Share

Bab 04

Perlahan Alfian mengangkat pandangannya ke depan, pemuda itu mencoba menguatkan hati untuk memandang sang kekasih.

Pandangan mereka sama-sama merasuk ke hati, tampak dari raut wajah Hanum, pernikahan itu bukan keinginannya tapi tetap saja hal itu membuat Alfian terpuruk.

Jihan tersenyum ketika melihat ekspresi wajah Hanum tidak baik-baik saja, wanita itu malah melingkarkan tangannya ke pinggang Alfian dengan kepala yang menempel di pundak.

"Pak! Pak! Kok enggak malu, ya, mereka," ucap salah seorang tamu undangan yang duduk di bagian belakang mereka.

"Nampaknya mereka orang kota, Bu, jadi kalau di kota hal seperti itu memang sudah biasa dan wajar saja," jawab seorang laki-laki yang kemungkinan adalah sang suami.

"Apa bapak pernah ke kota?" Tanya wanita itu lagi.

"Ya, enggaklah, memangnya aku pernah merantau atau ninggalin kamu sendirian? Coba lihat di film-film itu, emang gitu 'kan?" Tanya sang suami.

"Iya juga, ya, Pak," jawabnya sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Jihan merasa senang setelah melihat Alfian mampu memandang ke depan, wanita itu mendongak untuk memperhatikan wajah Alfian yang tak dapat di bohongi bahwa sekarang dia masih saja merasa sedih. Namun, semua itu akan mereda setelah Alfian terus berani memandang ke depan.

Alfian mencoba melebarkan bibir ketika Hanum memandangnya dari kejauhan, namun, Hanum malah memalingkan wajah seolah tak sudi membalas senyumnya. Jantung pemuda itu berpacu sangat cepat sehingga keringat dingin Alfian mulai keluar di area punggung serta keningnya.

"Al! Pulang yuk!" Ajak Jihan setelah beberapa saat kemudian.

"Kamu sudah ngantuk?" Tanya Alfian dengan nada lirih. Jihan mengangguk. Tangan kiri Alfian yang sedari tadi memeluk Jihan, kini mengusap-usap punggung lalu tangan kanannya menyibakkan rambut yang mengganggu di area wajah Jihan.

Adegan itu di saksikan oleh Hanum yang masih duduk di pelaminan, wajah wanita itu mulai memerah, air matanya tampak menggantung di sudut mata. Dengan sigap wanita itu menempelkan ujung tisu yang sedari tadi dia pegang.

Hanum tidak sadar pergerakan matanya sedari tadi di perhatikan oleh suami yang ada di sampingnya, sang suami sudah menduga kalau Hanum masih saja menyimpan rasa dan itu sangat di benci oleh Danu. Lelaki itu menatap Hanum dengan tatapan sinis lalu memalingkan wajah ke arah lain begitu saja.

"Yuk, kita pulang!" Ucap Alfian sambil melepaskan pelukan tangan kirinya.

"Yuk!" Jihan mulai membenahi baju bagian samping, yang di atas normalnya Jihan masih memakai pakaian yang sama seperti hari kemarin.

Selangkah demi selangkah Alfian naik ke atas pelaminan untuk memberikan selamat pada sang kekasih, namun, dia berhenti sejenak.

"Al, buruan!" Ujar Jihan yang masih ada di belakangnya.

Alfian memaksakan kakinya untuk melangkah padahal entah kenapa baru saja tiba-tiba kakinya seperti membatu, nafasnya terengah-engah seperti habis berlari seribu kilometer per jam. Jantungnya berdegup kencang seperti pemompa oli dalam mesin motor.

Keringat dingin terus keluar, tak kuat rasanya jika dia terus melangkah. Namun, Jihan langsung mendampingi Alfian. Wanita itu memeluk lengan Alfian seolah sedang mempraktikkan adegan suami istri yang sedang bergandengan tangan.

"Selamat, ya, Dan. Kamu sahabat aku dari kecil mampu merebut hati kekasihku," ucap Alfian tanpa ampun.

"Iya, sama-sama. Kamu hebat, ya, dapat istri orang kota," ucap Danu yang tidak mengambil respon ucapan Alfian.

Alfian menoleh ke samping di mana Jihan sedang berdiri di sampingnya. Sekarang Alfian baru sadar kalau ternyata Jihan memiliki lesung di kedua pipinya yang membuat wanita itu terlihat sangat cantik.

Alfian melepaskan tangan Danu, kini giliran dia menjabat tangan Hanum, mantan kekasihnya.

"Han, selamat, ya," ucap Alfian dengan nada lirih.

Hanum mengangguk, "Kamu hebat, ya, Al. Kemarin kamu menjalin hubungan di belakangku dengan sahabatku sendiri, tapi kamu malah menikahi wanita lain. Hebat." Hanum berbicara dengan suara lembut namun terdengar sadis.

Alfian mengerutkan keningnya seolah tak mengerti, seketika dirinya terkejut ketika Hanum menarik paksa tangannya.

"Maksud kamu?" Tanya Alfian.

