"Menikah lusa? Are you kidding, Danendra Alexander?"
Adam Manuel Alexander, terlihat begitu terkejut ketika Danendra—sang putra mengutarakan niatnya untuk menikahi seorang gadis lusa nanti.Tahu dengan siapa putra keduanya itu memiliki hubungan, Adam tak menyangka Danendra meminta izin untuk menikahi gadis yang nyatanya bukan kekasih dia."Jangan ngaco, Dan. Kamu ini kalau bercanda suka enggak kira-kira."Sekarang bukan hanya Adam yang terlihat begitu terkejut dengan pernyataan Danendra, tapi Teresa—sang mama pun ikut terkejut. Bahkan, menduga jika semua ini hanya sebuah candaan belaka.Tentu saja. Selama sebulan ini Danendra sudah menjalin hubungan dengan Felicya—gadis cantik yang sengaja dijodohkan Teresa agar putra keduanya itu berhenti mengharapkan Adara.Namun, malam ini—tanpa ada kabar sebelumnya, Danendra tiba-tiba saja datang membawa Adara dan bilang akan menikah. Bukankah itu terlalu mengejutkan?Ah, jika seandainya Teresa punya penyakit jantiung, mungkin dia sudah di rumah sakit, sekarang."Danendra enggak bercanda, Ma. Danendra serius," ucap Danendra yang sejak tadi tak urung melepaskan genggaman tangannya dari tangan Adara yang terlihat tegang juga takut.Ya, setelah obrolan mereka tadi siang, pada akhirnya Danendra luluh. Cukup besarnya rasa cinta dia untuk Adara, membuat Danendra tak sanggup untuk menolak ketika gadis itu menangis sambil bersimpuh.Danendra setuju menjadi suami pengganti untuk Adara, dan itu berarti dia akan memutuskan hubungannya dengan Felycia yang sudah terjalin satu bulan."Iya, Tante, Om, Danendra sama Dara serius mau nikah," ucap Adara ikut andil. Bagaimanapun juga, di sini dialah yang sangat membutuhkan Danendra. Jadi, terlalu egois bukan jika Adara membiarkan Danendra bicara sendirian?Meskipun cukup akrab dengan keluarga besar Danendra, Adara cukup pesimis kedua orang tua pria itu akan memberikan restu untuk rencana pernikahan dadakan yang akan dilaksanakan lusa nanti.Seperti yang diucapkan Danendra di restoran tadi siang. Dia sudah memiliki kekasih bernama Felycia—designer muda yang cukup terkenal.Masih dengan wajah terkejutnya, Teresa kembali bertanya. "Apa yang terjadi diantara kalian sampai harus menikah dadakan seperti ini? Kalian pikir mempersiapkan pernikahan itu gampang, hm?""Semuanya sudah siap, Tante. Persiapan pernikahannya sudah sembilan puluh sembilan persen," ungkap Adara."Dan, apa maksudnya semua ini?" tanya Adam."Coba jelaskan sama Papa, apa yang sebenarnya terjadi?"Danendra melirik Adara sekilas lalu menghela napas sebelum akhirnya menjelaskan semua yang terjadi pada Adara.Adam dan Teresa menyimak dengan baik, hingga tak lama Adam mencela ucapan Danendra."Tunggu, jadi maksud kamu itu, kamu mau gantiin Rafly buat nikahin Adara?" tanya Adam."Iya, Pa," kata Danendra. "Om Ginanjar ancam Adara buat keluarin dia dari keluarga besar kalau pernikahan ini batal, karena emang batalnya pernikahan bisa buat nama baik keluarga Om Ginanjar jadi jelek."Adam memijat pelipisnya yang tiba-tiba saja terasa pusing, sementara Teresa kentara sekali tak suka dengan rencana putranya.Tak ada ibu yang senang ketika anaknya hanya dijadikan pengganti. Semua orang tua ingin anaknya jadi yang utama, bukan sekadar pengganti.Daripada menjadi suami pengganti untuk Adara, bukankah akan lebih baik Danendra tetap bersama Felicya dan tetap jadi yang