Share

4). Permintaan Maaf

Aвтор: Cacavip
last update Последнее обновление: 2024-01-30 12:14:39

"Memalukan!"

Adara hanya menunduk tanpa berani menatap sang papa yang terlihat cukup marah padanya.

Pesta resepsi selesai, Ginanjar yang malu dengan kelakuan Adara—meninggalkan Danendra tadi begitu saja, tentunya langsung menarik tangan sang putri lalu membawanya ke kamar untuk dia tegur.

Ginanjar Lazuardi—pengusaha yang memiliki ambisi tinggi itu memang cukup menjunjung tinggi nama baik keluarganya. Siapapun itu—sekalipun itu Adara, jika berani mencoreng nama baik keluarganya, Ginanjar akan memberikan teguran.

"Maaf, Pa. Adara cuman refleks tadi," kata Adara. "Adara tiba-tiba aja denger suara Rafly, Pa."

"Pembodohan," celetuk Ginanzar. "Kamu pikir Papa akan percaya dengan cerita halusinasi kamu, hm? Rafly sudah mati, Adara. Lupakan dia. Suami kamu sekarang, Danendra."

"Pa." Adara mendongak—menatap sang papa tak terima ketika kata 'mati' terlontar begitu saja. Padahal, sampai detik ini Adara masih berharap Rafly masih hidup. Meskipun kemungkinannya kecil. "Rafly belum tentu meninggal! Papa kenapa sih selalu gitu sama Rafly? Papa sendiri kan yang beri restu buat Dara sama Rafly nikah. Kenapa jadi kaya gini?"

"Kamu tahu sendiri kalau restu Papa buat kamu sama Rafly itu terpaksa," kata Ginanjar. "Kalau Mama kamu enggak ngemis, Papa enggak akan kasih restu itu."

"Pa." Adara mendesah.

Selama ini Ginanjar memang tak begitu menyukai Rafly karena memang dari segi status pun, Rafly bukan berasal dari keluarga terpandang seperti dirinya.

Pria itu hanya remaja beruntung yang mendapatkan beasiswa kuliah di Jakarta lalu bekerja di perusahaan Ginanjar dengan bantuan Adara.

Meskipun, Rafly terbilang cukup bagus dalam perkejaan, tetap saja Ginanjar tak terlalu setuju dengan hubungannya dan Adara.

"Sudahlah, Dara. Jangan bahas itu lagi," kata Ginanjar. "Yang perlu kamu urus itu Danendra, suami kamu. Hormat sama dia dan jaga dia baik-baik. Kamu tahu sendiri bagaimana keluarga Alexander. Jangan main-main sama mereka."

"Rafly masih hidup, Pa."

"Terserah kamu!" ujar Ginanjar dengan nada bicara yang tinggi. "Sana keluar dan jangan ulangi kesalahan kamu. Sekali lagi Papa dengar kamu berperilaku tak baik pada Danendra, Papa hukum kamu."

Masih memakai gaun pengantinnya, Adara beranjak dari kasur dengan perasaan yang tentu saja marah. Melangkah menuju pintu, dia membuka lalu menutupnya dengan kasar.

Hingga suara seorang pria membuatnya hampir terlonjak.

"Udah ngobrolnya?"

"Da-Danendra?" Adara sedikit tergagap ketika mendapati Danendra duduk bersandar pada tembok sambil memeluk kedua tangannya di dada. "Kamu kok di sini? Bukannya tadi bilang mau antar keluarga kamu pulang?"

Danendra berdiri dengan tegap lalu mengukir senyumnya. "Iya antar mereka pulang sampai ke lobi hotel maksudnya," kata Danendra.

"A-aku pikir anterin sampai rumah," kata Adara.

"Enggak, merea bawa mobil sendiri," jawab Danendra. "Ngobrolnya udah, kan? Bisa ke kamar sekarang? Aku capek."

"Boleh."

