“Tenang, aku enggak akan berbuat jahat. Hanya saja aku ingin Hanum tahu kalau aku juga bisa hidup tanpa dia.”
Motor Alfian melaju kencang, jalanan masih terlihat basah setelah beberapa jam yang lalu di guyur hujan. Tanpa segan Jihan memeluk Alfian dari belakang seolah mereka adalah sepasang kekasih.Setelah menempuh perjalanan selama enam jam, Alfian menepikan motornya di warung makan yang ada di tepi jalan. Jam baru menunjukkan pukul empat pagi namun sudah terlihat beberapa penjual makanan berjejer di sana.“Al, masih jauh?” Tanya Jihan sambil mengucek mata.“Enggak. Sebentar lagi kok, sini duduk,” ujarnya sambil menepuk bangku yang ada di sampingnya.Jihan duduk di samping Alfian dengan bermalas-malasan karena menahan kantuk. Kepalanya di letakkan di atas meja dengan beralaskan lengannya.Sesekali mata Jihan mengatup, tak pernah dia bayangkan akan selelah ini jika bepergian jauh dengan mengendarai sepeda motor.“Ji, di makan dulu itu nasinya, ini enak loh,” ujar Alfian dengan mata sekilas melirik ke arah dua piring yang sudah berisi nasi serta lauk.“Masih pagi, belum enak kalau makan nasi,” jawab Jihan dengan mata yang tetap terpejam.“Ji, coba dulu, nanti kamu akan ketagihan,” ucap Alfian sambil mencuci tangan lalu sedikit demi sedikit nasi di campur dengan lauknya, “Ikan pepes ini sudah menjadi langganan aku sejak aku masih sekolah dulu,” lanjutnya.Jihan penasaran, wanita itu mencoba membuka mata untuk melihat seperti apa bentuk ikan dan bagaimana rasa pepes yang Alfian katakan begitu lezat. Kepala Jihan celingukan seperti sedang mencari sesuatu.Alfian tertawa kecil sambil menggelengkan kepala, pemuda itu tahu apa yang sedang di cari oleh wanita bertubuh tinggi semampai itu.“Kamu cari sendok?” Tanya Alfian. Jihan mengangguk. “Mana ada sendok di sini, makan pakai tangan saja.”“Aku enggak bisa dan enggak biasa,” jawab Jihan dengan nada manja.“Kamu bakal tinggal di desakan? Di desa enggak ada sendok maka kamu harus belajar mulai dari sini,” ucap Alfian sambil cekikikan.Mata bulat itu mengarah pada mangkuk kecil berisi air serta sepotong jeruk nipis, tangan lembut itu perlahan masuk ke dalamnya.Tampak dari pergerakannya memang Jihan belum pernah sama sekali makan menggunakan tangan, hanya dengan jari jemarinya dia mengambil nasi beserta lauknya.Beberapa saat kemudian, Alfian mencuci tangannya sambil meremas-remas sepotong jeruk nipis supaya bau amis dari ikan yang dia makan menghilang.“Al, nanti kamu jawab apa kalau ibu kamu tanya soal aku?” Tanya Jihan sambil mengunyah.“Tenang. Itu biar aku pikirkan nanti sambil berjalan,” jawab Alfian dengan nada santai. Pemilik warung melirik ke arah mereka namun hal itu tidak di sadari oleh keduanya.“Yang pada intinya aku enggak mau kalau harus tinggal bersama orang lain, aku kan enggak kenal siapapun di sana,” ucap Jihan sambil mencuci tangan.“Iya. Aku tahu, yang penting kamu percaya sama aku ‘kan?” Tanya Alfian sambil menggoda.Jihan tertawa lepas sambil menepuk paha Alfian, mata wanita itu kini telah terbuka lebar. Rasa lelah dan kantuknya sudah menghilang setelah beberapa saat mereka bersenda gurau.Perjalanan masih sangat jauh tapi Alfian mampu membuat Jihan tidak bosan dalam menempuh perjalanan itu, pemuda itu menceritakan asal usul bahkan hal-hal aneh yang sering terjadi di sana...“Al, ini masih jauh?” Tanya Jihan yang baru saja sadar dari obrolan sepanjang perjalanan.“Enggak. Sebentar lagi juga sampai,” jawab Alfian sambil menahan tawa.Puk! Jihan menepuk pundak Alfian sebelah kanan.