Share

Bab 06

"Tunggu!" Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertubuh tinggi besar menahan lengan Jihan hingga Jihan tak mampu melepasnya.

"Alfian! Tolong!" Teriak Jihan dengan nada panik.

Seketika Alfian menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang setelah suara Jihan terlihat gugup. Secepatnya Alfian berjalan ke arah lelaki berwajah sangar yang saat ini tengah memegang lengan Jihan.

Jihan meringis kesakitan karena lelaki itu sangat kuat. Penampilan lelaki itu seperti preman pasar hingga tak ada seorangpun yang berani menolongnya. Kumis tebal, kepala botak, dan matanya yang melotot, membuat semua orang hanya bisa diam dan menyaksikan.

"Apa-apaan ini?" Tanya Alfian ketika berada di hadapan lelaki itu.

"Kalian yang apa-apaan? Buat aku pusing. Tadi kau kejar dia, sekarang dia kejar kau. Apa kalian masih main kejar-kejaran di sini?" Tanya lelaki bertubuh tinggi besar yang memakai jaket kulit berwarna hitam. "Ini pegang! Jangan kau lepaskan lagi," ujarnya sambil memberikan lengan Jihan pada Alfian.

Seketika terdengar suara tawa terbahak-bahak di sekeliling mereka, semua orang yang menyaksikan kejadian itu tertawa sampai terpingkal-pingkal. Alfian dan Jihan merasa malu sampai akhirnya mereka berdua meringis sambil meninggalkan tempat itu.

Ternyata benar kata orang, penampilan sangar itu belum tentu jahat. Penampilan sangar itu terkadang juga memiliki hati yang lembut.

.

.

"Al, ternyata belanja di pasar itu seru, ya," ucap Jihan di tengah perjalanan.

"Ya, gitulah. Tapi untungnya tadi preman itu baik," ucap Alfian sambil menghela nafas panjang.

"Memangnya preman ada yang baik?" Tanya Jihan. "Di mana-mana preman itu jahat, berarti dia bukan preman dong?"

"Bukan! Malaikat berbentuk preman," ucap Alfian kesal.

Jihan tertawa lepas mendengar ucapan Alfian yang melenceng jauh. Seperti hidup kembali wanita itu kini mampu tertawa sekeras-kerasnya.

Tak pernah di pikirkan atau terpikirkan tentang bagaimana keadaan keluarganya yang ada di kota. Wanita itu yakin tidak akan ada yang merasa kehilangan satu orangpun dari mereka karena Jihan seperti anak yang tidak di inginkan di sana.

* * *

"Kamu tadi beli apa saja, Ji? Kamu dapat uang dari mana?" Tanya Alfian sambil membuka jaket ketika mereka sudah berada di dalam kamar.

"Ini," ucapnya sambil membuka kantong plastik yang sedari tadi dia pegang.

"Ya ampun, Ji, jauh-jauh kamu ke pasar cuma beli sepasang baju tidur saja? Kenapa enggak sekalian kita belanja banyak tadi? Ini apa? Baju untuk nenek dan kakek?" Tanya Alfian dengan wajah bingung sambil memegang beberapa helai pakaian.

"Biarin saja," jawab Jihan dengan nada manja. Padahal wanita itu memiliki rencana lain yang Alfian tidak tahu menahu untuk menyatukan Hanum dan Alfian.

Jihan berjalan ke arah belakang guna untuk memberikan baju kakek dan nenek yang tadi dia beli, namun, wanita itu tidak menemukan nenek di belakang rumah. Golok serta kelapa yang belum di lepas dari tempurung masih utuh di sana. Wanita itu meletakkan kantong plastik berwarna hitam itu di meja yang ada di dapur.

Jihan celingukan mencari keberadaan nenek, sesekali matanya mengarah pada rumah tetangga yang ada di sana. Wanita itu memberanikan diri untuk berjalan ke arah rumah tetangganya.

"Mbak! Cari siapa?" Tanya seorang wanita paruh baya yang sedang menggendong anak balitanya. Jihan melangkah ke arah wanita itu.

"Bu, ada nampak nenek enggak, ya?" Tanya Jihan sambil melangkah.

"Oh, Nek Rum? Tadi pergi ke arah warung. Coba saja cari siapa tahu ada," ujarnya sambil sekilas memandang ke arah warung.

"Iya, Bu. Terimakasih," ucapnya sambil meninggalkan wanita itu. Wanita paruh baya itu tersenyum sambil menganggukkan kepala.

Jihan melangkah sambil memandang ke arah rumah Hanum, tampak sepasang sendal yang di kenakan oleh Hanum tadi sewaktu berjumpa di pasar.

Entah ada angin apa, Jihan langsung saja melangkah ke arah rumah Hanum. Namun, seseorang menahan lengannya.

"Jihan! Kamu mau ngapain ke sana?"

Jihan menoleh ke belakang, tenyata Alfian lah yang memegang lengannya.

"Aku mau cari nenek," sahut Jihan sambil mencoba melepaskan lengannya dari Alfian. Namun, lelaki itu malah memperkuat pegangannya.

"Jangan! Pulang saja kita," ujar Alfian sambil terus memegang dan menarik paksa lengan Jihan supaya pulang ke rumah. "Lagian nenek enggak mungkin di rumah itu," lanjutnya.

