Share

Bab 07

Alfian diam seolah berpikir sambil menatap wajah Jihan, memang selama mereka berteman, Danu lebih suka cewek bar-bar ketimbang cewek pendiam seperti Hanum. Bahkan Danu sendiri pernah mengatakan pada Alfian perempuan seperti Hanum bukanlah tipenya.

Mata Jihan yang bulat menatap Alfian sambil tersenyum, wanita sangat ingin membantu Alfian untuk mendapatkan cintanya.

"Ji, benar juga katamu. Aku harus selidiki semua ini," ucap Alfian setelah beberapa saat terdiam.

"Nah, sekarang yang harus kamu tahu dulu, kenapa Hanum mau menikah dengan Danu? Sedangkan hubungan kalian sudah bertahun-tahun lamanya, bahkan sudah ada rencana mau menikah 'kan?" Tanya Jihan.

Alfian mengangguk-anggukkan kepala, pikirannya saat ini sangat kacau. Di sisi lain sebenarnya dia sudah tidak mau tahu dengan urusan Hanum karena wanita itu sudah milik orang lain. Tapi di sisi lain dia juga harus tahu karena semua ini berjalan dengan tiba-tiba.

Alfian menghidupkan mesin motor, dengan perlahan motornya meninggalkan area gubuk menuju perumahan.

"Ji, tapi biarlah. Mungkin Hanum menikah dengan Alfian itu sudah keputusan terbaik yang di ambil oleh Hanum," ucap Alfian seolah tak ambil pusing lagi soal Hanum. Bahkan otaknya sudah tak mampu berpikir lagi.

"Al! Coba deh kamu berpikir sekali lagi. Andai Danu menikahi Hanum dengan terpaksa supaya mendapatkan status menikah, terus dia enggak sayang sama Hanum, apa enggak kasihan Hanum?"

"Ji! Kalau Danu enggak sayang sama Hanum, pastinya Hanum juga enggak bakal mau di nikahi 'kan?"

Keduanya berdebat di atas motor, mereka masih saja menerka-nerka apa yang sebenarnya sudah terjadi di antara Hanum dan Danu.

Jihan mengingat sesuatu tentang Almera. Ya, hanya Almera yang mengerti tentang semua ini. Tapi bagaimana dia bisa bertemu dengan Almera sedangkan rumah Almera pun belum tahu di mana letaknya.

"Al, aku penasaran deh dengan cerita Almera," ucap Jihan memecahkan keheningan.

"Maksudnya?" Tanya Alfian yang memang tidak terpikir olehnya.

"Al, kok bisa Almera itu seperti marah ketika mendengar kamu sudah menikah denganku? Terus kenapa dia itu seperti wanita yang mencintaimu?"

Alfian menarik rem dengan tiba-tiba sehingga Jihan terkejut sampai menepuk pundak Alfian.

"Ada apa ih?" Tanya Jihan kesal.

"Aku baru ingat dengan Almera, dialah yang selalu berbicara denganku," ucap Alfian.

"Maksudnya?"

"Aku juga enggak tahu kenapa Hanum tiba-tiba enggak mau bicara denganku, yang tadinya hubungan kami itu baik-baik saja. Bahkan sekalipun Hanum tidak pernah mengangkat telepon dariku setelah hari itu, di setiap aku nelpon Hanum, pasti yang angkat itu Almera."

"Fix semua ini yang aneh itu Almera," tebak Jihan.

Alfian memandang jauh ke depan, pikirannya kembali ke belakang.

Flashback ...

"Al! Kamu kapan pulang? Aku kangeeeen," ucap Hanum dengan suara manja dari seberang.

"Masih lama, sayang, baru juga sampai. Kerjaan belum juga di cari ada atau tidak," jawab Alfian sambil cekikikan.

Dua sejoli yang baru saja terpisah tengah merasakan rindu yang sangat luar biasa, padahal baru beberapa jam saja mereka berpisah. Namun, rasa rindu terasa menggebu-gebu.

Alfian dan Hanum, dua sejoli yang semua pasang mata menyaksikan, betapa romantisnya mereka, akrabnya mereka, bahkan kasih sayang yang mereka jalani sering tampak di mata semua orang.

