi begitu saja, tentunya langsung menarik tangan sang putri lalu membawanya ke kamar untuk dia tegur.

Ginanjar Lazuardi—pengusaha yang memiliki ambisi tinggi itu memang cukup menjunjung tinggi nama baik keluarganya. Siapapun itu—sekalipun itu Adara, jika berani mencoreng nama baik keluarganya, Ginanjar akan memberikan teguran.

"Maaf, Pa. Adara cuman refleks tadi," kata Adara. "Adara tiba-tiba aja denger suara Rafly, Pa."

"Pembodohan," celetuk Ginanzar. "Kamu pikir Papa akan percaya dengan cerita halusinasi kamu, hm? Rafly sudah mati, Adara. Lupakan dia. Suami kamu sekarang, Danendra."

"Pa." Adara mendongak—menatap sang papa tak terima ketika kata 'mati' terlontar begitu saja. Padahal, sampai detik ini Adara masih berharap Rafly masih hidup. Meskipun kemungkinannya kecil. "Rafly belum tentu meninggal! Papa kenapa sih selalu gitu sama Rafly? Papa sendiri kan yang beri restu buat Dara sama Rafly nikah. Kenapa jadi kaya gini?"

"Kamu tahu sendiri kalau restu Papa buat kamu sama Rafly itu terpaksa," kata Ginanjar. "Kalau Mama kamu enggak ngemis, Papa enggak akan kasih restu itu."

"Pa." Adara mendesah.

Selama ini Ginanjar memang tak begitu menyukai Rafly karena memang dari segi status pun, Rafly bukan berasal dari keluarga terpandang seperti dirinya.

Pria itu hanya remaja beruntung yang mendapatkan beasiswa kuliah di Jakarta lalu bekerja di perusahaan Ginanjar dengan bantuan Adara.

Meskipun, Rafly terbilang cukup bagus dalam perkejaan, tetap saja Ginanjar tak terlalu setuju dengan hubungannya dan Adara.

"Sudahlah, Dara. Jangan bahas itu lagi," kata Ginanjar. "Yang perlu kamu urus itu Danendra, suami kamu. Hormat sama dia dan jaga dia baik-baik. Kamu tahu sendiri bagaimana keluarga Alexander. Jangan main-main sama mereka."

"Rafly masih hidup, Pa."

"Terserah kamu!" ujar Ginanjar dengan nada bicara yang tinggi. "Sana keluar dan jangan ulangi kesalahan kamu. Sekali lagi Papa dengar kamu berperilaku tak baik pada Danendra, Papa hukum kamu."

Masih memakai gaun pengantinnya, Adara beranjak dari kasur dengan perasaan yang tentu saja marah. Melangkah menuju pintu, dia membuka lalu menutupnya dengan kasar.

Hingga suara seorang pria membuatnya hampir terlonjak.

"Udah ngobrolnya?"

"Da-Danendra?" Adara sedikit tergagap ketika mendapati Danendra duduk bersandar pada tembok sambil memeluk kedua tangannya di dada. "Kamu kok di sini? Bukannya tadi bilang mau antar keluarga kamu pulang?"

Danendra berdiri dengan tegap lalu mengukir senyumnya. "Iya antar mereka pulang sampai ke lobi hotel maksudnya," kata Danendra.

"A-aku pikir anterin sampai rumah," kata Adara.

"Enggak, merea bawa mobil sendiri," jawab Danendra. "Ngobrolnya udah, kan? Bisa ke kamar sekarang? Aku capek."

"Boleh."

Setelah itu, tanpa berpegangan tangan keduanya melangkah pergi meninggalkan kamar Ginanjar menunu kamar mereka.

Untuk malam ini Danendra dan Adara memang akan menginap di hotel sebelum besok pindahan, karena setelah menikah Adara akan tinggal di apartemen Danendra.

Sebenarnya Teresa sempat tak menyetujui opsi itu dan meminta Adara untuk tinggal di kediaman Alexander. Namun, tentu saja tawaran tersebut ditolak Danendra yang cukup tahu jika hubungan sang mama dan Adara belum terlalu baik.

Di beberapa momen, Danendra bisa melihat tatapan Teresa pada Adara tak bersahabat. Tidak mau ambil resiko, pada akhirnya keputusan itu diambil Danendra karena kebetulan beberapa bulan lalu Danendra baru saja membeli unit apartemen di kawasan ternama di Jakarta.

"Sampai," kata Danendra setelah memasukkan kartu untuk membuka pintu kamar. Mempersilahkan Adara masuk lebih dulu, Danendra masuk ke kamar setelah Adara kini duduk di pinggir kasur.

"Dan."

"Ya?"

"Untuk kejadian tadi, aku minta maaf," ucap Adara. "Aku benar-benar dengar suara Rafly tadi."

"Its okay," kata Danendra. Berjalan ke sudut kamar, dia mulai melepaskan tuxedonya. "Mungkin itu tanda kalau Rafly enggak mau bibir kamu dinodai sama pria lain."

"Dan." Adara jelas tak enak. Meskipun ucapan Adara itu terdengar biasa saja, entah kenapa dia selalu merasa jika semua itu hanya 'sarkas' belaka. "Aku-"

"Kenapa, Ra?" tanya Danendra setelah kini dirinya hanya memakai celana pendek juga kaos hitam polos. "Kamu takut aku tersinggung? Tenang aja, enggak kok. Ketika aku memutuskan untuk membantu kamu—menggantikan Rafly, aku udah tahu resiko apa yang akan aku hadapi termasuk kejadian tadi."

