Mempunyai orangtua yang baik dan masih perhatian walau kita sudah menikah adalah sebuah anugerah yang harus selalu disyukuri. Seperti halnya yang kini dirasakan oleh Hasfi. Sejak perceraian ibu dan ayahnya ketika ia masih kecil. Saat itu memang ia belum terlalu mengerti makna sebuah perceraian. Yang ia tau mengapa ibu dana ayahnya tidak tinggal bersama lagi. Bu Hasna yang banting tulang mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya anaknya sekolah. Waktu itu ayahnya Hasfi yang bernama Pak Alfian itu hanya enam bulan saja memberikan uang nafkah kepada Hasfi. Karena Pak Alfian menikah lagi dengan sang pelakor perusak rumah tangganya, otomatis nafkah untuk Hasfi pun juga di stop oleh ibu tirinya. Mau tak mau, sebagai single parent. Bu Hasna tidak mau merepotkan kedua orangtuanya yang sudah tua renta. Biar bagaimana pun Hasfi adalah anak semata wayangnya dan menjadi tanggungannya. Bu Hasna tidak berpangku tangan dan tidak menyerah begitu saja. Ia pun sebisa mungkin berusaha agar kebut
Sebagai ibu kandung, Bu Hasna pasti mengerti dengan perasaan yang kini dirasakan oleh putra tunggalnya tercinta. Resah yang Hasfi rasakan memang sudah mengguncang perasaannya. Ia mengerti bagaimana perasaan besannya ketika putrinya dinikahi oleh seorang pria muda yang berstatus masih menjadi mahasiswa dan belum mempunyai 'penghasilan tetap'. Namun namanya sesuatu yang sudah terlanjur dan belum waktu yang seharusnya Hasfi menikah. Bu Hasna mencoba sabar dan legowo. Biar bagaimana pun, walau status Hasfi masih menjadi mahasiswa. Bukan berarti ia melalaikan kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga. Dari bujangan, ia gigih berusaha. Waktu itu bayarannya paling tidak sabun, sampo, minyak goreng, skincare, pakaian, dan kebutuhan rumah tangga gratis. Sampai-sampai Bu Hasna tidak perlu lagi membelinya di luar. Bahkan ada yang tidak memberikan upah kepada Hasfi, hanya gratis produk saja yang dikirimkan oleh perusahaan yang ia iklankan. Namun Bu Hasna selalu menyemangati agar anak lelakin
Rasa iri pasti pernah dialami oleh setiap insan. Tetapi sebagai insan yang beriman dan berakal, bahwasanya kita harus bisa mengelola rasa iri yang muncul di hati kira. Rasa iri seperti layaknya pisau bermata dua. Iri yang digunakan untuk hal yang baik bisa menjadi pelecut semangat agar ke depannya bisa lebih baik lagi. Berbeda dengan iri yang bila diiringi dengan sifat ingin menghancurkan. Ingin orang yang diirikan hancur sehancurnya. Iri yang seperti ini namanya iri dengki. Dengki adalah rasa iri hati yang ingin menghancurkan kebahagiaan orang. * *Ryana melepas pelukannya dari sang ibu mertua. Begitupun Hasfi melanjutkan pekerjaannya membuat martabak mie."Lho kok bikin martabak mie, kenapa enggak beli aja camilan, Bang?" tanya Ryana heran melihat suaminya mengaduk adonan mie yang sudah dicampur telur, kol, wortel, daun bawang, seledri, dan penyedap rasa. "Enggak papa, Yang. Ibu katanya pengen makan masakanku," jawab Hasfi terkekeh. "Iya kan, Bu?" "Eh, iya. Hehehe. Yuk, kita dud
Sebagai orang tua yang bijak, jangan sampai membuat anak-anak merasa kecewa. Jangan juga merendahkan pilihan anak. Siapa tau anak yang direndahkan akan menjadi anak yang lebih sukses. * *Lagi-lagi Bu Erin merasa dilangkahi karena Ryana dan Hasfi pergi tanpa pamit. Sebenarnya walaupun mereka pamit, Bu Erin pasti tidak akan mengizinkannya. "Bapak pasti yang mengizinkan mereka kan?" tanya Bu Erin emosi. "Kali ini Bapak yang salah! Karena Bapak juga tidak ada niat bilang ke Ibu kan?" Emosi Bu Erin naik turun, kali ini ia begitu geram dengan anak dan menantunya. Niatnya untuk menyiapkan makan malam sekeluarga tentu saja buyar. Tentu saja membeli semua bahan makanan mentah itu pakai uang dari Hasfi. Sudah bisa ditebak, alasan utama Bu Erin tidak memperbolehkan Hasfi dan Ryana mengontrak adalah agar ia bisa mendapatkan uang belanja dari Hasfi. Padahal Hasfi tadi sengaja memberikan uang tersebut karena ia merasa tidak enak karena dianggap menumpang hidup oleh mertuanya. Lelaki mana yang
