"Aku rela berbagi suamiku, karena aku lebih takut kehilangan dia selamanya." Keira, seorang arsitek berbakat dan istri setia Carlos, harus menghadapi kenyataan pahit: dia tidak bisa memenuhi kebutuhan suaminya. Setelah kehamilannya yang berisiko tinggi, dokter memperingatkan bahwa Keira harus menjaga diri—termasuk mengurangi aktivitas intim dengan Carlos. Tapi Carlos bukan pria biasa. Dengan energi dan hasrat yang menggebu, pria miliarder itu mulai menunjukkan tanda-tanda stres. Keira tahu, jika terus begini, pernikahan mereka bisa hancur. Maka, dengan berat hati, Keira mengajukan solusi radikal: "Carlos, menikahlah lagi."
Lihat lebih banyakToko bunga itu tampak tenang di tengah udara lembab sore hari. Aroma tanah basah masih mengambang, meninggalkan jejak kenangan hujan yang baru saja reda. Di balik kaca yang mulai berembun, Luna sedang menyusun rangkaian mawar putih, jemarinya cekatan merangkai satu per satu kelopak dalam harmoni yang indah. bunga marigold—bunga favorit Dimitri. Luna tersenyum kecil. "Aneh ya, Dimitri..itu suka bunga warna yang cerah," gumamnya lirih. Ia tidak tahu bahwa sore itu akan mengubah seluruh dunianya. Denting bel pintu bergema. Suara sepatu hak tinggi menghantam lantai kayu dengan ritme anggun tapi penuh tekanan. Luna menoleh dengan cepat, membayangkan mungkin itu pengiriman khusus atau—semoga saja—kejutan dari Dimitri. Tapi yang berdiri di ambang pintu bukanlah pengantar bunga atau kekasihnya. "Sukma?" Luna menyipitkan mata, lalu wajahnya langsung berseri. “Astaga! Aku nggak nyangka banget kamu ke sini. Kamu pasti bawa kejutan dari Dimitri, ya?” Sukma tersenyum—senyum yang terlal
Di ruang duduk yang luas dan hening, Sukma menatap kopi yang sudah dingin di tangannya. Rasa yang tak sempat ia cicipi—seperti pernikahannya yang kini terasa pahit. Zack berdiri kaku di ambang pintu. Sudah sepuluh menit ia diminta masuk, tapi belum juga bicara. Bagi mantan pasukan elite yang kini menjadi kepala pengamanan keluarga Dimitri, diam adalah bahasa paling serius. Ada ketegangan dalam matanya, seperti menimbang antara loyalitas dan nurani. “Ada yang ingin saya laporkan, nyonya...” suara Zack serak, seperti angin yang tertahan. Sukma hanya menoleh perlahan. Tatapannya tajam, namun lelah. "Tentang Dimitri?" Zack mengangguk. “Dan perempuan itu?” “Namanya Luna,” Zack menjawab. “Dulu sekretaris Bos Dimitri, sekarang... Bos dimi membantunya. Katanya korban pelecehan, dan Pak Dimitri membantunya. Tapi... saya rasa tidak sesederhana itu.” Sukma terdiam. Luna. Nama itu muncul lagi. Gadis berambut hitam kemerahan, yang dulu Dimitri sebut sekadar "rekan kerja yang tidak co
Luna bebas dari Tuduhan , toko florist buka kembali dan orang orang mulai bersimpati pada Luna Hubungan Dimitri dan Luna semakin intens seiring berjalannya waktu. Setiap kali Dimitri dinas ke luar kota, ia selalu menyisipkan alasan untuk mampir ke toko bunga tempat Luna bekerja. Awalnya, itu hanya kunjungan singkat—sekadar menyapa, membeli sebuket bunga, dan menanyakan kabar. Namun perlahan, pertemuan itu berubah menjadi kebiasaan yang tidak bisa ia tinggalkan. Dimitri mulai menghabiskan lebih banyak waktu di sana, tertawa dan bernostalgia bersama Luna. Tak hanya berhenti di situ, ia bahkan membelikan Luna sebuah rumah mewah di pinggiran kota. Sebuah rumah yang katanya “agar Luna merasa aman dan nyaman.” Tapi kenyataannya, rumah itu adalah tempat persembunyian dari kehidupan ganda yang kini ia jalani. Luna, yang awalnya ragu, kini mulai membuka hatinya kembali. Ia berbagi cerita, tertawa, dan memulihkan kenangan lama mereka yang dulu pernah ada—kenangan yang tak pernah benar-b