“Aduh!” Alfian meringis.“Dari subuh sampai sekarang sebentar lagi, sebentar lagi tapi enggak sampai-sampai. Coba lihat itu matahari sudah menyingsing, ini pertanda kalau enggak jam sembilan, ya, jam sepuluh,” ucap Jihan kesal.Tawa Alfian lepas, tak lagi terpikirkan olehnya masalah yang mengganggunya beberapa hari terakhir ini. Yang tadinya pemuda itu hanya bisa menghela nafas panjang, kini dia mampu melebarkan bibirnya bahkan mengeluarkan suara tawa.Setelah mereka menempuh jalan setapak selama dua jam, tampak dari kejauhan sebuah pemukiman yang padat penduduk namun tidak terlalu banyak.Dari sekitar, tampak bertebaran pohon kelapa di sana. Seperti sudah menjadi pekerjaan para warga karena ada banyak tumpukan kelapa di sana dan beberapa orang sedang bekerja.“Al, mereka yang punya pohon kelapa ini atau gimana?” Tanya Jihan ketika melihat para pekerja sedang mengupas kelapa dari sabutnya.“Mereka pekerja, awalnya di sini hutan belantara dan sekarang sudah menjadi kebun kelapa yang sangat luas bahkan akan di perluas lagi,” jawab Alfian.Jihan mengangguk-anggukkan kepala seolah mengerti. Tangan kanannya mulai memegang pinggang bagian kanan karena sudah terasa pegal.“Ji, coba kamu lihat itu!” Ujar Alfian sambil memandang sebuah rumah yang tengah ramai di sana.“Pesta? Itu pestanya Hanum? Hari ini ‘kan dia menikah?” Deretan pertanyaan Jihan hanya di jawab dengan senyuman.Alfian tidak bisa menjawab pertanyaan, yang ada dalam hatinya rasa panas seperti sedang ada bara api yang menyala-nyala di dalam dadanya.Setelah melewati beberapa rumah warga, sampailah mereka ke sebuah rumah berukuran kecil yang terbuat dari papan.“Al, ini rumah kamu?” Tanya Jihan ketika mereka berada di halaman yang tidak terlalu luas.“Bukan. Ini rumah nenek, aku tinggal bersama nenek dan kakek sejak kecil,” jawabnya sambil melepaskan helm dari kepalanya.Tampak seorang wanita tua yang baru saja beranjak dari duduknya setelah melihat kedatangan mereka. Wanita tua itu tergopoh-gopoh berjalan menuju keduanya.Air matanya sudah tidak bisa lagi di bendung, suara tangis itu pecah di kala berada di pelukan sang cucu.“Oalah, Nang, nenek kangeeeen,” ucapnya dengan suara parau. Alfian juga tak bisa menahan tangisnya, sudah sekian lamanya dia meninggalkan nenek dan kakeknya demi mencari uang lebih untuk menikahi sang kekasih namun semua kandas sia-sia.“Aku juga kangen, Nek,” bisik Alfian.Hati Jihan tersentuh, jari telunjuk lentiknya menyeka air mata yang hendak jatuh dari sudut matanya.Baru tersadar sang cucu membawa seorang wanita cantik pulang ke rumah, namun, sang nenek menatapnya dengan tatapan heran.“Nang, ini siapa?” Tanya Nek Rum sambil melepaskan pelukannya.Oh, ini istriku, Nek,” ucap Alfian.“Apa?” Tanya nenek terkejut.“Hah?” Jihan menutup rapat mulutnya yang tadinya terbuka lebar.“Apa? Istri kamu?” Tanya nenek dengan nada marah. “Kamu menikah enggak kasih kabar ke nenek? Dasar kamu ya!” Ucap nenek geram sambil menjewer telinga Alfian dan di tarik sampai ke dalam rumah.Alfian meringis kesakitan dengan pasrah, pemuda itu tahu bahwa sang nenek tidak benar-benar marah. Hanya saja sang nenek geram karena tidak memberi kabar dahulu.Jihan melangkah dengan langkah panjang mengikuti keduanya dari belakang. Sekilas Jihan menoleh ke belakang untuk memandang ke arah sekitar dan untungnya tidak ada warga yang sedang menyaksikan kejadian itu.“Duduk kamu!” Ujar sang nenek ketika berada di kursi ruang tamu. “Sejak kapan kamu punya istri?” Lanjutnya.