***"Dan, ini baju aku simpan di mana?""Di lemari yang putih aja, Ra. Kosong kok itu.""Oke."Hari ini—satu hari setelah hari pernikahan mereka, Danendra dan Adara langsung pindah ke apartemen milik Danendra.Tak terlalu membawa banyak baju, keduanya hanya menggerek dua koper menuju apartemen yang terbilang cukup mewah tersebut.Seorang Danendra Putra Alexander memang tak bisa diragukan lagi. Di usianya yang baru saja menginjak dua puluh delapan tahun, karirnya sudah bersinar.Disokong sang Papa yang menjadi salah satu pimpinan di perusahaan besar Alexander grup, tak sulit rasanya bagi Danendra membangun karir."Capek juga."Selesai membereskan semua bajunya di lemari, Adara duduk di ujung kasur dengan kedua tangannya yang bertumpu ke belakang."Capek?" tanya Danendra."Lumayan," jawab Adara.Danendra tersenyum lalu ikut duduk di samping Adara. "Habis ini kita makan," ucapnya."Makan apa?""Makan hati?" tanya Danendra yang membuat Adara memandangnya. "Aku bercanda."Adar tersenyum. U
***"Lagi ngerjain apa, Dan?"Baru keluar dari kamar mandi, Adara langsung melayangkan pertanyaan tersebut ketika melihat Danendra duduk di depan laptop yang disimpan di meja kerjanya.Memiliki ukuran yang cukup luas, kamar tersebut memang diisi beberapa furniture. Selain sofa, di kamar Danendra juga terdapat meja kerja, meja rias juga lainnya."Laporan keuangan," jawab Danendra. Dia kemudian menoleh—memandang Adara yang masih memakai bathrobes berwarna putih juga handuk yang melilit rambut basahnya. "Udah selesai mandinya?""Udah," jawab Adara. "Kenapa?""Mau ajak kamu makan," kata Danendra. "Aku udah pesen makanannya tadi. Udah datang juga.""Oh oke, aku pake baju dulu," kata Adara. Setelah itu dia berjalan menuju lemari lalu mengeluarkan setelan piyama satin berwarna merah muda dari sana. "Dan.""Ya?""Aku males ke kamar mandi," ucap Adara. "Kamu bisa keluar dulu, enggak? Aku mau pake baju.""Oh oke," kata Danendra. Tak banyak bicara, dia langsung meng-shut down laptopnya lalu meny
***"Dan, bangun. Udah pagi. Kamu mau ikut ke Majalengka, kan?"Adara yang sudah rapi dengan pakaiannya lantas duduk di pinggir kasur sebelah kanan untuk membangunkan Danendra yang masih tertidur pulas.Tak ada respon, Adara yabg semula duduk di kasur kini berpindah tepat. Dia berjongkok di depan wajah Danendra dan sial, jantungnya seolah berhenti berdetak ketika dia melihat wajah polos sang suami ketika tidur.Menggemaskan seperti bayi. Entah kenapa tiga kata itu langsung terbersit di pikiran Adara ketika pupil matanya tak kunjung beralih dari Danendra."Enggak, Ra. Kamu enggak boleh cinta sama Danendra," gumam Adara—segera menyadarkan dirinya dari lamunan. "Ada Rafly. Dia udah kembali, Ra. Sadar."Adara menarik napas pelan lalu fokus pada tujuan awalnya berjongkok di depan Danendra. Pelan, dia mengulurkan tangan lalu menepuk bahu pria itu. "Danendra bangun, Dan. Udah jam tujuh," kata Adara lagi dan kali ini Danendra merespon.Membuka matanya perlahan, Danendra mengerjap ketika persi
***"Siapa, Ra?"Danendra langsung keluar dari kamar sesaat setelah dirinya memakai kaos hitam polos juga celana pendek. Mengerutkan kening, dia memandang Adara yang masih berdiri di dekat pintu."Lho, enggak dibuka?""Degdegan," kata Adara apa adanya.Penasaran, Danendra berjalan mendekati Adara lalu memandang intercom di samping pintu. Teresa. Di luar sana sang mama berdiri sambil menenteng kotak makan susun di tangannya."Mama," gumam Danendra. Dari intercom, dia memandang Adara. "Mama aku lho, Ra. Kenapa enggak dibukain?""Kamu aja," kata Adara. "Aku takut.""Takut kenapa? Mama aku enggak makan orang kok," tanya Danendra.Adara hanya tersenyum meringis tanpa menjawab ucapan Danendra, sementara jantungnya berdegup dua kali lebih kencang.Sikap Teresa yang masih terlihat sinis padanya memang membuat Adara segan. Dia tahu mertuanya itu tak suka padanya karena sudah mengganggu hubungan Danendra dan Felicya.Dan sekarang—jika bisa, ingin sekali rasanya Adara minggat saja ke kamar agar
***"Dan.""Hm."Danendra