Perlahan Alfian mengangkat pandangannya ke depan, pemuda itu mencoba menguatkan hati untuk memandang sang kekasih.
Pandangan mereka sama-sama merasuk ke hati, tampak dari raut wajah Hanum, pernikahan itu bukan keinginannya tapi tetap saja hal itu membuat Alfian terpuruk.Jihan tersenyum ketika melihat ekspresi wajah Hanum tidak baik-baik saja, wanita itu malah melingkarkan tangannya ke pinggang Alfian dengan kepala yang menempel di pundak."Pak! Pak! Kok enggak malu, ya, mereka," ucap salah seorang tamu undangan yang duduk di bagian belakang mereka."Nampaknya mereka orang kota, Bu, jadi kalau di kota hal seperti itu memang sudah biasa dan wajar saja," jawab seorang laki-laki yang kemungkinan adalah sang suami."Apa bapak pernah ke kota?" Tanya wanita itu lagi."Ya, enggaklah, memangnya aku pernah merantau atau ninggalin kamu sendirian? Coba lihat di film-film itu, emang gitu 'kan?" Tanya sang suami."Iya juga, ya, Pak," jawabnya sambil mengangguk-anggukkan kepala.Jihan merasa senang setelah melihat Alfian mampu memandang ke depan, wanita itu mendongak untuk memperhatikan wajah Alfian yang tak dapat di bohongi bahwa sekarang dia masih saja merasa sedih. Namun, semua itu akan mereda setelah Alfian terus berani memandang ke depan.Alfian mencoba melebarkan bibir ketika Hanum memandangnya dari kejauhan, namun, Hanum malah memalingkan wajah seolah tak sudi membalas senyumnya. Jantung pemuda itu berpacu sangat cepat sehingga keringat dingin Alfian mulai keluar di area punggung serta keningnya."Al! Pulang yuk!" Ajak Jihan setelah beberapa saat kemudian."Kamu sudah ngantuk?" Tanya Alfian dengan nada lirih. Jihan mengangguk. Tangan kiri Alfian yang sedari tadi memeluk Jihan, kini mengusap-usap punggung lalu tangan kanannya menyibakkan rambut yang mengganggu di area wajah Jihan.Adegan itu di saksikan oleh Hanum yang masih duduk di pelaminan, wajah wanita itu mulai memerah, air matanya tampak menggantung di sudut mata. Dengan sigap wanita itu menempelkan ujung tisu yang sedari tadi dia pegang.Hanum tidak sadar pergerakan matanya sedari tadi di perhatikan oleh suami yang ada di sampingnya, sang suami sudah menduga kalau Hanum masih saja menyimpan rasa dan itu sangat di benci oleh Danu. Lelaki itu menatap Hanum dengan tatapan sinis lalu memalingkan wajah ke arah lain begitu saja."Yuk, kita pulang!" Ucap Alfian sambil melepaskan pelukan tangan kirinya."Yuk!" Jihan mulai membenahi baju bagian samping, yang di atas normalnya Jihan masih memakai pakaian yang sama seperti hari kemarin.Selangkah demi selangkah Alfian naik ke atas pelaminan untuk memberikan selamat pada sang kekasih, namun, dia berhenti sejenak."Al, buruan!" Ujar Jihan yang masih ada di belakangnya.Alfian memaksakan kakinya untuk melangkah padahal entah kenapa baru saja tiba-tiba kakinya seperti membatu, nafasnya terengah-engah seperti habis berlari seribu kilometer per jam. Jantungnya berdegup kencang seperti pemompa oli dalam mesin motor.Keringat dingin terus keluar, tak kuat rasanya jika dia terus melangkah. Namun, Jihan langsung mendampingi Alfian. Wanita itu memeluk lengan Alfian seolah sedang mempraktikkan adegan suami istri yang sedang bergandengan tangan."Selamat, ya, Dan. Kamu sahabat aku dari kecil mampu merebut hati kekasihku," ucap Alfian tanpa ampun."Iya, sama-sama. Kamu hebat, ya, dapat istri orang kota," ucap Danu yang tidak mengambil respon ucapan Alfian.Alfian menoleh ke samping di mana Jihan sedang berdiri di sampingnya. Sekarang Alfian baru sadar kalau