INICIAR SESIÓNEdgar duduk di ujung meja makan panjang yang entah kenapa terasa kayak meja interogasi KPK.Di depannya, Mas Carlos masih dengan ekspresi dingin—walau sesekali melirik ke arah pipi lebam Edgar yang sudah dikompres es batu.Mariana duduk di samping Edgar, terus menatapnya cemas.Setiap kali Edgar mau ngambil lauk, Mariana buru-buru nyodorin sendok, “Udah aku ambilin aja, kamu jangan gerak banyak.”Sementara Carlos hanya berdehem pelan. “Dia masih punya tangan, kan?”“Mas!” Mariana melotot.“Ya kan cuma nanya,” jawab Carlos santai sambil menambahkan sambal ke nasinya.Edgar tersenyum kaku. “Gak apa-apa kok, Mariana. Aku kuat. Cuma… tangan kanan agak lupa caranya ngangkat sendok.”Carlos menahan tawa, tapi suaranya ketahuan juga keluar sedikit.“Baguslah, berarti tinjuku masih ampuh.”Mariana mendengus, “Mas Carlos!”Di tengah ketegangan ringan itu, suara lembut seorang wanita terdengar dari arah dapur.“Carlos, kamu jangan ganggu mereka terus, dong.”Semua menoleh.Masuklah seorang pere
Pagi itu, langit agak mendung — pertanda baik kalau kamu mau tidur lagi, tapi pertanda buruk kalau kamu berniat datang ke rumah orang yang gak suka kamu. Edgar berdiri di depan mansion Mariana dengan napas setengah gugup, setengah yakin hidupnya bakal tamat hari ini. Kemarin, Mariana bilang, > “Besok kamu ketemu kakakku, ya. Namanya Mas Carlos. Tapi tenang, dia cuma mau kenalan.” Kata “cuma kenalan” dari Mariana ternyata punya makna lain. Karena begitu sampai di halaman, Edgar langsung disambut pemandangan tak biasa: Mas Carlos berdiri di tengah taman belakang… pakai celana pendek tinju, tangan bersarung, dan di sebelahnya ada pelatih Muay Thai beneran. --- “Mas… Carlos?” suara Edgar lirih, setengah berharap ini prank. Carlos menatapnya dengan senyum tipis yang lebih menakutkan daripada marah. “Kamu yang namanya Edgar?” “I-iya, Mas.” Carlos menepuk-nepuk sarung tinjunya. “Katanya kamu dulu nolak adikku waktu dia masih nyamar jadi pembantu dirumahmu?” Edgar keringat dingin
Begitu Mariana menyerahkan secarik kertas berisi alamat rumahnya, Edgar langsung tersenyum. Tangannya gemetar, tapi hatinya berteriak: Yes! Dikasih alamat rumah! Ini kode keras banget! Ia sama sekali tidak sadar kalau Mariana cuma berkata datar, > “Datang aja kalau mau ngomong lebih jelas.” Namun di kepala Edgar, kalimat itu berubah jadi, > “Datanglah… dan lamar aku.” --- Sepanjang perjalanan pulang, Edgar tak berhenti nyengir sendiri di kursi belakang taksi online. Supirnya sampai beberapa kali melirik lewat spion, curiga penumpang satu ini baru saja menang undian rumah dan mobil sekaligus. “Pak, kelihatannya lagi senang banget, ya?” tanya sang supir. “Banget. Besok mungkin saya bakal lamaran,” jawab Edgar dengan senyum tak henti. “Wah, selamat, Pak! Calonnya cantik?” “Cantik banget. Kaya raya juga. Tapi lagi marah.” Supir itu melirik sebentar, heran. “Lho, terus kenapa malah senang?” “Makanya saya besok akan bawa cokelat, bunga, dan niat suci.” Supir menghela napas,
Sudah tiga hari sejak Mariana meninggalkan kamar rumah sakit itu. Edgar sudah pulih, setidaknya secara fisik. Tapi setiap kali malam datang, ia menatap plafon dan mengulang kalimat terakhir Mariana: > “Kalau aku mau hidup yang nyata, aku harus mulai dari cinta yang nyata juga.” Cinta nyata, pikir Edgar, seharusnya membuat hati ringan. Tapi kenapa malah terasa berat. --- Pagi itu, setelah dokter menyatakan ia boleh pulang, Edgar langsung bersiap. Kemeja putih, celana abu-abu, rambut disisir asal tapi wajah tetap segar—setidaknya cukup layak untuk muncul di hadapan seorang Mariana, pewaris perusahaan tambang emas terbesar di kota. Di tangannya, ia membawa sebuket bunga lili putih—bunga favorit Mariana, yang dulu sering ia beli tiap kali perempuan itu berhasil menenangkan hatinya. > “Oke, Edgar. Hari ini lo bukan pasien, lo pejuang cinta.” Ia bicara pada bayangan di cermin rumah sakit, mencoba tersenyum walau matanya jelas gugup. --- Kantor Mariana berdiri megah di tengah kota
Kabar Edgar sakit cepat menyebar di seluruh apartemen. Bu Rini menjadi sumber berita paling cepat sekaligus paling berisik. “Saya tuh udah feeling dari awal,” katanya di depan apartemen, dengan nada bangga seperti wartawan infotainment. “Cowok yang suka bengong depan balkon jam dua pagi tuh pasti lagi galau berat.” Para ibu-ibu lain langsung menimpali. “Aduh, kasihan ya. Ganteng-ganteng rapuh.” “Salah sendiri, kan kita udah tau dari dulu mereka tuh… ya, suka melakukan aktivitas dewasa,” celetuk yang lain sambil menahan tawa. “Si Marni sama Edgar, itu lho. Dulu tiap malam lampunya mati jam delapan tapi listrik tagihan naik.” Lift langsung hening dua detik sebelum pecah lagi oleh tawa. “Eh tapi denger-denger, Marni-nya kabur loh!” “Iya, katanya mau nikah sama juragan kerbau dari kampung,gosipnya si mukanya kayak dompet tapi tajir itu.Salah sendiri Edgar gak siap nikahin Marni.” “Pantes Edgar pingsan. Mungkin bayangin Marni disayang orang lain sambil ngasih makan sapi
Malam itu hujan turun pelan. Edgar pulang ke apartemennya sambil menggigil, celananya masih basah oleh kopi — tapi yang lebih parah adalah hatinya, kayak habis direndam es batu lalu diperas sampai kering. “Hebat banget ya, Marni,” gumamnya lirih sambil menjatuhkan diri ke sofa. “Bisa senyum selebar itu ke Max, padahal dulu kita, satu selimut aja ,bisa main sampe tiga ronde.” Ia mau bikin teh biar hangat, tapi malah nyeduh air panas di gelas yang masih ada sisa kopi. Hasilnya? Rasa pahit campur getir. Pas banget sama mood-nya malam itu. “Udahlah, hidup juga gak pernah manis,” desahnya pelan. Lima menit kemudian, dia mulai meriang. Dua jam kemudian, badannya panas tinggi. Dalam ngigauannya, Edgar bergumam, “Marni jangan nikah dulu… aku kangen pelukanmu…” Dan di saat itulah — tok tok tok! — pintu apartemennya diketuk keras. “Mas Edgar! Paket COD!” suara kurir berteriak di luar. Tidak ada jawaban. Kurir mengetuk lagi. “Mas, tolong dong, ini COD, bukan donasi!” Masih se