yang sejak beberapa menit lalu berdiri di depan cermin—merapikan penampilan lantas bergumam pelan ketika namanya kembali dipanggil Adara yang saat ini duduk di pinggir kasur."Sekali lagi maaf ya," ucap Adara penuh sesal. Entah sudah berapa kali dia meminta maaf—sejak kejadian Teresa tadi, hatinya tetap merasa tak enak karena secara tak langsung dialah penyebab dari perselisihan ibu dan anak itu.Danendra menghela napas. Dia yang sudah tampan dengan kemeja abunya berbalik badan lalu bersandar pada meja rias di sana."Kenapa minta maaf terus? Kamu enggak salah," ucap Danendra.Tahu Danendra tak lagi membelakanginya, Adara menoleh lalu memandang sang suami. "Secara enggak langsung aku salah, Dan," ucapnya. "Semua ini kan bermula dari aku. Kalau aku enggak minta tolong kamu buat nika-""Sssst." Danendra beranjak. Dia berjalan menghampiri Adara lalu berjongkok di depan perempuan itu dan setelahnya, sebuah tatapan teduh diberikan Danendra untuk sang istri. "Semua
***"Ini rumahnya?""Iya, ini rumahnya."Setelah terhambat macet, Adara dan Danendra akhirnya sampai di Majalengka setelah tiga jam menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.Berada di perkampungan, suasana asri masih terasa ketika mobil Danendra berhenti persis di depan sebuah rumah sederhana yang memiliki pagar besi pendek.Kata Adara itu rumah sepupu Rafly yang semalam menghubunginya. Delapan tahun berpacaran, Adara memang sudah cukup akrab dengan saudara Rafly bahkan dia pun beberapa kali berkunjung.""Ya udah."Berjalan lebih dulu diikuti Danendra yang mengikutinya dari belakang, Adara sampai di depan pintu."Degdegan," ucap Adara sambil menghela napas pelan ketika tangannya perlahan terulur—berniat mengetuk pintu."Gak sabar ketemu Rafly ya?" tanya Danendra.Adara menoleh lalu tersenyum. "Iya," jawabnya. "Aku udah enggak sabar pengen ketemu dia.""Semoga Rafly baik-baik aja," ucap Danendra."Aamiin," ucap Adara. Kembali memandang pintu bercat putih di depannya, Adara memantapkan
***"Rafly."Perlahan manik mata itu terbuka setelah hampir satu jam tertutup. Adara mengerjap kemudian mengedarkan pandangannya hingga tak lama kedua matanya tertuju pada seorang pria yang tengah duduk di sampingnya sambil meletakkan kepala di samping tangan Adara."Danendra." Adara berucap pelan—membuat Danendra yang sempat terlelap seketika terbangun lalu ikut mengerjap."Ra, kamu bangun juga," kata Danendra."Aku di mana?" tanya Adara. Kesadarannya belum terkumpul, dia tak mengingat apa yang sudah terjadi padanya satu jam lalu. "Aku kenapa?""Kamu pingsan tadi," ucap Danendra."Pingsan?" Adara beringsut kemudian duduk di kasur queen size milik Muthia yang sejak tadi di tiduri. "Aku pingsan kena .... "Adara terdiam ketika otaknya perlahan mulai bekerja—mengingat kembali kejadian apa saja yang dia alami seharian ini. Sarapan bersama Teresa, perjalanan menuju Majalengka, Sesampainya di rumah Wulan, hingga yang paling baru adalah ketika dirinya tiba-tiba saja lemas setelah melihat na
***"Nyaman?""Udah, Dan. Nyaman."Setelah maghrib, Adara juga Danendra memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Hampir satu jam lebih berdiam dan bermonolog di samping pusara Rafly, hati dan pikiran Adara akhirnya mulai tenang.Terlebih lagi ada Danendra yang setia menghiburnya sejak tadi, bahkan Danendra pun berjanji akan selalu ada di samping Adara sebagai pengganti Rafly.Pengganti. Entah kenapa satu kata itu seolah melekat pada diri Danendra sekarang karena mungkin memang itulah dirinya. Ditakdirkan untuk menjadi pengganti Rafly di kehidupan Adara dan tentu saja meskipun pesimis, Danendra berharap perlahan statusnya bukan lagi pengganti, tapi yang utama di hati Adara."Ya udah kalau gitu," kata Danendra. Menutup pintu bagian kiri, dia kemudian mengitari porsche hitamnya lalu duduk di kursi kemudi.Berpamitan pada Wulan juga Muthia, pukul setengah tujuh malam, Danendra juga Adara benar-benar pergi meninggalkan kampung halaman Rafly menuju Jakarta.Sebenarnya Adara ingin sekali mengin