utama, pikirnya."Gimana, Pa? Ma? Kalian kasih restu, kan?" tanya Danendra."Ma," panggil Adam pada sang istri. Namun, yang dilakukan Teresa justru mendelik sebagai tanda ketidaksetujuan yang canggung diucapkan secara langsung di depan Adara."Adara," panggil Adam. "Apa kamu yakin calon suami kamu itu tidak ada? Apa tidak dipastikan dulu?""Rafly enggak ada, Om," ucap Adara. "Menurut polisi, kalaupun ditemukan, kecil kemungkinannya dia ditemukan dalam keadaan hidup.""Tolong mengerti Pa, Ma," ucap Danendra. "Kalau bukan Danendra, siapa lagi yang mau bantu Adara? Lagipula Papa sama Mama juga udah cukup akrab kan sama Om Ginanjar dan keluarganya.""Terus gimana Felycia, Dan?" tanya Teresa. "Kamu mau putusin dia gitu aja, iya?""Danendra akan ngomong baik-baik sama Felycia nanti pas dia pulang dari Italy, Ma," ucap Danendra, karena memang sudah seminggu Felycia di Italy untuk mengurus fashion show."Danendra yakin dia pasti paham. Kalau Adara enggak jadi nikah, dia bisa benar-benar diusir dan Danendra enggak bisa biarin semua itu terjadi.""Kenapa harus Danendra? Apa kamu enggak punya teman lain?" tanya Teresa pada Adara—masih dengan raut wajah yang tak bersahabat."A-anu Tante, Da-Dara ...." Adara tergagap. Kemampuan publik speakingnya yang cukup bagus entah kenapa tiba-tiba saja menghilang ketika Adam juga Teresa menatapnya dengan intens."Cukup, Ma," ucap Danendra yang membuat Adam juga Teresa kembali mengalihkan perhatian padanya. "Kalau Adara punya sahabat lain, dia enggak akan minta Danendra. Dia minta Danendra karena emang enggak ada cowok lain lagi yang bisa dimintain tolong."Cinta itu buta. Begitulah yang terjadi pada Danendra sekarang. Tak peduli sesakit apa dulu dirinya saat Adara bersama Rafly, dia tetap sigap membantu ketika gadis itu membutuhkan dan tentunya bantuan yang akan dia berikan akan menyakiti Felycia—perempuan yang bahkan sudah mulai berhasil mengeringkan luka menganga di hatinya.Baik Adam maupun Teresa tak menjawab ucapan sang putra. Keduanya hanya duduk sambil menampakkan raut wajah tak setuju—terlebih Teresa yang memang sangat tak menyukai rencana yang menurutnya gila."Danendra juga enggak tega biarin Adara diusir dari rumahnya, Ma," ucap Danendra. "Dia sahabat Danendra, dan Danendra enggak bisa biarin Adara menderita."Sahabat. Bahkan, sampai detik ini—ketika dia akan menikahi Adara, Danendra masih tak berani mengatakan perasaan dia yang sebenarnya.Entahlah. Gagal satu kali membuat Danendra takut. Terlebih lagi—meskipun Adara mengajaknya menikah, Danendra yakin di hati perempuan itu hanya ada Rafly, pria yang sudah bertahun-tahun dipacarinya."Dan.""Its okay kalau Mama sama Papa enggak mau kasih restu, enggak apa-apa," kata Danendra pada akhirnya. "Tapi Danendra akan tetap menikahi Adara. Keputusan Danendra buat bantuin Adara udah bulat, dan untuk Felycia. Nanti Danendra selesaikan semuanya secara baik-baik.""Danendra," kata Adam."Jangan egois, Dan," ucap Teresa."Siapa yang egois, Ma?" tanya Danendra. "Selama ini Danendra udah cukup patuh. Danendra selalu lakuin apa yang diminta sama Papa, tapi kenapa sekarang ketika Danendra memutuskan sesuatu, Mama sama Papa enggak mau dukung? Bukannya udah cukup jelas siapa yang egois di sini?""Dan, sabar," pinta Adara yang jelas merasa tak enak karena secara tidak langsung dirinya menjadi pemantik konflik diantara Danendra dan