"Lepas!" Jihan memberontak dengan menarik paksa lengannya. Alfian melepaskan lalu memandang wajah Jihan. "Aku bosan di rumah, aku mau keluar jalan-jalan."

"Tunggu sebentar, aku ambil motor," ujar Alfian.

Jihan berdiri tepat di depan rumah Hanum, betapa terkejutnya Jihan ketika mendengar suara marah dengan nada tinggi dari rumah itu.

"Maka jadi istri itu yang benar! Lihat ini yang kamu masak. Apa ini? Aku di suruh makan makanan sampah seperti ini? Hah?" Suara laki-laki itu terdengar lantang. Tidak ada jawaban atau sahutan apapun dari pihak lain.

Prang! Suara barang yang jatuh dengan paksa.

"Masakan kamu buat aku enggak selera makan!" Lanjut teriakan laki-laki itu.

Jihan menghadap ke rumah itu, suaranya seperti orang yang masih muda dan dia yakin itu bukan suara ayah Hanum, tapi itu suara suami Hanum.

Jihan kebingungan ketika pintu rumah terbuka, wanita itu membalik badan seolah tidak tahu dan tidak mendengar apa-apa. Seketika wanita itu menutup kedua telinga saat mendengar kerasnya suara motor RX-King yang baru saja di hidupkan oleh mempelai pria kemarin.

Jihan hanya bisa memandang sesekali ketika lelaki itu melewatinya. Wanita itu menoleh ke arah dalam rumah Hanum, namun dia tidak menemukan siapapun di sana.

"Hei! Ayo," ujar Alfian mengejutkan.

Jihan tidak bisa berkata apa-apa, wanita itu duduk di jok belakang dengan kepala yang masih memperhatikan pintu rumah Hanum yang masih terbuka.

Alfian membawa Jihan pergi ke kebun kelapa, di sana banyak warga yang masih bekerja. Ada yang sedang memanjat, mengumpulkan kelapa, bahkan ada yang melepaskan sabut dari kelapanya.

"Ji, kamu tahu?"

"Enggak."

"Ih! Ngeselin," ucap Alfian sambil mendengus. "Belum."

"Oh, belum," sahut Jihan sambil tertawa lepas seolah dia berhasil membuat Alfian kesal.

Alfian ikut tersenyum, pemuda itu selalu bersyukur karena di saat dia terpuruk ada wanita gila yang menemaninya. Hal ini tidak akan pernah di lupakan oleh pemuda berkulit putih itu.

Motor berhenti tepat di depan sebuah pondok, di sana ada beberapa wanita paruh baya yang sedang menjemur kelapa yang sudah di lepas dari tempurungnya.

"Al, kok kelapanya di jemur. Biar apa?" Tanya Jihan sambil memperhatikan beberapa jumlah kelapa yang sudah terbentang menghadap matahari.

"Biar hitam seperti kamu," sahut Alfian dengan entengnya.

Plak! Jihan menepuk pundak Alfian sebelah kanan.

"Aduh!" Alfian mengusap-usap pundaknya. "Sakit tau!" Lanjutnya dengan nada ngambek.

"Kamu juga sih, ngapain kamu bilang aku hitam?" Tanya Jihan seolah menantang.

Alfian hanya bisa tertawa lepas, namun, seketika pemuda itu mengatupkan bibirnya ketika melihat Danu berjalan ke arahnya.

Jihan ikut memandang Danu, masih tidak bisa di percaya jika yang di marah lelaki itu tadi adalah Hanum.

"Eh, Al! Mau kerja?" Sapa Danu ketika motornya sudah bersampingan dengan motor Alfian.

"Iya. Aku capek kerja di kota enggak terkumpul uangnya," jawab Alfian.

"Itulah kau! Sudah aku bilang hidup di kota itu biayanya mahal geng!" Ucapnya sambil tertawa lepas. "Mending aku yang dari dulu di rumah tapi bisa mengumpulkan banyak uang. Kamu lihat pesta kemarin, itu semua aku yang biayai."

"Oh!" Jawab Alfian simpel.

"Kau tau? Aku sekarang sudah menjadi mandor kelapa mulai hari ini. Itu janji ayahku," ucap lelaki bertubuh gempal namun pendek itu.

"Oh, ya?" Tanya Alfian simpel.

"Aku bakal bawa Hanum honeymoon ke kota, pasti dia akan suka," ucap Danu sambil tersenyum sinis.

"Al! Setau aku yang namanya honeymoon itu, ya, begitu selesai pesta langsung go! Bukan nunggu besok, besok," timpal Jihan yang sedari tadi memandang Danu dengan tatapan tak suka.

Tampak dari wajahnya, Danu saat ini kena mental. Lelaki itu menatap Jihan bak singa yang sedang kelaparan.

Jihan tertawa kekeh setelah Danu enyah dari sana, wanita itu paham seolah Danu menikahi Hanum hanya ingin mendapat gelar sebagai sang mandor.

"Al, Danu memang cinta, ya, sama Hanum?" Tanya Jihan yang masih duduk di belakang Alfian.

"Ya cinta lah. Kalau enggak kenapa di nikahi?"

"Kamu enggak merekam ucapannya tadi? Setelah menikah dia bakal di angkat jadi mandor 'kan? Bisa jadi dia menikah ini hanya supaya mendapatkan status sudah menikah," ucap Jihan dengan nada santai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status