“Sejak tadi,” jawab Alfian.“Apa?” Nenek terkejut.“Eh, bukan. Dua bulan yang lalu,” jawabnya gugup.Beberapa kali sang nenek menepuk paha Alfian, pemuda itu pasrah namun tak rela maka sesekali Alfian menghindar sambil tertawa lepas.Jihan melihat ada kehangatan di antara keduanya, walaupun mereka tinggal di rumah yang jauh dari kata wah tapi mereka mampu memberi kasih sayang satu sama lain. Wanita itu terperangah ketika melihat sang nenek duduk di samping cucunya sambil mengeluarkan android yang sedari tadi di selipkan di bagian pinggang.“Dih, nenek-nenek gaul,” goda Alfian sambil memandang ke arah sang nenek yang sedang menghubungi seseorang.Tuuutt ...Tuuutt ...“Halo!” Sapaan dari seberang.“Kek! Delok gie cucune wis nggawa bojo mengumah,” ucapnya menggunakan bahasa daerah lahir.“Apa? Nggawa bojo? Bojone sapa?” Spontan suara sang kakek agak meninggi.Tidak berselang lama, Jihan kembali dengan membawa tiga gelas jus jeruk. Wanita itu duduk di sebelah kanan Alfian sedangkan Safitri duduk di seberangnya."Ada. Aku ada fotonya," ucap Safitri sambil menggeser-geserkan layar gawai miliknya."Foto siapa, Al?" Bisik Jihan pada suaminya."Danu," sahut Alfian.Mata Alfian dan Jihan sama-sama melotot ketika Safitri menyodorkan gawainya yang terpajang foto Danu di sana. Ya, benar. Di sana ada Danu suami dari Hanum.Alfian menghela nafas panjang sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Pemuda itu ingin marah kepada Danu tapi apa untungnya? Toh lelaki itu pilihan Hanum sendiri."Jadi rencana kamu gimana, Sa?" Tanya Alfian."Ya, kami akan menikah," sahut Safitri sambil tersenyum.Alfian hanya bisa mengangguk-anggukan kepala, pemuda itu tak dapat berkata apa-apa. "Terus aku di undang ke sini untuk apa, Al?" Tanya Safitri yang masih penasaran."Danu itu—""Eh, Al, ada sesuatu yang mau aku beli. Ini penting, ayo kita pergi." Jihan memotong pemb
Sejenak Jihan akan memanggil wanita itu namun dia mengurungkan niatnya dengan membalik badan. Wanita itu masuk ke dalam rumahnya dan tidak lama keluar kembali.Jihan mentransfer uang untuk ibu kost setelah meminta nomor rekening beliau tadi, untungnya aplikasi untuk mentransfer masih ada di gawainya. Dia sudah nyaman untuk tinggal di sana maka dia tidak keberatan untuk membayar langsung selama setahun. "Mbak Jihan, mau ke mana?" Tanya tetangga sebelah rumah yang kemarin sudah berkenalan dengannya."Mau ke kantor, Al, Bu. Ada urusan dadakan," sahut Jihan sambil mengunci pintu."Oh, baru juga sebentar di tinggal, Mbak. Kangen, ya?" Ucap wanita itu dengan nada menggoda.Jihan tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala, ada-ada saja tingkah wanita itu. Tapi sebenarnya jauh di lubuk hati Jihan memang merasa senang dia akan bertemu dengan Alfian, padahal baru beberapa jam saja dia di tinggal.Jihan menghentikan langkah ketika melihat seorang wanita muda tengah menjemur pakaian yang ada di
Jihan meletakkan kembali gawai yang ada di tangannya dengan mata berkaca-kaca, kepalanya mendongak dengan memandang langit-langit rumah sembari menghela nafas panjang.Usahanya untuk menahan air mata yang hendak jatuh tak berhasil, air mata itu tetap jatuh membasahi area pipi. Wanita itu mengambil kembali gawai bukan untuk menjawab telepon melainkan mematikan daya gawai."Ma, maafin aku, Ma. Lebih baik aku pergi daripada aku harus tinggal sama papa."Jihan kembali beres-beres rumah dengan air mata yang sesekali masih menetes. Namun, sekuat hati wanita itu mencoba mengalihkan pikirannya ketika melihat isi dapur masih terlihat kosong..."Al, apa sebaiknya aku cari rumah kost sendiri, ya?" Tanya Jihan di saat mereka tengah makan malam yang baru di beli Alfian."Loh, kenapa? Kamu masih belum percaya sama aku kalau aku bakal menjaga—""Bukan itu maksudku, Al.""Lantas?" Tanya Alfian sambil memandang Jihan.Jihan dan Alfian duduk di lantai beralaskan tikar plastik, mereka tampak seperti p