ternyata Jihan memiliki lesung di kedua pipinya yang membuat wanita itu terlihat sangat cantik.Alfian melepaskan tangan Danu, kini giliran dia menjabat tangan Hanum, mantan kekasihnya."Han, selamat, ya," ucap Alfian dengan nada lirih.Hanum mengangguk, "Kamu hebat, ya, Al. Kemarin kamu menjalin hubungan di belakangku dengan sahabatku sendiri, tapi kamu malah menikahi wanita lain. Hebat." Hanum berbicara dengan suara lembut namun terdengar sadis.Alfian mengerutkan keningnya seolah tak mengerti, seketika dirinya terkejut ketika Hanum menarik paksa tangannya."Maksud kamu?" Tanya Alfian."Al! Buruan!" Ucap Jihan ketika melihat ada hawa panas di sana. Wanita itu menggeser tubuh Alfian menggunakan tubuhnya. "Gantian."Alfian masih tak mengerti dengan apa yang baru saja di ucapkan oleh Hanum, pikirannya kalut karena masalah besar ini seolah dialah yang salah.Jihan menarik tangan Alfian supaya cepat sampai di rumah. Kakek dan nenek masih membantu apa yang bisa di bantu di lokasi pesta..."Al! Kamu kenapa sih dari tadi tuh diam saja?" Tanya Jihan yang sedari tadi memperhatikan, "Kamu punya hutang?" Lanjutnya."Aku masih memikirkan ucapan Hanum tadi," sahut Alfian sambil menghela nafas panjang.Malam semakin larut, angin semakin semilir. Bekas pesta meriah itu tampak dari jendela kamar Alfian yang masih terbuka. Kini Alfian tak lagi seperti yang dulu, yang mampu membuat semua orang tertawa karena dirinya sendiri sekarang pun tak bisa tertawa.Alfian berdiri di dekat jendela, pandangannya tak lepas dari rumah Hanum yang tak jauh jaraknya dari sana."Memangnya, Hanum tadi bicara apa?" Tanya Jihan sambil bangkit dari rebahan nya. Wanita itu ikut berdiri di samping Alfian dan kini wanita itu paham bahwa pemuda yang ada di sampingnya kembali merasa terpuruk."Aku yang menyakitinya lebih dulu, bukan dia. Padahal aku enggak pernah berkhianat. Jangankan di kota yang jauh darinya, malah yang dia katakan aku menjalin hubungan dengan sahabatnya," ucap Alfian sambil menghela nafas panjang.Alfian melipat kedua tangannya di dada, air matanya sudah terkuras habis. Pemuda itu hanya bisa diam dan pasrah kepada Tuhan, sanggupkah dia berjalan untuk ke depannya?"Al! Menurut aku, kamu harus benar-benar selidiki dulu deh kasus ini," ucap Jihan memecah keheningan."Kasus?" Alfian mendengus, "Kamu kira ini permainan?""Al, kamu harus cerna ucapan Hanum, dia yang lebih dulu sakit hati karena kamu."Hening ...Sepanjang malam Alfian tetap saja tidak bisa berpikir, pikirannya kalah dengan perasaan. Jangankan untuk berpikir, untuk menghidupkan jiwa pun dia sudah tak mampu.Jihan meninggalkan Alfian yang masih saja berdiri di depan jendela. Wanita itu naik ke ranjang mengambil posisi untuk tidur."Al! Kamu tidur di bawah, ya," ujar Jihan sambil membenahi bantal dan selimut untuk Alfian. Alfian menoleh namun hanya bisa menganggukkan kepala.Sesekali mata Jihan terpejam, pikirannya jauh ke belakang. Tampak cinta yang tulus dari Alfian untuk Hanum, namun, Jihan tidak bisa berpikir kenapa Hanum tega menikah dengan yang lain...Tok! Tok! Suara ketukan pintu."Pak! Geneng urung tangi, ya, pada," ucap Nek Rum sambil meninggalkan pintu kamar Alfian yang baru saja dia ketuk."Tesih isuk, Bu e. Ngko nek wis awan baru pada tangi," ucap sang kakek."Apa nang kota wonge pada tangi awan, ya, Pak?" Tanya Nek Rum sambil duduk di meja makan."Ya, mbuh lah. Nyong ora ngerti," sahut sang kakek yang sudah bersiap akan berangkat ke kebun kelapa.Nek Rum beranjak dari duduknya dengan sesekali