Tiga hari sudah Luna berada dalam tahanan, tubuhnya lelah, pikirannya kosong. Dia belum sepenuhnya percaya bahwa semua ini nyata. Dalam sekejap, hidupnya berubah dari sahabat yang dipercaya menjadi tersangka pembunuh—pembunuh suami sahabatnya sendiri. Pagi itu, seorang petugas menghampiri sel tahanannya. “Luna. Ada yang mau jenguk. Namanya Bella.” Dunia Luna seperti berhenti sejenak. Nama itu membuat perutnya mual. Dada terasa sesak. Ia tahu hari ini akan datang, tapi tak pernah benar-benar siap. Di ruang kunjungan, Bella sudah menunggu. Duduk tegak, wajahnya kaku. Tak ada sapaan saat Luna masuk. Hanya tatapan yang terasa seperti pisau. Luna duduk perlahan di seberangnya. “Terima kasih sudah datang…” suara Luna nyaris tak terdengar. “Aku nggak ke sini untuk bersimpati,” jawab Bella cepat. “Aku cuma ingin dengar langsung dari kamu. Kenapa kamu bunuh Marco?” Luna terdiam. Air matanya mengambang. “Kamu tidur di rumahku. Kamu makan di mejaku. Kamu aku anggap saudara sendiri. Dan
Luna masih ingat malam itu dengan sangat jelas. Guci keramik pecah menghantam kepala Marco dengan suara mengerikan. Darah menyembur. Marco terkapar di lantai, tubuhnya kejang sebentar lalu diam. Nafas Luna tercekat. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia tidak menunggu untuk memastikan apakah Marco masih hidup. Ia hanya lari. Keluar rumah, malam hari, mengenakan sandal satu, membawa dompet dan ponsel. Dan sejak itu, hidupnya tak pernah sama lagi. Ia pindah kota. Jadi florist. Menyembunyikan diri di balik bunga dan senyuman kecil. Tapi hari itu datang juga. Sudah beberapa tahun berlalu sejak malam kematian Marco, tapi bagi Bella, luka itu tidak pernah tertutup. Ia ingat dengan jelas setiap detiknya: tubuh suami terkapar di lantai, darah menggenang, dan tidak ada tanda-tanda kekerasan dari luar. Pintu belakang tidak rusak. Barang-barang tidak ada yang hilang. Hanya satu hal yang mencurigakan— Luna menghilang. Bukan hanya tidak bisa dihubungi, Luna seolah menghilang dari bumi. Nomornya
Dimitri menggenggam cangkir kopinya, pandangannya tak lepas dari wajah Luna yang kini tampak jauh lebih tenang daripada masa lalu mereka yang penuh letupan. Malam sudah turun, dan toko bunga itu hanya diterangi cahaya kuning lembut dari lampu gantung. “Kamu...” Dimitri mengernyit, “Kenapa jadi pegawai florist? Bukankah kamu anak orang kaya? Aku tahu betul siapa keluargamu, Lun.” Luna tersenyum kecut, menunduk memandangi jemarinya yang menimang-nimang kelopak ranum mawar merah. “Aku kabur dari rumah,” bisiknya. “Setelah cerai dari Axel... kamu kan tahu. Waktu itu kamu maksa aku buat nikah sama kamu. Ayahku juga nyuruh aku terima.” Dimitri menunduk. Matanya menyipit, penuh rasa bersalah. “Tapi aku nolak, Dim,” lanjut Luna, suaranya gemetar. “Aku masih sakit hati. Kamu... kamu orang yang suruh Dita deketin Axel. Kamu sendiri yang bantu dia merayu suamiku. Dan itu hancurin semuanya.” Dimitri diam. Tak ada pembelaan. Dia tahu, luka itu bukan untuk diluruskan—hanya bisa diteri
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen