"Tunggu!" Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertubuh tinggi besar menahan lengan Jihan hingga Jihan tak mampu melepasnya.
"Alfian! Tolong!" Teriak Jihan dengan nada panik.Seketika Alfian menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang setelah suara Jihan terlihat gugup. Secepatnya Alfian berjalan ke arah lelaki berwajah sangar yang saat ini tengah memegang lengan Jihan.Jihan meringis kesakitan karena lelaki itu sangat kuat. Penampilan lelaki itu seperti preman pasar hingga tak ada seorangpun yang berani menolongnya. Kumis tebal, kepala botak, dan matanya yang melotot, membuat semua orang hanya bisa diam dan menyaksikan."Apa-apaan ini?" Tanya Alfian ketika berada di hadapan lelaki itu."Kalian yang apa-apaan? Buat aku pusing. Tadi kau kejar dia, sekarang dia kejar kau. Apa kalian masih main kejar-kejaran di sini?" Tanya lelaki bertubuh tinggi besar yang memakai jaket kulit berwarna hitam. "Ini pegang! Jangan kau lepaskan lagi," ujarnya sambil memberikan lengan Jihan pada Alfian.Seketika terdengar suara tawa terbahak-bahak di sekeliling mereka, semua orang yang menyaksikan kejadian itu tertawa sampai terpingkal-pingkal. Alfian dan Jihan merasa malu sampai akhirnya mereka berdua meringis sambil meninggalkan tempat itu.Ternyata benar kata orang, penampilan sangar itu belum tentu jahat. Penampilan sangar itu terkadang juga memiliki hati yang lembut..."Al, ternyata belanja di pasar itu seru, ya," ucap Jihan di tengah perjalanan."Ya, gitulah. Tapi untungnya tadi preman itu baik," ucap Alfian sambil menghela nafas panjang."Memangnya preman ada yang baik?" Tanya Jihan. "Di mana-mana preman itu jahat, berarti dia bukan preman dong?""Bukan! Malaikat berbentuk preman," ucap Alfian kesal.Jihan tertawa lepas mendengar ucapan Alfian yang melenceng jauh. Seperti hidup kembali wanita itu kini mampu tertawa sekeras-kerasnya.Tak pernah di pikirkan atau terpikirkan tentang bagaimana keadaan keluarganya yang ada di kota. Wanita itu yakin tidak akan ada yang merasa kehilangan satu orangpun dari mereka karena Jihan seperti anak yang tidak di inginkan di sana.* * *"Kamu tadi beli apa saja, Ji? Kamu dapat uang dari mana?" Tanya Alfian sambil membuka jaket ketika mereka sudah berada di dalam kamar."Ini," ucapnya sambil membuka kantong plastik yang sedari tadi dia pegang."Ya ampun, Ji, jauh-jauh kamu ke pasar cuma beli sepasang baju tidur saja? Kenapa enggak sekalian kita belanja banyak tadi? Ini apa? Baju untuk nenek dan kakek?" Tanya Alfian dengan wajah bingung sambil memegang beberapa helai pakaian."Biarin saja," jawab Jihan dengan nada manja. Padahal wanita itu memiliki rencana lain yang Alfian tidak tahu menahu untuk menyatukan Hanum dan Alfian.Jihan berjalan ke arah belakang guna untuk memberikan baju kakek dan nenek yang tadi dia beli, namun, wanita itu tidak menemukan nenek di belakang rumah. Golok serta kelapa yang belum di lepas dari tempurung masih utuh di sana. Wanita itu meletakkan kantong plastik berwarna hitam itu di meja yang ada di dapur.Jihan celingukan mencari keberadaan nenek, sesekali matanya mengarah pada rumah tetangga yang ada di sana. Wanita itu memberanikan diri untuk berjalan ke arah rumah tetangganya."Mbak! Cari siapa?" Tanya seorang wanita paruh baya yang sedang menggendong