menoleh ke arah pintu kamar Alfian. Biasanya Alfian terbangun dari tidurnya ketika beliau masak, namun, hari ini memang ada yang beda dengan sang cucu."Al! Al! Bangun!" Ujar Jihan sambil menepuk-nepuk pelan pipi Alfian."Hm ..." Alfian tidak mampu membuka mata karena azan subuh berkumandang pemuda itu masih rebahan dengan mata yang terbuka, dan kini masih terasa ngantuk berat."Al! Hanum datang!" Ucap Jihan sambil beranjak. Seketika Alfian beranjak dari tidurnya lalu mengarah pada pintu kamar.Jihan tertawa lepas melihat ekspresi Alfian, tak bisa di pungkiri bahwa Alfian belum juga bisa merelakan kekasihnya itu.Mendengar tawa lepas dari Jihan, Alfian yang tadinya akan membuka pintu mengurungkan niatnya. Pemuda itu mengerti bahwa ini adalah penipuan dan dia kembali merebahkan kepalanya di bantal."Jangan cengeng jadi laki-laki, kamu harus kuat dan buktikan kalau kamu tidak bersalah," ucap Jihan sambil membuka pintu kamar. Alfian sekilas membuka mata lalu menutupnya kembali.Tidak berselang lama, Jihan kembali dengan membawa tiga gelas jus jeruk. Wanita itu duduk di sebelah kanan Alfian sedangkan Safitri duduk di seberangnya."Ada. Aku ada fotonya," ucap Safitri sambil menggeser-geserkan layar gawai miliknya."Foto siapa, Al?" Bisik Jihan pada suaminya."Danu," sahut Alfian.Mata Alfian dan Jihan sama-sama melotot ketika Safitri menyodorkan gawainya yang terpajang foto Danu di sana. Ya, benar. Di sana ada Danu suami dari Hanum.Alfian menghela nafas panjang sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Pemuda itu ingin marah kepada Danu tapi apa untungnya? Toh lelaki itu pilihan Hanum sendiri."Jadi rencana kamu gimana, Sa?" Tanya Alfian."Ya, kami akan menikah," sahut Safitri sambil tersenyum.Alfian hanya bisa mengangguk-anggukan kepala, pemuda itu tak dapat berkata apa-apa. "Terus aku di undang ke sini untuk apa, Al?" Tanya Safitri yang masih penasaran."Danu itu—""Eh, Al, ada sesuatu yang mau aku beli. Ini penting, ayo kita pergi." Jihan memotong pemb
Sejenak Jihan akan memanggil wanita itu namun dia mengurungkan niatnya dengan membalik badan. Wanita itu masuk ke dalam rumahnya dan tidak lama keluar kembali.Jihan mentransfer uang untuk ibu kost setelah meminta nomor rekening beliau tadi, untungnya aplikasi untuk mentransfer masih ada di gawainya. Dia sudah nyaman untuk tinggal di sana maka dia tidak keberatan untuk membayar langsung selama setahun. "Mbak Jihan, mau ke mana?" Tanya tetangga sebelah rumah yang kemarin sudah berkenalan dengannya."Mau ke kantor, Al, Bu. Ada urusan dadakan," sahut Jihan sambil mengunci pintu."Oh, baru juga sebentar di tinggal, Mbak. Kangen, ya?" Ucap wanita itu dengan nada menggoda.Jihan tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala, ada-ada saja tingkah wanita itu. Tapi sebenarnya jauh di lubuk hati Jihan memang merasa senang dia akan bertemu dengan Alfian, padahal baru beberapa jam saja dia di tinggal.Jihan menghentikan langkah ketika melihat seorang wanita muda tengah menjemur pakaian yang ada di