kedua orang tuanya. "Kita bisa ngomong baik-baik.""Daritadi aku udah ngomong baik-baik, Ra," ucap Danendra. Malas berdebat, Dia kemudian beranjak. "Udah malam, ayo aku antar kamu pulang."Danendra mengulurkan tangannya. Namun, Adara hanya menatap uluran tangan itu tanpa menyambutnya."Ra, ayo.""Iya, Dan."Adara akhirnya menyambut uluran tangan Danendra lalu ikut beranjak."Danendra mau antar Adara pulang, udah malam."Setelah itu Danendra menuntun Adara untuk pergi meninggalkan Adam juga Teresa yang masih duduk sambil melempar tatapan—tak tahu harus berbuat apa.Hingga pada akhirnya sebuah keputusan berat diambil Teresa. Dia tak suka dengan semua ini, tapi juga tak bisa membiarkan Danendra sendirian di pesta nanti. Teresa menyayangi putra keduanya itu.Baiklah, mungkin ini demi Danendra, bukan Adara."Danendra."Danendra yang sudah sampai di ambang pintu, menoleh. "Kenapa, Ma?" tanyanya.Teresa menghela napas. "Kalau kamu mau nikahin Adara, silakan, tapi Mama mau kamu selesaikan hubungan dengan Felycia secara baik-baik."Danendra mengukir senyum di sela helaan napas leganya, lalu mengangguk. "Iya, Ma. Pasti," jawabnya. "Makasih buat restunya.""Makasih Tante," kata Adara. Namun, respon yang diberikan Teresa justru di luar dugaannya.Alih-alih tersenyum ramah padanya, Teresa hanya memasang wajah datar. "Saya lakuin ini buat Danendra."***Garden party.Begitulah tema pesta resepsi pernikahan Adara dan Danendra sore ini. Digelar di tempat yang sama dengan tempat akad nikah, acara nampak meriah oleh tamu-tamu terhormat.Menjalani serangkaian proses, siang tadi Adara dan Danendra resmi menikah. Direstui kedua pihak keluarga, acara berjalan dengan lancar dan khidmat.Menggantikan Rafly, Danendra menjalankan tugasnya dengan baik—membuat keluarga Adara bahagia. Namun, tentunya tidak dengan Adara sendiri, karena alih-alih hanyut dalam kebahagiaan, perempuan itu justru dilanda sedih.Tak sebentar, rasa sedih Adara awet hingga sekarang karena melihat semua yang ada di venue pernikahan, dirinya teringat pada Rafly yang entah bagaimana nasibnya.Ah, Rafly. Di tengah hingar bingar pesta resepsi, pikiran Adara justru berkelana memikirkan kekasihnya itu. Masih hidupkah dia? Selamatkah dia? Atau mungkin sekarang Rafly sudah di surga?Ah, Ya Tuhan. Rasanya semua ini berat bagi Adara. Membayangkan Rafly tak selamat membuat hatinya
"Memalukan!"Adara hanya menunduk tanpa berani menatap sang papa yang terlihat cukup marah padanya.Pesta resepsi selesai, Ginanjar yang malu dengan kelakuan Adara—meninggalkan Danendra tadi begitu saja, tentunya langsung menarik tangan sang putri lalu membawanya ke kamar untuk dia tegur.Ginanjar Lazuardi—pengusaha yang memiliki ambisi tinggi itu memang cukup menjunjung tinggi nama baik keluarganya. Siapapun itu—sekalipun itu Adara, jika berani mencoreng nama baik keluarganya, Ginanjar akan memberikan teguran."Maaf, Pa. Adara cuman refleks tadi," kata Adara. "Adara tiba-tiba aja denger suara Rafly, Pa.""Pembodohan," celetuk Ginanzar. "Kamu pikir Papa akan percaya dengan cerita halusinasi kamu, hm? Rafly sudah mati, Adara. Lupakan dia. Suami kamu sekarang, Danendra.""Pa." Adara mendongak—menatap sang papa tak terima ketika kata 'mati' terlontar begitu saja. Padahal, sampai detik ini Adara masih berharap Rafly masih hidup. Meskipun kemungkinannya kecil. "Rafly belum tentu meninggal!