anak balitanya. Jihan melangkah ke arah wanita itu."Bu, ada nampak nenek enggak, ya?" Tanya Jihan sambil melangkah."Oh, Nek Rum? Tadi pergi ke arah warung. Coba saja cari siapa tahu ada," ujarnya sambil sekilas memandang ke arah warung."Iya, Bu. Terimakasih," ucapnya sambil meninggalkan wanita itu. Wanita paruh baya itu tersenyum sambil menganggukkan kepala.Jihan melangkah sambil memandang ke arah rumah Hanum, tampak sepasang sendal yang di kenakan oleh Hanum tadi sewaktu berjumpa di pasar.Entah ada angin apa, Jihan langsung saja melangkah ke arah rumah Hanum. Namun, seseorang menahan lengannya."Jihan! Kamu mau ngapain ke sana?"Jihan menoleh ke belakang, tenyata Alfian lah yang memegang lengannya."Aku mau cari nenek," sahut Jihan sambil mencoba melepaskan lengannya dari Alfian. Namun, lelaki itu malah memperkuat pegangannya."Jangan! Pulang saja kita," ujar Alfian sambil terus memegang dan menarik paksa lengan Jihan supaya pulang ke rumah. "Lagian nenek enggak mungkin di rumah itu," lanjutnya."Lepas!" Jihan memberontak dengan menarik paksa lengannya. Alfian melepaskan lalu memandang wajah Jihan. "Aku bosan di rumah, aku mau keluar jalan-jalan.""Tunggu sebentar, aku ambil motor," ujar Alfian.Jihan berdiri tepat di depan rumah Hanum, betapa terkejutnya Jihan ketika mendengar suara marah dengan nada tinggi dari rumah itu."Maka jadi istri itu yang benar! Lihat ini yang kamu masak. Apa ini? Aku di suruh makan makanan sampah seperti ini? Hah?" Suara laki-laki itu terdengar lantang. Tidak ada jawaban atau sahutan apapun dari pihak lain.Prang! Suara barang yang jatuh dengan paksa."Masakan kamu buat aku enggak selera makan!" Lanjut teriakan laki-laki itu.Jihan menghadap ke rumah itu, suaranya seperti orang yang masih muda dan dia yakin itu bukan suara ayah Hanum, tapi itu suara suami Hanum.Jihan kebingungan ketika pintu rumah terbuka, wanita itu membalik badan seolah tidak tahu dan tidak mendengar apa-apa. Seketika wanita itu menutup kedua telinga saat mendengar kerasnya suara motor RX-King yang baru saja di hidupkan oleh mempelai pria kemarin.Jihan hanya bisa memandang sesekali ketika lelaki itu melewatinya. Wanita itu menoleh ke arah dalam rumah Hanum, namun dia tidak menemukan siapapun di sana."Hei! Ayo," ujar Alfian mengejutkan.Jihan tidak bisa berkata apa-apa, wanita itu duduk di jok belakang dengan kepala yang masih memperhatikan pintu rumah Hanum yang masih terbuka.Alfian membawa Jihan pergi ke kebun kelapa, di sana banyak warga yang masih bekerja. Ada yang sedang memanjat, mengumpulkan kelapa, bahkan ada yang melepaskan sabut dari kelapanya."Ji, kamu tahu?""Enggak.""Ih! Ngeselin," ucap Alfian sambil mendengus. "Belum.""Oh, belum," sahut Jihan sambil tertawa lepas seolah dia berhasil membuat Alfian kesal.Alfian ikut tersenyum, pemuda itu selalu bersyukur karena di saat dia terpuruk ada wanita gila yang menemaninya. Hal ini tidak akan pernah di lupakan oleh pemuda berkulit putih itu.Motor berhenti tepat di depan sebuah pondok, di sana ada beberapa wanita paruh baya yang sedang menjemur kelapa yang sudah di lepas dari tempurungnya."Al, kok kelapanya di jemur. Biar apa?" Tanya Jihan sambil memperhatikan beberapa jumlah kelapa yang sudah terbentang menghadap matahari."Biar hitam seperti kamu," sahut Alfian dengan