"Aku enggak enak sama kamu, Dan," ucap Adara. "Kamu sama keluarga kamu pasti ngerasa enggak nyaman sama kelakuan aku tadi yang maen pergi gitu aja."

"Not a big problem, enggak usah ngerasa bersalah kaya gitu," ucap Danendra. "Sekarang lebih baik kamu buka bajunya. Enggak ada niatan tidur pake gaun, kan?"

Adara tersenyum. "Enggak," jawabnya.

"Ya udah buka bajunya, habis itu mandi," kata Danendra. "Aku juga mau mandi."

Danendra melangkah menuju kamar mandi. Namun, sebelum kakinya melangkah masuk, Adara kembali memanggilnya—membuat Danendra menoleh.

"Dan."

"Ya?"

"Aku lupa kalau gaunku resletingnya di belakang," kata Adara. "Bisa bantu?"

"Bukain resletingnya?" tanya Danendra.

"Iya," jawab Adara.

"Boleh."

Menyimpan handuknya di meja, Danendra kembali menghampiri Adara yang kini sudah berdiri memunggunginya.

Perlahan, Danendra menarik resleting itu ke bawah—membuat punggung Adara yang hanya dibalut tanktop terlihat di depannya.

Mulus. Meskipun sibuk dengan urusan kantor, nyatanya Adara tak pernah absen untuk merawat tubuhnya ke spa.

"Udah, Ra," kata Danendra—berusaha untuk menyadarkan dirinya dari kekaguman akan indahnya tubuh bagian belakang istrinya.

Entahlah. Meskipun, status Adara itu halal baginya baik secara hukum maupun agama, Danendra tak berani melakukan apa-apa karena dia merasa tak berhak.

Danendra memang memiliki fisik Adara, tapi hati gadis itu masih dimiliki Rafly.

"Makasih, Dan," kata Adara. Dia kemudian berbalik badan lalu memandangi Danendra yang masih berdiri di tempatnya. "Kamu bisa ke kamar mandi sekarang. Tadi katanya mau mandi, kan?"

"Ah iya, aku mau mandi." Suasana mendadak canggung, Danendra menggaruk tengkuknya yang tak gatal lalu membalikkan badannya—berjalan kembali menuju kamar mandi. Namun, lagi-lagi Adara memanggilnya.

"Danendra."

Danendra kembali menoleh. "Kenapa, Ra?" tanyanya.

"Untuk itu ... kamu ...." Adara menjeda ucapannya ketika rasa ragu tiba-tiba saja melanda. Padahal, barusan dia sudah memantapkan hati untuk bicara pada Danendra.

"Itu apa? Kamu apa?" tanya Danendra.

"A-aku ... anu itu ... euh." Adara pusing sendiri rasanya untuk menjelaskan semua pada Danendra.

"Kamu ngomong apa sih, Ra?" tanya Danendra sambil terkekeh. "Gelagapan gitu udah kaya ngomong sama presiden aja."

"Itu Dan, anu."

"Iya anu apa?" tanya Danendra.

"Kamu ...." Adara memandang lekat Danendra. "Enggak akan minta sekarang, kan?"

"Minta?" Danendra menautkan kedua alisnya. "Minta apa? Makan? Enggak, aku enggak minta makan kok. Masih kenyang soalnya."

"Bukan makan, Danendra, tapi itu."

"Itu apa, Ra? Kamu kalau ngomong suka enggak jelas, aku enggak paham," ungkap Danendra.

"Aish." Adara frustasi sendiri akhirnya. "Gini aja deh, aku cuman mau bilang sama kamu kalau aku lagi halangan. Jadi, kamu jangan minta dulu."

"Halangan ... minta ...." Danendra bergumam pelan—mencerna ucapan Adara hingga selang beberapa detik dia paham apa maksud dari istrinya itu. "Oh maksud kamu itu?"

"Kamu paham?"

"Iya," jawab Danendra. "Tenang aja. Aku enggak akan minta kok, bahkan nanti pun mungkin aku enggak akan berani minta."

"Kenapa?"

Danendra tersenyum. "Karena aku cuman milikkin kamu setengahnya, Ra."

"Maksudnya?" tanya Adara tak paham.

"Jawab jujur," kata Danendra. "Sampai detik ini kamu masih berharap banyak Rafly kembali dan dia baik-baik aja, kan?

"Dan."

"Kapanpun kamu mau, aku siap," kata Danendra. "Yang terpenting keluarga kamu enggak jadi malu."

"Dan aku-"

"Aku mandi dulu ya." Danendra kali ini benar-benar masuk ke kamar mandi—meninggalkan Adara yang masih berdiri di tempatnya.

"Aku memang berharap Rafly baik-baik aja, Dan, tapi setelah pernikahan ini sepertinya akan sulit buat kita pisah."

"Papa aku lebih suka kamu dibanding Rafly, Danendra."

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Chacha Unyil
papa Ginanjar matre emang
goodnovel comment avatar
Chacha Unyil
sabar nya Danendra
goodnovel comment avatar
Hamid Ahmad
kamu akan sendirinya cinta ma danen dia itu baik pengertian sopan lembut peka ah pokoknya lengkap suami idamanlah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status