***"Dan, ini baju aku simpan di mana?""Di lemari yang putih aja, Ra. Kosong kok itu.""Oke."Hari ini—satu hari setelah hari pernikahan mereka, Danendra dan Adara langsung pindah ke apartemen milik Danendra.Tak terlalu membawa banyak baju, keduanya hanya menggerek dua koper menuju apartemen yang terbilang cukup mewah tersebut.Seorang Danendra Putra Alexander memang tak bisa diragukan lagi. Di usianya yang baru saja menginjak dua puluh delapan tahun, karirnya sudah bersinar.Disokong sang Papa yang menjadi salah satu pimpinan di perusahaan besar Alexander grup, tak sulit rasanya bagi Danendra membangun karir."Capek juga."Selesai membereskan semua bajunya di lemari, Adara duduk di ujung kasur dengan kedua tangannya yang bertumpu ke belakang."Capek?" tanya Danendra."Lumayan," jawab Adara.Danendra tersenyum lalu ikut duduk di samping Adara. "Habis ini kita makan," ucapnya."Makan apa?""Makan hati?" tanya Danendra yang membuat Adara memandangnya. "Aku bercanda."Adar tersenyum. U
***"Lagi ngerjain apa, Dan?"Baru keluar dari kamar mandi, Adara langsung melayangkan pertanyaan tersebut ketika melihat Danendra duduk di depan laptop yang disimpan di meja kerjanya.Memiliki ukuran yang cukup luas, kamar tersebut memang diisi beberapa furniture. Selain sofa, di kamar Danendra juga terdapat meja kerja, meja rias juga lainnya."Laporan keuangan," jawab Danendra. Dia kemudian menoleh—memandang Adara yang masih memakai bathrobes berwarna putih juga handuk yang melilit rambut basahnya. "Udah selesai mandinya?""Udah," jawab Adara. "Kenapa?""Mau ajak kamu makan," kata Danendra. "Aku udah pesen makanannya tadi. Udah datang juga.""Oh oke, aku pake baju dulu," kata Adara. Setelah itu dia berjalan menuju lemari lalu mengeluarkan setelan piyama satin berwarna merah muda dari sana. "Dan.""Ya?""Aku males ke kamar mandi," ucap Adara. "Kamu bisa keluar dulu, enggak? Aku mau pake baju.""Oh oke," kata Danendra. Tak banyak bicara, dia langsung meng-shut down laptopnya lalu meny
***"Dan, bangun. Udah pagi. Kamu mau ikut ke Majalengka, kan?"Adara yang sudah rapi dengan pakaiannya lantas duduk di pinggir kasur sebelah kanan untuk membangunkan Danendra yang masih tertidur pulas.Tak ada respon, Adara yabg semula duduk di kasur kini berpindah tepat. Dia berjongkok di depan wajah Danendra dan sial, jantungnya seolah berhenti berdetak ketika dia melihat wajah polos sang suami ketika tidur.Menggemaskan seperti bayi. Entah kenapa tiga kata itu langsung terbersit di pikiran Adara ketika pupil matanya tak kunjung beralih dari Danendra."Enggak, Ra. Kamu enggak boleh cinta sama Danendra," gumam Adara—segera menyadarkan dirinya dari lamunan. "Ada Rafly. Dia udah kembali, Ra. Sadar."Adara menarik napas pelan lalu fokus pada tujuan awalnya berjongkok di depan Danendra. Pelan, dia mengulurkan tangan lalu menepuk bahu pria itu. "Danendra bangun, Dan. Udah jam tujuh," kata Adara lagi dan kali ini Danendra merespon.Membuka matanya perlahan, Danendra mengerjap ketika persi