"Al! Buruan!" Ucap Jihan ketika melihat ada hawa panas di sana. Wanita itu menggeser tubuh Alfian menggunakan tubuhnya. "Gantian."

Alfian masih tak mengerti dengan apa yang baru saja di ucapkan oleh Hanum, pikirannya kalut karena masalah besar ini seolah dialah yang salah.

Jihan menarik tangan Alfian supaya cepat sampai di rumah. Kakek dan nenek masih membantu apa yang bisa di bantu di lokasi pesta.

.

.

"Al! Kamu kenapa sih dari tadi tuh diam saja?" Tanya Jihan yang sedari tadi memperhatikan, "Kamu punya hutang?" Lanjutnya.

"Aku masih memikirkan ucapan Hanum tadi," sahut Alfian sambil menghela nafas panjang.

Malam semakin larut, angin semakin semilir. Bekas pesta meriah itu tampak dari jendela kamar Alfian yang masih terbuka. Kini Alfian tak lagi seperti yang dulu, yang mampu membuat semua orang tertawa karena dirinya sendiri sekarang pun tak bisa tertawa.

Alfian berdiri di dekat jendela, pandangannya tak lepas dari rumah Hanum yang tak jauh jaraknya dari sana.

"Memangnya, Hanum tadi bicara apa?" Tanya Jihan sambil bangkit dari rebahan nya. Wanita itu ikut berdiri di samping Alfian dan kini wanita itu paham bahwa pemuda yang ada di sampingnya kembali merasa terpuruk.

"Aku yang menyakitinya lebih dulu, bukan dia. Padahal aku enggak pernah berkhianat. Jangankan di kota yang jauh darinya, malah yang dia katakan aku menjalin hubungan dengan sahabatnya," ucap Alfian sambil menghela nafas panjang.

Alfian melipat kedua tangannya di dada, air matanya sudah terkuras habis. Pemuda itu hanya bisa diam dan pasrah kepada Tuhan, sanggupkah dia berjalan untuk ke depannya?

"Al! Menurut aku, kamu harus benar-benar selidiki dulu deh kasus ini," ucap Jihan memecah keheningan.

"Kasus?" Alfian mendengus, "Kamu kira ini permainan?"

"Al, kamu harus cerna ucapan Hanum, dia yang lebih dulu sakit hati karena kamu."

Hening ...

Sepanjang malam Alfian tetap saja tidak bisa berpikir, pikirannya kalah dengan perasaan. Jangankan untuk berpikir, untuk menghidupkan jiwa pun dia sudah tak mampu.

Jihan meninggalkan Alfian yang masih saja berdiri di depan jendela. Wanita itu naik ke ranjang mengambil posisi untuk tidur.

"Al! Kamu tidur di bawah, ya," ujar Jihan sambil membenahi bantal dan selimut untuk Alfian. Alfian menoleh namun hanya bisa menganggukkan kepala.

Sesekali mata Jihan terpejam, pikirannya jauh ke belakang. Tampak cinta yang tulus dari Alfian untuk Hanum, namun, Jihan tidak bisa berpikir kenapa Hanum tega menikah dengan yang lain.

.

.

Tok! Tok! Suara ketukan pintu.

"Pak! Geneng urung tangi, ya, pada," ucap Nek Rum sambil meninggalkan pintu kamar Alfian yang baru saja dia ketuk.

"Tesih isuk, Bu e. Ngko nek wis awan baru pada tangi," ucap sang kakek.

"Apa nang kota wonge pada tangi awan, ya, Pak?" Tanya Nek Rum sambil duduk di meja makan.

"Ya, mbuh lah. Nyong ora ngerti," sahut sang kakek yang sudah bersiap akan berangkat ke kebun kelapa.

Nek Rum beranjak dari duduknya dengan sesekali menoleh ke arah pintu kamar Alfian. Biasanya Alfian terbangun dari tidurnya ketika beliau masak, namun, hari ini memang ada yang beda dengan sang cucu.

"Al! Al! Bangun!" Ujar Jihan sambil menepuk-nepuk pelan pipi Alfian.

"Hm ..." Alfian tidak mampu membuka mata karena azan subuh berkumandang pemuda itu masih rebahan dengan mata yang terbuka, dan kini masih terasa ngantuk berat.

"Al! Hanum datang!" Ucap Jihan sambil beranjak. Seketika Alfian beranjak dari tidurnya lalu mengarah pada pintu kamar.

Jihan tertawa lepas melihat ekspresi Alfian, tak bisa di pungkiri bahwa Alfian belum juga bisa merelakan kekasihnya itu.

Mendengar tawa lepas dari Jihan, Alfian yang tadinya akan membuka pintu mengurungkan niatnya. Pemuda itu mengerti bahwa ini adalah penipuan dan dia kembali merebahkan kepalanya di bantal.

"Jangan cengeng jadi laki-laki, kamu harus kuat dan buktikan kalau kamu tidak bersalah," ucap Jihan sambil membuka pintu kamar. Alfian sekilas membuka mata lalu menutupnya kembali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status