Setelah itu, tanpa berpegangan tangan keduanya melangkah pergi meninggalkan kamar Ginanjar menunu kamar mereka.

Untuk malam ini Danendra dan Adara memang akan menginap di hotel sebelum besok pindahan, karena setelah menikah Adara akan tinggal di apartemen Danendra.

Sebenarnya Teresa sempat tak menyetujui opsi itu dan meminta Adara untuk tinggal di kediaman Alexander. Namun, tentu saja tawaran tersebut ditolak Danendra yang cukup tahu jika hubungan sang mama dan Adara belum terlalu baik.

Di beberapa momen, Danendra bisa melihat tatapan Teresa pada Adara tak bersahabat. Tidak mau ambil resiko, pada akhirnya keputusan itu diambil Danendra karena kebetulan beberapa bulan lalu Danendra baru saja membeli unit apartemen di kawasan ternama di Jakarta.

"Sampai," kata Danendra setelah memasukkan kartu untuk membuka pintu kamar. Mempersilahkan Adara masuk lebih dulu, Danendra masuk ke kamar setelah Adara kini duduk di pinggir kasur.

"Dan."

"Ya?"

"Untuk kejadian tadi, aku minta maaf," ucap Adara. "Aku benar-benar dengar suara Rafly tadi."

"Its okay," kata Danendra. Berjalan ke sudut kamar, dia mulai melepaskan tuxedonya. "Mungkin itu tanda kalau Rafly enggak mau bibir kamu dinodai sama pria lain."

"Dan." Adara jelas tak enak. Meskipun ucapan Adara itu terdengar biasa saja, entah kenapa dia selalu merasa jika semua itu hanya 'sarkas' belaka. "Aku-"

"Kenapa, Ra?" tanya Danendra setelah kini dirinya hanya memakai celana pendek juga kaos hitam polos. "Kamu takut aku tersinggung? Tenang aja, enggak kok. Ketika aku memutuskan untuk membantu kamu—menggantikan Rafly, aku udah tahu resiko apa yang akan aku hadapi termasuk kejadian tadi."

"Aku enggak enak sama kamu, Dan," ucap Adara. "Kamu sama keluarga kamu pasti ngerasa enggak nyaman sama kelakuan aku tadi yang maen pergi gitu aja."

"Not a big problem, enggak usah ngerasa bersalah kaya gitu," ucap Danendra. "Sekarang lebih baik kamu buka bajunya. Enggak ada niatan tidur pake gaun, kan?"

Adara tersenyum. "Enggak," jawabnya.

"Ya udah buka bajunya, habis itu mandi," kata Danendra. "Aku juga mau mandi."

Danendra melangkah menuju kamar mandi. Namun, sebelum kakinya melangkah masuk, Adara kembali memanggilnya—membuat Danendra menoleh.

"Dan."

"Ya?"

"Aku lupa kalau gaunku resletingnya di belakang," kata Adara. "Bisa bantu?"

"Bukain resletingnya?" tanya Danendra.

"Iya," jawab Adara.

"Boleh."

Menyimpan handuknya di meja, Danendra kembali menghampiri Adara yang kini sudah berdiri memunggunginya.

Perlahan, Danendra menarik resleting itu ke bawah—membuat punggung Adara yang hanya dibalut tanktop terlihat di depannya.

Mulus. Meskipun sibuk dengan urusan kantor, nyatanya Adara tak pernah absen untuk merawat tubuhnya ke spa.

"Udah, Ra," kata Danendra—berusaha untuk menyadarkan dirinya dari kekaguman akan indahnya tubuh bagian belakang istrinya.

Entahlah. Meskipun, status Adara itu halal baginya baik secara hukum maupun agama, Danendra tak berani melakukan apa-apa karena dia merasa tak berhak.

Danendra memang memiliki fisik Adara, tapi hati gadis itu masih dimiliki Rafly.

"Makasih, Dan," kata Adara. Dia kemudian berbalik badan lalu memandangi Danendra yang masih berdiri di tempatnya. "Kamu bisa ke kamar mandi sekarang. Tadi katanya mau mandi, kan?"