entengnya.Plak! Jihan menepuk pundak Alfian sebelah kanan."Aduh!" Alfian mengusap-usap pundaknya. "Sakit tau!" Lanjutnya dengan nada ngambek."Kamu juga sih, ngapain kamu bilang aku hitam?" Tanya Jihan seolah menantang.Alfian hanya bisa tertawa lepas, namun, seketika pemuda itu mengatupkan bibirnya ketika melihat Danu berjalan ke arahnya.Jihan ikut memandang Danu, masih tidak bisa di percaya jika yang di marah lelaki itu tadi adalah Hanum."Eh, Al! Mau kerja?" Sapa Danu ketika motornya sudah bersampingan dengan motor Alfian."Iya. Aku capek kerja di kota enggak terkumpul uangnya," jawab Alfian."Itulah kau! Sudah aku bilang hidup di kota itu biayanya mahal geng!" Ucapnya sambil tertawa lepas. "Mending aku yang dari dulu di rumah tapi bisa mengumpulkan banyak uang. Kamu lihat pesta kemarin, itu semua aku yang biayai.""Oh!" Jawab Alfian simpel."Kau tau? Aku sekarang sudah menjadi mandor kelapa mulai hari ini. Itu janji ayahku," ucap lelaki bertubuh gempal namun pendek itu."Oh, ya?" Tanya Alfian simpel."Aku bakal bawa Hanum honeymoon ke kota, pasti dia akan suka," ucap Danu sambil tersenyum sinis."Al! Setau aku yang namanya honeymoon itu, ya, begitu selesai pesta langsung go! Bukan nunggu besok, besok," timpal Jihan yang sedari tadi memandang Danu dengan tatapan tak suka.Tampak dari wajahnya, Danu saat ini kena mental. Lelaki itu menatap Jihan bak singa yang sedang kelaparan.Jihan tertawa kekeh setelah Danu enyah dari sana, wanita itu paham seolah Danu menikahi Hanum hanya ingin mendapat gelar sebagai sang mandor."Al, Danu memang cinta, ya, sama Hanum?" Tanya Jihan yang masih duduk di belakang Alfian."Ya cinta lah. Kalau enggak kenapa di nikahi?""Kamu enggak merekam ucapannya tadi? Setelah menikah dia bakal di angkat jadi mandor 'kan? Bisa jadi dia menikah ini hanya supaya mendapatkan status sudah menikah," ucap Jihan dengan nada santai.Alfian diam seolah berpikir sambil menatap wajah Jihan, memang selama mereka berteman, Danu lebih suka cewek bar-bar ketimbang cewek pendiam seperti Hanum. Bahkan Danu sendiri pernah mengatakan pada Alfian perempuan seperti Hanum bukanlah tipenya.Mata Jihan yang bulat menatap Alfian sambil tersenyum, wanita sangat ingin membantu Alfian untuk mendapatkan cintanya."Ji, benar juga katamu. Aku harus selidiki semua ini," ucap Alfian setelah beberapa saat terdiam."Nah, sekarang yang harus kamu tahu dulu, kenapa Hanum mau menikah dengan Danu? Sedangkan hubungan kalian sudah bertahun-tahun lamanya, bahkan sudah ada rencana mau menikah 'kan?" Tanya Jihan.Alfian mengangguk-anggukkan kepala, pikirannya saat ini sangat kacau. Di sisi lain sebenarnya dia sudah tidak mau tahu dengan urusan Hanum karena wanita itu sudah milik orang lain. Tapi di sisi lain dia juga harus tahu karena semua ini berjalan dengan tiba-tiba.Alfian menghidupkan mesin motor, dengan perlahan motornya meninggalkan area gu
