Share

Bab 08

Alfian hanya bisa meratapi nasib yang sedang menimpanya. Hati yang sakit membuat tubuhnya lemah tak berdaya, jiwanya tak ingin hidup walau raganya masih ingin bergerak.

Hari terus berganti, pemuda itu masih berusaha untuk terus berjalan walau hanya bisa diam. Beban yang harus dia pikul membuat raganya harus tetap bekerja.

* * *

"Al! Kantin, yuk." Lamunan Alfian buyar ketika mendengar suara wanita yang menyebut namanya.

"Enggak ah. Enggak lapar aku," jawabnya setelah dia memandang wanita itu adalah Safitri.

Jam istirahat kantor telah tiba, namun, Alfian masih saja seperti biasanya yang hanya duduk di kursi miliknya tanpa melakukan aktivitas apapun kecuali melamun.

Safitri memutarkan kursinya menghadap Alfian, wanita itu sejak lama memperhatikan teman sekantornya itu tapi baru kali ini dia memberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.

"Al, coba cerita sama aku. Sebenarnya kamu ini ada apa? Apa akan selamanya kamu seperti ini?" Tanya Safitri dengan nada lirih.

"Sa, aku enggak tahu harus apa dan aku juga enggak tahu apa yang akan aku lakukan ke depannya," jawab Alfian sekilas memandang gadis berkulit putih itu.

"Maka coba cerita, siapa tahu aku akan bisa bantu kamu cari jalan keluar. Al, masalah kalau di simpan sendiri enggak akan bisa selesai," ucap Safitri.

Alfian tidak mampu menceritakan apa yang tengah dia rasakan. Hanya saja sekarang hatinya terasa membatu yang tidak bisa merasakan apapun.

Gawai yang kemarin pecah, kini sudah membaik setelah di perbaiki di konter terdekat dari rumah kost nya. Pemuda itu baru tersadar hanya gawai lah yang mampu memberikan informasi dari desa.

"Sa, aku enggak tahu apa salahku tapi tiba-tiba kekasihku tidak lagi mau menjawab telepon dariku. Malah gawainya di berikan pada orang lain," ucap Alfian mencoba menjelaskan.

"Apa? Kok bisa?" Ucap Safitri terkejut.

"Entahlah. Padahal aku ke sini berjuang untuk menghalalkannya, bagaimana caranya supaya aku bisa menikahinya di tahun yang akan datang."

Wajah Alfian murung ketika mengingat di mana masa indah yang pernah di lewati berdua bersama sang kekasih. Pemuda itu menghela nafas panjang lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.

"Kalau aku nih, ya, enggak bakal aku kasih ampun. Aku yakin dia sudah ada yang lain," ucap Safitri dengan nada enteng. Alfian sekilas memandang Safitri dan secepatnya wanita itu mengangguk-anggukkan kepala seolah meyakinkan Alfian.

Plak!

Jihan menepuk paha sebelah kanan Alfian.

"Aduh! Sakit." Alfian meringis sambil mengusap-usap pahanya yang terasa panas.

"Al, ternyata tersangka ada dua wanita. Pertama Safitri dan yang ke dua Almera," tebak Jihan sambil memandang Alfian.

Alfian mengangguk-anggukkan kepala lalu menghidupkan mesin motor untuk melanjutkan perjalanan.

Teka-teki yang selama ini ada di kepala Alfian sudah mendapatkan beberapa kata untuk memecahkan jawabnya.

"Sekarang kita mau ke mana, Al?" Tanya Jihan ketika motor tengah berjalan.

"Ke rumah Almera. Aku ingin tahu apa yang sudah terjadi sebelum Hanum mengambil keputusan itu," ucap Alfian.

Beberapa saat kemudian, Alfian dan Jihan tiba di sebuah rumah yang tak begitu besar dan tidak begitu kecil. Yang pada intinya rumah Almera sedang dan tampak bersih nan rapi.