"Kamu hati-hati di sana, sayang. Jaga mata, jaga hati, jaga perasaanku dan jangan lupa jaga hatiku," ucap Hanum dengan nada lirih.

"Iya, ibu negara. Aku di sini untukmu, aku di sini memperjuangkan cinta kita supaya bisa menyatu," Alfian merebahkan tubuhnya di ranjang.

Setelah dua hari berlalu, Alfian menemukan pekerjaan yang sesuai dengan ijazah miliknya. Ya, dia bekerja di salah satu pabrik sepatu, di bagian keuangan. Pemuda itu memiliki IQ yang tinggi, namun sayang, dia tidak bisa melanjutkan kuliah kendala ekonomi.

Di sela-sela kesibukan Alfian, pemuda itu tidak pernah lupa meluangkan waktu untuk kekasihnya. Walaupun hanya bertanya di mana dan sedang apa, pemuda itu selalu menghubungi di sela-sela kesibukannya.

Beberapa bulan kemudian ...

Alfian melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan, jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Pemuda itu mengambil gawai yang ada di saku celana untuk melepas rindu hari ini kepada sang pujaan hati.

Tuuutt ...

Tuuutt ...

"Halo, Mas," jawab wanita dari seberang.

"Almera? Ini kamu?" Tanya Alfian yang sudah hafal betul dengan suara cempreng itu.

"Iya, Mas. Ini aku," jawabnya dengan nada santai.

"Al, di mana Hanum?" Tanya Alfian dengan nada menekan.

Dengan jantung berdebar, Almera mendehem untuk menetralkan tubuh supaya tidak tampak gugup untuk berbicara. Alfian merasa ada yang aneh, namun lelaki itu mampu menunggu jawaban dari Almera demi mendapat kabar tentang kekasihnya.

"Mas Al, entah kenapa Hanum enggak mau lagi pegang gawai ini setelah aku—"

"Kamu kenapa Almera?" Potong Alfian berasa tak sabar menunggu jawaban dari Almera yang kian melambat.

"Beberapa hari lalu aku lihat Danu datang ke rumah Hanum, terus karena sudah beberapa kali juga aku mendapatkan mereka sedang bersama, di situlah Hanum memberikan gawai ini padaku," ucap Almera.

Bagai masuk ke lembah bara api yang menyala-nyala, rasa panas di dada Alfian mampu membakar sebongkah hati yang selama ini di jaga dengan baik olehnya.

Bara api itu mampu membuat kening serta tubuh Alfian basah kuyup di banjiri oleh keringat dingin. Tidak ada angin tidak ada hujan, Hanum begitu tega melepaskan bahkan membuang hati Alfian begitu saja.

"Almera. Jangan macam-macam sama aku!" Bentak Alfian dengan rasa penuh emosi.

"Mas Al! Aku enggak akan bicara kalau semua ini enggak ada faktanya. Kamu boleh kok tanya sama Dadung, bahkan Hanum memberi gawai ini di depan Dadung kemarin," ucap Almera mencoba menjelaskan.

Alfian menghempaskan tubuhnya di sandaran kursi, tangan kirinya meremas rambut untuk melampiaskan kekesalan. Pemuda itu menghentakkan tangan kirinya ke atas meja.

Hancur sudah harapannya, musnah sudah impiannya, beberapa kali Alfian membayangkan hal yang di ucapkan Almera, namun semua itu seperti di luar nalar.

"Mas! Mas!" Suara Almera memanggil Alfian. Namun lelaki itu membiarkan gawai nya tergeletak di atas meja.

Rasa geram tergambar di wajah Alfian. Safitri, wanita yang semala ini diam-diam memperhatikan dan memiliki rasa pada Alfian, hanya bisa meliriknya dan terus memperhatikan.

"Aaarrggghhh!" Alfian menggeram. Teriakannya membuat Safitri yang duduk di sampingnya terkejut.

"Al, kenapa?" Tanya Safitri.

Pertanyaan itu sudah tidak mampu lagi di jawab oleh Alfian, lelaki berkumis tipis itu hanya mampu menggelengkan kepala.