Alfian hanya bisa meratapi nasib yang sedang menimpanya. Hati yang sakit membuat tubuhnya lemah tak berdaya, jiwanya tak ingin hidup walau raganya masih ingin bergerak.Hari terus berganti, pemuda itu masih berusaha untuk terus berjalan walau hanya bisa diam. Beban yang harus dia pikul membuat raganya harus tetap bekerja.* * *"Al! Kantin, yuk." Lamunan Alfian buyar ketika mendengar suara wanita yang menyebut namanya."Enggak ah. Enggak lapar aku," jawabnya setelah dia memandang wanita itu adalah Safitri.Jam istirahat kantor telah tiba, namun, Alfian masih saja seperti biasanya yang hanya duduk di kursi miliknya tanpa melakukan aktivitas apapun kecuali melamun.Safitri memutarkan kursinya menghadap Alfian, wanita itu sejak lama memperhatikan teman sekantornya itu tapi baru kali ini dia memberanikan diri untuk mengajaknya berbicara."Al, coba cerita sama aku. Sebenarnya kamu ini ada apa? Apa akan selamanya kamu seperti ini?" Tanya Safitri dengan nada lirih."Sa, aku enggak tahu harus
Alfian tersenyum sambil menggelengkan kepala, tangan kanannya sudah memegang tali ransel sebelah kanan yang menempel di dada. "Tidaklah. Aku sudah tidak punya harapan lagi," jawab Alfian sambil berbisik."Yakin? Terus rencana kita bagaimana?""Nanti kita bicarakan di sana.""Jihan. Masuk!" Cetus Brahma dengan nada sedikit sinis.Seketika Jihan memandang sang papa dengan mata membelalak, jantungnya berdegup kencang seolah takut sifat asli sang papa kembali lagi seperti sebelumnya.Tanpa pikir panjang Jihan melangkah ke sisi mobil sambil memegang lengan Alfian."Aku naik motor saja, Ji," ucap Alfian setelah Jihan duduk di dalam mobil."Kenapa?" Tanya Jihan memandang Alfian."Naik mobil saja. Di rumah kami tidak terbiasa memajang motor," timpal Brahma yang hendak naik di bagian depan.Alfian memandang Brahma sambil masuk dan duduk di samping Jihan. Pemuda itu masih saja berpikir positif pada Brahma, namun, sang nenek sudah memiliki firasat tak enak sehingga wanita tua itu memandang sang
"Bisa. Pasti bisa," ucap Jihan meyakinkan."Sekarang istirahat lah di kamar, sayang," ucap Brahma sambil terisak.Jihan mengangguk, wanita itu melangkah ke kamar di ikuti Alfian di belakangnya. Semua orang yang ada di di sana masih fokus dengan pulih nya sang ratu dalam rumah.Bruk!Jihan menghempaskan tubuhnya di ranjang, tubuhnya menggeliat untuk melepaskan rasa lelah yang sangat luar biasa. Kelegaan dalam hati dan pikiran membuatnya terasa kantuk."Ji, besar banget kamar kamu," ucap Alfian sambil duduk di tepi ranjang."Biasa saja," jawab Jihan dengan mata terpejam."Kamu kan punya adik, kok tadi adik kamu tidak ada?" Tanya Alfian sambil melepaskan ransel yang masih di gendong sedari tadi."Mungkin dia lagi keluar. Al, sekarang apa yang akan kamu lakukan?""Maksudnya?""Almera. Kamu tidak cari tahu di mana dia?"Alfian tersenyum sambil menghela nafas, "Biarlah, biar semua berjalan dulu. Siapa tau suatu saat nanti ada jalan terbaik," ucap Alfian sambil tersenyum.Jihan beranjak dari
Mata Jihan membulat memandang sang mama yang saat ini tersenyum padanya, wanita itu sekilas melirik ke arah Alfian namun Alfian masih sibuk dengan gawainya."Tanya Alfian, Ma. Kalau aku belum siap," jawab Jihan sambil mengambil air mineral yang sedari tadi ada di samping piring miliknya."Loh, kenapa belum siap?" Tanya Sandra."Nanti keburu tua," cetus Tasya."Untuk apa cepat-cepat punya anak yang akhirnya bukan dia sendiri yang urus," timpal Jihan kesal.Alfian mematikan gawai yang ada di tangannya, pesan yang baru saja masuk ternyata dari Safitri. Wanita itu memberi kabar oleh Alfian kalau bos pemilik perusahaan itu memintanya untuk kembali bekerja di sana.Alfian bingung dengan sifat mereka yang diam, sementara dia benar-benar tidak mendengar obrolan apa yang baru saja di bahas oleh mereka."Al, di tanya mama tuh," jawab Jihan."Ada apa, Ma?" Tanya Alfian memandang Sandra."Kapan kalian berencana punya anak? Mama pengen gendong cucu dari kalian," ucap Sandra.Alfian menelan ludah,
