Pedih bagai tersayat-sayat yang dirasakan oleh Bu Hasna. Pak Alfian serasa kembali mengoyak luka lamanya yang perlahan sudah mulai sembuh. Padahal sebelumnya Bu Hasna berharap tidak akan pernah bertemu dengan mantan suaminya. Memang hanya sekali saja ia bertemu dengan suaminya setelah resmi palu perceraian itu terjadi. Ya, waktu itu ketika Hasfi dan dirinya melihat Pak Alfian membelikan mainan untuk ketiga anak tirinya. "Hasna! Tunggu, Hasna! Aku mohon jangan pergi," pekik Pak Alfian sambil mengejar Bu Hasna yang berjalan meninggalkannya. Lia merasa situasi saat ini sedang tidak kondusif. Namun dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak mungkin ia meninggalkan Tantenya dalam situasi sulit seperti ini. Ia pun bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Bu Hasna. Ya, menjadi single parent bagi seorang Bu Hasna bukanlah hal yang mudah. Walau ia hanya punya anak tunggal. Bukan berarti ia bisa dengan mudah menjalani semua ini.Bu Hasna terus melajukan jalannya. Begitu juga Lia yang berada di
Ya, malam ini Hasfi tidak bisa tertidur. Pikirannya berkelana kemana-mana. Terutama pikirannya tertuju pada masa lalunya yang kelam. Hidup beranjak dewasa tanpa didampingi dan mendapat kasih sayang dari sang ayah memanglah berat buat Hasfi. Tetapi sang ibunda terus menguatkannya dan memberikan semangat. Bahwa hidup akan terus berjalan, dengan atau tanpa ayah di sisinya. Mulanya Hasfi meratapi nasibnya. Nasibnya memang berbeda dengan anak-anak di sekitarnya. Perlahan ia mencoba menerima. Waktu bermainnya otomatis berkurang karena harus membantu ibunya mencari uang. 'Ya Allah, begitu pelik rasanya kehidupanku di masa lampau. Tidak menyangka kalau kehidupanku saat ini berubah total. Yang asalnya tidak punya apa-apa, sekarang malah berlebih. Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih atas semua karunia yang Engkau berikan,' gumam Hasfi dalam hati. Pria muda itu melirik istrinya yang tertidur di sebelahnya. Wajah ayu Ryana terlihat teduh. Tak salah memang sejak lama ia mengagumi sosok Ryana. Y
Ryana sebenarnya senang saja karena akan pindah dari kontrakan ini. Apalagi kata Hasfi rumah yang akan mereka tinggali itu adalah rumah milik Ayahnya. Hanya saja mereka baru beberapa hari pindah ke rumah ini, masa baru pindah lagi? Ibarat kata, rasa lelah karena pindahan belum sepenuhnya hilang. Ryana terdiam beberapa menit. Begitu pun Hasfi. Makanan yang tadi dibawakan Hasfi dari rumah Ayahnya juga tidak ada mereka sentuh. Hasfi masih agak kenyang. Begitu pula dengan Ryana yang tadi siang makan di sekolah. Sampai-sampai Hasfi melupakan rasa sakitnya akibat jatuh dari sepeda motornya."Besok kamu pijat refleksi aja, Bang. Mana habis jatuh gitu," celetuk Ryana memecah keheningan di antara mereka. "Ah, iya. Boleh juga, Yang. Kamu juga ikut pijat ya, nemenin aku," balas Hasfi langsung menyetujui. "Oke. Ya sudah. Kita pindah aja lagi, Bang. Tapi jangan besok juga. Kan aku mesti ngajar, kamu juga harus kuliah. Belum lagi malam hari kita kudu pijat. Hari Minggu nanti aja kalo mau pindaha
"Kalau begitu Hasfi pulang dulu, Yah," kata Hasfi ingin berpamitan kepada Ayahnya. Ia merasa tidak ada lagi hal yang perlu dibicarakan kepada Ayahnya. "Lho kok pulang sekarang? Apa kaki dan tanganmu udah enggak sakit lagi? Biar Agus dan Budi aja nanti yang nganterin kamu pulang," jawab Pak Alfian terkejut karena Hasfi ingin pulang. Agus dan Budi adalah supir dan ART di rumah Pak Alfian. "Tapi Hasfi belum membuat video konten untuk pekerjaan, Yah." "Oh gitu ya sudah tidak apa-apa. Tunggu sebentar." Pak Alfian membuka tas kerjanya. Ia mengeluarkan uang sejumlah sepuluh juta dari dompet besarnya, lalu memberikan uang itu kepada putra sulungnya itu."Ini uang yang Ayah janjikan tadi. Terimalah. Anggap saja sebagai ganti bayar uang sewa dan hadiah pernikahanmu. Oh iya, nanti kalau sudah tiga bulan di kontrakan. Kamu sebaiknya pindah ke rumah Ayah. Cukup dekat dari sini. Hanya berbeda blok saja. Kalau rencanamu ingin membangun rumah, sebaiknya diurungkan saja rencanamu. Lebih baik uang
Hasfi kecewa dengan sikap sang Ayah yang tidak mempercayainya. Di sisi lain ia bahagia dan bersyukur karena Tuhan sudah mempertemukan kembali dirinya dengan ayah kandungnya sendiri. Dari kata-kata Pak Alfian memang sudah terdengar jelas bagi siapa saja yang mendengarnya seperti sedang meremehkan anaknya sendiri. Padahal kualitas Hasfi jauh sekali di atas anak-anak Tania yang ia rawat bertahun-tahun. Tetapi mental mereka mental kerupuk. Tidak tahan banting. Jauh berbeda dengan Hasfi yang mentalnya sudah kuat, tidak lapuk karena badai kehidupan yang menghantam. "Apa tujuan kalau Hasfi berbohong dengan Ayah? Adakah Hasfi terlihat sebagai anak yang pembohong? Untuk apa juga Hasfi sombong berkata kepada Ayah kalau penghasilan Hasfi memang adanya begitu. Hasfi hanya ingin membuktikan kepada Ayah. Kalau anak yang dulu Ayah telantarkan demi wanita lain, malah lebih sukses dengan kaki dan tangan sendiri. Oh, tentunya juga dengan bimbingan dan kasih sayang Ibu yang tidak kenal lelah mendidik
Pak Alfian malah semakin tertawa dengan pertanyaan Hasfi. Ya, ia baru tau Hasfi pernah menyambangi rumahnya ketika SMP dari Satpam Komplek. Itupun ketika sebulan sesudah kejadian. Waktu itu memang istri keduanya sedang hamil. Pak Alfian memarahi istrinya yang tidak memberitahukan kalau anaknya kemari. Tania pun berbohong dan berkata kalau Hasfi kemari karena ingin minta uang. Tania juga bilang ia langsung saja memberikan uang yang diminta Hasfi. Padahal Hasfi tidak ada menerima uang sepeser pun dari Ibu tirinya itu. Sebagai seorang suami yang baik. Pak Alfian percaya saja dengan kata-kata istrinya. Tentu saja Tania berusaha merayu dan menangis tersedu-sedu dengan air mata buayanya. Pria itu lama-lama luluh juga dengan tangisan istrinya. "Sudah Ayah usir dari rumah ini. Ketiga anak itu memang anak Tania. Sekalian juga Ayah usir, biarkan saja mereka ikut Mamanya," jawab Pak Alfian dengan santai."Bu-bukankah waktu Hasfi kemari, Bu Tania sedang mengandung?" tanya Hasfi dengan suara be