Alfian melihat jam yang melingkar di tangannya masih menunjukkan pukul tiga sore sedangkan jam pulang kerja masih satu jam lagi. Namun, pemuda itu tak mampu lagi berpikir bahkan duduk sekalipun.

"Al! Mau ke mana?" Tanya Safitri yang memandang pergerakan Alfian tengah berkemas.

"Aku mau pulang. Kalau ada yang tanya aku ke mana, jawab aku pulang," ujar Alfian sambil memasukkan gawai ke dalam saku celana.

"Tapi jam pulang masih satu jam lagi, Al," ucap Safitri mengingatkan.

"Iya. Aku tahu, aku enggak enak badan. Daripada kalian nanti susah payah bawa aku ke rumah sakit, biar aku ke sana sendiri," ujar Alfian sambil meninggalkan Safitri yang masih memandangnya.

Alfian tidak peduli lagi dengan jam pulang, otaknya sudah tidak mampu berpikir bahkan jiwanya berasa tak mampu mengikuti raga yang harus menempuh perjalanan agak jauh untuk sampai ke rumah kost.

Di perjalanan pulang, Alfian masih tidak dapat berpikir. Pemuda itu hanya mampu menarik gas motor sampai full hingga motor melaju sangat kencang. Perjalanan yang harusnya di tempuh dengan waktu enam puluh menit, pemuda itu mampu sampai ke kost hanya dengan waktu lima belas menit.

"Aaarrgghh! Dasar wanita!" Teriaknya ketika sampai di kamar kost, pemuda itu mencampakkan tas ransel yang baru saja di lepas dari pundaknya.

"Apa mau kamu Hanum? Apa kurangnya aku? Aku memilih kost yang jauh dari kata wah, yang jauh dari tempat kerja, bahkan yang jauh dari keramaian, supaya bisa menghemat. Supaya uang yang aku hasilkan lebih banyak, apa kurangnya aku? Apa?" Teriaknya lagi.

Alfian tak lagi mampu berdiri, pemuda itu duduk dengan kedua tangan meremas rambut cepak nya.

Dreett ...

Dreett ...

Sebuah panggilan dari kontak bertuliskan kesayangan, secepatnya Alfian mengambil gawai lalu menjawab telepon.

"Halo, sayang, sayang," panggilan Alfian untuk sang kekasih. Besar harapan Alfian untuk bisa kembali berbicara dengan Hanum.

"Maas, ini aku, Almera," jawab wanita itu dari seberang.

Lemas sudah tubuh Alfian, bagai tak mampu bergerak lagi. Jantungnya tak ingin memompa lagi, nafasnya tak ingin menghembus kembali. Namun, pemuda itu mencoba sabar dan tawakal.

"Mas! Dengarkan aku dulu!" Ujar Almera dengan nada berteriak hingga Alfian memandang gawai nya. Perlahan Alfian meraih gawai dengan tangan kirinya.

"Ada apa, Almera? Apa yang mau kamu jelaskan. Semua sudah di atas normal dan semua berasa tidak mungkin. Almera, please! Jika ini permainan, tolong sudahi, aku tidak sanggup harus menahan rasa sakit ini," ujar Alfian dengan nada lirih.

Sangat besar harapan Alfian semua ini adalah akal-akalan Hanum untuk membuat Alfian terpuruk, namun, semua yang di katakan Almera memang benar adanya.

Almera memegang gawai yang di tempelkan di telinga untuk mendengarkan suara Alfian, namun Alfian masih saja tetap diam dan membisu.

"Mas, Al!" Panggilnya. Lagi-lagi, Alfian tetap diam.

"Aaarrgghh!" Alfian mencampakkan gawai yang ada di tangannya.

Sudut benda pipih itu menatap dinding sehingga mengakibatkan keretakan parah pada layarnya. Pemuda itu kembali meremas rambut lalu merebahkan tubuhnya begitu saja di lantai.

Hati yang menangis karena hati yang teriris membuat Alfian tak berdaya. Beberapa jam berlalu namun pemuda itu masih tetap dengan posisi yang sama.

"Hanum, apa aku bisa hidup tanpamu?" ucap Alfian dengan nada lirih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status