Mata Tasya fokus memandang papa karena lelaki berkumis tebal itulah yang merespon ceritanya dari antara mereka yang ada di sana. Tasya lebih terlihat ceria di hari-hari biasanya, seperti telah melepaskan beban yang selama ini dia pikul sendiri.Tasya terus menyuap nasi sambil sesekali melirik ke arah Alfian. Wanita itu tidak segan-segan tersenyum lebar di depan kakaknya, dalam hatinya dia telah menemukan sahabat baru dalam hidupnya."Memangnya selama ini kamu enggak pernah jalan sama suami kamu? Sampai-sampai mereka kepikiran kalau kamu sudah menikah lagi. Kapan terakhir kamu jalan dengan suami kamu? Lima bulan kah atau setahun?" Tanya Jihan dengan nada datar tanpa memandang Tasya."Jangan pernah tanyakan hal itu padaku," ucap Tasya sedikit ketus."Kenapa? Kalau suami istri jalan bareng itu hal yang wajar 'kan?" Jihan meraih segelas air mineral lalu meneguknya.Kedua orang tuanya hanya bisa diam dan saling tatap, mereka sekarang mengerti kalau putri sulungnya tidak suka suaminya jalan
"Enggak. Enggak apa-apa kok, emang hawanya malam ini panas aja mungkin," jawab Jihan gugup. Wanita itu mengibaskan beberapa kali telapak tangannya di dekat bagian leher.Alfian percaya begitu saja, pemuda itu mengambil bantal dan selimut miliknya yang ada di dekat Jihan tanpa curiga sedikitpun.Jihan membenahi bantal miliknya lalu merebahkan tubuhnya, seperti biasanya Alfian tidur di sofa sedangkan Jihan tidur di ranjang.Jihan tidak bisa tidur, pikirnya jauh pergi entah kemana setelah membaca pesan dari Safitri yang ada di gawai Alfian, sesekali wanita itu merubah posisi untuk mendapatkan posisi ternyaman. Namun, sampai jam menunjukkan pukul satu dini hari pun matanya belum juga terpejam."Ih, ada apa sih dengan pikiranku ini?" Bisiknya kesal sambil menghela nafas panjang. Matanya terbuka dengan wajah yang menghadap meja rias. Ingin rasanya mencari tahu apa maksudnya tapi wanita itu mengerti kalau dia tidak boleh gegabah."Sebenarnya ini ada apa sih? Apa bener Safitri hamil karena Al
Sandra masih duduk di kursi roda di ambang pintu sedangkan Tasya masih berdiri menghadap ke arah luar. Jihan melangkah mendekati mereka sambil mendengarkan sang adik yang masih merengek kepada mama."Tasya, kamu kenapa? Mau nomornya Alfian?" Tanya Jihan sambil menggeser-geser layar gawai, "Nih, catat," lanjutnya sambil melangkah mendekati mereka.Dengan sigap Tasya menghidupkan layar gawai lalu mencatat beberapa angka yang di sebutkan oleh kakaknya. Wanita itu tidak menyadari bahwa sang mama memandangnya dengan tatapan tak suka.Wajah Tasya tampak semringah setelah selesai mencatat nomor itu, dalam hati Jihan, Alfian bukanlah miliknya sehingga dia tidak seharusnya melarang siapapun yang ingin dekat dengannya."Sudah," ucap Tasya sambil tersenyum."Sudah? Lain waktu kamu jangan bohongi mama lagi, ya," ucap Jihan sambil tersenyum sinis."Bohongi mama? Maksudnya kamu apa sih, Mbak?" Tanya Jihan sekilas memandang sang mama yang masih memandang Jihan."Jadwal posyandu Zaky besok, bukan sek