***"Siapa, Ra?"Danendra langsung keluar dari kamar sesaat setelah dirinya memakai kaos hitam polos juga celana pendek. Mengerutkan kening, dia memandang Adara yang masih berdiri di dekat pintu."Lho, enggak dibuka?""Degdegan," kata Adara apa adanya.Penasaran, Danendra berjalan mendekati Adara lalu memandang intercom di samping pintu. Teresa. Di luar sana sang mama berdiri sambil menenteng kotak makan susun di tangannya."Mama," gumam Danendra. Dari intercom, dia memandang Adara. "Mama aku lho, Ra. Kenapa enggak dibukain?""Kamu aja," kata Adara. "Aku takut.""Takut kenapa? Mama aku enggak makan orang kok," tanya Danendra.Adara hanya tersenyum meringis tanpa menjawab ucapan Danendra, sementara jantungnya berdegup dua kali lebih kencang.Sikap Teresa yang masih terlihat sinis padanya memang membuat Adara segan. Dia tahu mertuanya itu tak suka padanya karena sudah mengganggu hubungan Danendra dan Felicya.Dan sekarang—jika bisa, ingin sekali rasanya Adara minggat saja ke kamar agar
***"Dan.""Hm."Danendra yang sejak beberapa menit lalu berdiri di depan cermin—merapikan penampilan lantas bergumam pelan ketika namanya kembali dipanggil Adara yang saat ini duduk di pinggir kasur."Sekali lagi maaf ya," ucap Adara penuh sesal. Entah sudah berapa kali dia meminta maaf—sejak kejadian Teresa tadi, hatinya tetap merasa tak enak karena secara tak langsung dialah penyebab dari perselisihan ibu dan anak itu.Danendra menghela napas. Dia yang sudah tampan dengan kemeja abunya berbalik badan lalu bersandar pada meja rias di sana."Kenapa minta maaf terus? Kamu enggak salah," ucap Danendra.Tahu Danendra tak lagi membelakanginya, Adara menoleh lalu memandang sang suami. "Secara enggak langsung aku salah, Dan," ucapnya. "Semua ini kan bermula dari aku. Kalau aku enggak minta tolong kamu buat nika-""Sssst." Danendra beranjak. Dia berjalan menghampiri Adara lalu berjongkok di depan perempuan itu dan setelahnya, sebuah tatapan teduh diberikan Danendra untuk sang istri. "Semua
***"Ini rumahnya?""Iya, ini rumahnya."Setelah terhambat macet, Adara dan Danendra akhirnya sampai di Majalengka setelah tiga jam menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.Berada di perkampungan, suasana asri masih terasa ketika mobil Danendra berhenti persis di depan sebuah rumah sederhana yang memiliki pagar besi pendek.Kata Adara itu rumah sepupu Rafly yang semalam menghubunginya. Delapan tahun berpacaran, Adara memang sudah cukup akrab dengan saudara Rafly bahkan dia pun beberapa kali berkunjung.""Ya udah."Berjalan lebih dulu diikuti Danendra yang mengikutinya dari belakang, Adara sampai di depan pintu."Degdegan," ucap Adara sambil menghela napas pelan ketika tangannya perlahan terulur—berniat mengetuk pintu."Gak sabar ketemu Rafly ya?" tanya Danendra.Adara menoleh lalu tersenyum. "Iya," jawabnya. "Aku udah enggak sabar pengen ketemu dia.""Semoga Rafly baik-baik aja," ucap Danendra."Aamiin," ucap Adara. Kembali memandang pintu bercat putih di depannya, Adara memantapkan