Share

Bab 03

"Bojone deweke lah, masa bojone uwong." Tiba-tiba panggilan berakhir ...

Wanita tua berambut putih yang di sanggul itu memandang Jihan dengan penuh kasih sayang sambil tersenyum.

"Cucuku ki elek kok yo ulih bojo ayu tenan," ucapnya sambil berdiri dan melangkah menghampiri Jihan yang sedari tadi masih tetap berdiri. "Sini duduk, namanya siapa?" Sapa sang nenek.

"Jihanna, Nek, panggil saja Jihan," ujarnya.

"Jihan, ayu temen to cah cah," puji sang nenek sambil memperhatikan wajah Jihan yang berbentuk oval. Jihan yang tak tahu artinya hanya bisa meringis bingung serta penasaran dengan arti yang baru saja di ucapkan sang nenek.

Seketika Alfian terdiam ketika mengingat hari ini adalah hari pernikahan sang kekasih, denyutan dalam dada terasa sangat dan amat perih untuknya.

Bibir Jihan yang tadinya merekah lebar seketika mengerut melihat ekspresi wajah Alfian yang murung, wanita itu mengira bahwa ucapan sang nenek tidaklah baik untuknya.

"Assalamualaikum," ucap salam dari sang kakek.

"Waalaikummusalam," jawab mereka bersamaan sambil memandang masuknya sang kakek.

"Ndi bojone putuku?" Tanya sang kakek sambil memandang Jihan, "Walah, ayu tenan rek," lanjutnya.

"Ayu to, Pak, jenenge wong kota," sahut sang nenek.

Jihan yang tak tahu artinya lagi hanya meringis sambil menganggukkan kepala. Sesekali mata wanita itu melirik ke arah Alfian yang masih saja termenung.

Jantung Jihan berdegup kencang seolah dia takut ada kejadian yang tak di inginkan olehnya, karena Alfian memang benar-benar tidak menghiraukannya saat itu.

"Nang! Bawa ke kamar sana, istirahat. Nanti kalau sudah hilang capeknya di ajak makan siang," ujar sang nenek sambil menepuk paha Alfian. Pemuda itu terperanjat.

"Eh, iya, Nek," ucapnya. Tak lupa Alfian menyalami dan memeluk sang kakek ketika dirinya sadar di sana ada sang kakek. "Eh, kek, jam berapa nanti ijab qobul nya?" Tanya Alfian.

"Sudah selesai tadi jam sembilan, kamu telat," ucap sang kakek.

"Sudah enggak apa-apa, nanti malam kamu bisa menghadiri acara pestanya," ujar sang nenek. "Enggak nyangka, pacare baru bae nikah la deweke wis ndisitan," ujar sang nenek. Ketakutan dalam hatinya musnah sudah setelah melihat sang cucu tidak seperti apa yang dia bayangkan sebelumnya.

Seluruh warga sudah tahu kalau Alfian adalah kekasih Hanum, namun semua ikut terkejut ketik Hanum menikah dengan Danu, musuh bebuyutan Alfian sejak kecil.

Tapi semua hanya bisa diam bahkan bungkam, tidak ada yang berani bertanya dan mempertanyakan karena ayah calon suami Hanum orang terpandang di sana, mereka hanya bisa mengiyakan apa kata mereka.

Alfian beranjak dari duduknya lalu mengulurkan tangan ke arah Jihan, tanpa segan Jihan meraih tangan Alfian lalu mereka berjalan ke arah kamar milik Alfian sejak kecil.

"Al, sebenarnya dari tadi nenek kamu ngomong apa sih? Aku enggak ngerti?" Bisik Jihan ketika mereka melangkah ke arah kamar.

"Sudah nanti aku jelaskan, yang penting sekarang kita berpura-pura sebagai suami istri," jawab Alfian dengan nada berbisik.

.

.

