Share

Bab 06

Author: Aong_Zee
last update Last Updated: 2024-03-22 13:33:19

"Tunggu!" Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertubuh tinggi besar menahan lengan Jihan hingga Jihan tak mampu melepasnya.

"Alfian! Tolong!" Teriak Jihan dengan nada panik.

Seketika Alfian menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang setelah suara Jihan terlihat gugup. Secepatnya Alfian berjalan ke arah lelaki berwajah sangar yang saat ini tengah memegang lengan Jihan.

Jihan meringis kesakitan karena lelaki itu sangat kuat. Penampilan lelaki itu seperti preman pasar hingga tak ada seorangpun yang berani menolongnya. Kumis tebal, kepala botak, dan matanya yang melotot, membuat semua orang hanya bisa diam dan menyaksikan.

"Apa-apaan ini?" Tanya Alfian ketika berada di hadapan lelaki itu.

"Kalian yang apa-apaan? Buat aku pusing. Tadi kau kejar dia, sekarang dia kejar kau. Apa kalian masih main kejar-kejaran di sini?" Tanya lelaki bertubuh tinggi besar yang memakai jaket kulit berwarna hitam. "Ini pegang! Jangan kau lepaskan lagi," ujarnya sambil memberikan lengan Jihan pada Alfian.

Seketika terdengar suara tawa terbahak-bahak di sekeliling mereka, semua orang yang menyaksikan kejadian itu tertawa sampai terpingkal-pingkal. Alfian dan Jihan merasa malu sampai akhirnya mereka berdua meringis sambil meninggalkan tempat itu.

Ternyata benar kata orang, penampilan sangar itu belum tentu jahat. Penampilan sangar itu terkadang juga memiliki hati yang lembut.

.

.

"Al, ternyata belanja di pasar itu seru, ya," ucap Jihan di tengah perjalanan.

"Ya, gitulah. Tapi untungnya tadi preman itu baik," ucap Alfian sambil menghela nafas panjang.

"Memangnya preman ada yang baik?" Tanya Jihan. "Di mana-mana preman itu jahat, berarti dia bukan preman dong?"

"Bukan! Malaikat berbentuk preman," ucap Alfian kesal.

Jihan tertawa lepas mendengar ucapan Alfian yang melenceng jauh. Seperti hidup kembali wanita itu kini mampu tertawa sekeras-kerasnya.

Tak pernah di pikirkan atau terpikirkan tentang bagaimana keadaan keluarganya yang ada di kota. Wanita itu yakin tidak akan ada yang merasa kehilangan satu orangpun dari mereka karena Jihan seperti anak yang tidak di inginkan di sana.

* * *

"Kamu tadi beli apa saja, Ji? Kamu dapat uang dari mana?" Tanya Alfian sambil membuka jaket ketika mereka sudah berada di dalam kamar.

"Ini," ucapnya sambil membuka kantong plastik yang sedari tadi dia pegang.

"Ya ampun, Ji, jauh-jauh kamu ke pasar cuma beli sepasang baju tidur saja? Kenapa enggak sekalian kita belanja banyak tadi? Ini apa? Baju untuk nenek dan kakek?" Tanya Alfian dengan wajah bingung sambil memegang beberapa helai pakaian.

"Biarin saja," jawab Jihan dengan nada manja. Padahal wanita itu memiliki rencana lain yang Alfian tidak tahu menahu untuk menyatukan Hanum dan Alfian.

Jihan berjalan ke arah belakang guna untuk memberikan baju kakek dan nenek yang tadi dia beli, namun, wanita itu tidak menemukan nenek di belakang rumah. Golok serta kelapa yang belum di lepas dari tempurung masih utuh di sana. Wanita itu meletakkan kantong plastik berwarna hitam itu di meja yang ada di dapur.

Jihan celingukan mencari keberadaan nenek, sesekali matanya mengarah pada rumah tetangga yang ada di sana. Wanita itu memberanikan diri untuk berjalan ke arah rumah tetangganya.

"Mbak! Cari siapa?" Tanya seorang wanita paruh baya yang sedang menggendong anak balitanya. Jihan melangkah ke arah wanita itu.

"Bu, ada nampak nenek enggak, ya?" Tanya Jihan sambil melangkah.

"Oh, Nek Rum? Tadi pergi ke arah warung. Coba saja cari siapa tahu ada," ujarnya sambil sekilas memandang ke arah warung.

"Iya, Bu. Terimakasih," ucapnya sambil meninggalkan wanita itu. Wanita paruh baya itu tersenyum sambil menganggukkan kepala.