Alfian memandang seorang wanita yang tengah duduk di kursi yang ada di teras rumah itu. Wanita paruh baya itu meletakkan koran yang baru dia baca di atas meja.

"Alfian? Ada apa, Nak?" Tanya seorang wanita paruh baya itu sambil beranjak dari duduknya.

"Bu, Almera, ada?" Tanya Alfian setelah turun dari atas motor.

"Almera sudah tidak tinggal di sini lagi, Al. Dia tinggal bersama tantenya di kota," jawab wanita itu sambil tersenyum.

"Almera tinggal di kota?" Tanya Jihan sedikit terkejut.

Wanita itu mengangguk. Tampak dari raut wajahnya wanita itu tengah menyembunyikan sesuatu dan tengah merasakan kesedihan.

Jihan melangkah menuju wanita itu lalu menjabat tangan wanita paruh baya itu.

"Jihan, Bu," ucap Jihan memperkenalkan diri.

"Iya. Kamu istri Alfian kan? Gara-gara kamu anakku jadi hampir gila," ucapnya dengan nada lembut namun menusuk ke hati.

"Apa?" Alfian terkejut.

Bu Hilda tersenyum sinis lalu memalingkan wajahnya, wanita paruh baya itu tampak tak sudi untuk memandang Jihan.

Alfian yang masih bingung memandang Jihan lalu kembali memandang Bu Hilda yang masih memandang ke arah jalan yang ada di depan rumah.

"Bu, sebenarnya ada apa?" Tanya Alfian dengan nada lirih.

Hening ...

"Kamu tahu enggak sih, Al? Kamu punya perasaan enggak sih? Kamu punya pikiran tidak?" Teriak Bu Hilda.

Mata Jihan seketika membulat setelah mendengar suara Bu Hilda yang menggelegar di teras rumah. Wanita itu memandang ke sekeliling untuk melihat suasana, untungnya tidak ada satu orang pun yang ada di sana.

"Kamu tahu? Sudah lama anakku menaruh hati padamu tapi kamu tidak pernah melihat perjuangan nya. Tidak pernah melihat apa usahanya supaya kamu bisa tenang hidup di kota."

"Bu, tapi—"

"Aku tahu anakku tidak secantik istrimu tapi setidaknya anakku sudah melakukan yang terbaik menjaga dan ikut memperhatikan nenek dan kakek mu yang ada di sini untuk menjaga mereka." Bu Hilda memotong ucapan Alfian.

Bu Hilda meluapkan amarahnya setelah beberapa saat dia tahan. Andai dia bisa berteriak lebih keras lagi, wanita itu akan berteriak untuk melepaskan sebongkah bara api yang menyala di dalam dada.

"Bu, sejak kapan Almera menaruh hati pada Alfian? Bukannya Almera tahu Alfian sudah milik Hanum kemarin?" Tanya Jihan dengan nada lembut. Wanita tinggi semampai itu mencoba menenangkan suasana.

"Iya. Almera tahu Alfian milik sahabatnya Hanum. Tapi Almera sangat berharap setelah dia tahu hubungan Hanum dan Alfian sudah berakhir. Apa dia salah?" Teriak Bu Hilda dengan mata melotot. "Sebenarnya putriku yang bodoh, kenapa dia memilih laki-laki ini untuk di cintainya? Kenapa bukan laki-laki lain yang tidak mudah menaruh hati pada perempuan lain," lanjutnya.

"Al! Al! Ayo kita pulang," ucap Jihan sambil menarik lengan Alfian dan berjalan ke arah motor. Wanita itu tahu situasi ini tidak baik jika di teruskan karena sudah mencium aroma tak sedap dari teriakan Bu Hilda.

Alfian pasrah dengan tarikan Jihan, pemuda itu kembali menghidupkan mesin motor lalu meninggalkan rumah itu.