Acara pesta pernikahan ini terlihat mewah, belum ada sejarahnya ada yang pesta semegah ini di sini. Menurut Alfian dan Jihan sih pesta ini biasa saja yang terbentang lebar tarub masa kini dan di sediakan hiburan orgen, namun, untuk mereka orang yang ada di desa ini baru inilah kali pertama melihat mewahnya hiasan pernak pernik dan bertaburan bunga kertas di sekelilingnya.

Semua orang menyapa Alfian, mereka juga ada yang memeluknya karena Alfian memang terkenal baik di sana jadi banyak yang merindukannya. Dari anak-anak hingga orang dewasa bahkan orang tua pun ikut menyapa dan menyalami.

Jihan melihat pemandangan itu begitu indah di mana Alfian benar-benar di hargai semua orang bahkan dirinya pun mendapatkan perlakuan dengan baik oleh warga. Beberapa orang telah mengetahui bahwa wanita yang di gandeng Alfian adalah istrinya, namun, ada satu orang wanita yang belum tahu siapa wanita yang di gandeng oleh Alfian.

"Mas, Al!" Suara teriakan di tengah-tengah keramaian itu membuat kepala Alfian celingukan untuk mencari sumber suara.

Alfian melambaikan tangan ketika terlihat dari kejauhan Almera melambaikan tangan sambil berjalan mengarah padanya.

"Mas, kapan sampai?" Tanya Almera sambil menjabat tangan Alfian begitu sampai di hadapannya.

"Tadi pagi, tapi enggak bisa langsung ke sini karena istirahat dulu. Ketinggalan ijabnya," jawab Alfian sambil tersenyum.

"Mas Al, kenapa enggak jawab telepon aku kemarin? Aku kan kangen," ucap Almera dengan nada manja.

"Aku sudah enggak kepikiran lagi tentang gawai, Al," jawab Alfian dengan nada datar. "Yang aku pikirkan gimana cara cepat sampai ke sini, pinginnya sih cling aja langsung sampai."

Kebisingan di sana membuat mereka berbicara dengan suara agak keras. Tapi semuanya terlihat menikmati lagu-lagu yang di nyanyikan oleh seorang biduan yang sedang berdiri di atas pentas.

Seketika Almera memandang Jihan dengan tatapan sinis ketika sadar ada wanita yang menggandeng tangan Alfian, tak segan-segan Almera mendekatkan bibirnya ke telinga Alfian.

"Mas, wanita ini siapa? Teman?" Tanya Almera dengan nada datar namun tak terdengar oleh siapapun karena suara musik lebih keras.

"Istri."

"Apa? Kamu sudah punya istri, Mas? Sejak kapan?" Tanya Almera dengan nada lantang. Dalam pikirannya semua ini tidak mungkin karena hampir di setiap harinya Almera berhubungan lewat telepon dengan Alfian akhir-akhir ini.

Almera sudah berharap banyak pada Alfian karena Almera memang memendam rasa pada Alfian.

Almera juga wanita sebagai perantara antara Alfian dan nenek beserta kakek, sampai-sampai Almera rela mengajarkan kakek dan nenek dengan sabar sampai keduanya pandai memegang android.

"Mas! Kenapa kamu enggak kasih tau aku dari dulu kalau kamu sudah punya istri?" Tanya Almera kesal. "Kapan kamu menikah dan kapan kamu mengenal dia? Sepertinya semua ini tidak mungkin," ucap Almera mendengus kesal.

"Lah memangnya kenapa?" Tanya Alfian. "Apanya yang tidak mungkin?"

Almera tidak bisa menjawab, gadis itu hanya bisa berlari ke arah rumahnya dengan rasa kecewa yang sangat luar biasa dalam hatinya.

Almera adalah sahabat Hanum sejak kecil, namun, Almera memang memiliki rasa kepada Alfian sejak lama. Maka Almera selalu berharap kisah cinta Alfian dan Hanum kandas tapi sekarang malah Almera tidak bisa lagi berucap apa-apa.

"Al! Almera!" Teriakan Alfian tidak lagi di hiraukan. Gadis itu menangis sesenggukan dengan punggung tangan mengusap air mata yang terus saja mengalir deras.