Ryana, Hasfi, dan Bu Hasna asyik bercengkrama hingga mereka melupakan Lia yang tadi mengantar Bu Hasna. Bu Hasna pun baru menyadari kalau ia ke rumah kontrakan putranya bersama dengan keponakannya itu. Bu Hasna beranjak dari duduknya. Ia setengah berlari menuju ruang tamu. Sepi. Ternyata benar, Lia sudah tidak ada duduk di sana. "Astaga, Lia kok enggak ada. Kemana sih tuh anak?" gumam Bu Hasna mencari keberadaan keponakannya itu. Ia memanggil Lia. Namun tidak ada jawaban. Sepeda motor matic Lia masih ada di sana. Kunci kontak motor Lia tergeletak di teras. Ryana dan Hasfi heran mendengar Bu Hasna memanggil Lia. Mereka pun beranjak ke depan dan menanyakan apa yang terjadi. "Emang kenapa dengan Lia, Bu?" tanya Hasfi dengan perasaan tidak enak. "Lia enggak ada, Fi. Tadi kan dia duduk di depan sendirian. Salah Ibu juga sih tadi Ibu enggak ngajak dia duduk di ruang tengah sama kita," jawab Bu Hasna menyesal. "Ya ampun, Bu. Kok bisa Lia enggak ada. Apa dia pergi tanpa pamit? Ibu suda
Memiliki pasangan yang mencintai dan setia dengan kita adalah sebuah anugerah yang luar biasa. Meski Ryana masih dalam tahap belajar mencintai suaminya. Namun ia yakin kalau Hasfi bisa menjadi suami yang baik dan bisa membimbing dirinya menjadi istri yang sholehah. * * "Apa itu, Bang?" tanya Ryana penasaran. Ia juga tidak paham dengan apa yang ada di pikiran suaminya. Hasfi menghela nafas. Ia mencoba mengatur kata-kata yang akan ia ucapkan kepada istrinya. Takut kalau sang istri akan salah paham. Maka akan berdampak kepada hubungan dan keharmonisan rumah tangga mereka. Pastinya Hasfi harus menyusun kata-kata yang tepat agar sang istri tidak tersinggung. "Ka-kamu enggak keberatan kan kalau kita menunda anak dulu?" tanya Hasfi hati-hati. Ryana tersenyum. Sebenarnya ia pun ingin mengatakan hal yang sama kepada Hasfi , namun serasa tertahan. Ia takut kalau Hasfi tidak setuju dengan isi hatinya. "Aku justru senang, Sayang. Aku sudah beberapa hari yang lalu terpikir akan hal ini. Namu
"Wah, nama yang bagus," celetuk Lia yang kagum dengan Ezra. "Iya, dong. Oh ya, kamu pasti udah laper kan? Ayo, kita makan bareng gimana?" tanya Ezra tersebyum. "Iya, Mas. Aku sudah laper nih. Tau aja sih. Hehehe." Wajah Lia memerah karena Ezra begitu perhatian padanya. Baru kali ini seumur hidupnya, ada cowok yang begitu perhatian pada dirinya seperti ini. Kebanyakan cowok akan menjauhinya karena penampilannya yang kuper dan jadul. Namun semenjak ia bekerja dengan Tantenya alias Ibunya Hasfi. Penampilan Lia kini berubah menjadi modis. Wajahnya juga sudah mengenal skincare dan makeup minimalis. Semua itu bisa Lia lakukan karena Bu Hasna tidak pernah perhitungan soal gaji. Apalagi ia juga kasihan dengan keponakannya yang sudah kehilangan orangtuanya sejak duduk di bangku SD itu. "Mau makan dimana?" tanya Ezra dengan sabar. "Makan dimana aja, Mas. Terserah. Aku sih oke aja," jawab Lia yang tidak sungkan menerima ajakan Ezra. Ia lupa kalau tadi meninggalkan sepeda motornya di rumah
Begitu lah kehidupan. Kadang kita dihadapkan dengan orang-orang yang menghalangi jalan kita. Namun sebisa mungkin tetaplah kita teguh pada pendirian kira. Jangan sampai larut terhadap arus orang-orang yang tidak menyukai kita. * * Ezra terkejut bukan main karena bertemu dengan Ryana di sini. Sungguh ini adalah pertemuan yang tidak ia sangka sama sekali. "Lho jadi kalian saling kenal?" tanya Lia kebingungan. "Enggak kok. Ya, maksudnya cuma kenal gitu doang," jawab Ezra dengan cepat berkelit. Ryana tersenyum tipis. Ia mengajak Hasfi masuk. Ia paham maksudnya Lia tidak ingin diganggu oleh kehadiran mereka. "Ya Allah. Syukurlah kamu pulang, Lia. Tadi Hasfi menghubungi kamu, katanya nomor kamu enggak aktif. Kamu kemana aja sih?" celetuk Bu Hasna yang langsung memecah ketegangan di antara mereka. "Ma-maaf, Tante. Habisnya Lia tadi sibuk jalan sama temen. Maaf ya, kita tadi ada urusan penting," jawab Lia mencoba berkelit. "Oh iya, enggak papa. Suruh temannya masuk. Udah magrib, engga