Share

Bab 02

“Tenang, aku enggak akan berbuat jahat. Hanya saja aku ingin Hanum tahu kalau aku juga bisa hidup tanpa dia.”

Motor Alfian melaju kencang, jalanan masih terlihat basah setelah beberapa jam yang lalu di guyur hujan. Tanpa segan Jihan memeluk Alfian dari belakang seolah mereka adalah sepasang kekasih.

Setelah menempuh perjalanan selama enam jam, Alfian menepikan motornya di warung makan yang ada di tepi jalan. Jam baru menunjukkan pukul empat pagi namun sudah terlihat beberapa penjual makanan berjejer di sana.

“Al, masih jauh?” Tanya Jihan sambil mengucek mata.

“Enggak. Sebentar lagi kok, sini duduk,” ujarnya sambil menepuk bangku yang ada di sampingnya.

Jihan duduk di samping Alfian dengan bermalas-malasan karena menahan kantuk. Kepalanya di letakkan di atas meja dengan beralaskan lengannya.

Sesekali mata Jihan mengatup, tak pernah dia bayangkan akan selelah ini jika bepergian jauh dengan mengendarai sepeda motor.

“Ji, di makan dulu itu nasinya, ini enak loh,” ujar Alfian dengan mata sekilas melirik ke arah dua piring yang sudah berisi nasi serta lauk.

“Masih pagi, belum enak kalau makan nasi,” jawab Jihan dengan mata yang tetap terpejam.

“Ji, coba dulu, nanti kamu akan ketagihan,” ucap Alfian sambil mencuci tangan lalu sedikit demi sedikit nasi di campur dengan lauknya, “Ikan pepes ini sudah menjadi langganan aku sejak aku masih sekolah dulu,” lanjutnya.

Jihan penasaran, wanita itu mencoba membuka mata untuk melihat seperti apa bentuk ikan dan bagaimana rasa pepes yang Alfian katakan begitu lezat. Kepala Jihan celingukan seperti sedang mencari sesuatu.

Alfian tertawa kecil sambil menggelengkan kepala, pemuda itu tahu apa yang sedang di cari oleh wanita bertubuh tinggi semampai itu.

“Kamu cari sendok?” Tanya Alfian. Jihan mengangguk. “Mana ada sendok di sini, makan pakai tangan saja.”

“Aku enggak bisa dan enggak biasa,” jawab Jihan dengan nada manja.

“Kamu bakal tinggal di desakan? Di desa enggak ada sendok maka kamu harus belajar mulai dari sini,” ucap Alfian sambil cekikikan.

Mata bulat itu mengarah pada mangkuk kecil berisi air serta sepotong jeruk nipis, tangan lembut itu perlahan masuk ke dalamnya.

Tampak dari pergerakannya memang Jihan belum pernah sama sekali makan menggunakan tangan, hanya dengan jari jemarinya dia mengambil nasi beserta lauknya.

Beberapa saat kemudian, Alfian mencuci tangannya sambil meremas-remas sepotong jeruk nipis supaya bau amis dari ikan yang dia makan menghilang.

“Al, nanti kamu jawab apa kalau ibu kamu tanya soal aku?” Tanya Jihan sambil mengunyah.

“Tenang. Itu biar aku pikirkan nanti sambil berjalan,” jawab Alfian dengan nada santai. Pemilik warung melirik ke arah mereka namun hal itu tidak di sadari oleh keduanya.

“Yang pada intinya aku enggak mau kalau harus tinggal bersama orang lain, aku kan enggak kenal siapapun di sana,” ucap Jihan sambil mencuci tangan.

“Iya. Aku tahu, yang penting kamu percaya sama aku ‘kan?” Tanya Alfian sambil menggoda.

Jihan tertawa lepas sambil menepuk paha Alfian, mata wanita itu kini telah terbuka lebar. Rasa lelah dan kantuknya sudah menghilang setelah beberapa saat mereka bersenda gurau.

Perjalanan masih sangat jauh tapi Alfian mampu membuat Jihan tidak bosan dalam menempuh perjalanan itu, pemuda itu menceritakan asal usul bahkan hal-hal aneh yang sering terjadi di sana.

.

.

“Al, ini masih jauh?” Tanya Jihan yang baru saja sadar dari obrolan sepanjang perjalanan.

“Enggak. Sebentar lagi juga sampai,” jawab Alfian sambil menahan tawa.

Puk! Jihan menepuk pundak Alfian sebelah kanan.

“Aduh!” Alfian meringis.

“Dari subuh sampai sekarang sebentar lagi, sebentar lagi tapi enggak sampai-sampai. Coba lihat itu matahari sudah menyingsing, ini pertanda kalau enggak jam sembilan, ya, jam sepuluh,” ucap Jihan kesal.

Tawa Alfian lepas, tak lagi terpikirkan olehnya masalah yang mengganggunya beberapa hari terakhir ini. Yang tadinya pemuda itu hanya bisa menghela nafas panjang, kini dia mampu melebarkan bibirnya bahkan mengeluarkan suara tawa.