Jihan meletakkan kembali gawai yang ada di tangannya dengan mata berkaca-kaca, kepalanya mendongak dengan memandang langit-langit rumah sembari menghela nafas panjang.Usahanya untuk menahan air mata yang hendak jatuh tak berhasil, air mata itu tetap jatuh membasahi area pipi. Wanita itu mengambil kembali gawai bukan untuk menjawab telepon melainkan mematikan daya gawai."Ma, maafin aku, Ma. Lebih baik aku pergi daripada aku harus tinggal sama papa."Jihan kembali beres-beres rumah dengan air mata yang sesekali masih menetes. Namun, sekuat hati wanita itu mencoba mengalihkan pikirannya ketika melihat isi dapur masih terlihat kosong..."Al, apa sebaiknya aku cari rumah kost sendiri, ya?" Tanya Jihan di saat mereka tengah makan malam yang baru di beli Alfian."Loh, kenapa? Kamu masih belum percaya sama aku kalau aku bakal menjaga—""Bukan itu maksudku, Al.""Lantas?" Tanya Alfian sambil memandang Jihan.Jihan dan Alfian duduk di lantai beralaskan tikar plastik, mereka tampak seperti p
Ayu tersenyum sinis memandang Jihan, sayangnya Brahma Utama tidak memperhatikannya. Lelaki paruh baya itu fokus memandang sang putri dengan sangat marah."Pa—""Jihan! Sudah papa peringatkan kamu, kalau kamu tidak bisa terima dengan keputusan papa ini sebaiknya kamu pergi!" Ucap Brahma Utama dengan nada lantang.Rasa emosi Jihan tidak bisa di bendung lagi, tanpa pikir panjang wanita itu menutup dengan kuat daun pintu sehingga menyebabkan suara sangat keras.Jihan mengambil sebuah koper dari atas almarinya, wanita itu menyusun beberapa baju miliknya dan juga peralatan serta perlengkapan dirinya.Tidak menunggu waktu lama, wanita itu menuruni anak tangga dengan menarik gagang koper berwana hitam. Langkahnya sejenak berhenti ketika melihat sang papa dan wanitanya duduk berdua di kursi makan."Eh, mau ke mana kamu, Mbak?" Tanya Tasya terkejut, wanita yang masih duduk di kursi yang ada di teras itu beranjak sambil meletakkan gawai di atas meja."Aku mau pergi, Tasya. Enggak ada lagi sainga
Jihan yang tengah duduk di lantai dengan kedua tangan melipat di atas lutut, kini berdiri tegap sambil memandang sang adik."Tasya, sampai kapan kamu anggap aku ini musuh? Hah?" Tanya Jihan sambil melangkah ke arah Tasya."Aku bukan menganggap, tapi kamu memang musuhku," ucap Tasya dengan ketus."Apa salahku? Apa?" Teriak Jihan."Kamu enggak sadar? Semua kasih sayang mama kamu ambil, Mbak. Mama lebih sayang sama kamu dan mama lebih perhatian sama kamu, mama enggak pernah memberi perhatian yang sama sepertimu," ucap Tasya dengan rasa geram.Unek-unek di dalam hati kini telah keluar dari mulut Tasya, selama ini wanita itu hanya bisa memendam karena tiada tempat mengadu. Jika mengadu kepada sahabatnya, hal inilah yang dapat merendahkan dirinya karena dia selalu bercerita dialah yang terbaik di rumah ini."Kamu enggak pergi saja ikut suamimu? Ngapain lagi kamu di sini, mau jadi janda?" Ucap Tasya dengan nada ketus dan wajah sinis."Aku di sini untuk mama, bukan untuk hidupku," jawab Jihan
Secepatnya Jihan menjawab telepon, "Halo, Pa," sapa wanita itu setelah menggeser layar gawai ke arah kanan."Jihan, kamu kenapa belum sampai?" Tanya Brahma Utama dari seberang."Pa, Jihan mendadak tidak enak badan," jawab Jihan dengan nada lirih. Jantungnya berdegup kencang setelah mengingat wanita yang di bawa sang papa telah di usir olehnya."Ya, sudah. Papa cari pengganti saja," jawab Brahma Utama lalu mengakhiri panggilan.Jihan menghela nafas panjang sambil memandang Alfian yang masih duduk di tepi ranjang tengah memandangnya."Al, kamu enggak ke kantor?" Tanya Jihan."Enggaklah, besok saja," jawab Alfian sambil membuka sepatu yang dia kenakan."Berangkat saja, aku enggak kenapa-kenapa kok," ujar Jihan sambil menyeka poni ke belakang telinga.Alfian menggelengkan kepala, pemuda itu tahu kalau masalah yang sedang di hadapi istrinya sangat rumit. Setelah membuka sepatu pemuda itu masuk ke dalam kamar mandi."Al, aku ke kamar mama dulu, ya," ucap Jihan sambil memandang Alfian yang t