Jihan melangkah sambil memandang ke arah rumah Hanum, tampak sepasang sendal yang di kenakan oleh Hanum tadi sewaktu berjumpa di pasar.

Entah ada angin apa, Jihan langsung saja melangkah ke arah rumah Hanum. Namun, seseorang menahan lengannya.

"Jihan! Kamu mau ngapain ke sana?"

Jihan menoleh ke belakang, tenyata Alfian lah yang memegang lengannya.

"Aku mau cari nenek," sahut Jihan sambil mencoba melepaskan lengannya dari Alfian. Namun, lelaki itu malah memperkuat pegangannya.

"Jangan! Pulang saja kita," ujar Alfian sambil terus memegang dan menarik paksa lengan Jihan supaya pulang ke rumah. "Lagian nenek enggak mungkin di rumah itu," lanjutnya.

"Lepas!" Jihan memberontak dengan menarik paksa lengannya. Alfian melepaskan lalu memandang wajah Jihan. "Aku bosan di rumah, aku mau keluar jalan-jalan."

"Tunggu sebentar, aku ambil motor," ujar Alfian.

Jihan berdiri tepat di depan rumah Hanum, betapa terkejutnya Jihan ketika mendengar suara marah dengan nada tinggi dari rumah itu.

"Maka jadi istri itu yang benar! Lihat ini yang kamu masak. Apa ini? Aku di suruh makan makanan sampah seperti ini? Hah?" Suara laki-laki itu terdengar lantang. Tidak ada jawaban atau sahutan apapun dari pihak lain.

Prang! Suara barang yang jatuh dengan paksa.

"Masakan kamu buat aku enggak selera makan!" Lanjut teriakan laki-laki itu.

Jihan menghadap ke rumah itu, suaranya seperti orang yang masih muda dan dia yakin itu bukan suara ayah Hanum, tapi itu suara suami Hanum.

Jihan kebingungan ketika pintu rumah terbuka, wanita itu membalik badan seolah tidak tahu dan tidak mendengar apa-apa. Seketika wanita itu menutup kedua telinga saat mendengar kerasnya suara motor RX-King yang baru saja di hidupkan oleh mempelai pria kemarin.

Jihan hanya bisa memandang sesekali ketika lelaki itu melewatinya. Wanita itu menoleh ke arah dalam rumah Hanum, namun dia tidak menemukan siapapun di sana.

"Hei! Ayo," ujar Alfian mengejutkan.

Jihan tidak bisa berkata apa-apa, wanita itu duduk di jok belakang dengan kepala yang masih memperhatikan pintu rumah Hanum yang masih terbuka.

Alfian membawa Jihan pergi ke kebun kelapa, di sana banyak warga yang masih bekerja. Ada yang sedang memanjat, mengumpulkan kelapa, bahkan ada yang melepaskan sabut dari kelapanya.

"Ji, kamu tahu?"

"Enggak."

"Ih! Ngeselin," ucap Alfian sambil mendengus. "Belum."

"Oh, belum," sahut Jihan sambil tertawa lepas seolah dia berhasil membuat Alfian kesal.

Alfian ikut tersenyum, pemuda itu selalu bersyukur karena di saat dia terpuruk ada wanita gila yang menemaninya. Hal ini tidak akan pernah di lupakan oleh pemuda berkulit putih itu.

Motor berhenti tepat di depan sebuah pondok, di sana ada beberapa wanita paruh baya yang sedang menjemur kelapa yang sudah di lepas dari tempurungnya.

"Al, kok kelapanya di jemur. Biar apa?" Tanya Jihan sambil memperhatikan beberapa jumlah kelapa yang sudah terbentang menghadap matahari.

"Biar hitam seperti kamu," sahut Alfian dengan entengnya.

Plak! Jihan menepuk pundak Alfian sebelah kanan.

"Aduh!" Alfian mengusap-usap pundaknya. "Sakit tau!" Lanjutnya dengan nada ngambek.

"Kamu juga sih, ngapain kamu bilang aku hitam?" Tanya Jihan seolah menantang.

Alfian hanya bisa tertawa lepas, namun, seketika pemuda itu mengatupkan bibirnya ketika melihat Danu berjalan ke arahnya.

Jihan ikut memandang Danu, masih tidak bisa di percaya jika yang di marah lelaki itu tadi adalah Hanum.

"Eh, Al! Mau kerja?" Sapa Danu ketika motornya sudah bersampingan dengan motor Alfian.

"Iya. Aku capek kerja di kota enggak terkumpul uangnya," jawab Alfian.