"Ah iya, aku mau mandi." Suasana mendadak canggung, Danendra menggaruk tengkuknya yang tak gatal lalu membalikkan badannya—berjalan kembali menuju kamar mandi. Namun, lagi-lagi Adara memanggilnya.

"Danendra."

Danendra kembali menoleh. "Kenapa, Ra?" tanyanya.

"Untuk itu ... kamu ...." Adara menjeda ucapannya ketika rasa ragu tiba-tiba saja melanda. Padahal, barusan dia sudah memantapkan hati untuk bicara pada Danendra.

"Itu apa? Kamu apa?" tanya Danendra.

"A-aku ... anu itu ... euh." Adara pusing sendiri rasanya untuk menjelaskan semua pada Danendra.

"Kamu ngomong apa sih, Ra?" tanya Danendra sambil terkekeh. "Gelagapan gitu udah kaya ngomong sama presiden aja."

"Itu Dan, anu."

"Iya anu apa?" tanya Danendra.

"Kamu ...." Adara memandang lekat Danendra. "Enggak akan minta sekarang, kan?"

"Minta?" Danendra menautkan kedua alisnya. "Minta apa? Makan? Enggak, aku enggak minta makan kok. Masih kenyang soalnya."

"Bukan makan, Danendra, tapi itu."

"Itu apa, Ra? Kamu kalau ngomong suka enggak jelas, aku enggak paham," ungkap Danendra.

"Aish." Adara frustasi sendiri akhirnya. "Gini aja deh, aku cuman mau bilang sama kamu kalau aku lagi halangan. Jadi, kamu jangan minta dulu."

"Halangan ... minta ...." Danendra bergumam pelan—mencerna ucapan Adara hingga selang beberapa detik dia paham apa maksud dari istrinya itu. "Oh maksud kamu itu?"

"Kamu paham?"

"Iya," jawab Danendra. "Tenang aja. Aku enggak akan minta kok, bahkan nanti pun mungkin aku enggak akan berani minta."

"Kenapa?"

Danendra tersenyum. "Karena aku cuman milikkin kamu setengahnya, Ra."

"Maksudnya?" tanya Adara tak paham.

"Jawab jujur," kata Danendra. "Sampai detik ini kamu masih berharap banyak Rafly kembali dan dia baik-baik aja, kan?

"Dan."

"Kapanpun kamu mau, aku siap," kata Danendra. "Yang terpenting keluarga kamu enggak jadi malu."

"Dan aku-"

"Aku mandi dulu ya." Danendra kali ini benar-benar masuk ke kamar mandi—meninggalkan Adara yang masih berdiri di tempatnya.

"Aku memang berharap Rafly baik-baik aja, Dan, tapi setelah pernikahan ini sepertinya akan sulit buat kita pisah."

"Papa aku lebih suka kamu dibanding Rafly, Danendra."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Комментарии (7)
goodnovel comment avatar
Chacha Unyil
papa Ginanjar matre emang
goodnovel comment avatar
Chacha Unyil
sabar nya Danendra
goodnovel comment avatar
Hamid Ahmad
kamu akan sendirinya cinta ma danen dia itu baik pengertian sopan lembut peka ah pokoknya lengkap suami idamanlah
ПРОСМОТР ВСЕХ КОММЕНТАРИЕВ

Latest chapter

  • Suami Pengganti untuk Adara   316). Extra Chapter 14

    *** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin

  • Suami Pengganti untuk Adara   315). Extra Chapter 13

    ***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga

  • Suami Pengganti untuk Adara   314). Extra Chapter 12

    ***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be

  • Suami Pengganti untuk Adara   313). Extra Chapter 11

    ***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena

  • Suami Pengganti untuk Adara   312). Extra Chapter 10

    ***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan

  • Suami Pengganti untuk Adara   311). Extra Chapter 9

    ***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status