Ayu tersenyum sinis memandang Jihan, sayangnya Brahma Utama tidak memperhatikannya. Lelaki paruh baya itu fokus memandang sang putri dengan sangat marah."Pa—""Jihan! Sudah papa peringatkan kamu, kalau kamu tidak bisa terima dengan keputusan papa ini sebaiknya kamu pergi!" Ucap Brahma Utama dengan nada lantang.Rasa emosi Jihan tidak bisa di bendung lagi, tanpa pikir panjang wanita itu menutup dengan kuat daun pintu sehingga menyebabkan suara sangat keras.Jihan mengambil sebuah koper dari atas almarinya, wanita itu menyusun beberapa baju miliknya dan juga peralatan serta perlengkapan dirinya.Tidak menunggu waktu lama, wanita itu menuruni anak tangga dengan menarik gagang koper berwana hitam. Langkahnya sejenak berhenti ketika melihat sang papa dan wanitanya duduk berdua di kursi makan."Eh, mau ke mana kamu, Mbak?" Tanya Tasya terkejut, wanita yang masih duduk di kursi yang ada di teras itu beranjak sambil meletakkan gawai di atas meja."Aku mau pergi, Tasya. Enggak ada lagi sainga
Jihan yang tengah duduk di lantai dengan kedua tangan melipat di atas lutut, kini berdiri tegap sambil memandang sang adik."Tasya, sampai kapan kamu anggap aku ini musuh? Hah?" Tanya Jihan sambil melangkah ke arah Tasya."Aku bukan menganggap, tapi kamu memang musuhku," ucap Tasya dengan ketus."Apa salahku? Apa?" Teriak Jihan."Kamu enggak sadar? Semua kasih sayang mama kamu ambil, Mbak. Mama lebih sayang sama kamu dan mama lebih perhatian sama kamu, mama enggak pernah memberi perhatian yang sama sepertimu," ucap Tasya dengan rasa geram.Unek-unek di dalam hati kini telah keluar dari mulut Tasya, selama ini wanita itu hanya bisa memendam karena tiada tempat mengadu. Jika mengadu kepada sahabatnya, hal inilah yang dapat merendahkan dirinya karena dia selalu bercerita dialah yang terbaik di rumah ini."Kamu enggak pergi saja ikut suamimu? Ngapain lagi kamu di sini, mau jadi janda?" Ucap Tasya dengan nada ketus dan wajah sinis."Aku di sini untuk mama, bukan untuk hidupku," jawab Jihan
Secepatnya Jihan menjawab telepon, "Halo, Pa," sapa wanita itu setelah menggeser layar gawai ke arah kanan."Jihan, kamu kenapa belum sampai?" Tanya Brahma Utama dari seberang."Pa, Jihan mendadak tidak enak badan," jawab Jihan dengan nada lirih. Jantungnya berdegup kencang setelah mengingat wanita yang di bawa sang papa telah di usir olehnya."Ya, sudah. Papa cari pengganti saja," jawab Brahma Utama lalu mengakhiri panggilan.Jihan menghela nafas panjang sambil memandang Alfian yang masih duduk di tepi ranjang tengah memandangnya."Al, kamu enggak ke kantor?" Tanya Jihan."Enggaklah, besok saja," jawab Alfian sambil membuka sepatu yang dia kenakan."Berangkat saja, aku enggak kenapa-kenapa kok," ujar Jihan sambil menyeka poni ke belakang telinga.Alfian menggelengkan kepala, pemuda itu tahu kalau masalah yang sedang di hadapi istrinya sangat rumit. Setelah membuka sepatu pemuda itu masuk ke dalam kamar mandi."Al, aku ke kamar mama dulu, ya," ucap Jihan sambil memandang Alfian yang t