"Itulah kau! Sudah aku bilang hidup di kota itu biayanya mahal geng!" Ucapnya sambil tertawa lepas. "Mending aku yang dari dulu di rumah tapi bisa mengumpulkan banyak uang. Kamu lihat pesta kemarin, itu semua aku yang biayai."

"Oh!" Jawab Alfian simpel.

"Kau tau? Aku sekarang sudah menjadi mandor kelapa mulai hari ini. Itu janji ayahku," ucap lelaki bertubuh gempal namun pendek itu.

"Oh, ya?" Tanya Alfian simpel.

"Aku bakal bawa Hanum honeymoon ke kota, pasti dia akan suka," ucap Danu sambil tersenyum sinis.

"Al! Setau aku yang namanya honeymoon itu, ya, begitu selesai pesta langsung go! Bukan nunggu besok, besok," timpal Jihan yang sedari tadi memandang Danu dengan tatapan tak suka.

Tampak dari wajahnya, Danu saat ini kena mental. Lelaki itu menatap Jihan bak singa yang sedang kelaparan.

Jihan tertawa kekeh setelah Danu enyah dari sana, wanita itu paham seolah Danu menikahi Hanum hanya ingin mendapat gelar sebagai sang mandor.

"Al, Danu memang cinta, ya, sama Hanum?" Tanya Jihan yang masih duduk di belakang Alfian.

"Ya cinta lah. Kalau enggak kenapa di nikahi?"

"Kamu enggak merekam ucapannya tadi? Setelah menikah dia bakal di angkat jadi mandor 'kan? Bisa jadi dia menikah ini hanya supaya mendapatkan status sudah menikah," ucap Jihan dengan nada santai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Pura-pura Dari Desa   Bab 23

    Tidak berselang lama, Jihan kembali dengan membawa tiga gelas jus jeruk. Wanita itu duduk di sebelah kanan Alfian sedangkan Safitri duduk di seberangnya."Ada. Aku ada fotonya," ucap Safitri sambil menggeser-geserkan layar gawai miliknya."Foto siapa, Al?" Bisik Jihan pada suaminya."Danu," sahut Alfian.Mata Alfian dan Jihan sama-sama melotot ketika Safitri menyodorkan gawainya yang terpajang foto Danu di sana. Ya, benar. Di sana ada Danu suami dari Hanum.Alfian menghela nafas panjang sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Pemuda itu ingin marah kepada Danu tapi apa untungnya? Toh lelaki itu pilihan Hanum sendiri."Jadi rencana kamu gimana, Sa?" Tanya Alfian."Ya, kami akan menikah," sahut Safitri sambil tersenyum.Alfian hanya bisa mengangguk-anggukan kepala, pemuda itu tak dapat berkata apa-apa. "Terus aku di undang ke sini untuk apa, Al?" Tanya Safitri yang masih penasaran."Danu itu—""Eh, Al, ada sesuatu yang mau aku beli. Ini penting, ayo kita pergi." Jihan memotong pemb

  • Suami Pura-pura Dari Desa   Bab 22

    Sejenak Jihan akan memanggil wanita itu namun dia mengurungkan niatnya dengan membalik badan. Wanita itu masuk ke dalam rumahnya dan tidak lama keluar kembali.Jihan mentransfer uang untuk ibu kost setelah meminta nomor rekening beliau tadi, untungnya aplikasi untuk mentransfer masih ada di gawainya. Dia sudah nyaman untuk tinggal di sana maka dia tidak keberatan untuk membayar langsung selama setahun. "Mbak Jihan, mau ke mana?" Tanya tetangga sebelah rumah yang kemarin sudah berkenalan dengannya."Mau ke kantor, Al, Bu. Ada urusan dadakan," sahut Jihan sambil mengunci pintu."Oh, baru juga sebentar di tinggal, Mbak. Kangen, ya?" Ucap wanita itu dengan nada menggoda.Jihan tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala, ada-ada saja tingkah wanita itu. Tapi sebenarnya jauh di lubuk hati Jihan memang merasa senang dia akan bertemu dengan Alfian, padahal baru beberapa jam saja dia di tinggal.Jihan menghentikan langkah ketika melihat seorang wanita muda tengah menjemur pakaian yang ada di