"Dia pacar kamu?" Tanya Jihan dengan nada datar.

"Bukan. Teman, dia temanku dan juga teman Hanum. Almera lah yang menjadi ibu pos untuk kakek dan nenekku," jawab Alfian sambil terus memandang kepergian Almera.

"Hmmm, semoga instingku, salah," ucap Jihan sambil menghela nafas panjang.

"Apa?" Tanya Alfian sambil memandang Jihan.

Jihan menggeleng, "Sudahlah, nanti saja kita bahas. Sekarang kita fokus jadi tamu undangan," ujar Jihan yang sudah mencium aroma tak sedap antara Hanum, Almera, dan Alfian.

Alfian memberanikan diri memasuki tenda yang sangat besar, di dalamnya banyak kursi yang di selimuti oleh kain putih berenda kuning emas yang sangat cantik.

Kaki Alfian terasa berat, namun, Jihan mampu meringankan dengan menggandeng tangan pemuda itu. Pandangan pemuda itu ke bawah, seolah dia tak mampu untuk memandang sang kekasih bersanding dengan yang lain.

"Al, kamu harus kuat. Jangan lemah kamu itu laki-laki," ujar Jihan yang terus saja memeluk lengan Alfian. Alfian tidak bisa berkata, hanya saja dia fokus dengan air mata yang sudah mengambang supaya tidak menetes.

Alfian dan Jihan melewati beberapa jenis makanan yang sudah tersedia di sana, Jihan tahu Alfian tidak akan selera makan maka sebelum mereka berangkat Jihan memaksa Alfian untuk makan malam terlebih dahulu.

"Al, kita duduk di bagian paling depan," ujar Jihan.

"Jangan, cari tempat lain saja," ujar Alfian.

Jihan menganggukkan kepala seolah dia mengerti, rasa yang saat ini di rasakan oleh Alfian sangat luar biasa sakitnya. Jika tidak mengingat dan melihat banyak orang di sini, ingin rasanya semua kursi yang ada di lempar ke angkasa.

Alfian duduk dengan mata tetap memandang ke bawah, sekalipun dia tidak berani memandang ke pelaminan di mana kedua mempelai sedang sibuk berpose untuk mengambil gambar.

"Al! Kamu yang kuat, kamu yang sabar. Aku tahu ini sangat berat untukmu tapi kamu harus yakin kalau Tuhan sudah menyediakan wanita yang lebih baik darinya," ucap Jihan sambil memegang telapak tangan Alfian sebelah kanan. "Al!"

Perlahan Alfian menoleh ke samping untuk memandang Jihan, tatapan mata Jihan seperti orang yang sedang berharap. Alfian menganggukkan kepala ketika menatap mata Jihan.

"Ji, aku enggak sanggup," ucap Alfian yang tiba-tiba menangis sesenggukan, beberapa tamu undangan menyaksikan kesedihan Alfian.

"Al! Aku ini istri kamu. Apa kamu enggak menghargai aku di sini? Nyatanya kamu masih bersedih atas pernikahan mantan kamu? Hah?" Ucap Jihan dengan nada lantang.

Seketika beberapa orang menoleh ke arah mereka, sumber suara itu terdengar oleh kedua pengantin. Seketika Alfian memandang Jihan dan dengan sigap wanita itu mengambil tisu lalu mengusap air mata suami pura-pura nya.

Alfian meringis geli melihat ekspresi Jihan yang seperti marah sungguhan, pemuda itu tidak menyangka kalau Jihan mampu menggelitik hatinya.

"Aku malu," ucap Alfian sambil menutup wajah menggunakan kedua telapak tangannya, "Semua orang memandang ke sini," lanjutnya.

Jihan tertawa lepas sambil memeluk Alfian di tengah keramaian, saat ini merekalah yang menjadi pusat perhatian dan bukan kedua mempelai.

"Al! Hanum memandang ke arah sini," ucap Jihan dengan nada datar dan mata melirik ke arah Hanum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status