Setelah mereka menempuh jalan setapak selama dua jam, tampak dari kejauhan sebuah pemukiman yang padat penduduk namun tidak terlalu banyak.

Dari sekitar, tampak bertebaran pohon kelapa di sana. Seperti sudah menjadi pekerjaan para warga karena ada banyak tumpukan kelapa di sana dan beberapa orang sedang bekerja.

“Al, mereka yang punya pohon kelapa ini atau gimana?” Tanya Jihan ketika melihat para pekerja sedang mengupas kelapa dari sabutnya.

“Mereka pekerja, awalnya di sini hutan belantara dan sekarang sudah menjadi kebun kelapa yang sangat luas bahkan akan di perluas lagi,” jawab Alfian.

Jihan mengangguk-anggukkan kepala seolah mengerti. Tangan kanannya mulai memegang pinggang bagian kanan karena sudah terasa pegal.

“Ji, coba kamu lihat itu!” Ujar Alfian sambil memandang sebuah rumah yang tengah ramai di sana.

“Pesta? Itu pestanya Hanum? Hari ini ‘kan dia menikah?” Deretan pertanyaan Jihan hanya di jawab dengan senyuman.

Alfian tidak bisa menjawab pertanyaan, yang ada dalam hatinya rasa panas seperti sedang ada bara api yang menyala-nyala di dalam dadanya.

Setelah melewati beberapa rumah warga, sampailah mereka ke sebuah rumah berukuran kecil yang terbuat dari papan.

“Al, ini rumah kamu?” Tanya Jihan ketika mereka berada di halaman yang tidak terlalu luas.

“Bukan. Ini rumah nenek, aku tinggal bersama nenek dan kakek sejak kecil,” jawabnya sambil melepaskan helm dari kepalanya.

Tampak seorang wanita tua yang baru saja beranjak dari duduknya setelah melihat kedatangan mereka. Wanita tua itu tergopoh-gopoh berjalan menuju keduanya.

Air matanya sudah tidak bisa lagi di bendung, suara tangis itu pecah di kala berada di pelukan sang cucu.

“Oalah, Nang, nenek kangeeeen,” ucapnya dengan suara parau. Alfian juga tak bisa menahan tangisnya, sudah sekian lamanya dia meninggalkan nenek dan kakeknya demi mencari uang lebih untuk menikahi sang kekasih namun semua kandas sia-sia.

“Aku juga kangen, Nek,” bisik Alfian.

Hati Jihan tersentuh, jari telunjuk lentiknya menyeka air mata yang hendak jatuh dari sudut matanya.

Baru tersadar sang cucu membawa seorang wanita cantik pulang ke rumah, namun, sang nenek menatapnya dengan tatapan heran.

“Nang, ini siapa?” Tanya Nek Rum sambil melepaskan pelukannya.

Oh, ini istriku, Nek,” ucap Alfian.

“Apa?” Tanya nenek terkejut.

“Hah?” Jihan menutup rapat mulutnya yang tadinya terbuka lebar.

“Apa? Istri kamu?” Tanya nenek dengan nada marah. “Kamu menikah enggak kasih kabar ke nenek? Dasar kamu ya!” Ucap nenek geram sambil menjewer telinga Alfian dan di tarik sampai ke dalam rumah.

Alfian meringis kesakitan dengan pasrah, pemuda itu tahu bahwa sang nenek tidak benar-benar marah. Hanya saja sang nenek geram karena tidak memberi kabar dahulu.

Jihan melangkah dengan langkah panjang mengikuti keduanya dari belakang. Sekilas Jihan menoleh ke belakang untuk memandang ke arah sekitar dan untungnya tidak ada warga yang sedang menyaksikan kejadian itu.

“Duduk kamu!” Ujar sang nenek ketika berada di kursi ruang tamu. “Sejak kapan kamu punya istri?” Lanjutnya.

“Sejak tadi,” jawab Alfian.

“Apa?” Nenek terkejut.

“Eh, bukan. Dua bulan yang lalu,” jawabnya gugup.

Beberapa kali sang nenek menepuk paha Alfian, pemuda itu pasrah namun tak rela maka sesekali Alfian menghindar sambil tertawa lepas.

Jihan melihat ada kehangatan di antara keduanya, walaupun mereka tinggal di rumah yang jauh dari kata wah tapi mereka mampu memberi kasih sayang satu sama lain. Wanita itu terperangah ketika melihat sang nenek duduk di samping cucunya sambil mengeluarkan android yang sedari tadi di selipkan di bagian pinggang.

“Dih, nenek-nenek gaul,” goda Alfian sambil memandang ke arah sang nenek yang sedang menghubungi seseorang.

Tuuutt ...

Tuuutt ...

“Halo!” Sapaan dari seberang.

“Kek! Delok gie cucune wis nggawa bojo mengumah,” ucapnya menggunakan bahasa daerah lahir.

“Apa? Nggawa bojo? Bojone sapa?” Spontan suara sang kakek agak meninggi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status