  • Suami Pura-pura Dari Desa   Bab 21

    Jihan meletakkan kembali gawai yang ada di tangannya dengan mata berkaca-kaca, kepalanya mendongak dengan memandang langit-langit rumah sembari menghela nafas panjang.Usahanya untuk menahan air mata yang hendak jatuh tak berhasil, air mata itu tetap jatuh membasahi area pipi. Wanita itu mengambil kembali gawai bukan untuk menjawab telepon melainkan mematikan daya gawai."Ma, maafin aku, Ma. Lebih baik aku pergi daripada aku harus tinggal sama papa."Jihan kembali beres-beres rumah dengan air mata yang sesekali masih menetes. Namun, sekuat hati wanita itu mencoba mengalihkan pikirannya ketika melihat isi dapur masih terlihat kosong..."Al, apa sebaiknya aku cari rumah kost sendiri, ya?" Tanya Jihan di saat mereka tengah makan malam yang baru di beli Alfian."Loh, kenapa? Kamu masih belum percaya sama aku kalau aku bakal menjaga—""Bukan itu maksudku, Al.""Lantas?" Tanya Alfian sambil memandang Jihan.Jihan dan Alfian duduk di lantai beralaskan tikar plastik, mereka tampak seperti p

  • Suami Pura-pura Dari Desa   Bab 20

    Ayu tersenyum sinis memandang Jihan, sayangnya Brahma Utama tidak memperhatikannya. Lelaki paruh baya itu fokus memandang sang putri dengan sangat marah."Pa—""Jihan! Sudah papa peringatkan kamu, kalau kamu tidak bisa terima dengan keputusan papa ini sebaiknya kamu pergi!" Ucap Brahma Utama dengan nada lantang.Rasa emosi Jihan tidak bisa di bendung lagi, tanpa pikir panjang wanita itu menutup dengan kuat daun pintu sehingga menyebabkan suara sangat keras.Jihan mengambil sebuah koper dari atas almarinya, wanita itu menyusun beberapa baju miliknya dan juga peralatan serta perlengkapan dirinya.Tidak menunggu waktu lama, wanita itu menuruni anak tangga dengan menarik gagang koper berwana hitam. Langkahnya sejenak berhenti ketika melihat sang papa dan wanitanya duduk berdua di kursi makan."Eh, mau ke mana kamu, Mbak?" Tanya Tasya terkejut, wanita yang masih duduk di kursi yang ada di teras itu beranjak sambil meletakkan gawai di atas meja."Aku mau pergi, Tasya. Enggak ada lagi sainga

  • Suami Pura-pura Dari Desa   Bab 19

    Jihan yang tengah duduk di lantai dengan kedua tangan melipat di atas lutut, kini berdiri tegap sambil memandang sang adik."Tasya, sampai kapan kamu anggap aku ini musuh? Hah?" Tanya Jihan sambil melangkah ke arah Tasya."Aku bukan menganggap, tapi kamu memang musuhku," ucap Tasya dengan ketus."Apa salahku? Apa?" Teriak Jihan."Kamu enggak sadar? Semua kasih sayang mama kamu ambil, Mbak. Mama lebih sayang sama kamu dan mama lebih perhatian sama kamu, mama enggak pernah memberi perhatian yang sama sepertimu," ucap Tasya dengan rasa geram.Unek-unek di dalam hati kini telah keluar dari mulut Tasya, selama ini wanita itu hanya bisa memendam karena tiada tempat mengadu. Jika mengadu kepada sahabatnya, hal inilah yang dapat merendahkan dirinya karena dia selalu bercerita dialah yang terbaik di rumah ini."Kamu enggak pergi saja ikut suamimu? Ngapain lagi kamu di sini, mau jadi janda?" Ucap Tasya dengan nada ketus dan wajah sinis."Aku di sini untuk mama, bukan untuk hidupku," jawab Jihan

  • Suami Pura-pura Dari Desa   Bab 18

    Secepatnya Jihan menjawab telepon, "Halo, Pa," sapa wanita itu setelah menggeser layar gawai ke arah kanan."Jihan, kamu kenapa belum sampai?" Tanya Brahma Utama dari seberang."Pa, Jihan mendadak tidak enak badan," jawab Jihan dengan nada lirih. Jantungnya berdegup kencang setelah mengingat wanita yang di bawa sang papa telah di usir olehnya."Ya, sudah. Papa cari pengganti saja," jawab Brahma Utama lalu mengakhiri panggilan.Jihan menghela nafas panjang sambil memandang Alfian yang masih duduk di tepi ranjang tengah memandangnya."Al, kamu enggak ke kantor?" Tanya Jihan."Enggaklah, besok saja," jawab Alfian sambil membuka sepatu yang dia kenakan."Berangkat saja, aku enggak kenapa-kenapa kok," ujar Jihan sambil menyeka poni ke belakang telinga.Alfian menggelengkan kepala, pemuda itu tahu kalau masalah yang sedang di hadapi istrinya sangat rumit. Setelah membuka sepatu pemuda itu masuk ke dalam kamar mandi."Al, aku ke kamar mama dulu, ya," ucap Jihan sambil memandang Alfian yang t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status