Di perjalanan pulang tidak ada satu katapun yang mampu di ucapkan oleh Alfian maupun Jihan. Mereka sama-sama diam dan sama-sama memecahkan masalah ini.

Sreett ...

"Aduh!" Jihan menepuk pundak Alfian. "Ada apa?" Lanjutnya.

"Ji, lihat itu!"

Sebuah mobil Alphard berwarna hitam tengah parkir di halaman rumah Alfian. Setelah di perhatikan ada beberapa orang yang tengah duduk di samping nenek dan kakek dan beberapa orang lainnya berdiri di sisi mereka.

"Astaga, Al! Itu papa," ucap Jihan dengan mulut terperangah.

"Astaga, enggak pernah kubayangkan mereka bisa sampai sini, Ji," ucap Alfian.

"Al, putar balik!" Ujar Jihan dengan nada panik.

"Enggak mungkin, Ji, bagaimana dengan nenek dan kakekku?" Tanya Alfian.

Alfian dan Jihan sama-sama panik, mereka tidak bisa menghindar lagi setelah salah satu orang di antara ajudan melihat mereka.

"Tuan! Itu nyonya!" Teriak salah satu ajudan berkepala botak.

"Jihan!" Brahma Utama berteriak.

Alfian dan Jihan tidak bisa bergerak setelah mereka tahu semua mata tertuju pada mereka. Alfian menjalankan motor menuju halaman rumah.

Perlahan Jihan turun dari atas motor lalu perlahan melangkah ke arah sang papa dengan kepala memandang ke bawah. Wanita itu sudah pasrah dan berserah diri dengan apa yang akan terjadi ke depannya dengan dirinya. Yang pasti wanita itu tengah merasakan degup jantung yang sangat luar biasa.

"Jihan," Brahma Utama memanggil sang putri dengan suara lembut. Suara itu mampu menggugah hati sang putri untuk memandangnya.

"Iya, Pa?"

"Kenapa kamu tidak bilang ke papa kalau kamu sudah menikah? Ayo pulang, Nak, ajak suami kamu pulang ke rumah kita," ujar Brahma.

Bagai ingin terbang ke angkasa ketika sang papa tidak seperti apa yang sudah dia bayangkan. Ternyata benar ucapan sang adik, papanya hanya menginginkan dirinya menikah tanpa harus melihat status dan juga memandang harta.

Jihan tersenyum lalu menghamburkan diri ke pelukan sang papa. Betapa bahagianya wanita itu mendapat restu dari orang tua padahal hubungan itu hanya pura-pura saja.

"Al, ini papaku," ucap Jihan sambil memandang sang papa.

Alfian menjabat tangan mertua pura-pura nya itu sambil tersenyum, "Alfian, Om."

"Loh, kok om sih? Papa. Papa mertua," ucap Brahma sambil tersenyum.

Seketika suasana menjadi ceria setelah terdengar suara tawa dari mereka. Nenek dan kakek ikut tersenyum bahagia setelah melihat sang cucu walaupun sebelumnya mereka juga sedikit ada rasa marah.

.

.

"Kakek, nenek, besok andai kakek dan nenek sudah pengen di jemput, bilang saja, ya. Supaya kami bisa jemput nenek dan kakek," ucap Jihan sambil melepaskan pelukannya.

"Iya. Kalian hati-hati di sana, ya. Sering-seringlah berkabar," ujar Nek Rum.

Hari ini, Alfian dan Jihan di bawa ke kota untuk tinggal di sana bersama keluarga Brahma. Awalnya Alfian keberatan namun setelah mendapat pengertian dari nenek dan kakek, Alfian mendengarkan dan mau pergi ke kota.

Entah bagaimana ceritanya besok di sana yang penting sekarang Alfian masih menjadi suami pura-pura untuk Jihan supaya menyelamatkan Jihan dari lelaki yang tidak dia cintai.

"Al, kamu tidak ingin berpamitan pada Hanum?" Tanya Jihan dengan nada lirih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status